|
"Katakanlah, 'Tidak Akan Menimpa kepada Kita
Kecuali Sesuatu yang Telah Digariskan Allah kepada
Kita'..."
(Brussel, 25 Februari 1985)
Orang-orang yang berprofesi, selain diplomat, tidak
mengalami beratnya gelombang serangan teroris sebesar yang
dialami para diplomat karena dua perjanjian terdahulu.
Karenanya, mereka banyak menerima saran para agen keamanan
tentang bagaimana cara menghindari bom ketika berada di
dalam mobil, ketika terjadi penculikan atau penembakan.
Jika aku mengikuti semua saran mereka, maka jaminan
keselamatanku adalah usaha ekstra ketat selama 24 jam
sehari. Dan, ini sungguh pekerjaan sia-sia.
Dengan ketololan ini, sebenarnya aku tidak dapat
memperpanjang ajalku walau sedetik. Keselamatan dengan
segala keajaibannya dan peluru yang ditakdirkan mengenai
kepalaku tidak mungkin meleset.
Hal ini bukan berarti seorang muslim tidak perlu mengenal
kelebihan pistol model Heckler dan Colt B 7/14, serta tidak
menjadi penembak yang jitu. Namun, pada saat yang sama, dia
tidak boleh punya prasangka bahwa hari-harinya tidak
dihitung. "Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan
kepada-Nya kita kembali." (al-Baqarah:156) "Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya...." (Ali
lmran:145).
Izin Allah tampaknya belum menghampiriku tatkala bom-bom
Amerika dan Inggris berjatuhan, lalu meledak di kotaku, tiap
dua pekan sekali sewaktu Perang Dunia II berkecamuk. Izin
Allah juga belum tiba, ketika aku selamat dari kecelakaan
mobil di daerah Mississippi, pada tanggal 28 Juni 1951. Juga
belum tiba, setelah 14 hari dari peristiwa itu, tatkala
orang gila di Tennessee melepaskan peluru yang menembus kaca
jendela gerbong kereta api yang kutumpangi, hanya meleset
beberapa inci dari kepalaku di tengah-tengah perjalanan
pulangku menuju Washington DC.
Izin Allah juga belum tiba untuk berpulang kepada-Nya,
ketika para dokter menemukan tumor di ginjal kiriku, pada
tahun 1976, saat aku bertugas sebagai Duta Besar di
Jedah.
(sebelum,
sesudah)
|