|
|
|
|
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (1/8)
Telaah Sejarah dan Kerasulan
Oleh Masdar F. Mas'udi
Secara sederhana bisa dikatakan bahwa gejala ketimpangan
sosial itu bermula dari adanya lembaga pemilikan, atau hak
milik. Yakni suatu klaim dari seseorang atas suatu benda atau
bernilai benda yang tidak bisa diganggu gugat begitu saja oleh
klaim yang sama dari orang lain. Tanpa adanya pemilikan,
ketimpangan sosial tidak relevan muncul dalam kenyataan, juga
dalam perbincangan. Akan tetapi, untuk memproyeksikan suatu
kehidupan masyarakat manusia dimana klaim pemilikan tidak lagi
ada, semakin nyata sebagai utopi yang membawa petaka.
Komunisme, sebuah idiologi modern berkekuatan dunia, secara
sistematik dan penuh kekerasan telah berusaha mendiskreditkan
lembaga pemilikan itu. Namun apa yang terjadi di ujung kisah
petualangan mereka adalah arus balik yang tidak bisa dibendung
untuk menegakkan kembali apa yang sebelumnya telah mereka
nistakan.
Di lain pihak, dalam kapasitasnya sebagai ajaran kerohanian,
Islam justru mengakui dengan tegas keabsahan hak milik pada
orang per orang. Bahkan menobatkannya sebagai hak yang banyak
sedikitnya berbau sakral. Terhadap siapa saja yang secara
tidak sah merampas hak milik orang lain, Islam mengancamnya
dengan hukuman yang begitu berat, potong tangan. Wa 'l-sariq-u
wa 'l-sariqat-u fa aqtha'u aidaya huma jaza-an bima kasaba
nakal-an min al-Lah, wa 'l-Lah-u 'aziz-un hakim (Pencuri
lelaki maupun perempuan, potong saja tangan mereka sebagai
pembalasan atas apa yang mereka perbuat dan sebagai siksaan
dari Allah, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana) (QS.
al-Maidah: 38). Juga hadits Rasulullah yang mengatakan, kalau
umat terdahulu rusak itulah karena apabila pelanggaran hak
milik seseorang dilakukan oleh kalangan terhormat mereka
membiarkannya begitu saja. Tapi apabila pelanggaran - itu
dilakukan oleh rakyat jelata, dengan serta merta mereka
menegakkan sanksi sekeras-kerasnya. Demi Allah, sekiranya
Fathimah, anak Muhammad, (Rasul sendiri, pen.) melanggar hak
milik orang lain, pasti akan saya potong juga tangannya. [1]
Tulisan ini merupakan usaha untuk mencoba memperjelas - insya
Allah - bagaimana Islam menjaga keseimbangan antara
kepentingan melindungi hak milik di satu pihak dan idealisme
untuk menghindari ketimpangan sosial, atau dalam bahasa
positifnya menegakkan keadilan sosial -suatu perseimbangan
yang pasti sangat rumit dan sekaligus labil. Sebab, kebanyakan
masyarakat telah gagal untuk, dalam rentang waktu relatif
lama, berdiri tegak memperjuangkan sosok keadilan. Kalau tidak
terpelanting ke kiri, mereka tergelincir ke kanan. Ironisnya,
yang terpelanting ke kiri maupun yang tergelincir ke kanan,
cenderung saling menuding dan bermusuhan. Sementara, nasib
keduanya sebenarnya tidak beda.
KETIMPANGAN ERA TRADISIONAL
Kalangan ilmuwan sosial [2] umumnya percaya bahwa pada
tahap-tahap awal perkembangan masyarakat manusia, dimana
kehidupan mereka bergantung pada kemampuan berburu hewan dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain,
persoalan hak milik belumlah ada, karena beberapa alasan.
Sebab, pertama, apa yang jadi kebutuhan manusia pada saat itu
masih terbatas sekedar untuk mempertahankan hidup secara
fisik. Yakni, kebutuhan makan, sandang dan papan. Itu pun
dalam ukuran yang benar-benar primitif. Untuk masalah pangan
asal bisa menahan rasa lapar; sandang asal bisa menutup
bagian-bagian tertentu dari anggota badan; dan papan asal bisa
sebagai tempat berlindung dari gangguan satwa liar. Pada tahap
yang lebih awal lagi, kebutuhan fisikal itu boleh jadi
terbatas hanya pada pangan.
Kedua, sementara bobot kebutuhannya masih sangat sederhana,
populasi manusia juga masih sangat terbatas. Dibanding dengan
luasnya planet bumi yang menjadi sumber penghidupannya, jumlah
mereka samasekali belum punya arti apa-apa. Setiap orang,
ketika itu, yakin apa yang jadi kebutuhannya, dapat terpenuhi
hanya dengan kerja tangan yang sederhana Ketiga, ikut
memperkuat kedua faktor tersebut di atas, yaitu masyarakat
manusia masih terasa ibarat satu keluarga (commune) yang
saling topang dan saling melindungi satu sama lain. Kalaupun,
sesudah melewati periode waktu yang sangat lama, persoalan hak
milik mulai muncul dalam kesadaran, maka hal itu lebih sebagai
klaim bersama atas barang (umumnya: bahan makanan) yang
dihasilkan oleh kerja bersama. Artinya, kalau saja muncul
persoalan hak milik, hal itu terjadi bukan sebagai klaim
perorangan, melainkan lebih sebagai klaim kelompoh vis a vis
kelompok yang lain. Tahap ini bisa disebut tahap komunalisme.
Persoalan hak milik mulai dihayati sebagai kepentingan
perorangan (individual) terjadi ketika masyarakat manusia
mulai cenderung menetap untuk membangun kehidupan di wilayah
atau lokasi tertentu. Pada tahap ini, penghidupan sudah mulai
bergeser ke olah pertanian. Dibanding dengan berburu, olah
pertanian tidak cukup hanya dengan modal tenaga fisik.
Perhitungan mengenai peredaran musim, sedikit banyak sudah
mulai dilibatkan. Seperti diketahui, pola penghidupan olah
tani ini lahir disebabkan oleh (atau lebih amannya,
berbarengan dengan) semakin terbatasnya lahan perburuan. Pada
tahap ini, meskipun pola komunal masih kawedar, akan tetapi
fungsinya untuk menjadi acuan bersama, dimana setiap orang
saling menopang dan melindungi, sudah tidak lagi sekuat pada
tahap sebelumnya. Dengan memilih tempat atau lokasi tertentu
untuk ajang penghidupan, secara perlahan masyarakat manusia
sudah mulai berhadapan dengan sumber alam yang terbatas, yakni
tanah pertanian seluas yang mereka klaim sebagai wilayah
garapannya. Pada mulanya ketika jumlah anggota dari satu
kelompok yang memilih tempat tertentu untuk penghidupannya
masih sedikit, kepentingan perorangan masih samar-samar. Akan
tetapi lama kelamaan, ketika jumlah anggota rombongan kelompok
makin banyak dan persediaan lahan penghidupan (tanah
pertanian) semakin terasa keterbatasannya, kepentingan yang
lebih sempit dari level kelompok mulai menyeruak ke permukaan.
Pada tahap ini kohesi kelompok yang utuh dan intern sedikit
demi sedikit mulai mengendor. Aliansi keluarga yang
terdiri-dari suami, istri dan anak sebagai intinya, mulai
menyatakan diri dengan segala kepentingannya yang cenderung
eksklusif.
Syahdan, persaingan lunak pun mulai menyeruak antara satu unit
keluarga dengan unit keluarga yang lain. Siapa diantara mereka
yang memiliki anggota lebih banyak, bekerja lebih giat, dan
atau berwatak lebih nekat, dengan sendirinya memiliki
kesempatan mengatasi pihak lain dalam memperluas tanah
pertanian dan sekaligus perolehan hasil-hasilnya. Sebaliknya
unit keluarga yang anggotanya sedikit, kurang sungguh-sungguh
dalam bekerja, dan atau cenderung menerima seadanya, sangat
boleh jadi hanya akan mendapatkan perolehan hasil yang
sedikit. Dan jika keluarga tersebut terakhir tidak berhasil
mengubah pandangan dan sikapnya, kekalahannya oleh keluarga
yang tersebut pertama menjadi semakin nyata. Tidak bisa
dihindari bahwa lambat atau cepat keluarga tersebut terakhir
yang lemah itu akan dipaksa oleh keadaan untuk melepaskan apa
yang ada di tangannya, atau bahkan dirinya sendiri sebagai
budak, kepada pihak tersebut pertama yang kuat sekedar untuk
menutup kebutuhan dasarnya. Di sini, kaidah "manusia (yang
kuat) menjadi serigala atas manusia yang lemah" seperti
dirumuskan Hobbes, mulai berperan sebagai tata kehidupan yang
dominan. Pada tahap ini (sebut: tahap feodalisme) apa yang
kita sinyalir dengan "ketimpangan sosial" benar-benar telah
menjadi kenyataan. Sebagian orang membubung ke atas dengan
kekayaan yang dikuasainya, sementara sebagian yang lain justru
melorot ke bawah dengan kemelaratan yang dideritanya.
Ketimpangan itu pada mulanya terjadi di bidang ekonomi, di
bidang pemenuhan kebutuhan materi. Akan tetapi tidak bisa
dipungkiri, dari ketimpangan ekonomi ini, segera menyusul
ketimpangan di bidang kehidupan yang lain-lainnya: politik,
budaya, dan bahkan agama. [3]
Pada tahap awal, ketimpangan ekonomi terlihat pada pola
pemilikan tanah. Karena, ketika itu, tanahlah satu-satunya
bentuk aset kekayaan dan juga modal. Pihak keluarga yang
muncul sebagai pemenang dengan sendirinya menguasai tanah yang
luasnya jauh melebihi kadar yang mereka perlukan. Sementara
yang kalah adalah mereka yang memiliki lebih sempit dari yang
diperlukan, atau bahkan tidak punya samasekali. Di antara
keduanya adalah pihak yang tidak kalah tidak menang, yaitu
mereka yang memiliki bagian tanah yang kurang lebih sepadan
dengan apa yang jadi kebutuhannya, atau lebih sedikit.
Memang, sejauh masih bertumpu pada satu obyek pemilikan, yaitu
tanah, kemungkinan akumulasi kekayaan masih relatif terbatas.
Yakni, sejauh persediaan tanah masih ada yang diperebutkan dan
pihak keluarga yang menguasainya pun merasa mampu mengurusnya,
langsung maupun melalui tangan orang lain yang ada dalam
kontrolnya. Ini berarti, kesenjangan sosial antara orang yang
paling kaya di satu pihak dan yang paling miskin di pihak
lain, pada masa itu relatif masih bisa diukur dengan skala
lokal. Orang yang kaya adalah mereka yang kaya di antara
penduduk di desanya. Dan cakupan kekayaannya pun umumnya
terbatas pada penguasaan tanah yang ada di wilayah desanya itu
saja. Akan tetapi, pola akumulasi kekayaan dan bataas
lokalitasnya yang sederhana ini kemudian jebol dengan
diketemukannya logam kuning yang diberi harga tinggi, yaitu
emas. Dengan emas, nafsu menghimpun kekayaan dapat dipenuhi
dengan cara yang ringkas dan tidak kentara. Kekayaan dalam
wujud tanah puluhan hektar, kini dapat disimpan hanya dalam
bentuk butiran/lempengan kecil yang bisa disimpan di bawah
bantal atau di dalam tanah.
Dengan demikian, kehadiran emas jelas telah memberikan
kemungkinan bagi adanya kesenjangan sosial yang jauh lebih
melebar, dan dalam kasus-kasus tertentu, lebih tidak bermoral.
Orang-orang miskin yang tinggal di seputar tuan tanah betapa
pun sengsaranya, masih terbuka kesempatan bagi mereka untuk
mencari penghidupan dengan, misalnya, bekerja sebagai buruh
tani di tanah milik tuan tanah tadi. Dengan berburuh tani,
mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, terutama
pangan, meski dalam ukuran yang pas-pasan. Sebaliknya, ketika
kekayaan dihimpun dalam lempengan emas, fungsi sosialnya
benar-benar telah ditiadakan.
KETIMPANGAN ERA MODERN
Apabila dengan kehadiran logam berharga berupa emas,
ketimpangan sosial dalam masyarakat feodalisme-tradisional
telah dikukuhkan, dalam masyarakat modern kapitalis,
ketimpangan itu lebih diperdalam lagi dengan dua hal. Yakni,
dengan dicanangkannya sistem ekonomi uang di satu pihak, dan
ditegakkannya lembaga perbankan dengan sistem ribanya di lain
pihak. Sebelum adanya lembaga bank, orang kaya yang berhasil
menyimpan sejumlah lempengan/perhiasan emas dalam rumah boleh
merasa puas untuk tidak menambah simpanan lagi, karena
repotnya memelihara dan menjaganya. Kini, dengan kehadiran
lembaga bank, kerepotan itu telah diatasi. Dalam bank, orang
kaya bisa dengan aman menyimpan emasnya, atau barang berharga
lainnya, sebanyak mungkin. Dan lebih dari sekedar tempat
menyimpan emas, bank menyediakan diri sebagai tempat menyimpan
uang dan sekaligus melipatgandakannya. Hampir semua orang kini
mengatakan bahwa sistem perbankan merupakan kebutuhan zaman
yang harus diterima karena fungsi sosialnya. Dengan "suntikan
darah"-nya berupa mata uang sebagai modal usaha, berbagai
kegiatan ekonomi bisa digerakkan dan darinya lapangan kerja
bisa disediakan. Melihat fungsi sosial ini, masyarakat pun
tersugesti untuk menerima kehadiran lembaga itu seutuhnya.
Hari demi hari, di hampir semua negeri, orang berebut
kesempatan untuk mendirikannya. Mulai dari pusat kota sampai
di tempat-tempat terpencil di desa, kini bisa ditemukan
jaringan-jaringannya.
-------------------------------------------- (bersambung 2/8)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |