| |
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (6/8) Telaah Sejarah dan Kerasulan Oleh Masdar F. Mas'udi Secara formal, solusi pertama sebenarnya sudah dimulai di hampir setiap negeri dengan sistem pajak (tax)-nya, bahkan pajak progresif. Hanya saja, fungsi pajak sebagai penjamin keadilan, terutama bagi yang lemah, masih harus ditransformasikan dengan sekuat tenaga. Terikat oleh persepsi jahiliyahnya mengenai pajak, masyarakat di mana-mana masih menganggap pajak sebagai hutang rakyat terhadap negara dan untuk negara. Karuan saja yang terjadi adalah bahwa prioritas utama dan terutama dari pengalokasian (pentasarufan) uang pajak adalah untuk memperkuat eksistensi dan wibawa negara, bahkan sering dengan korban rakyat sendiri. Atau jika korban itu tak lagi dimungkinkan dari kalangan rakyat sendiri, dicarinya dari rakyat bangsa negeri-negeri lain. [23] Bahwa negara (state) perlu diperkuat, memang ada gunanya. Akan tetapi negara yang perlu diperkuat itu adalah negara yang berikrar untuk menjadi pelayan ('amil) bagi kepentingan rakyat; bukan negara yang justru merasa bangga ketika bisa nyatroni dan menggagahi rakyat. Negara yang boleh diperkuat adalah negara yang menyadari sepenuhnya bahwa uang pajak yang ada ditangannya adalah amanat Tuhan yang harus dipergunakan bagi keadilan dan kesejahteraan bersama, yang dimulai justru dari lapisannya yang paling tidak berdaya. Sistem perpajakan sebagai soko guru lembaga negara masih harus ditransformasikan sedemikian rupa, sehingga penggunaannya sejalan dengan wasiat Tuhan penguasa segala penguasa. "Sungguh, sedekah (upeti/ pajak) itu milik orang-orang fakir, orang-orang miskin, untuk keperluan negara sendiri sebagai pelaksana, milik orang-orang yang perlu disadarkan hatinya, milik orang-orang yang tertindas? Orang-orang yang tertindih hutang, untuk kesejahteraan bersama, dan juga untuk anak jalanan. Itulah ketentuan Allah, dan Allah sungguh maha mengetahui lagi maha bijaksana" (QS. al-Taubat: 60). Sedangkan untuk persoalan kedua, bagaimana golongan lemah dapat mengembangkan usahanya sendiri, strategi pemecahannya tentulah dengan mendekatkan kembali sumber-sumber permodalan kepada mereka - tanpa mengabaikan faktor pendidikan yang membebaskan. Bila ini dilakukan, ketergantungan golongan lemah kepada negara (baca: dana pajak), yang mereka sendiri sebenarnya tidak menyukainya, pada akhirnya bisa dikurangi. Strategi mendekatkan sumber-sumber permodalan kepada golongan kapitalisme dalam pranata riba. Pertama-tama riba (nasi'ah) harus dibuang dari sistem permodalan, baik yang diterapkan oleh lembaga bank maupun lembaga sejenis lainnya. Yang dimaksud dengan "riba" di sini tidaklah mencakup seluruh apa yang umumnya disebut sebagai bunga pinjaman, seperti banyak orang mengira. Karena apabila seseorang meminjam uang rupiah satu juta selama setahun, padahal dalam satu tahun itu telah terjadi penurunan nilai (inflasi) atas rupiah sebesar 9 persen, maka pembayaran kembali 1 juta rupiah plus 9 persennya tentulah pengembalian yang seutuhnya. Tidak dikurangi dan tidak dilebihi. Maka, seperti dikatakan dalam surat al-Baqarah 279, riba yang dimaksudkan untuk "uang" adalah pembayaran pinjaman yang dipersyaratkan melebihi nilai nominal (ra's-u 'l-mal)-nya. Dalam bahasa ekonominya, riba adalah bunga pinjaman yang melebihi rate inflasinya. [24] Dengan dihapusnya unsur riba - dalam pengertian tersebut di atas - tidak perlu ada pihak yang dirugikan, kalau tidak malah diuntungkan. Pihak debitur, yang umumnya pengusaha, akan dikurangi tekanan mental dan fisiknya, karena beban mental untuk mengejar keuntungan (surplus value) berlipat ganda bisa diturunkan. Dan jika ini terjadi, masyarakat luas juga akan merasakan sawab-nya: di satu pihak, harga jual barang yang diproduksi para pengusaha bisa diturunkan, dan di lain pihak harga jual bahan baku yang dihasilkan oleh kerja keras masyarakat, juga bisa diperbaiki. Juga dalam sistem ekonomi bebas riba, seleksi lapangan kerja bisa dikendorkan. Sektor-sektor industri dan kegiatan-kegiatan ekonomi lain yang bersifat padat karya kembali dimungkinkan. Sehingga yang bisa ditampung dalam dunia usaha tidak lagi terbatas hanya orang-orang yang sangat ahli dan berpendidikan tinggi. Orang-orang yang kurang ahli dengan pendidikan menengah, bahkan rendah pun, tidak perlu terlalu risau karena langkanya lowongan kerja. Tingginya angka kesempatan kerja yang berarti rendahnya angka pengangguran, apalagi dengan kemungkinan upah yang lebih baik (lagi-lagi karena perusahaan tidak dibebani riba) pada gilirannya akan memperkuat daya beli masyarakat. Dan daya beli masyarakat yang kuat, di mana-mana, adalah landasan mutlak bagi jalannya perekonomian itu sendiri, secara berkesinambungan. Tidak kalah penting dari keuntungan masyarakat luas dengan hilangnya riba adalah dipulihkannya akses golongan masyarakat lemah terhadap modal. Tidak seperti sekarang, akses itu hanya dinikmati oleh golongan yang kuat saja, minimal menengah. Ini berarti kesempatan bagi golongan ekonomi lemah untuk ikut memiliki alat produksi dan atau menjalankan sendiri usahanya kembali dibuka. Atau, jika usaha sendiri tidak dimungkinkan, misalnya karena alasan keahlian atau minat, mereka bisa menawarkan tenaganya kepada orang lain tanpa harus menjadi korban eksploitasi oleh perusahaan yang mempekerjakannya. Juga lembaga permodalan bank itu sendiri, tidak perlu harus merugi. Memang, dalam sistem ekonomi non-riba ini bank tidak berhak mengeruk untung, tapi harus bisa berkembang sebagai lembaga sosial atau "bait-u 'l-mal" atas tanggungan masyarakat seluruhnya, baik sebagai penyimpan maupun peminjam. Karena, keberadaannya memang merupakan kepentingan bagi semua. [25] Yang punya duit berkepentingan dengan bank non-riba atau "bait-u 'l-mal" karena dengan jasanya ia bisa menyimpan duitnya dengan jaminan inflasi dan sekaligus pengamanan dari kemungkinan pencuri. Bahkan, jika yang bersangkutan, sebagai deposan, adalah orang yang terpanggil oleh anjuran al-Qur'an, maka keuntungan lain yang tidak kalah besarnya adalah bahwa dengan lembaga bank tersebut, di satu pihak, mereka dapat mentasaruf-kan (meminjamkan) uangnya kepada orang lain secara terjamin, dan di pihak lain, dapat terhindar dari ancaman Tuhan atas orang-orang yang gemar menyimpan kekayaan, dengan memutuskan fungsi sosialnya. Dalam surat al-Taubat yang dikenal sangat keras kutukannya terhadap kekufuran, Tuhan berfirman, yang artinya, "Dan orang-orang yang gemar menyimpan emas perak dan tidak mendayagunakannya untuk kebaikan, berikan kepada mereka kabar gembira perihal siksa yang amat pedih: pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka: inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Maka rasakanlah sekarang apa yang kamu simpan itu" (QS. al-Taubat: 34,35). Dalam konteks sekarang, di mana penyimpanan kekayaan untuk diri sendiri tidak lagi hanya dalam bentuk emas atau perak, tapi juga dalam bentuk uang, ayat tersebut menunjuk dengan jelas akan haramnya menyimpan duit di bawah bantal seperti yang telah mentradisi di masyarakat. Tradisi seperti itu bukan saja bodoh dilihat dari kacamata ekonomi, karena membiarkan uang digerogoti inflasi dan dengan mudah dapat tercuri, tapi juga bodoh secara moral karena memutuskan fungsi sosial dari kekayaan yang notabene adalah amanat Tuhan untuk kemaslahatan semua orang. Dengan bantuan bank sebagai bait-u 'l-mal, setiap orang dapat menyimpan uangnya sekaligus mengfungsikannya (secara positif) bagi kepentingan sosial. Sementara itu, kepentingan orang-orang yang memerlukan duit terhadap keberadaan lembaga bank non-riba adalah jelas. Dengan lembaga itu, mereka dapat memenuhi keperluannya tanpa kemungkinan diperas dan memeras. Memang perlu ada pembatasan, bahwa yang berhak memperoleh uluran tangan lembaga bank sosial ini adalah mereka yang hendak menggunakan dana itu untuk tujuan-tujuan produktif yang berdampak positif bagi kehidupan masyarakat banyak, atau untuk kepentingan konsumtif yang non-kemewahan. Memang, dengan hilangnya riba, golongan punya yang kapitalistik akan kurang berminat mendepositokan uangnya di bank, tapi lebih suka menggunakannya untuk membeayai usaha sendiri. Kalau kekhawatiran ini benar, tentunya hal itu hanya bisa terjadi pada sebagian orang saja. Orang yang tidak punya waktu untuk membuka usaha, atau merasa kurang mampu menjalankan usaha, tidak akan ikut-ikutan terbawa arus itu. Dan kalau saja kaum kapitalis itu merasa terdesak untuk menginvetasikan uangnya, itulah lebih bermaslahat bagi dirinya dan masyarakatnya. Semakin tinggi dan meluas kegiatan usaha suatu masyarakat, akan semakin tinggi pula daya tahan ekonominya. Dan dalam masyarakat modern yang daya tahan ekonominya tinggi, keberadaan lembaga bank, sekalipun tanpa riba, tetap kokoh adanya. -------------------------------------------- (bersambung 7/8) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |