| |
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (5/8) Telaah Sejarah dan Kerasulan Oleh Masdar F. Mas'udi Mengklaim dirinya sebagai agama fitrah, Islam mencoba meletakkan kekayaan materi pada proporsinya. Bergumul dengan hal-hal duniawi, bagaimanapun tidak mungkin dihindari oleh manusia sebagai makhluk yang berdarah daging. Tapi, karena hakikat manusia itu bukanlah pada daging dan darahnya, melainkan pada ruhaninya, maka janganlah manusia memandang materi belaka sebagai tujuan hidupnya. Mencari keduniaan dan menguasai (memiliki)-nya semata-mata untuk keduniaan, dikecamnya sebagai kebodohan yang nyata. Ayat-ayat al-Qur'an, terutama yang dicanangkan pada periode peletakan dasar keimanan (ayat Makiyah), begitu jelas kutukannya terhadap pandangan sekularisme dan materialisme yang mempertuhankan benda, "Berlomba untuk menumpuk kekayaan telah membuat kalian lupa (akan hakikat hidup), sampai kalian masuk ke liang kubur" (QS al-Takatsur:1,2). "Celakalah setiap orang yang suka mengumpat dan mencaci; yang menghimpun materi dan menghitung-hitungnya. Dikiranya kekayaan itulah yang akan mengekalkan hidupnya" (QS al-Humazah: 1,2,3). "Wa ma 'l-hayat-u 'l-dunnya illa mata'-u 'l-ghurur - Kehidupan duniawi itu semata kesenangan yang menipu" (QS. Ali 'Imran: 185). Oleh sebab itu, dengan keterbukaannya terhadap aspirasi kebendaan, al-Qur'an tidak pernah satu kali menggesa manusia untuk memiliki dan menumpuk kekayaan materi sebanyak-banyaknya. Boleh jadi alasannya sederhana: tanpa digesa dengan ayat suci pun manusia sudah bergegas mencari dan menumpuknya atas dorongan nafsunya sendiri. Maka, yang sering dipesankan al-Qur'an justru agar manusia selalu bersikap kritis dan waspada terhadap godaan materi. Materi itu perlu dan boleh dicari. Tapi bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengaktualisasikan hakikat dirinya yang ruhani. Untuk itu Tuhan menyatakan, apa yang Dia ciptakan di bumi ini, yang kesemuanya bersifat material duniawi, adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia, seluruhnya. "Huwa 'l-ladzi khalaqa lakum ma fi 'l-ardli jami'an - Dialah yang menciptakan apa-apa yang ada di bumi untuk kalian semuanya" (QS. al-Baqarah: 29). Ayat seperti ini, yang dinyatakan tidak hanya sekali, jelas membenarkan manusia untuk bergumul dengan materi dan memilikinya. Akan tetapi, bersama dengan pembenaran itu, ada dua prinsip yang kebanyakan orang justru cenderung melupakannya. Pertama, tersedianya materi adalah untuk dikuasai oleh manusia sebagai sarana bagi aktualisasi hakikat dirinya yang ruhani. Jangan sampai dibalik, hakikat diri yang ruhani justru dikorbankan bagi khayalan-khayalannya yang bersifat materi. Prinsip kedua, pemanfaatan sarana materi yang tersedia di bumi Tuhan ini bukan monopoli satu golongan, tapi hak bagi manusia seluruhnya. Apa pun kedudukannya, dimana pun tinggalnya, dan kapan pun angkatan generasionalnya, setiap manusia berhak mengambil manfaat dari kekayaan di bumi ini. Dari prinsip pertama tersebut, dapat ditarik suatu kaidah bahwa apa yang menjadi hak suci setiap orang, yang secara legal-formal maupun moral-spiritual tak dapat diganggu gugat dari kekayaan materi yang diambil dari bumi Tuhan, adalah apa yang menjadi bagiannya, dalam arti yang menjadi kebutuhan bagi kelangsungan dan perkembangan dirinya secara fisikal maupun mental. Tidak seorang, dengan dalih kepentingan negara sekalipun, boleh merampas hak suci itu. [16] Bahkan terhadap pribadi yang bersangkutan, al-Qur'an mengingatkan untuk tidak meremehkannya. "... Jangan kamu abaikan apa yang jadi bagian dirimu dari anugerah materi itu." Peringatan tentang hak-hak material setiap manusia ini dinyatakan menyusul seruan al-Qur'an agar setiap fasilitas material hendaknya selalu ditasarufkan untuk meraih capaian-capaian spiritual ukhrawi. "Wa abtaghi fi ma ataka 'l-Lah-u 'l-dar-a 'l-akhirah - Seharusnya kamu mencari negeri akhirat (keluhuran spiritual) dari apa saja yang Allah anugerahkan kepadamu (QS. al-Qashash: 77). Bagian atau kebutuhan material manusia sebagai makhluk fisikal yang pemenuhannya merupakan hak suci setiap orang meliputi: pangan, sandang, papan, pengobatan dan keseimbangan lingkungan. Sedang kebutuhan manusia secara mental spiritual, suatu kebutuhan yang sebenarnya tidak secara mutlak bersifat kebendaan, adalah pendidikan, informasi, kebebasan berkeyakinan dan menyatakan diri. [17] Dalam khasanah pemikiran umat Islam, kedua jenis kebutuhan tersebut, secara hirarkis, dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, kebutuhan dlaruri, atau elementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan kebinasaan eksistensi manusia yang bersangkutan secara fisik maupun mental. Kedua, kebutuhan haji, komplementer, yaitu suatu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak sampai mengancam eksistensi akan tetapi dapat mendatangkan kesulitan dalam perkembangannya. Ketiga, kebutuhan takmili, suplementer, yaitu kebutuhan yang jika tidak terpenuhi tidak mendatangkan kesulitan, apalagi kebinasaan, akan tetapi kurang memberikan kemudahan dan kelengkapan. Di atas kebutuhan takmili, yang ada adalah keinginan. Berbeda dengan kebutuhan (needs/hawaij) yang bersumber pada kesadaran manusia untuk mengaktualisasikan hakikat dirinya yang spiritual dan transendental, keinginan (wants/syahawat) pijakannya adalah nafsu manusia semata-mata sebagai makhluk kebendaan dan kekinian. Pada tingkat yang awal keinginan ini terkait dengan nafsu berhias (tazyn), menyusul kemudian nafsu kemewahan (israf) dan terakhir nafsu penghamburan (tabdzir). Secara formal eksoterik (syari'at), Islam tidak pernah melarang dengan menghukum haram pemilikan dan pengkonsumsian materi oleh seseorang di luar tiga tingkat kebutuhan tersebut di atas. Mungkin karena larangan seperti itu tidak praktis dan susah kontrolnya. Akan tetapi dari sudut moral spiritual yang esoterik (hakikat), pesan Islam agar manusia mengambil jarak daripadanya sangatlah jelas. Yang disebut orang-orang suci, dalam pandangannya adalah mereka yang mampu menangkap pesan pengambilan jarak tadi dan menahan diri untuk tidak sampai terseret ke tingkat tazyin, apalagi israf dan tabdzir. Mereka sadar, kekayaan materi/duniawi yang tidak ditaklukkan untuk membangun kehidupan akhirat dengan mentasarufkannya bagi kemaslahatan sesama dapat menjauhkan jati dirinya yang spiritual dari tujuannya semula, yakni Tuhan. [18] Sementara itu, realitas spiritual yang batiniah tidak bisa dianggap terpisah dengan realitas sosial yang lahiriah. Pemilikan materi dan pengkonsumsiannya oleh sementara orang di atas kebutuhan takmili-nya, bukan saja dapat membahayakan perjalanan spiritual yang bersangkutan menuju Tuhan. Akan tetapi pada saat yang sama bisa berarti penjegalan terhadap orang lain untuk memperoleh apa yang menjadi hak-haknya. Oleh sebab itu, apabila sering dikatakan bahwa kefakiran sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kekufuran, kekayaan yang berkelimpahan tentunya jauh lebih berbahaya. Ia tidak saja menyebabkan pada pribadi yang bersangkutan, tapi sekaligus kekufuran pada pribadi-pribadi lain yang menjadi korbannya. [19] SKENARIO MASA DEPAN Dalam al-Qur'an ada pernyataan yang cukup menantang, khususnya bagi para konseptor pembangunan. "Wa ma min dabbat-in fi 'l-ardli illa 'ala 'l-Lah-i rizqu-ha -Tidak ada makhluk melata di atas bumi kecuali telah disediakan Tuhan rezekinya." Memang tidak semua orang mau membuka hatinya untuk menerima firman Tuhan ini. Akan tetapi, untuk menolak kebenarannya begitu saja agaknya juga tidak gampang. Karena, data statistik yang paling teliti sekalipun selalu saja menunjukkan bahwa kekayaan alam yang disediakan Tuhan di bumi ini sebenarnya sangat mencukupi untuk sekedar memenuhi kebutuhan (bedakan dengan: keinginan) makhluk hidup yang melata di atasnya, tidak terkecuali umat manusia. Lebih-lebih dengan senjata ilmu dan teknologinya, umat manusia kini mampu mengeksplorasi kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi yang paling dalam sekalipun. Oleh sebab itu apabila dalam kenyataannya banyak orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dlaruri-nya, apalagi yang takmili atau tahsini, itulah bukan karena persoalan supply yang terbatas melainkan lebih karena distribusi yang terampas. Keterampasan ini memang tidak terjadi secara individual, langsung dari tangan orang-orang yang berhak. Akan tetapi, melalui tatanan sosial yang timpang dimana yang kaya bisa terus memperbesar kekayaannya, sementara yang miskin semakin tenggelam dalam kemiskinannya. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan hak-hak orang-orang yang terampas, yang perlu dilakukan adalah aksi sosial dengan membenahi kembali struktur dan sistem perekonomian masyarakat bersangkutan dimana neraca kekuatan antara yang kaya dan yang miskin bisa diatur kembali secara seimbang. Memang, apabila pendekatan kolektif untuk memecahkan ketimpangan sosial ini sengaja tidak dilakukan, atau dilakukan dengan main-main, maka desakan bagi meletusnya tindakan anarkis yang melawan hukum lalu menjadi sulit dihalang-halangi. Mengharapkan orang terus bersabar menahan lapar sementara dirinya sendiri bergelimang dengan segala kemewahan, tentu sangat tidak bermoral. "Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman orang yang tidur dengan perut kenyang, sementara dia tahu tetangganya menangis karena kelaparan", kata Nabi tandas. [20] Sementara itu, karena masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial pada dasarnya terjadi akibat tatanan sosial yang buruk, sudah barang tentu negaralah instrumen yang harus digunakan untuk mengatasinya. Yang dimaksud dengan negara adalah persekutuan kolektif yang mencakup kalangan masyarakat kaya dan masyarakat miskin secara bersama-sama. Negara yang hanya merupakan persekutuan orang-orang kaya bisa menjadi drakula keserakahan. Sebaliknya negara yang hanya merupakan persekutuan orang-orang melarat cenderung menjadi monster kedengkian. Hanya dengan komitmen kedua belah pihak negara bisa berfungsi sebagai arena pergumulan untuk menemukan sintesa keadilan antara kedua kelompok masyarakat tadi. Melalui negara, orang-orang kaya dapat membayar kewajibannya untuk menegakkan keadilan atas pundak saudara-saudaranya yang kaya. Dalam pandangan Islam, menegakkan negara untuk tujuan keadilan, hukumnya wajib; bukan saja dari sudut nalar, tapi sekaligus moral. [21] Dalam pada itu, sejauh persoalan yang ingin dipecahkan adalah 1) kemiskinan pada orang-orang selama ini kehilangan hak-hak dasarnya, terutama hak atas kebendaan, dan 2) ketimpangan sosial yang menganga lebar antara golongan kaya dan yang tidak punya, maka yang mutlak harus dilakukan oleh negara sebenarnya cukup jelas dan sederhana. Dengan tetap mengakui keabsahan hak perorangan atas benda yang jadi kebutuhan hidupnya sebagai basis bagi hak-hak dasar kemanusiaan lainnya, [22] maka untuk persoalan pertama solusinya adalah dengan merekayasa suatu kontrak sosial, dengan golongan yang bisa diikat komitmennya untuk secara irreguler menginfakkan sebagian dari rezeki yang dikuasainya bagi kepentingan pihak lain yang tidak punya. Sedang untuk persoalan kedua, bagaimana kesenjangan sosial bisa dipersempit, solusinya tentulah dengan memberikan kekuatan kepada yang lemah tadi - setelah dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui langkah pertama - untuk dapat mengembangkan sendiri penghidupannya. -------------------------------------------- (bersambung 6/8) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |