Road to Mecca
(Bonn, 18 Agustus 1980)
Menjelang akhir abad dua puluh, kita bisa mengatakan
bahwa dalam kurun waktu seratus tahun terakhir ini, tidak
ada seorang pun yang mampu menandingi jasa seorang Austria,
yaitu Muhammad Asad
--sebelumnya bernama Leopold Weist dan berasal dari
keturunan Yahudi-- dalam menjelaskan dan menyebarkan Islam
di Barat.
Pengaruhnya yang kuat tidak hanya karena otoritas
keilmuan dan kearifannya saja. Namun, juga didukung oleh
perilaku muslim yang tangguh ini sehingga mendapatkan
penghargaan yang pantas.
Muhammad Asad dilahirkan pada tahun 1900 M. Ia hidup
dalam kehidupan yang penuh petualangan yang memberikan
kepadanya banyak kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
yang banyak pula.
Ketika Asad menginjak usia 14 tahun, ia lari dari
rumahnya untuk bergabung dalam perang dunia pertama. Ia
dapat meyakinkan tentara Austria untuk memasukkannya dalam
barisan tentara. Pada usia 19 tahun, ia bekerja sebagai
pembantu Doktor Mornoe. Kemudian, setelah itu pada Maks
Rainhart. Kedua lelaki tersebut adalah produser film
terkenal pada masa awal perfilman.
Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi koresponden koran
Jerman yang paling terkenal "Frankfurt Zeitung" untuk
wilayah Timur Dekat. Setelah memeluk Islam, pada tahun 1926,
ia menjadi sahabat Raja Ibn Sa'ud dan Muhammad Iqbal.
Pada akhir Perang Dunia II, ia sedang berada di India.
Dan ketika negara Pakistan didirikan, ia menjabat sebagai
pembantu menteri luar negeri untuk urusan Timur Dekat, di
kementerian luar negeri negara yang masih bayi tersebut.
Kemudian mengirimnya ke New York sebagai perwakilan tetap
mereka di PBB.
Itu hanya sebagian dari peran penting yang dimainkannya
pada masa hidupnya yang pantas dikagumi. Ia menggabungkan
pemikiran dengan perbuatan, filsafat dengan agama, dan seni
dengan politik dalam format keislaman yang hakiki. Dengan
demikian, Asad dapat dianggap sebagai tokoh kebangkitan
Islam.
Saat ini, seluruh buku-bukunya dapat digolongkan dalam
kelompok klasik asli. Bukunya: "Islam di Persimpangan Jalan"
(1934), banyak berperan dalam mengembalikan kemuliaan dan
keyakinan dunia Islam terhadap kebudayaannya sendiri setelah
kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri di hadapan
perang kemajuan teknologi Barat. Semenjak lebih 50 tahun
yang lalu, di New Delhi, ia telah menulis dengan pandangan
yang jauh dan mengagumkan sambil memprediksi sebagai
berikut, "Tampaknya berkembangnya kegelisahan sosial dan
ekonomi, juga mungkin terjadinya rentetan Perang Dunia
dengan dimensi yang sebelumnya tidak diketahui, dan bermacam
ketakutan yang diciptakan dunia, akan menjebloskan terpaksa
mencari kembali ketenangan dan hakikat rohani. Pada saat
itulah dakwah Islam akan banyak mendapat sambutan."
Dalam otobiografinya yang terkenal "Road to Mecca",
Muhammad Asad menjelaskan proses ia memeluk agama Islam.
Dalam buku karangannya: "Dasar-dasar Negara dan
Pemerintahan dalam Islam" (1961), Muhammad Asad mengakui,
tanpa keraguan, bahwa tidak ada satu pun negara Islam yang
sebenarnya pada masa pasca-Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali,
keempat khalifah yang memerintah di Madinah. Ia juga
berpendapat bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah hanya menjelaskan
amat sedikit dasar-dasar pembentukan negara dan masyarakat
Islam.
Dalam karangannya tersebut, ia telah menarik
kesimpulan-kesimpulan yang amat penting, antara lain sebagai
berikut. Pertama, menteri fikih Islam dalam
perkembangannya selama delapan abad telah menjadi jauh lebih
besar dari asal pokoknya (syariat Al-Qur'an).
Kedua, dalam kerangka undang-undang (tasyri') yang
merupakan refleksi dari dasar pokoknya ini, negara Islam
mendapatkan beberapa ciri yang amat mirip dengan demokrasi
parlementer dan hukum positif, termasuk di antaranya Dewan
Kepresidenan dan Mahkamah Agung Amerika.
Ketiga, oleh karena itu, pergerakan Islam tidak
perlu menuntut untuk mengembalikan pemerintahan agama
kembali.
Di Madinah al-Munawwarah, di bawah beberapa kesulitan,
Asad dapat menyelesaikan karyanya yang paling cemerlang. Ia
menerjemahkan dan memberi komentar atas juz pertama kumpulan
hadits Bukhari: Shahih al-Bukhari, Tahun-tahun Pertama
Keislaman (1938) dan menerjemahkan Al-Qur'an seluruhnya:
"Risalah al-Qur'an" (1980).
Terjemahan yang agung ke dalam bahasa Inggris, dengan
bahasa Shakespeare ini mewujudkan karya sastra, ilmiah, dan
sejarah yang penting. Asad, dalam memberi catatan kaki
terhadap Al-Qur'an, banyak berhutang pada reformer besar
Mesir Syekh Muhammad Abduh, dengan bukunya "Risalah Tauhid".
Ia mengikuti Abduh dalam syarah-syarahnya dan dengan metode
rasional yang langsung menuju pokok masalah.
Dalam karyanya itu, ia selalu menyesuaikan dengan
penemuan terbaru dalam ilmu bahasa dan ilmu-ilmu alam. Juga
menghindari pemberian penghormatan imitatif atas tindakan
yang menipu dan mitos-mitos yang menutupi substansi hakiki
Islam, sehingga menolak untuk dikaji secara rasional.
Tokoh agung ini, dalam pembelaannya terhadap nilai-nilai
rohani dan etikanya, setelah mencapai usia delapan puluh
tahun, berpindah dari Madinah ke Tonja. Dari sana ia pindah
ke Lisabon, selanjutnya ke Spanyol, untuk membuktikan kepada
semua orang bahwa Muhammad Asad tetap jujur dengan dirinya:
sebagai kritikus, penggerak, dan tetap energik.
(sebelum, sesudah)
|