| |
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (7/8) Telaah Sejarah dan Kerasulan Oleh Masdar F. Mas'udi PENUTUP Sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan umum dan keadilan sosial, negara memiliki kewenangan dan kemampuan yang memadai untuk melaksanakan dua solusi tersebut di atas. Tidak ada hambatan maupun rintangan yang dapat menghalanginya. Kecuali satu, kesadaran. Dan kesadaran di sini tidak cukup hanya dari pihak pelaksana kebijakan negara. Apalagi yang masih terbatas pada lapisan verbal belaka. Kesadaran yang mendalam dan merata di hati segenap rakyat - terutama yang ada di lapis bawah - merupakan kunci yang sangat menentukan tumbuhnya kesadaran yang lebih kuat di tingkat para pengambil kebijakan negara dan juga pelaksananya, yang kemudian diaktualisasikan dalam tindakan nyata dengan merubah tatanan yang selama ini merintangi tujuan bersama, keadilan sosial. "Sungguh Allah tidak akan merubah nasib suatu masyarakat sampai masyarakat itu sendiri merubah tatanan yang mendominasi perikehidupan mereka" (QS. al-Ra'd: 11). CATATAN 1) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyiah r.a. 2) Dalam karya-karya antropologi sosial, pemaparan evolusi pemilikan ini ditemukan lebih rinci. Meski tidak semua kupasan tentang hal itu bersikap kritis terhadap masalah ketimpangan sosial, akan tetapi secara obyektif para ilmuwan tidak bisa melepaskan faktor pertumbuhan pola pemilikan di satu pihak dengan pelapisan sosial di pihak lain. Lihat misalnya: Carol R. Ember & Marvin Ember, Anthropology, New York, 1986, 130-269. Penganut analisa Marxis biasanya melihat sejarah pemilikan ini dalam kaitan dengan tahap pertumbuhan sosial yang lima: tahap comunalisme primitif, tahap perbudakan, tahap feodalisme, tahap kapitalisme dan terakhir sebagai puncaknya adalah tahap sosialisme. 3) Dalam banyak kasus, sistem politik, budaya dan agama merupakan hasil kerja para elite ekonomi untuk mempertahankan dominasinya. Tentu, agama yang dimaksud di sini bukanlah agama (ilahiyat) yang tumbuh dari penghayatan spiritual orang-orang suci, melainkan agama (syaitaniyat) yang tumbuh dari sela-sela kepentingan manusia untuk memenuhi kepentingan duniawi. Berbeda dengan agama tersebut pertama yang bersifat kritis terhadap ketimpangan (sosial, ekonomi, politik maupun budaya) yang ada, agama tersebut kedua berwatak oportunis dan selalu cenderung melegitimasikan realitas ketimpangan tadi. Alasannya sederhana, yaitu karena tokohnya memang sekomplot dengan, atau bahkan, kalangan elite yang mengendalikan realitas itu sendiri. Tokoh agama yang kritis adalah Musa, Isa dan tentu saja Muhammad, Abu Bakar, Umar dan beberapa nama lainnya. Sedangkan tokoh agama yang hanya mengamini tatanan yang ada, adalah segenap tokoh agama dan pejabatnya yang selalu bau membau dengan kekuasaan Fir'auni, seperti disinyalir dalam ayat sebagai berikut, "... Sebagian besar dari para pemuka dan pejabat agama benar-benar telah memakan harta masyarakat dengan cara-cara yang batal (tidak dapat dibenarkan secara moral..." (QS. al-Taubat: 3.5). 4) Alasan yang umum dikemukakan adalah daruratnya keadaan. Mana mungkin sekarang ini orang bisa hidup dengan mekanisme riba, demikian kata mereka. Bahwa sekarang ini hampir tidak ada masyarakat yang bisa menghindari jasa perbankan, memang ada benarnya. Tapi, betapapun lengketnya antara bank dan riba, keduanya tetap merupakan hal yang berbeda dan tidak mustahil bisa dipisahkan. Yang patut disayangkan dari sementara kalangan agamawan adalah sedemikian rnerajalela, memang merupakan fakta yang menyedihkan. Akan tetapi sikap menerima kemungkaran secara lahir-batin tentulah lebih buruk dibanding menerima secara lahir (karena keterpaksaan) sementara batinnya tetap teguh untuk menolaknya. Karena dalam sikap yang demikian ini, idealisme (iman) untuk merubah keadaan berarti masih ada. Peringkat tertinggi seperti ditegaskan dalam hadits Nabi, memang apabila idealisme untuk merubah keadaan bisa diujudkan dengan nyata. Di bawahnya, idealisme hanya bisa disuarakan dengan kata-kata. Dan di bawahnya lagi, apabila idealisme itu hanya bisa dipertahankan dalam hati. Inilah peringkat terendah dari iman Wa dzalika adl'aful iman, kata Nabi. Tidak ada lagi peringkat di bawahnya. 5) Tokoh Islam yang berpendapat bunga bank konvensional masih belum mencapai tingkat keharaman karena belum berlipat ganda antara lain: Ustadz A. Hassan, Saffruddin Prawiranegara, M. Dawam Rahardjo SE dan Syaikhulhadi Permono. Pendapat ini menurut hemat saya lemah, karena beberapa alasan. Pertama yang bersangkutan tidak pernah berhasil menawarkan ukuran bahwa suatu tingkat suku bunga sudah/belum berlipat ganda. Apabila tingkat suku bunga bank konvensional yang berlaku sekarang ini (: 20-30%) dibilang belum berlipat ganda. Apabila tingkat suku bunga bank uangnya hanya 1 sampai 3 tahun memang belum berganda. Tetapi lebih dari 3 tahun, apalagi menjadikannya sebagai andalan penghidupan untuk selamanya, pelipatgandaan itu jelas terjadi. Karena dengan tingkat suku bunga tersebut di atas, setiap tiga sampai lima tahun bunga sudah mencapai 100% dari jumlah uang yang didepositokan. Kedua, melandaskan "keharaman riba semata-mata karena faktor berlipat gand" atas ayat 130 Ali 'Imran, samasekali tidak kena. Dengan mensitir kaidah Ushul Fiqh, Dr. Syaikhulhadi mengatakan bahwa dari 10 ayat dalam al-Qur'an yang mengharamkan riba, hanya satu yang secara fiqh, bisa dipegangi. Yakni ayat Ali 'lmran tadi. Karena, berbeda dengan 9 ayat lainnya yang katanya, sekedar melarang riba; ayat yang satu ini sudah memberikan catatan (qayid), yaitu "riba yang berlipat ganda". Keberatan saya, lalu apa makna 9 ayat lainnya yang tentu tidak main-main dalam menyatakan kutukannya kepada riba: haruskah ayat-ayat itu dilumpuhkan begitu saja oleh satu ayat, hanya karena yang terakhir ini sudah bicara dengan qayid. Ketiga, kalau hujjah tersebut di atas tetap dipertahankan, maka yang tidak bisa mereka bantah adalah sejarah urutan turunnya ayat-ayat tentang riba. Ayat 130 Ali 'Imran ini, ternyata bukan ayat riba terakhir. Sesudah itu, masih ada ayat riba yang lain -dan sekaligus yang terakhir - yang menegaskan keharaman riba dalam kemutlakkannya, yaitu ayat 278-280 al-Baqarah yang isinya begitu keras. Ini berarti, keharaman riba di mata al-Qur'an adalah mutlak. Tidak terpengaruh oleh apakah itu berlipat ganda atau tidak. Asal itu riba, haramlah hukumnya. 6) Dengan kata lain, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank sejauh untuk kegiatan usaha tidak punya dampak pemerasan, berlawanan dengan kenyataan. Justru untuk kegiatan usaha (produktif), beban bunga pinjaman (riba) lebih besar madaratnya ketimbang yang bersifat konsumtif. Karena, bunga atas pinjaman konsumtif korban pemerasannya terbatas pada pihak debitur, bunga pinjaman produktif korban pemerasannya mencakup si debitur, dan sekaligus masyarakat luas yang terlibat jaringan usahanya. Memang, korban tersebut pertama lebih jelas sosoknya, sedang korban dari tersebut terakhir, samar-samar. Tapi dengan perangkat analisis sosial yang kritis, kesamarannya itu seharusnya bisa diperjelas. 7) Kitab-kitab sufistik yang di kalangan masyarakat Islam Indonesia banyak beredar di pesantren hampir selalu mengemukakan bab tersendiri yang mengupas perihal rendahnya selera kebendaan di satu pihak, dan anjuran agar orang mencurigainya di lain pihak. Uraian tentang fadlilat-u 'l-faqr (keutamaan hidup fakir), qana'ah (nrimo dengan apa adanya), zuhd (mengambil jarak dengan hal-hal duniawi yang tidak benar benar diperlukan) dan semisalnya, selalu dapat kita baca dengan argumentasi sungguh-.sungguh. Lihat, misalnya: kitab Hikam, oleh Ibnu 'Athaillah; kitab Kifayat-u 'l-Atqiya wa Minhaj-u 'l-Ashfiya, oleh Muhammad Syatha ad-Dimyathiy, sampai dengan karya-karya besarnya seperti Ihya 'Ulum-i 'l-Din, oleh al Ghazali. 8) Bukti mutakhir betapa terpisahnya agama dengan aspirasi masyarakat untuk mewujudkan keadilan, antara lain tampak dari aksi-aksi penggusuran bahkan perampasan tanah lahan penghidupan petani kecil belakangan ini di pelbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur (di Blambangan, Sumenep, dan Batu, Malang); di Jawa Tengah (Kedungombo, Nusukan, dan Maos, Cilacap); di Jawa Barat (kasus Rarahan, Cimacan, dan Tangerang); di Lampung (kasus Gunung Balak, dan Pulau Panggung). Yang harus dicatat adalah ironi berikut: 1) Tidak satu organisasi sosial keagamaan, telah benar-henar peduli dengan nasib rakyat yang tergusur itu; 2) Pihak rakyat yang bersangkutan sendiri seperti memaklumi bahwa kesewenang-wenangan yang menimpa mereka memang tidak ada sangkut paut apa pun dengan fungsi dan tanggung jawab kepemimpinan tokoh-tokoh agama. 9) Berangkat dari positivisme A. Comte, pandangan sosial yang status quois ini belakangan semakin diperkokoh dengan munculnya Talcot Parson, seorang sarjana Amerika yang merumuskan madzhab fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut madzhab ini, tugas ilmuwan tidak lain adalah mempelajari dan mengurangi kenyataan-kenyataan sebagaimana adanya, secara obyektif, kuantitatif, dan jauh dari bersikap kritis apalagi provokatif untuk perubahan. Jargon yang paling populer di kalangan mereka adalah bahwa ilmu dan ilmuwan mesti bersikap netral, dingin, dan bebas dari segala pemihakan. Sadar bahwa dengan klaim kenetralannya para penganut madzhab positivis fungsionalis ini justru mematok diri mereka sendiri sebagai budak status quo, maka muncullah paradigma 'baru' sebagai counternya. Yaitu paradigma kritis. Berlawanan dengan penganut paradigma positivisme-fungsionalis, penganut paradigma kritis menandaskan bahwa tugas ilmu dan ilmuwan samasekali tidak cukup hanya menjelaskan dan mengurai kenyataan secara dingin sebagaimana adanya. Ilmu dan ilmuwan tidak bisa tidak mesti bersikap kritis terhadap realitas yang ada, dan sekaligus menegaskan komitmennya terhadap perlunya pemihakan. 10) Menurut US Sensus Bureau 1983, pada tahun 1982, 5% penduduk terkaya di Amerika menerima 16%, dari seluruh pendapatan dalam bentuk uang (money income), 20% penduduk terkaya menguasai 43% uang pemasukan. Sementara itu 60% penduduk hanya menerima 33%-nya, 20% penduduk termiskin hanya menerima 4,7%; dan setiap 1 dari 7 orang penduduk Amerika hidup di bawah garis kemiskinan. Dikutip dari: Allan G. Johnson, Human Arrangements, HBJ, 1986, hal. 328-330. Dan semakin kemari, ketimpangan ini bukannya cenderung mengendor, tapi justru menajam. 11) Ini dapat dilihat dari arus balik uang dari negara-negara Dunia Ketiga ke negara-negara maju kapitalis yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang yang diterimakan sebelumnya, sebagai hutang. Tahun 1985, negara-negara Dunia Ketiga telah membayar kembali hutang dan bunganya sebanyak US $ 30 milyar lebih besar dari yang mereka terima pada tahun yang .sama. Tahun berikutnya, 1986, Dunia Ketiga menerima suntikan dana (hutang) dari negara-negara kaya di Dunia Pertama sebesar US $ 14 milyar, sementara yang harus dibayarkan pada tahun itu juga sebagai cicilan hutang dan bunganya adalah US $ 45 milyar. Dihitung selama 4 tahun 1982-1985, selisih antara uang yang diterima oleh negara-negara Dunia Ketiga dan yang harus dikembalikan kepada Dunia Pertama mencapai jumlah US$ 160 milyar (Dikutip dari Ted Train, Developed to Death, Green Print, London, 1989, hal. 102). Pemerasan yang benar-benar fantastik. Belum terhitung andil Dunia Ketiga berupa pasok bahan baku, energi dan tenaga kerja yang murah dan last but not least pangsa pasar yang dinikmati oleh negara-negara industri kapitalis, baik langsung maupun melalui gurita MNC-nya yang beroperasi di tahun 60-an banyak dilakukan oleh negara Dunia Ketiga atas dukungan keuangan Dunia Pertama, justru memperlihatkan hasil yang sebaliknya: yakni ketimpangan yang semakin merajalela. Diperkirakan, 200 tahun yang lalu pendapatan rata-rata masyarakat negara kaya hanya 1:5 dengan pendapatan rata-rata masyarakat negara miskin. Pada tahun 1960 perbandingan itu sudah mencapai 1:20, dan tahun 1980 perbandingan melonjak mencapai 1:46 (Ibid, hal 14). -------------------------------------------- (bersambung 8/8) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |