Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM MAHDI DALAM PERSPEKTIF RASIONAL (3/4) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. Kedua, pendapat Sayyid Ahmad, seorang ahli hadis, dalam bukunya Ibrazul-Wahmil-Ma'mun, terutama mengenai hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh golongan Ahmadiyah: "Sungguh hadis Mahdiyyah ini, bukanlah hadis da'if (lemah) sebagai yang dikatakan oleh si pengeritik hadis (Ibn Khaldun) dan sekalipun (pengeritik) lain mengatakan yang demikian itu, bahkan hadis itu batal, palsu dan dibuat-buat, tidak ada dasarnya hadis itu dari ucapan Nabi SAW., juga bukan ucapan Anas Ibn Malik, ataupun ucapan Hasan al-Basri."10 Ketiga, pendapat Muhammad Farid Wajdi dalam karya besarnya, Da'iratul-Ma'arif al-Qarnil-'Isyrin, menyatakan: "Maka sesungguhnya di dalam hadis-hadis Mahdiyyah itu, tergolong (pernyataan) yang keterlaluan, dan merupakan pukulan keras bagi sejarah, serta sangat berlebih-lebihan, tidak memahami pelbagai persoalan manusia, dan jauh dari sunnatullah (hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semua ciptaanNya), yang dikenal oleh manusia. Pada mulanya pembaca tidak merasa, bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu adalah hadis-hadis palsu yang sengaja dibuat oleh tokoh-tokoh yang sesat, atau oleh para pendukung ('Ali) untuk sebagian ahli propagandisnya yang menuntut kekhilafahan di Arabia atau di Magrib (Afrika)."11 Selain itu, Ahmad Amin juga berpendapat, bahwa hadis-hadis Mahdiyyah itu merupakan hadis yang mengandung cerita bohong, sebab dalam kisah kehidupan al-Mahdi telah dipenuhi dengan cerita yang aneh-aneh dan kabar gaib tentang peristiwa zamannya. Disamping itu, terdapat juga apa yang disebut al-Jafr yaitu ilmu ramalan yang ditulis pada kulit lembu, tentang apa yang akan dialami oleh Ahlul-Bait, dan menurut kaum Syi'ah, ramalan tersebut diriwayatkan dari Ja'far as-S-adiq.12 Berita-berita aneh semacam itu, banyak juga terdapat dalam kitab yang disebut kitab al-Malahim yang dimiliki oleh sebagian ummat Islam. Anehnya berita-berita semacam itu oleh pengarangnya dijadikan sebagai hadis, dan menghubungkannya dengan Rasulullah. Sebagian lagi dihubungkan dengan Ahlul-Bait. Dan sebagian yang lain menghubungkannya dengan Ka'ab al-Akbar dan Wahb ibn Munabbah. Demikianlah pendapat sementara para sarjana Muslim. Tampaknya mereka meneliti dan melihat dengan jeli hadis-hadis Mahdiyyah itu, tidak hanya dari aspek 'ulumul-hadis atau ilmuilmu hadis, akan tetapi juga menghubungkannya dengan aspek-aspek sejarah yang obyektif, terutama sejarah ummat Islam itu sendiri. Dengan cara seperti ini, seorang akan lebih selamat dan tidak mudah terjebak ke dalam paham-paham yang keliru dan sesat. Hadis-hadis Mahdiyyah yang kontroversial itu, rupanya merupakan akibat dari terjadinya persaingan ketat antara kelompok-kelompok Muslim yang sedang berselisih pada saat itu untuk merebut pengaruh yang lebih luas di bidang politik. Kecenderungan politik yang didasari dengan paham agama, tampaknya mendorong terciptanya paham keagamaan yang bermacam-macam Di saat seperti itulah masing-masing pihak membuat hadis-hadis palsu tentang al-Mahdi dengan berbagai versinya. B. BEBERAPA INTERPRETASI TENTANG AL-MAHDI Perbedaan pendapat mengenai tokoh Mahdi sebagaimana digambarkan oleh para pengikut paham (Mahdi) tersebut, menunjukkan adanya bermacam-macam penafsiran mengenai sifat dan sikap kepemimpinan tokoh al-Mahdi. Kaum Syi'ah pada umumnya menilainya sebagai pemimpin otoriter yang memiliki hak-hak istimewa, kejam, dan ingin membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Bahkan Syi'ah Imamiyyah dan sebagian diantara golongan Syi'ah Rafidah berkeyakinan bahwa tiga orang khalifah (Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman), Mu'awiyah, Yazid, Marwan, Ibn Ziyad, dan lain sebagainya, serta semua pembunuh para Imam Syi'ah, akan dibangkitkan kembali untuk diadili oleh Imam Mahdi dan disiksanya sebelum munculnya Dajjal. Kemudian mereka dimatikan lagi dan akan dibangkitkan untuk kedua kalinya di hari kiamat. Selanjutnya dijelaskan oleh Syarif Murtada, bahwa Abu Bakr dan 'Umar akan disalib pada sebuah pohon oleh al-Mahdi.13 Selain interpretasi tentang al-Mahdi yang otoriter ini, tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan di sini, interpretasi kaum Sufi (Syi'ah) yang bertolak dari pemahaman mereka mengenai hadis [kata-kata Arab]. Semula hadis ini ditafsirkan bahwa tidak ada Mahdi selain Mahdi yang ada hubungannya dengan Syari'at Nabi Muhammad, sebagaimana halnya hubungan 'Isa a.s., dengan Syari'at Nabi Musa. Kemudian penafsiran ini mengalami perubahan dan penafsiran baru bahwa hal itu mengisyaratkan akan munculnya seorang laki-laki yang akan membawa pembaharuan terhadap hukum-hukum Islam dan akan menegakkan kebenaran. Diantara kaum Sufi tersebut berpendapat bahwa al-Mahdi itu adalah keturunan Fatimah dengan 'Ali, dan ada pula yang berpendapat bahwa al-Mahdi itu bisa dari keturunan siapa saja.14 Interpretasi kaum Sufi inilah yang tampaknya mengilhami konsep Mirza Ghulam Ahmad tentang al-Mahdi, mengingat kakeknya berasal dari Persia, dan ia pun kemudian dibesarkan di India yang relatif banyak mendapatkan pengaruh paham Syi'ah yang disebarkan oleh para pengikut Sufi itu. Adapun menurut interpretasi golongan Ahmadiyah, al-Mahdi ini bukan pimpinan atau tokoh agama bayangan yang suka berperang dan selalu menghunus pedang untuk menghakimi musuh-musuhnya. Dia adalah "juru damai" antar kelompok-kelompok agama yang berselisih dan saling bermusuhan satu sama lain. Interpretasi kemahdian seperti ini merupakan refleksi keadaan ummat beragama di India pada saat itu, baik di kalangan ummat Islam maupun non-Islam. Kelompok-kelompok agama -Islam, Hindu, dan Kristen- yang berselisih itu, ingin ia persatukan lewat Islam. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu dilakukan pembaharuan pemikiran keagamaan. Kedua versi interpretasi diatas rupanya menunjukkan bahwa masing-masing golongan ingin mewujudkannya dalam kenyataan. Dengan demikian, penafsiran terhadap al-Mahdi sangat dipengaruhi oleh keadaan ummat saat itu. Dan oleh sebab itu, masing-masing kelompok dalam merealisasikan ketokohan al-Mahdi, baik dari kalangan Syi'ah maupun Ahmadiyah, melekatkan sifat dan watak yang berbeda terhadap al-Mahdi itu. Dalam hubungan ini Ibn Khaldun menginterprestasikan tentang al-Mahdi sebagai berikut: "Sesungguhnya dakwah agama dan (propaganda politik) kerajaan, tidak akan (berlangsung) dengan sempurna, kecuali dengan mewujudkan sesuatu kekuatan yang fanatik, guna menegakkan dan mempertahankan (dakwah atau propaganda) itu sehingga sempurnalah pertolongan Allah untuknya."15 Dengan demikian, munculnya al-Mahdi dalam teori 'asabiyah Ibn Khaldun adalah suatu pertanda atau fenomena lahirnya kelompok masyarakat baru yang ingin mewujudkan cita-cita politik yang didasarkan pada ide millenarium. Untuk itu ide tersebut harus dipacu dengan semangat fanatisme kelompok sehingga dapat mewujudkan kekuatan baru untuk memenangkan perjuangan. Oleh sebab itu, kelompok masyarakat baru tersebut tidak akan memperoleh kekuatan dan tidak pula dapat mencapai tujuan perjuangan, tanpa ikut sertanya para propagandis yang memiliki fanatisme yang kuat terhadap Islam dan Ahlul-Bait. Teori tersebut menegaskan bahwa kemunduran dan kekalahan suatu ummat disebabkan oleh lemah atau memudarnya semangat fanatisme dari jiwa ummat itu sendiri. Interpretasi tentang al-Mahdi model Ibn Khaldun ini, tampaknya lebih sesuai dengan panalaran ummat dewasa ini daripada harus membayangkannya dalam ujud al-Mahdi yang amat abstrak dan imajinatif. Term al-Mahdi ini rasanya lebih cocok ditafsirkan sebagai pembawa ide-ide baru guna membangun kembali dunia Islam yang tenggelam dalam keterbelakangan, kepesimisan, dan kedangkalan wawasan dalam menghadapi tantangan zamannya. Kemudian ia dapat mengangkat harkat Islam dan ummat Islam dalam arti yang sebenarnya, sehingga ummat Islam dapat diselamatkan dari ekses-ekses modernisasi yang bersifat materialistis, dan sikap latah atau suka meniru tradisi kaum kafir. Seperti diketahui Rasulullah dalam sabdanya pernah mengemukakan sinyalemen sebagai berikut: "Sungguh kalian (nanti) akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak, pastilah kalian mengikuti mereka." Aku menyela, "Apakah (mereka itu) orang Yahudi dan Nasrani?" Jawab beliau: "Siapa lagi?" (HR. Bukhari dan Muslim dari Sa'id al-Khudri). Lagi pula, dengan pernyataan Rasulullah akan kehadiran kembali Isa al-Masih, sebagaimana disebut dalam kitab Sahih Bukhari dan Muslim, yang diberi mandat untuk membunuh Dajjal (musuh) Islam, hal itu bisa ditafsirkan sebagai lambang akan munculnya kaum pembaharu yang selalu sadar akan bahaya yang senantiasa mengancam dan menteror rohani ummat. Disamping itu mereka pun selalu berorientasi pada kepentingan Islam dan ummat Islam dan berjuang untuk menyelamatkannya dari rongrongm kebebasan hawa nafsu yang ingin mencari kepuasan lahiriah, sebagai ekses dari penerapan teknologi canggih dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Dengan demikian, orang tidak perlu mengaku dan menyatakan dirinya sebagai al-Mahdi maupun sebagai 'Isa al-Masih, apa lagi dengan mengajarkan keyakinan atau peribadatan yang penuh khurafat dan bid'ah. (bersambung 4/4) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |