Selamat Datang Pantheisme Hegelianisme, dan
Gnostisisme
(Brussel, 25 November 1985)
Tujuh pekan telah berlalu sejak aku membaca dalam majalah
Frankfurt Zeitung sebuah rubrik dialog agama yang berisi
kritik terhadap buku Leonardo Bot yang berjudul "Ketuhanan
Kebehasan". Urs Von Baltz meramalkan bahwa Hans
Kung --seorang profesor kondang asal Swiss yang
menggeluti bidang Teologi Katolik-- apakah ia sebenarnya
masih Protestan ataukah sudah masuk Islam?
Peristiwa ini menarik sekali. Lalu aku bertanya kepada
diriku sendiri; apakah yang kulihat hanya peristiwa pers
--sekadar dialog antara dua orang pakar-- atau aku sedang
menyaksikan terbukanya wawasan keilmuan yang lebih dewasa?
Apakah dialog ini menyiratkan adanya kekosongan keagamaan
atau kerinduan massa akan semacam ketenangan berakidah?
Jika ada orang beranggapan ada suatu indikasi yang
berbahaya bahwa orang-orang Kristen mulai meninggalkan
akidah dan gereja mereka, maka anggapan semacam ini tidaklah
mengagetkan. Oleh karena, mantan Presiden Jerman, Prof. Dr.
Karl Kartens, tidak berkeberatan membicarakan fenomena yang
mencemaskan ini, di Jenewa pada 29 Agustus 1985. Ketika itu,
ia berkata, "Apa pun yang menyangkut perkembangan masa
depan, maka sesuatu yang sangat membuatku cemas bukanlah
masalah bom atom, pencemaran lingkungan, atau ledakan
populasi penduduk di dunia ketiga. Namun, yang sungguh
mencemaskan diriku adalah bahwa kita sedang kehilangan
peradaban kita, setelah itu agama kita, dan ini menunjukkan
penghabisan kita; manusia menganggap dirinya bisa memecahkan
segala persoalan."
Kemudian ia berbicara tentang fakta-fakta yang
menyedihkan yaitu, "Hasil polling pendapat tentang akidah
agama menyatakan hanya 14 persen saja yang menyetujui
memegang teguh agama. Begitulah pemuda Jerman mengalami
dekadensi nilai. Hanya 6 persen umat Protestan dan
seperempat umat Katolik Jerman yang selalu pergi ke gereja
dengan teratur. Kegiatan nyata yang dilakukan pemuda-pemuda
di gereja-gereja Barat dan utara Eropa umumnya didasari
alasan politis.
Dialog di antara orang Kristen tersebut menghasilkan
kepentingan lain, sehubungan dengan umat Islam. Itu karena
Bove dan Kung kembali memasukkan jati diri Almasih dan
kemungkinan manusia dan Tuhan tidak terpisah dalam satu diri
dalam diskursus mereka?
Dalam konteks ini, jelas bahwa segala macam justifikasi
terhadap trinitas, sampai saat ini tampak pincang.
Sebagai contoh, kita lihat cetakan terbaru dari buku-buku
ajaran-ajaran Katolik yang ditujukan untuk konsumsi orang
dewasa dan menggunakan pendekatan sufistis; yaitu,
"Pengampunan adalah tuhan sendiri melalui tubuh Almasih
dengan menyatukan roh kudus. Sungguh makna signifikan
'pengampunan' dengan segala kedalaman maknanya, berarti
bahwa tuhan akan menerima kita tanpa syarat. Dia akan
meridhai dan mencintai kita lewat ketuhanan Almasih dalam
roh kudus.
Kita, melalui cinta akan bersatu dengan total. Dan, kita
lewat hubungan pribadi dan kebenaran kita dengan tuhan akan
memberi saham secara pribadi terhadap kehidupan tuhan." Oleh
karena kata-kata idealis-utopis dari teks-teks ateisme di
atas, al-Hallaj,
seorang sufi muslim dieksekusi pada tahun 922.
Dalam ungkapan-ungkapan kosong tersebut, hubungan antar
kalimat diikat dengan permainan kata-kata. Ajaran-ajaran ini
berusaha menjadikan kedudukan Almasih sebagai "anak tuhan"
yang bersatu dengan-Nya lebih bisa diterima lewat usaha
pendekatan semua manusia terhadap kedudukan ini.
Selamat datang Wihdatul Wujud! Layak disebut juga, Prof.
Hans Faldenfels dalam diskusi kontemporer seputar konsep
trinitas (Frankfurt Zeitung edisi November 1985). Ia
berpendapat bahwa inkarnasi tuhan adalah ini hakikat. Karena
berubah dan berpindahnya tuhan kepada manusia berarti ia
telah "menanggalkan dirinya dari dirinya". Faldenfells
sampai pada hipotesis yang menakutkan, mungkin malah
menjadikan penanya menyiratkan kengerian, "Sungguh,
inkarnasi tuhan telah berpindah ke orang lain."
Selamat datang Hegel! Dalam "catatan buat pemimpin
redaksi" keesokan harinya, penulis mengambil sikap yang
menyerupai sikap elit pencerah (Barat) ia menulis, "Sungguh
risalah Almasih tidak ditujukan untuk akal kita, tetapi
ditujukan untuk roh dan jiwa kita. Sungguh tuhan telah
menciptakan kita pada asalnya dengan memandang kita sebagai
anak-anak cahaya yang sempurna dan makhluk-makhluk rohani
yang suci." Penulis kata-kata ini tidak memberitahukan
kepada kita, bagaimana mungkin risalah-risalah kenabian bisa
sampai ke dalam jiwa tanpa jalan akal.
Selamat datang Gnostisisme! Semua bualan ini belum
mencapai puncaknya, lihatlah buku yang ditulis oleh
sejarahwan Prancis, Jean Delimo, yang dirilis baru-baru ini
dengan judul "Inilah yang Kuimani" (Grasset;1985)
Dia benar ketika memulai hipotesisnya bahwa akidah
Kristen memiliki karakter revolusioner radikal dalam konsep
tentang tuhan. Dan, hanya sedikit saja yang mampu menangkap
hakikatnya pada suatu waktu.
Tetapi Delimo, setelah itu, memperkuat pendapat Kristen
yang salah yang mengatakan bahwa selama tuhan Almasih adalah
tuhan, maka tuhan mungkin akan menjadi lemah, rendah, dan
penyakitan. Sebenarnya, tuhan yang sesuai dengan logika akan
senantiasa menanggung rasa sakit beserta dan melalui
orang-orang yang susah dan nestapa ketika Almasih menyatu
dengan mereka. Logika ini membuat Delimo mengungkapkan
harapannya pada kejadian perubahan-perubahan besar menuju
yang lebih baik pada saat manusia menyadari bahwa, "Tuhan
merasakan, seperti kita bahkan lebih dari apa yang kita
rasakan, akan kejahatan alam yang keras ini." Apakah
keutamaan tersembunyi dalam perasaan merintih kepada
tuhan?
Berlawanan dengan kontradiksi-kontradiksi ini, konsep
Islam tentang Tuhan tidak diimbasi kerancuan, akan tetapi
berkarakter logika rasional yang kuat dan jelas. Sungguh
Allah, seperti yang Dia deskripsikan sendiri dalam Al-Qur'an
adalah: Yang Mahasatu, Maha Esa, tidak beranak tidak pula
diperanakkan, Maha Pencipta, Mahasempurna, tidak ada yang
menyamainya, Maha Mengatur, Mahamutlak, Mahasuci dari segala
kekurangan, dan Mahakaya. Allah Mahakuasa, pemberi hidayah
kepada manusia melalui nabi-nabi-Nya, tanpa membutuhkan
inkarnasi, mengadopsi anak, atau mengorbankan diri-Nya.
Menghadapi interpretasi-interpretasi yang berhubungan
alasan ketuhanan dalam kemanusiaan Almasih, hendaknya
seseorang merenungi isi surat al-Ikhlas, yang selalu aktual
sepanjang 1400 tahun yang lalu. Allah berfirman, "Katakanlah
bahwa Allah itu Esa (Satu). Allah tempat bergantung. Tidak
beranak, tidak pula diperanakan. Dan, tidak ada seorang pun
yang menyamai-Nya."
(sebelum,
sesudah)
|