|
|
|
|
|
VI.50. HAK MILIK DAN KETIMPANGAN SOSIAL (2/8)
Telaah Sejarah dan Kerasulan
Oleh Masdar F. Mas'udi
Pengakuan atas keabsahan lembaga itu, pada mulanya diberikan
oleh kalangan awam dan pengusaha. Yang tersebut pertama
memberikan pengakuan, atau lebih tepatnya pembiaran, karena
merasa tidak punya urusan apa pun dengannya. Sedang pihak
tersebut kedua, pengusaha, memberikan pengakuan karena merasa
ada yang bisa dipetik dari padanya. Sebagai pengusaha, mereka
menemukan lembaga perbankan mampu menyediakan apa yang jadi
kebutuhan vitalnya, modal. Bahwa kemudian mereka terpaksa
memeras diri sendiri dan orang lain untuk dapat membayar
kembali dengan ribanya, adalah soal belakang.
Ikut tersugesti melihat lembaga bank dengan ribanya sebagai
satu-satunya pilihan untuk menggerakkan roda ekonomi
masyarakat, kalangan agama pun akhirnya ikut memberikan
pengakuannya. Suatu pengakuan (legitimasi) yang sebenarnya
tidak terlalu dipusingkan oleh lembaga perbankan sendiri
sebagai pembawa apinya. Karena, tanpa pengakuan mereka,
keberadaan lembaga riba ini sudah cukup mapan. Pengakuan itu,
tak pelak lagi, lebih merupakan kebutuhan dari kalangan agama
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. [4]
Pihak agama yang dimaksud di sini tidak lain adalah agama
Islam yang selama ini selalu menyatakan penolakannya, bahkan
kutukannya, terhadap segala macam praktek pembungaan uang.
Mengacu pada formalisme ajaran, sebagai ulama dan pemuka agama
Islam berpendapat bahwa bunga yang dikenakan lembaga perbankan
konvensional tidaklah mengapa. Dengan trik-trik hilah fiqhiyah
beberapa di antara mereka mengatakan bahwa secara formal bunga
bank masih bisa diselamatkan dari cap riba. Sementara beberapa
yang lain, dalam hati kecilnya, mengakui bunga bank itu riba.
Namun, karena tidak ada jalan lain untuk mengelak, mereka pun
berfatwa, "bunga bank memang riba, tapi riba yang bisa
dibenarkan. Karena, katanya tidak berlipat ganda." [5]
Sudah barang tentu, keberanian mereka berpendapat seperti itu
harus dihormati. Akan tetapi, pada saat yang sama, orang pun
boleh menyatakan bahwa dengan sistem bunganya, fungsi sosial
yang dimainkan oleh bank adalah fungsi sosial yang mungkar
(negatif). Bunga yang dikenakan oleh lembaga perbankan adalah
bagian paling inti dari sistem perekonomian kapitalis yang
sangat dikutuk Islam justru karena wataknya yang eksploitatif.
Dengan adanya sistem bunga tersebut, yang dalam Islam dikenal
dengan sebutan riba nasi'ah, kita tahu bahwa hanya para
pengusaha kuat saja dapat menikmati jasa permodalan bank
dengan leluasa. Berbeda dengan pengusaha kecil yang segera
akan hangus oleh panasnya bunga yang dipikulnya, pengusaha
kuat bisa bersiasat agar panasnya api itu tidak dipikul
sendiri. Pengusaha kuat, dengan jaringan dan perangkat
manajemennya, mampu membagi atau bahkan mengalihkan sama
sekali panasnya api riba ke tangan masyarakat luas melalui
sistem riba fadl maupun riba yad yang inheren dalam bangunan
perekonomian kapitalistis itu sendiri. [6]
Sebagaimana diketahui, dalam pemikiran muamalat Islam, riba
yang terkutuk itu ada tiga macam. Pertama, riba nasi'ah, yaitu
kelebihan (interest) yang diperoleh seseorang atas uang atau
kapital yang dipinjamkannya kepada orang lain. Kedua, riba
fadl adalah keuntungan yang diperoleh dari pertukaran (jual
beli) jasa maupun barang, secara tidak seimbang. Sedang yang
ketiga, riba yad, adalah keuntungan yang diperoleh dari
pertukaran jasa atau barang dengan cara mengulur waktu
pembayaran. Jika Islam melancarkan kutukannya yang pertama
kali adalah kepada riba nasi'ah, hal itu bukan karena riba
yang lain kurang eksploitatif. Tapi, karena riba nasi'ah
adalah penyulut dan pembuka jalan bagi munculnya riba-riba
yang lain. Dan dalam ketiga macam riba itu, yang selalu
diuntungkan adalah orang-orang yang lebih kuat, sedang
korbannya adalah mereka yang lemah. Dengan keperkasaan modal
dan manajemennya, pengusaha kuat yang menerima suntikan dana
bank mampu melancarkan jurus-jurusnya agar usaha yang dikelola
bisa mendatangkan untung (surplus value) berlipat ganda;
sebagian untuk dibayarkan kembali pada bank bersama modal, dan
sebagian yang lain untuk dirinya sendiri. Semuanya itu atas
resiko yang dibebankan kepada masyarakat yang masuk dalam
jaring-jaring usahanya.
Resiko pertama, akibat ulah pengusaha yang harus mendapatkan
untung sebanyak-banyaknya, ditanggung oleh masyarakat yang
menjadi kaki tangan usahanya, yakni kaum buruh atau tenaga
kerja. Sedikit ada guncangan, jumlah mereka bisa dikurangi.
Dalam iklim usaha seperti ini, salah satu ukuran manajemen
usaha yang baik, katanya, adalah yang mampu menekan jumlah
tenaga kerja sesedikit mungkin tapi dengan kesetiaan dan
keterampilan kerja yang setinggi mungkin. Tenaga kerja yang
sedikit kurang ahli atau kurang setia, harus segera dicarikan
penggantinya, kalau perlu dengan mesin robot atau sejenisnya.
Maka, dalam sistem ekonomi yang berazaskan riba, selain
pengangguran masal selalu menyertainya, secara politis posisi
kaum buruh cenderung diperlemah. Khawatir dipecat, kemudian
tidak dapat menghidupi diri dan keluarganya, mereka di-fait
accompli untuk menerima nasib sebagaimana adanya. Tapi
penekanan jumlah tenaga kerja saja belum cukup menjamin
keuntungan yang berlipat ganda. Atas nama efisiensi, jam kerja
juga harus dicanangkan sepanjang-panjangnya. Mulai pagi buta
sampai malam, orang harus memeras pikiran dan tenaga,
menghitung angka dan melayani mesin, untuk memenuhi ambisi
majikannya.
Di atas pundak masyarakat luas, resiko yang harus ditanggung
dalam sistem ekonomi riba di abad modern ini, tidak kalah
beratnya. Didesak oleh panasnya riba yang menyertai modal
usahanya, para pengusaha bersiasat keras untuk, di satu pihak,
menekan harga bahan baku yang umumnya dibeli dari masyarakat
dengan harga yang serendah-rendahnya, sedang di lain pihak,
harga komoditi yang mereka produksi dijualnya dengan harga
yang setinggi-tingginya. Sejauh produk yang mereka hasilkan
hanya mengena kalangan atas yang terbatas, mungkin tidak
mengapa. Tapi jika komoditas itu menyangkut kebutuhan
masyarakat luas dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan,
sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan informasi) tentu
akan sangat besar akibatnya. Sementara itu, masyarakat yang
terpepet dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, adalah masyarakat
yang lemah untuk tetap setia memenuhi keharusan-keharusan
moral dan etikanya.
Tapi, dampak negatif dari ekonomi riba, bagaimanapun tidak
berhenti sampai di situ. Pengusaha yang dibakar oleh panasnya
riba, jika ada kesempatan juga dapat membagi bebannya kepada
siapa saja. Beberapa pos pengeluaran seperti pajak yang harus
dibayarkan kepada negara, biaya penanggulangan dampak
industri, kewajiban menjaga kelestarian sumber daya alam dan
sebagainya, tidak mustahil akan ikut jadi permainan mereka.
Kalau perlu dengan memberi suap (risywah) kepada pihak-pihak
yang berwenang, yaitu aparat birokrasi atau penguasa.
Oleh sebab itu, jika orang berbicara tentang keuntungan besar
yang diberikan lembaga bank dengan sistem ribanya, maka
keuntungan itu pada hakikatnya hanya keuntungan materi yang
dinikmati oleh kalangan yang sangat terbatas saja. Pertama dan
terutama adalah para bankir yang memiliki dan mengendalikan
bank. Kemudian kedua, di bawahnya, kalangan pengusaha kuat
yang mampu memanfaatkan fasilitas modal dari bank. Lalu ketiga
para nasabah kakap yang sengaja membungakan uangnya agar bisa
hidup enak tanpa usaha. Dan keempat, terakhir, para nasabah
sedang dan kecil yang mendepositokan uangnya sekedar untuk
keamanan atau gengsi. Yang tidak boleh dilupakan, dari keempat
orang yang merasakan keuntungan lembaga bank dengan ribanya,
jika ditelusuri lebih jeli lagi, akan ditemukan fakta bahwa
seringkali pihak tersebut pertama, kedua dan ketiga, orangnya
adalah itu-itu juga. Sebagai bankir, sekaligus ia adalah
pengusaha besar dan pendeposito kaliber. Orang-orang seperti
ini jumlahnya sangat sedikit. Tapi jaringan permodalannya
sedemikian rupa, ibarat gurita raksasa yang selalu siap
menghisap darah masyarakat luas sebagai pangsanya. Itulah kaum
konglomerat, "anak sah" dari sistem perekonomian kapitalis
modern dengan lembaga ribanya.
Bagaimana dengan masyarakat luas yang berekonomi lemah dan
makan pun tidak menentu, lembaga bank tidak punya urusan
dengan mereka. Lembaga perbankan hanya berkepentingan dengan
orang-orang kaya kelas atas, atau mereka yang ada di kelas
menengah. Sistem perekonomian yang demikian sudah barang tentu
tidak layak memperoleh pembenaran dari agama, justru karena
misinya yang secara mendasar bertentangan dengan idealisme
sosial agama itu sendiri. Yakni, bahwa "kekayaan di bumi ini
seharusnya tidak dimonopoli kalangan tertentu saja." (QS.
al-Hasyr: 7).
AGAMAWAN SEBAGAI TERGUGAT
Rasanya memang tidak mungkin umat Islam bisa bersepakat secara
eksplisit mengenai perlunya setiap orang menumpuk kekayaan
sebanyak-banyaknya, seperti yang dikritik Weber di balik teori
Etika Protestannya. Akan tetapi, hal itu bukan berarti umat
Islam membenci kekayaan duniawi dan tidak mau mencarinya. Di
timur maupun di barat, umumnya umat Islam memandang kekayaan
materi yang melimpah di tangan seseorang sebagai sesuatu yang
tidak perlu dicurigai. Sebagian bahkan memandang kekayaan
materi sebagai salah satu tanda perkenan Tuhan kepada manusia
yang memilikinya. Pandangan yang apresiatif terhadap kekayaan
materi ini terkadang, malah dilegitimasikan dengan sunnah
Nabi. Sekiranya Islam membenci kekayaan materi, tentulah
Muhammad tidak akan menikahi janda yang kaya raya seperti
Khadijah. Lebih jauh lagi, dari sunnah itu mereka
berkesimpulan tentang pentingnya kerjasama antara tokoh
keagamaan di satu pihak dengan kalangan hartawan (aghniya') di
pihak lain. Sejajar dengan kategori aghniya' ini adalah para
elite masyarakat, termasuk di dalamnya, elite politik dan
penguasa.
-------------------------------------------- (bersambung 3/8)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
|
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |