Islam dan Hak Asasi Manusia
(Dalam kereta yang menuju Brussel, 5 Desember 1985)
Dalam artikel majalah al-Jazirah al-Arabiyah, edisi
November 1985, Fathi Utsman mengutarakan bahwa pemikiran
Islam kontemporer tampak kabur dalam hal konsep hak asasi
manusia (HAM), menurut Islam (hlm. 11). Sungguh, ia tepat
dalam hal ini.
Jika setiap kali umat Islam dihadapkan pada pertanyaan
tentang prestasi-prestasi spektakuler Revolusi Amerika dan
Prancis pada abad ke-18, reaksi mereka sungguh kontradiktif
dalam bentuk yang tidak jelas.
Pada satu sisi, kita temukan di antara umat Islam
terdapat para pemikir cemerlang, seperti Muhammad Asad dan
Fathi Usman --walaupun mereka bukan mujaddid kontemporer--
mengemukakan masalah apa pun dengan gamblang tanpa tedeng
aling-aling, selama Islam dan logika masih sesuai dengan roh
kontemporer.
Di sisi lain, kita dapati penulis semacam Ogozan Symsik,
dalam majalah Hicret edisi awal November 1985, menolak
demokrasi dengan mengatakan, "Apa itu demokrasi? Ia tidak
islami."
Lebih dari itu, negeri-negeri Islam tidak satu suara
dalam melegalisasi HAM, baik yang berhubungan dengan
Deklarasi Internasional HAM yang dikeluarkan oleh Badan Umum
PBB (10 Desember 1948) atau dokumen-dokumen internasional.
Hal itu khususnya yang menyangkut hak-hak pidana, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya (19 Desember 1966).
Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Mali, Maroko, Syria, dan
Tunisia segera menjustifikasi secara semu terhadap
dokumen-dokumen ini, sementara yang lainnya ragu-ragu. Di
antara kelompok kedua, Arab Saudi dan Pakistan, sejak 1980
memainkan peranan penting dalam mengembangkan rancangan HAM
yang islami. Hal itu berpulang pada kenyataan bahwa konsep
HAM Barat tidak sesuai dengan syariat Islam. Di antaranya
hukuman terhadap orang-orang murtad, masalah persamaan hak
antara wanita dan pria serta masalah non-muslim yang tidak
boleh memegang kekuasaan tertinggi di negara Islam.
Sebenarnya fikih Islam tidak dapat menutup mata terhadap
adanya sistem perbudakan --yang kini dilegalkan di berbagai
tempat. Fikih juga hendaknya menyadari kenyataan, bahwa
Al-Qur'an, dalam banyak ayat, mengelaborasi topik
perbudakan. Secara implisit, Al-Qur'an ingin membatasi
praktiknya jika tidak menghapusnya sama sekali.
Pada saat yang sama, kasus murtad adalah lebih sederhana
dari yang dibayangkan, walaupun orang-orang murtad diperangi
pada abad pertengahan. Sungguh, bila kita menengok surat
al-Maa'idah:33, hal itu semestinya tidak ditakwil sebagai
perubahan damai terhadap akidah agama. Akan tetapi, kita
berkeyakinan bahwa sanksi yang disebutkan dalam Al-Qur'an,
hanya ditegakkan karena pengkhianatan dan konspirasi jahat
terhadap negara Islam. Ini adalah bentuk subversif, yaitu
mayoritas negara-negara modern menjatuhkan hukuman mati.
Mudah juga membela dengan logika akan pelarangan bagi
non-muslim untuk memerintah di negara Islam, khususnya dalam
kerangka perlindungan penuh yang dijamin oleh syariat Islam
terhadap minoritas non-muslim, dan sebagainya.
Sesuai dengan Undang-undang Amerika, maka anakku
Alexander yang dilahirkan sebagai warga Amerika tidak bisa
menjadi presiden Amerika Serikat karena ia dilahirkan di
luar AS. Jika kaidah ini tidak dikatakan pelanggaran HAM,
maka kita harus menerima --dengan format yang sepadan--
perlindungan posisi-posisi strategis tertentu bagi umat
Islam di negeri --yang mayoritasnya-- muslim.
Hal ini menuntutku kepada kontradiksi antara konsep Barat
dan syariat Islam dalam bidang emansipasi wanita, karena
tidak ada alasan mengingkari bahwa syariat Islam menawarkan
antitesis (terhadap alternatif Barat) yang bertolak dari
pembagian secara alamiah terhadap peran dan tugas
masing-masing. Bertolak dari sini, syariat Islam memegang
prinsip: persamaan dalam pergaulan tidak diterapkan, kecuali
dalam situasi dan kondisi yang relevan, bukan dalam situasi
dan kondisi yang berbeda. Dalam segala kondisi, syariat
Islam berusaha memelihara kehormatan wanita dan mencegah
eksploitasi laki-laki atas kelemahan wanita dalam perbedaan
biologis. Begitulah konsep Islam: persamaan dalam kemuliaan
dengan perbedaan beban; persamaan dalam kedudukan dengan
perbedaan peran; dan persamaan dalam nilai dengan perbedaan
kemampuan.
Tidaklah tepat jika memperbandingkan bahwa wanita karir
di Barat, sebagai konsekuensi logis kebebasan yang mereka
nikmati, telah berhasil mewujudkan keinginan dan kebahagian
mereka, lebih dari yang bisa dicapai oleh saudari mereka
yang di Timur. Banyak yang berpendapat selain itu. Walhasil,
keraguan menggelayuti diriku terhadap sistem hidup yang
tidak bisa menjamin kehidupan yang mulia bagi wanita. Karena
persoalan ini bergantung sepenuhnya pada interaksi seseorang
dengan orang lain dan dirinya sendiri.
Sesungguhnya, tolok ukur kebahagian adalah hati. Namun,
ada satu hal yang seyogianya dihormati oleh para pengkritik
dari Barat, yaitu umat Islam menjadikan Allah SWT sebagai
Pemegang kata putusan terhadap apa yang berhubungan dengan
HAM dan hal ini termaktub dalam Al-Qur'an.
(sebelum, sesudah)
|