Demokrasi Islam
(Brussel, 14 Februari 1985)
Orang-orang Saudi sering dituduh sebagai fundamentalis
fanatik. Tuduhan ini tampak mengada-ada, jika dilihat
usaha-usaha mereka dalam memerangi khurafat dan dekadensi
moral.
Karena itulah, Pemerintah Saudi meratakan dan menutup
makam Siti Hawa di Jedah untuk umum. Mereka juga memberantas
meminta-minta pada kuburan di Baqi', Madinah.
Tuduhan-tuduhan ini aneh sekali jika dilihat usaha mazhab
Wahabi dalam memperbaiki tradisi-tradisi yang ada di
Mekah.
Sebagaimana diketahui secara mendetail dari buku Henrich
Von Maltsan, "Perjalananku Menuju Mekah". Ia berhasil
menyusup ke Kota Suci, tahun 1860 bahwa Mekah adalah sarang
opium, ganja, dan pencuri.
Akhirnya, bagiku tampak aneh bila melihat gaya hidup
rakyat Saudi yang sangat berkeinginan keras memegang teguh
ajaran-ajaran mereka, seperti yang telah dilakukan oleh umat
Kristen zaman dulu. Dan, "fundamentalisme fanatik" berarti
hilangnya basa-basi dan kemunafikan, maka ini adalah benar
karena memang terdapat fundamentalisme semacam ini, di
Saudi, dan mereka harus bangga dengan
kefundamentalisannya.
Mungkin mereka memahami bahwa kemajuan, dalam kondisi
tertentu, seperti kondisi kita akhir-akhir ini,
kadang-kadang menuntut untuk mengambil suatu model
percontohan yang telah teruji dan terbukti kebenarannya di
masa silam. Sikap ini yang mencerminkan proteksi yang
konstruktif adalah suatu sikap yang layak dihormati di
Barat, dengan syarat orang yang berpegang teguh itu bukan
orang Islam.
Tidak syak lagi bahwa bukan suatu langkah mundur bila
membela orang yang berpendapat bahwa solusi problematika
sosial yang ditempuh Muhammad saw dan Khulafa ar-Rasyidin
bisa dirujuk kembali sebagai model yang patut diteladani
dalam memecahkan problem-problem masyarakat pasca-revolusi
industri. Dan bukanlah bersahaja mengambil sikap negatif
seperti yang dilakukan sebagian para filosof dan teolog
metafisika dengan gaya yang digariskan oleh aliran filsafat
Asy'ariyah (874-933 M).
Apakah kritik mendasar terhadap konsep ilmu wujud yang
berbau filosof dan metafisika ini dianggap primitif hanya
karena ia datang sebelum David Heom, Immanuel Kant, dan
Ludwig Fitgenstein, beberapa abad yang lalu?
Kita tinggal mengatakan walaupun para pengkritik
fundamentalisme Islam di Barat telah memfokuskan pada sikap
Islam terhadap demokrasi parlementer yang pluralistik ala
Barat. Sesungguhnya, mereka pura-pura tidak mengetahui
kenyataan bahwa banyak orang-orang Liberal dan Marxis Barat
hidup di negara kerajaan konstitusional tanpa kedudukan
hukum khusus yang dinikmati oleh agama Kristen di
negara-negara ini yang tidak membuat tidur hati mereka,
walaupun hal itu bukan feodalisme. Sementara, Islam tidak
memaksakan hukum otokratisme keagamaan.
Tidaklah benar sama sekali isyarat bahwa sejarah Islam
bukan sejarah perkembangan demokrasi.
Selama orang-orang Kristen menderita akibat kejahatan
"hakim-hakim yang mendapat wangsit", "raja-raja yang
tercerahkan", "orang-orang arogan yang takut kepada Tuhan"
dan yang bergelar "bayangan Tuhan di muka bumi". Umat Islam
juga banyak menderita akibat hukum sultan-sultan yang tiran
dan amir-amir jahat yang despotis.
Sebenarnya, kita bisa menganggap sejarah konstitusi Islam
sebagai kisah perjuangan yang panjang antara ide yang
membebaskan, yakni hukum Al-Qur'an yang memutuskan hukum di
atas nilai-nilai keadilan dan persamaan serta melindungi
dari kekuasaan status quo yang keji, despotis, dan keji. Hal
inilah yang mendorong Prof. Karl C. Newman untuk
mempertanyakan di harian Frankfurt Zeitung: apakah hari ini
ada suatu negara yang tidak diktator di kolong langit
ini?
Adalah kenyataan bahwa Islam senantiasa memberi sumbangan
terhadap kemanusiaan dengan mengajukan satu bukti yang kuat
bahwa negara Islam kontemporer demokrasi bernuansa agama
--ala al-Maududi-- bisa saja dibumikan bukan hanya dalam
teori tapi dalam praktik. Sebuah konstitusi yang ditegakkan
atas dasar partisipasi dan kemitraan, yang bersumber dari
Al-Qur'an dan dokumen hak-hak asasi manusia (HAM).
(sebelum, sesudah)
|