Bagaimana Menghadapi Maut?
(Oscodar, 11 Agustus l985)
Kuburan Karaka Ahmad Mezarligi adalah yang terbesar di
Timur, jika bukan di dunia. Ia menutupi dataran yang sangat
luas dan ditumbuhi semak-belukar di ketinggian Oscodar. Di
halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon kering itu, Anda
hanya melihat kuburan yang berjejer memanjang sampai
beberapa mil. Kuburan ini dirancang sedemikian rupa sehingga
seluruh mayat yang berbaring di atas sisi kiri tubuhnya
menghadap kiblat. Bentuk susunan yang berjajar pada tempat
peristirahatan yang membelah lembah itu membuat suatu
lukisan alam yang sangat unik. Seakan ada magnet yang
menarik segala sesuatu menuju Mekah.
Ada perbedaan utama antara kuburan Islam dan kuburan
Kristen. Islam tidak mengenal monumen atau patung yang
menunjukkan kemegahan --dalam hal ini, orang Turki lebih
toleran terhadap saudara Arab mereka, menyangkut penggunaan
marmer.
Adapun fenomena berkabung dan duka-cita seperti menangis
histeris, melolong, menjambak rambut, mengoyak pakaian, dan
membuat ritus-ritus di seputar kuburan, serta segala bentuk
ritual untuk mengangungkan seseorang yang telah wafat, itu
semua bukanlah perilaku Islam.
Hal ini disalahmengertikan oleh Barat bahwa menahan jiwa
sebagai ketidak-berperasaan, sedangkan sabar menghadapi
musibah dianggap kebekuan nurani. Pada saat rakyat Arab
Saudi menguburkan raja yang sangat mereka cintai, pada tahun
1953 di pemakaman umum tanpa tanda pembeda, dipandang
sebagai indikasi kemiskinannya.
Hal ini jelas tidak benar. Interpretasi yang sebenarnya,
adalah umat Islam dalam sikap negatif mereka terhadap
penyembahan pahlawan dan orang-orang besar yang telah wafat,
menunjukkan keinginan keras mereka untuk tidak tergelincir
kepada penyelewangan tauhid. Karenanya, mereka ingin
menegaskan bahwa tak ada peluang sedikit pun bagi
orang-orang hebat, para nabi atau orang-orang suci untuk
mempersekutukan Allah dalam keagungan-Nya setelah mereka
wafat, karena Allah berkuasa tanpa sekutu.
Di sisi lain, banyak orang Barat berlebihan dalam menilai
perbedaan antara alam semesta dan iman terhadap hari
kiamatnya Kristen dan Islam. Kedua agama ini menerima bahwa
pernyataan, "Setiap kali alam mendekati ujung akhirnya, alam
yang lain semakin dekat," (Abdul Qadir ash-Shufi). Seorang
Kristen yang taat, seperti halnya seorang muslim yang wara'
selalu mempersiapkan dirinya setiap hari menuju perjumpaan
dengan maut. Penantian yang lama ini disimbolkan pada puncak
Jabal Arafat, Mekah. Sikap ini mendapat legitimasi yang
istimewa di antara ritus-ritus haji lainnya.
Yang jelas, Al-Qur'an sarat dengan metafora surga dan
neraka. Dan, Muhammad saw telah menambahkan seluk beluk hari
kiamat lewat riwayat perjalanannya ke Quds (Isra) dan
kenaikannya menuju langit tujuh (Mikraj).
Tidak cukup sampai di sini --juga jika ada tambahan yang
wajib diketahui-- para sufi terlampau jauh memikirkan
detail-detail ilustrasi terhadap makna simbol-simbol dan
metafora-metafora akhirat. Shur, diartikan yang akan ditiup
sebelum akhir dunia. Mizan, diartikan timbangan kebajikan
dan kejelekan. Sedang Shirat, diartikan sebagai titian yang
dilewati seseorang menuju surga.
Dalam buku tentang "Kematian dalam Islam" karya Abdul
Rahim bin Ahmad al-Qhadi (1981), sang penulis sangat berani
dalam mengembangkan ilustrasi-ilustrasi imajiner terhadap
sesuatu yang ia namakan "peta geografi akhirat".
Sekalipun kerancuan-kerancuan ilustrasi sampai sedemikian
rupa, namun tidak membuat seorang muslim yang berakal
berkeyakinan bahwa para penyusun buku itu mengetahui
hakikatyang mereka bicarakan. Sungguh, buku tentang kematian
ini dengan segala muatannya tentang informasi-informasi
sejak lepasnya ajal sampai ke alam kebangkitan (al-Ba'tsu)
hanyalah menunjukkan kelemahan kita dalam memahami kehidupan
setelah mati lebih dari apa yang dijelaskan oleh wahyu
dengan gamblang.
Sungguh, aku ingin memijakkan kakiku di atas tanah keras.
Dan, kitab kematian yang kupilih adalah surat Yasin (ayat
ke36).
(sebelum,
sesudah)
|