Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM KEWAHYUAN MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH (2/4) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. 2. PAHAM KEWAHYUAN UMMAT ISLAM Pada dasarnya paham kewahyuan ummat Islam adalah senada, baik dari golongan Khawarij, Murji'ah, Syi'ah Zaidiyyah, Muktazilah, Ahlu Sunnah, dan golongan al-Maturidiyyah, selain Syi'ah Imamiyah dan sekte-sekte Syi'ah lainnya yang ekstrem, disamping aliran Ahmadiyah. Tentunya kita ingin bertanya mengapa di kalangan ummat Islam sampai terjadi demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dicari faktor-faktor penyebabnya, motivasi-motivasi yang tersembunyi, dan situasi intern ummat Islam sendiri pada saat itu. Barangkali perlu dijelaskan disini, bahwa sebelum adanya usaha penulisan al-Quran kembali dalam bentuk seragam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Khalifah 'Usman ibn 'Aff'an, sehingga muncullah Mushaf al-Quran yang diakui dan diterima oleh ummat Islam dan dijadikan sebagai mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, memang harus diakui adanya beberapa mushaf yang ditulis oleh beberapa orang sahabat Nabi, yang berbeda satu dengan yang lain. Seperti mushaf 'Umar ibn Khattab, mushaf 'Ali ibn Abi Talib, mushaf 'A'isyah, Hafsah, mushaf 'Abdullah ibn 'Abbas, dan Ibn Mas'ud, dan lain sebagainya Sebagai ilustrasi adanya perbedaan-perbedaan dalam mushaf-mushaf tersebut, dengan mushaf 'Usmani, adalah sebagai berikut. Coba bandingkan antara mushaf yang kita miliki sekarang dengan mushaf-mushaf lainnya seperti pada mushaf 'Umar terdapat kalimat: [Tulisan Arab] Pada mushaf 'A'isyah terdapat kalimat: [Tulisan Arab] Dan pada mushaf 'Abdullah ibn Masud, seperti: [Tulisan Arab] Dalam perbedaan-perbedaan tersebut diatas, tampaknya mushaf Ibn Mas'ud, lebih banyak daripada mushaf-mushaf sahabat yang lain, apabila dibandingkan dengan teks al-Quran yang kita miliki sekarang yaitu mushaf-mushaf 'Usmani, demikian Sya'ban.7 Oleh sebab itu, di kala mushaf-mushaf sahabat itu dikumpulkan untuk dimusnahkan oleh Khalifah 'Usman, agar nantinya tidak menimbulkan ketegangan dan permusuhan intern ummat Islam, sesudah Mushaf 'Usmani yang disepakati sebagai mushaf standar untuk seluruh ummat Islam, maka yang paling keras reaksinya terhadap rencana Khalifah tersebut adalah Ibn Mas'ud, dan ia enggan membakar mushaf pribadinya. Seandainya 'Abdullah ibn Mas'ud tersebut, tetap mempertahankan pendiriannya, tentu ia merupakan kendala utama bagi terwujudnya kesatuan ummat Islam. B. PAHAM KEWAHYUAN KAUM SYI'AH Kaum Syi'ah yang dimaksud disini adalah lebih dikhususkan kepada golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Mengingat aliran ini, sangat besar pengaruhnya dan tampak mau berkembang di Indonesia, Syi'ah Isna 'Asyariyyah ini sekarang berpusat di Iran, dengan keberhasilan mereka mendirikan negara Republik Islam Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khumaini, sesudah ia dapat merebut kekuasaan Sah Iran, Riza Pahlevi pada 11 Februari 1979. Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa saat terbentuknya paham Syi'ah, tampak lebih banyak ditentukan oleh masalah politik. Kekalahan yang bertubi-tubi, banyak imam-imam mereka yang menjadi korban kekerasan politik dinasti Umayyah, dan gerakan-gerakan perlawanan mereka dapat ditumpas. Dalam kondisi yang demikian itulah golongan ini menjadi antipati terhadap Bani Umayyah yang pada hakikatnya mereka dipandang sebagai golongan Sunni. Di sisi lain, juga berakibat timbulnya sikap yang eksklusivistik pada aliran Syi'ah ini, dan sikap seperti ini, tampak sangat menonjol dalam doktrin-doktrinnya yang kontroversial. 1. HUBUNGANNYA DENGAN DOKTRIN KEIMAMAN Paham kewahyuan Syi'ah, rupanya tidak bisa terlepas dari masalah keimaman, Keimaman bagi mereka merupakan sesuatu yang paling fundamental dalam ajaran Syi'ah, karena itu, status keimaman bagi kaum Syi'ah tidak jauh berbeda dengan status kenabian. Setiap imam Syi'ah, dalam hal ini adalah Syi'ah Isna 'Asyariyyah, dipandang ma'sum yakni terjaga atau suci dari dosa. Para imam itu, bagi kaum Syi'ah selalu diyakini sebagai tokoh yang senantiasa mendapat bimbingan wahyu dari Tuhan, sebagaimana halnya dengan Syi'ah yang gullah atau ekstrem, seperti Syi'ah Mufaddiliyyah, Syi'ah al-Qariyyah yang beranggapan bahwa wahyu dan nabi itu tidak pernah terhenti sampai hari kiamat. Menurut aliran al-Mufaddiliyyah, apabila sifat ketuhanan telah menyatu dalam diri seseorang, maka dia adalah nabi, namun jika ia menyeru kepada manusia untuk mengikuti petunjuk-petunjuknya, maka dia adalah rasul. Akan tetapi, bagi golongan al-Qariyyah beranggapan, bahwa orang yang belum mencapai derajat insan Kamil (manusia sempurna), kadang-kadang ia dapat juga menerima wahyu, yaitu wahyu ta'lim (wahyu pengajaran).8 Konsep wahyu ta'lim ini senada dengan konsep kewahyuan golongan Ahmadiyah yang dikenal dengan wakyu muhaddas, wahyu walayah atau wahyu tajdid yaitu wahyu yang diperoleh secara berdialog dengan Tuhan, wahyu kewalian atau wahyu pembaharuan. 2. HUBUNGANNYA DENGAN SIKAP SYI'AH YANG EKSKLUSIVISTIK Sikap seperti ini boleh jadi karena kaum Syi'ah selalu mengkultuskan para imam mereka. Sikap merasa benar sendiri tersebut rupanya didorong keinginan hak-hak legitimasi kekhilafahan. Karena itulah kaum Syi'ah tidak segan-segan menuduh kaum Sunni, suka memanipulasikan hadis-hadis dan ayat-ayat al-Quran yang menyangkut kepentingan Ahlul-Bait Nabi, maksudnya adalah 'Ali ibn Abi Talib. Sangat boleh jadi sikap yang eksklusivistik tersebut bermula dari rasa fanatisme kelompok. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima kebenaran dari pihak lain, dan tentunya mereka akan mempertahankan paham mereka sekalipun keliru atau menyimpang dari prinsip-prinsip keislaman. Selain itu, mereka juga memakai dalil-dalil atau bukti-bukti baik rasional maupun tekstual yang mungkin sulit diterima oleh pihak lain. Dalam hubungan ini, sikap antipati kaum Syi'ah terhadap golongan Bani Umayyah yang semula berpangkal pada masalah khilafah, namun kemudian berkembang pada masalah-masalah lain diluar masalah politik. Sebagai akibat praktis dari sikap yang bermusuhan tadi, kaum Syi'ah yang datang kemudian, tidak mau lagi mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Ketiga Khalifah tersebut dalam pandangan kaum Syi'ah dianggap sebagai penyerobot-penyerobot hak-hak Ahlul-Bait, yaitu hak 'Ali untuk menjadi Khalifah pertama. Oleh sebab itu, usaha penulisan kembali al-Quran dimasa Abu Bakr kemudian disempurnakan penulisannya kembali dalam bentuknya yang seragam oleh Khalifah 'Usman, dan hasilnya telah diterima dan diakui oleh suluruh ummat Islam, demikian pula telah diakui juga oleh 'Ali ibn Abi Talib, namun bagi pengikut Syi'ah tetap tidak mau menerima dan mengakui sebagai mushaf satu-satunya yang harus diyakini keotentikannya. Penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini rupanya merupakan bukti nyata dari rencana global Ibn Saba' yang berpura-pura memihak 'Ali ibn Abi Talib, untuk meruntuhkan kejayaan Islam dari dalam dengan memecah-belah ummat Islam dan dengan meracuni akidah mereka. Penolakan kaum Syi'ah diatas, berbeda dengan sikap 'Ali sendiri yang mengakui dan memuji akan kebenaran dan kemuliaan usaha 'Usman dalam mengantisipasi perpecahan diantara ummat Islam dengan mengatakan: "Seandainya aku yang menjadi khalifah, tentu akan aku lakukan sebagaimana yang dilakukan Usman.9 Yaitu mengadakan penulisan kembali al-Quran dalam bentuk yang seragam sebagai yang telah diupayakan oleh Khalifah Ketiga. Dengan demikian, penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani tampak lebih diorientasikan pada kepentingan politik mereka terhadap golongan Sunni. Bahkan mereka, demikian ad-Dihlawi, melemparkan tuduhan-tuduhan kepada tokoh tokoh dan para pemimpin Sunni seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sebagai telah memanipulasi surah-surah dan ayat-ayat al-Quran, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan Ahlul-Bait seperti Surah al-Walayah dan sebagainya.10 Untuk itu, perlu disini disajikan sebuah contoh dari Surah Walayah yang diyakini kaum Syi'ah, bahwa surah itu sengaja dibuang oleh kaum Sunni, karena mereka, demikian tuduhan Syi'ah, menganggap surah tersebut memuat keutamaan 'Ali ibn Abi Talib. Dalam Kitab Quran versi Syi'ah Persia, Surah Walayah ini dicantumkan, dan dikutip oleh ad-Dihlawi dalam sebuah bukunya yang berjudul: Mukhtasar at-Tuhfah al-Isna 'Asyariyyah halaman 33 adalah sebagai berikut: [Tulisan Arab] Dari kenyataan-kenyataan diatas, dapat diduga bahwa penolakan kaum Syi'ah terhadap Mushaf 'Usmani ini dikarenakan para penulisnya bukan dari "pihak 'Ali ibn Abi Talib." Jika kaum Syi'ah menerima mushaf tersebut, berarti mereka harus mengakui eksistensi kekhilafahan sebelum 'Ali, dan yang demikian itu, bagi Syi'ah berarti kekalahannya dan kemenangan di pihak kaum Sunni. Dan sebagai konsekuensi penolakan tersebut, maka sebagai alternatif terakhir ialah kaum Syi'ah harus berpegang pada mushaf 'Ali ibn Abi Talib, atau yang dikenal dengan "mushaf Fatimah." Kemudian, apakah mereka sudah merasa puas dengan penolakan itu? Tidak, mereka juga membuat kedustaan lain selain pada al-Quran. Al-Kulaini, demikian nama seorang tokoh Syi'ah yang mereka sejajarkan dengan al-Bukhari, dalam meriwayatkan hadis-hadis dari imam-imam Syi'ah sebenarnya hanya rekayasa al-Kulaini sendiri dengan mencatut beberapa nama dari keturunan 'Ali ibn Abi Talib, dalam meriwayatkan "hadis-hadis" versi Syi'ah, dan ia mengatakan bahwa dirinya telah meriwayatkan (hadis} dari Hisyam ibn Salim dan 'Abdullah: "Sesungguhnya al-Quran yang dibawa oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., adalah 17.000 ayat. Demikian pula hadis yang diriwayatkannya dari Hakam ibn 'Utaibah, ia berkata: 'Ali Zainal Abidin ibn Husain telah membaca sebuah ayat al-Quran yang berbunyi demikian: [Tulisan Arab] "Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus seorang rasul dan nabi tidak pula mengutus seorang muhaddas sebelum kamu Muhammad ..."11 Selanjutnya ia berkata: "Ali ibn Abi Talib adalah seorang muhaddas." Disini 'Ali, oleh kaum Syi'ah dianggap sebagai seorang yang dapat berdialog langsung dengan Tuhan, karenanya ia mendapat wahyu muhaddas, sebagaimana keyakinan orang Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Jelaslah disini bahwa penggunaan istilah wahyu muhaddas oleh Ahmadiyah, rupanya telah lebih dahulu digunakan oleh golongan Syi'ah. Dengan demikian jelaslah bagi kita, betapa besar pengaruh ajaran Syi'ah ke dalam aliran Ahmadiyah dan pengaruh tersebut tampak lebih dominan terutama dalam masalah kewahyuan dan kenabian. Pengaruh tersebut, sangat boleh jadi lewat ajaran kaum Sufi Syi'ah di daerah dimana Mirza Ghulam Ahmad tinggal atau dibesarkan. (bersambung 3/4) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |