|
|
Ahmadiyah dalam Perspektif |
PAHAM KEWAHYUAN MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH (3/4)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Pemusnahan mushaf-mushaf pribadi di kalangan sahabat Nabi,
dan hanya Mushaf 'Usmani saja yang diakui sebagai mushaf
standar rupanya mendorong kaum Syi'ah untuk mempertahankan
mushaf 'Ali, kemudian mushaf 'Ali tersebut, mereka tambah
ayat-ayatnya menjadi 17.000 ayat. Sesudah itu mereka
melemparkan tuduhan terhadap lawan-lawan politiknya Seorang
pengarang kitab Faslul-Kitab fi Isbati Kitabi Rabbil-Arbab,
yang bernama Husain ibn Muhammad Taqi an-Nuri at-Tabarisi,
menuduh para pembesar sahabat seperti: Abu Bakr, 'Umar, dan
'Usman, telah mengubah al-Quran dengan menghilangkan
sebagian dari surah-surah dan ayat-ayatnya yang berkenaan
dengan keutamaan Ahlul Bait, juga mengenai perintah untuk
mengikuti Ahlul-Bait, serta larangan memusuhinya. Sebagai
yang dicontohkan dalam Surah al-Insyirah, dimana salah satu
ayatnya menurut mereka dibuang oleh kaum Sunni, yaitu ayat:
[kata-kata Arab].
Disamping itu mereka juga berkeyakinan bahwa dalam Mushaf
'Usmani ada surah yang panjang yang dibuang, yang mereka
namakan sebagai Surah al-Walayah.12
Paham kewahyuan Syi'ah tersebut menunjukkan kepada kita
betapa menyimpangnya pemahaman mereka tentang al-Quran,
apabila dibandingkan dengan pemahaman kaum Sunni. Karena
sikap mereka yang eksklusif inilah yang mendorong mereka
menghalalkan cara-cara yang telah diharamkan oleh Islam,
yaitu dengan menambah-nambah ayat atau surah dalam al-Quran,
sehingga mereka berpendirian bahwa al-Quran yang sekarang
berada di tangan ummat Islam adalah palsu, demikian kaum
Syi'ah. Adapun al-Quran yang benar adalah al-Quran yang
diambil melalui imam-imam mereka. Selanjutnya ad-Dihlawi
menambahkan, golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah melarang pada
para pengikutnya, berdalil dengan menggunakan Mushaf 'Usmani
sebab menurut pendirian mereka bahwa mushaf tersebut adalah:
1. Kalimat-kalimatnya yang telah diubah atau dihilangkan
sebagian surah-surahnya, demikian pula tentang tertib urut
sebagian surah-surahnya ("tidak asli lagi").
2. Penulisan Mushaf 'Usmani mereka ibaratkan seperti penulisan
Kitab Taurat dan Injil. Karena sebagian penulisnya adalah
kaum munafiq dan penipu agama.
3. Bahwa Kitab Taurat dan Injil telah di-nasakh (digantikan)
oleh al-Quran. Sedangkan al-Quran yang beredar sekarang
banyak sekali yang telah dirusak. Dan tidak seorang pun yang
mengerti (keaslian) Kitab al-Quran ini kecuali tiga orang
imam Syi'ah. Siapa tiga orang yang dimaksud itu, tampaknya
sulit diketahui, sebab sumber itu tidak menyebutkan atau
mengisyaratkannya.13
Demikian pendirian kaum Syi'ah dalam mempertahankan paham
kewahyuan mereka dan tampak bertolak belakang dengan paham
kaum Sunni.
C. PAHAM KEWAHYUAN AHMADIYAH
Aliran Ahmadiyah yang tampak berkembang dengan subur di
Indonesia, pada dasarnya mempunyai beberapa kesamaan dengan
paham kewahyuan Syi'ah Isna 'Asyariyyah, terutama paham
kewahyuan dari Ahmadiyah Qadiani. Kaum Qadiani lebih ekstrem
daripada Ahmadiyah Lahore dalam mempertahankan "ajaran"
Mirza Ghulam Ahmad, sedangkan Ahmadiyah Lahore tampak lebih
moderat. Kota Qadian adalah tempat dibesarkannya Mirza
Ghulam Ahmad, kota tersebut merupakan bagian dari wilayah
Punjab - India dan di kawasan India inilah tempat
berlangsungnya pertemuan agama-agama besar - Hindu, Budha,
Islam, dan Kristen - yang membawa budaya serta tradisi yang
beraneka ragam. Selain itu, ia juga berdampingan dengan
Persia yang menjadi pusat kegiatan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Dengan demikian, perkembangan Islam di kawasan ini sudah
barang tentu mendapatkan corak tertentu yang penuh inovasi
(kebid'ahan) dan pengaruh Syi'ah tentunya cukup dominan
lewat para propagandisnya yang berbaju mistik atau tarekat.
Sebab dengan mistik dan tarekat inilah ajaran-ajaran agama
yang sudah berbau Syi'ah, lebih mudah diserap oleh
masyarakat Muslim India.
Apabila kondisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam di
India saat itu dikaitkan dengan kehidupan Mirza Ghulam
Ahmad, yang tampaknya tidak banyak mengenyam pendidikan di
kala mudanya, maka sudah tidak pelak lagi, bahwa Mirza dalam
menerima ajaran Islam kurang bahkan tidak selektif -mana
Islam yang murni dan mana pula Islam yang ajarannya sudah
ternodai berbagai kebid'ahan- sehingga ajaran-ajarannya
sulit diterima oleh golongan Sunni sampai hari ini. Sebelum
ia diyakini dan dipropagandakan oleh pengikut-pengikut
setianya sebagai nabi, rupanya Mirza lebih tampak sebagai
pengikut Sunni daripada ia sebagai seorang Syi'i, demikian
dalam berbagai pernyataannya untuk menghadapi serangan
lawan-lawannya, sesudah ia memproklamasikan dirinya sebagai
al-Masih atau al-Mahdi yang dijanjikan.14
Pengakuannya sebagai 'Isa al-Masih, sedangkan al-Masih. yang
dijanjikan itu adalah seorang nabi, dan seorang nabi dalam
menerima ajaran-ajaran dan Tuhan adalah melalui wahyu, maka
lantaran pengertian yang terakhir inilah lahir paham
kewahyuan dalam Ahmadiyah, yang bertentangan dengan paham
kewahyuan golongan Sunni, namun banyak persamaannya dengan
paham kewahyuan golongan Syi'ah Isna 'Asyariyyah.
Adapun faktor-faktor yang membentuk paham kewahyuan golongan
Ahmadiyah ini, antara lain adalah sebagai berikut:
1. HUBUNGANNYA DENGAN IDE PEMBAHARUANNYA
Cita-cita pembaharuan yang dicanangkan oleh Mirza Ghulam
Ahmad sebagai tokoh pendiri aliran baru dalam Islam, yaitu
Ahmadiyah, rupanya ingin menyatukan atau menghimpun tiga
kekuatan agama besar -Islam, Hindu, dan Nasrani- dibawah
pengaruh kepemimpinannya, adalah merupakan masalah besar
yang justru akan membawanya kedalam suatu dilema terhadap
ide pembaharuannya sendiri. Pengakuannya sebagai penjelmaan
dari tiga tokoh karismatik yakni sebagai al-Mahdi, 'Isa
al-Masih., dan sebagai Krishna, jelas menunjukkan adanya
pengaruh kemahdian Syi'ah lewat hadis-hadis maudu' atau
palsu yang dicipta oleh propagandis-propagandisnya atau
hadis-hadis da'if (lemah) yang banyak dimuat dalam
Kitab-Kitab Sunan.
Dalam kaitan ini, dapatkah Mirza dengan pengakuan
kekrishnaannya memurtadkan warga Hindu dari agama mereka,
dan dengan kemasihannya, dapatkah Mirza menggoyahkan
keimanan kaum Nasrani saat itu? Dan dengan pengakuannya
sebagai al-Mahdi yang menerima wahyu, justru menimbulkan
pertentangan pendapat intern ummat Islam yang membawa pada
perpecahan yang dirasakan sampai saat ini. Kaum Ahmadiyah
berpendirian bahwa nabi dan wahyu itu masih tetap akan turun
sampai kapan pun, karena keduanya sangat diperlukan oleh
ummat manusia sepanjang zaman. Pengertian wahyu seperti ini
memang diperlukan untuk menafsirkan wahyu tasyri' yang
disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad, guna memperoleh
pemahaman yang aktual seirama dengan tuntutan zamannya.
Pemahaman seperti ini, tidak jauh berbeda dengan pemahaman
kaum Syi'ah. Menurut golongan terakhir ini, bahwa seorang
imam bagi mereka ibarat mandataris Nabi Mulhammad SAW., yang
harus menuntun dan melindungi ummatnya, untuk itu diperlukan
petunjuk langsung dari Tuhan yaitu apa yang mereka namakan
sebagai wahyu, lihat kembali pada halaman 115 di atas.
Dugaan sementara orang, bahwa wahyu itu benar-benar sudah
terhenti sesudah Nabi Muhammad, demikian Nazir Ahmad seorang
tokoh Ahmadiyah Qadian, dan Allah tidak berfirman lagi
kepada manusia, anggapan seperti itu adalah salah sama
sekali. Karena wahyu adalah sesuatu yang dapat menghilangkan
keragu-raguan, menambah pengetahuan, dan menyembuhkan hati
yang luka. Oleh sebab itu, wahyu tidak dikhususkan kepada
nabi saja, dan kadang-kadang Allah berfirman kepada selain
nabi, sebagaimana dalam firman-Nya S. asy-Syura: 51:
"Dan tiadalah Allah berfirman kepada manusia kecuali dengan
(perantaraan) wahyu atau dari balik hijab (tabir pemisah
antara alam fisik dengan alam gaib)."
Kata libasyarin dalam ayat diatas, Nazir Ahmad
menafsirkannya sebagai manusia apakah dia seorang nabi atau
bukan, sebagaimana wahyu yang diterima oleh ibu Nabi Musa,
kaum Khawari, dan Maryam, ibu Nabi 'Isa.15
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kata wahyu dalam
al-Quran, banyak dipakai dalam berbagai ungkapan dan tidak
selalu diartikan sebagai firman Allah kepada para rasul atau
nabi, tetapi digunakan untuk pengertian yang lain seperti:
ilham, memberi isyarat dan lain sebagainya. Sebab, kalau
setiap kata wahyu selalu diartikan sebagai firman Tuhan
kepada nabi dan rasul, maka di dalam al-Quran juga ada ayat
sepertidalam Surah al-An'am: 121, yang apabila diartikan
seperti pengertian diatas, maka pengertiannya jauh sama
sekali dari maksud yang sebenarnya. Disinilah tampak
beberapa kelemahan argumen-argumen yang dikemukakan oleh
pengikut-pengikut Ahmadiyah. Demikian pula ayat atau
hadis-hadis yang dijadikan dalil tampak kurang logis, karena
diinterpretasikan sesuai dengan keyakinan mereka.
Dari uraian diatas, jelas bagi kita bahwa ide pembaharuan
Mirza Ghulam Ahmad, tidak bisa terlepas dari masalah
kewahyuan, sekalipun wahyu yang diterimanya itu berbeda
dengan wahyu yang diterima oleh Rasulullah. Namun demikian,
ide pembaharuan yang direalisasikannya adalah merupakan
faktor pendorong lahirnya paham kewahyuan baru yang
kontroversial.
(bersambung 4/4)
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240
| |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |