Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM MAHDI DALAM PERSPEKTIF RASIONAL (2/4) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. Disamping itu, perkawinan antara puteri Yazdajir III dengan Husain, cucu Rasulullah, juga merupakan faktor tersendiri yang mendorong sebagian besar di antara mereka lebih cenderung menjadi pengikut Syi'ah yang menginginkan hak legitimasi kekhilafahan berada di tangan keturunan 'Ali dengan Fatimah. Oleh karena itu, lepasnya jabatan khalifah dari tangan Ahlul-Bait ke tangan pihak lain dipandang sebagai penyerobotan hak-hak Ahlul-Bait. Itulah sebabnya mereka ingin menjatuhkan dinasti Umayyah dengan jalan kekerasan walaupun, karena kokohnya kekuasaan Umayyah, mereka selalu gagal dan bahkan mereka selalu mendapat tekanan, baik di masa Umayyah maupun 'Abbasiyyah. Karena penderitaan yang berkepanjangan inilah, mereka sangat mengharapkan kehadiran al-Mahdi al-Muntazar untuk membalas dendam mereka. Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa faktor yang membentuk kefanatikan Syi'ah Iran terhadap paham Mahdi agak berbeda dengan paham Mahdi Syi'ah lainnya. Dampak dari paham Mahdi Syi'ah Iran tersebut terlihat nyata dalam sikap politik bangsa itu sampai hari ini, terutama sesudah Ayatullah Khumaini berkuasa di Iran. Rupanya paham Mahdi ini tidak hanya menjadi milik golongan Syi'ah saja, tetapi di kalangan Sunni pun dikenal paham tersebut. Di masa Dinasti Umayyah, terutama di masa-masa kemundurannya, muncul pula paham seperti itu, namun tokohnya bukanlah al-Mahdi, tetapi Sufyani. Demikian pula halnya di kalangan dinasti 'Abbasiyyah. Mereka menunggu-nunggu munculnya al-Mahdi lain dari keturunan 'Abbas. Timbulnya harapan seperti itu, tidak lain karena mereka menginginkan kembalinya kejayaan mereka yang telah silam. Oleh karena dinasti terakhir ini menggunakan bendera hitam sebagai lambang kemenangannya, maka ciri seperti ini juga muncul dalam hadis-hadis Mahdiyyah yang mereka pegangi. Ada riwayat yang menyatakan, bahwa pada suatu saat nanti akan lahir sekelompok manusia yang datang dari arah timur (Khurasan) berbendera hitam dengan membawa kemenangan. Bahkan ada riwayat lain yang secara jelas menyebutkan bahwa mereka berperang melawan putera Abu Sufyan dari dinasti Umayyah dan para pendukungnya. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, warna hitam merupakan lambang kejayaan pasukan 'Abbasiyyah yang dipimpin oleh Salman al-Farisi dari Khurasan. Dengan demikian, nyata sekali kepalsuan hadis Mahdiyyah tersebut. Kenyataan seperti itu tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh golongan Umayyah. Dalam penyebaran paham Mahdi tersebut, rupanya mereka juga tidak ketinggalan untuk membuat hadis-hadis palsu sebagaimana dilakukan oleh golongan Syi'ah, agar paham Mahdi yang mereka jadikan sebagai landasan ideal perjuangan politiknya dapat diterima oleh masyarakat luas dan dapat memotivasi mereka untuk menjadi pendukung ide perjuangannya. Dalam penuturan Ahmad Amin, pembuat hadis Mahdiyyah untuk golongan Umayyah adalah Khalid ibn Yazid ibn Mu'awiyah.4 Selanjutnya ditegaskan, bahwa kepandaian membuat hadis-hadis Mahdiyyah tersebut ialah dengan cara meninggalkan teks-teks hadis yang dapat dipakai oleh siapa saja dan untuk masa kapan saja. Apabila yang menang itu golongan 'Ali atau golongan 'Abbasiyyah umpamanya, maka hadis-hadis Mahdiyyah tersebut dapat mereka pergunakan untuk kepentingan mereka.5 Penggunaan nama "Sufyani" sebagai nama tokoh yang ditunggu-tunggu oleh golongan Mu'awiyah seperti halnya al-Mahdi yang ditunggu-tunggu oleh kaum Syi'ah, mungkin sekali diambil dari nama salah seorang tokoh putera Umayyah, yaitu Abu Sufyan, dan karena itu nama "Sufyani" sekaligus menjadi identitas golongan ini. Jika hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Syi'ah itu menunjukkan, bahwa kedudukan Mahdi diunggulkan sehingga ia narnpak lebih tinggi daripada kedudukan 'Isa al-Masih, maka tidak tertutup kemungkinan ada kelompok lain yang kurang sependapat dengan cara-cara Syi'ah tersebut, dan mencobanya untuk menyejajarkan kedudukan 'Isa al-Masih dengan al-Mahdi, bahkan mengidentikkannya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah versi lain, seperti hadis yang dijadikan pegangan golongan Ahmadiyyah: "Tidak ada Mahdi selain 'Isa ibn Maryam." Dalam hubungan ini, Ibn Khaldun sebagai sosiolog Muslim, mencoba mengomentari hadis Mahdiyyah diatas, yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Khalid. Perawi ini, menurut penilaian al-Hakim dan al-Baihaqi, adalah orang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) sebagai Ahli hadis dan sebagai orang yang boleh meriwayatkan hadis.6 Bahkan seorang Ahli hadis, Sayyid Ahmad, menilai hadis tersebut sebagai palsu dan tidak berdasar. Selanjutnya dijelaskan bahwa hadis diatas, oleh sementara orang diinterpretasikan: [kata-kata Arab] artinya, "tidak seorang (bayi) pun dalam ayunan yang dapat berbicara, selain 'Isa ibn Maryam." Sedangkan Ibn Abi Wasil menafsirkan demikian: "Tidak ada Mahdi yang petunjuknya serupa dengan petunjuk 'Isa Ibn Maryam." Senada dengan hadis Mahdiyyah diatas, Imam Ahmad meriwayatkan sebagai berikut: "Hampir tibalah saatnya orang yang hidup diantara kalian, akan dapat menjumpai 'Isa ibn Maryam sebagai Imam Mahdi dan sebagai hakim yang adil." (HR. Ahmad). Hadis ini secara tegas menyamakan antara Mahdi dan 'Isa al-Masih sebagai satu pribadi. Yang menjadi pertanyaan, apakah kehadiran kembali 'Isa al-Masih di dunia ini melalui proses reinkarnasi sebagaimana diyakini oleh golongan Ahmadiyah ataukah tidak? Untuk menjawab pertanyaan di atas, al-Maududi menjelaskan: "Bahwa kehadiran 'Isa yang kedua kalinya tidaklah melalui proses kelahiran kembali, yang jelas dipergunakan term nuzul' atau turun. Dan kehadirannya bukan sebagai nabi yang mendapatkan wahyu. Ia tidak membawa Syari'at baru dan tidak menambah atau mengurangi Syari'at Nabi Muhammad. Dia pun tidak mengadakan pembaharuan atau membentuk sekte baru, serta tidak mengajak manusia untuk beriman kepadanya. Kehadirannya yang kedua ini hanya untuk tujuan tertentu, yaitu memberantas fitnah Dajjal."7 Penegasan al-Maududi ini, hanyalah mewakili paham Sunni pada umumnya, tentang 'Isa al-Masih. Namun penegasan tersebut juga mengundang timbulnya pertanyaan baru, yaitu: Apakah selama ini 'Isa a.s., masih hidup di alam malaikat, di alam jin, atau di alam ruh lainnya? Jika ia membenarkan alternatif yang terakhir, bahwa 'Isa bisa hidup di alam ruh, maka akan timbul lagi pertanyaan berikutnya. Apakah dia manusia setengah malaikat, manusia setengah jin, ataukah manusia sebenarnya yang dapat hidup di alam ruh dan terlepas dari hukum alam yang berlaku bagi manusia lainnya? Barangkali pertanyaan terakhir ini, sekaligus merupakan kunci jawaban golongan Sunni dengan disertai interpretasi intuitif, serta mengembalikan persoalan tersebut kepada Masyi'atullah atau kehendak mutlak Tuhan, sebagaimana kepercayaan mereka terhadap Khidir yang pernah hidup semasa dengan Nabi Musa. Masalah tersebut (turunnya 'Isa a s.), menurut Dr. Ahmad asy-Syirbashi, telah menjadi perdebatan diantara para ulama baik dulu maupun sekarang. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa para ulama pada umumnya memandang masalah tersebut bukan merupakan keyakinan pokok, karena tidak ada dasarnya yang mutawatir (otentik) sehingga tidak perlu diperdebatkan.8 Disamping itu perlu dicatat, bahwa hadis sahih hanyalah menghasilkan zan (dugaan) yang tidak bisa dijadikan sebagai dalil dalam masalah keyakinan. Apalagi masalah turunnya 'Isa al-Masih ini sudah menjadi kepercayaan kaum Yahudi dan Nasrani, dan al-Quran tidak menyinggungnya sedikitpun. Al-Quran hanya menegaskan: "Sungguh Aku (Allah akan mematikan kamu ('Isa) dan mengangkatmu kepada-Ku ..." (S. Al-Ahzab: 55) Ayat diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa Nabi 'Isa termasuk makhluk Allah yang mengalami proses kematian sesuai dengan Sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk setiap ciptaan-Nya, sebagaimana yang dialami oleh manusia lainnya.9 Oleh sebab itu, informasi akan kehadiran 'Isa al-Masih, sebagaimana dinyatakan dalam hadis Bukhari dan Muslim, untuk kedua kalinya masuk akal, apabila informasi tersebut diinterpretasikan sebagai lambang kebangkitan Islam di abad modern setelah manusia kehilangan makna spiritual dalam hidupnya. Dengan demikian kerancuan atau kesimpangsiuran hadis-hadis Mahdiyyah, jelas menunjukkan kepalsuan hadis tersebut. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan beberapa pendapat para 'ulama' dan cendekiawan Muslim tentang hal tersebut. 2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG HADIS-HADIS MAHDIYYAH SEBAGAI HADIS PALSU Pertama, pendapat Syaikh Muhammad Darwisy, yang mengatakan dalam bukunya Asna'ul-Matalib: "Hadis-hadis Mahdiyyah semuanya adalah lemah, tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan seorang tidak boleh terkecoh oleh orang yang (berusaha) mengumpulkannya dalam berbagai karyanya." (bersambung 3/4) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |