|
|
Ahmadiyah dalam Perspektif |
PAHAM MAHDI SYI'AH (7/8)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah
ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya,
terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani,
Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di
Samarra.36 Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn
Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan
sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia dianggap hilang
secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan
kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan,
sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian
menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran
ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya
kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan
Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah
berdirinya dinasti Safawiyah dimana para penguasanya
mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa
al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab
resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il,
ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah
formula khutbah dan azannya, yaitu dengan menyebutkan
nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan
menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula
semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas
kesyi'ahan.37
C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN
DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME
Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang
berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah
Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.
1. MASALAH KEIMAMAN
Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental,
terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas.
Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka
guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai
mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang
harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu
merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun
tekstual.
Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau
memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai
kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga
harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha
pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir
(Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum
dari ayat-ayat al-Quran.38 Alasan kedua ini senada dengan
argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam
Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir
al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada
hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir
Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji
dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn
Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara
riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam
al-Kabir:
" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan
membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib
sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya
adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah
kepemimpinan Allah."
Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara
berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain,
dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari
keturunan Ahlul-Bait.
Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih
berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan
tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah
Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam
adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan
dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili
oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi
dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah,
sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa
mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti
mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39
2. MASALAH KEGAIBAN IMAM
Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan
erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam
Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan
[kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan
bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya
menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita
pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat,
ia menyatakan:
"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali,
aku tidak akan membenarkan kematiannya"40
Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai
kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang
kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka
janganlah kalian mengingkarinya."41 Demikianlah kepercayaan
kaum Syi'ah terhadap imam mereka.
Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk
mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang
terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara
sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian teori
tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan,
karena aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup
serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, akan
tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi
dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul
bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait
yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn
Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang
al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.
Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang
mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan
muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang
disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad
asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran
tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi
mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu perantara) antara
[kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum
Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42
Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran
al-Babiyyah.
Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori
ini adalah pengembangan dari teori yang pertama diatas.
Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad
as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang
telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan
sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada
Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali
sampai datang saat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu
sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah
merajalela di atas bumi.43 Sehingga dalam kepercayaan
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib
sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan
duta yang terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah
al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi
absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai
Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama
dalam hirarki Syi'ah Dua belas.
3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH
Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang
akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah
bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah
'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi
Harun dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena
kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi
mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan
yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib
dan akan kembali lagi.44 Adanya kesamaan antara kepercayaan
kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan
sesudah kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara
akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah,
Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah
Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan
ajaran golongan Saba'iyyah.
Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis
tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.
Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah
terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan
yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka
amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu.
Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen
dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang
kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun
kadang-kadang apa yang diyakininya itu bertolak belakang
dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan
keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai
itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan
kehadirannya kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah
Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45
(bersambung 8/8)
-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240
| |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |