Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM MAHDI AHMADIYAH (3/6) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. "Ketahuilah olehmu, bahwasanya kamu sekalian jika tidak patuh kepada al-Masihul-Mau'ud (Mirza Ghulam Ahmad) mengenai apa saja yang kalian perselisihkan, dan tidak mengimaninya sebagaimana para sahabat mengimani Rasulullah SAW, maka kalian tergolong orang-orang yang memisahkan diri dari Rasul Allah dan bukan pengikut Ahmadiyah."17 Selanjutnya ditambahkan bahwa Mirza membenarkan pernyataan tersebut, namun ia sendiri tidak mengaku sebagai nabi sebagai yang didakwahkan oleh Mubalignya. Sekalipun demikian, tampaknya ia mencoba menjelaskan kepada orang banyak, tentang kenabian yang dimaksudkan oleh juru dakwahnya. Adapun istilah "nabi" yang dimaksud adalah an-Nabiyyun-Naqis atau an-Nabiyyul-Muhaddas. Tampaknya sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terpecahnya aliran ini menjadi dua golongan, sesudah pendirinya wafat. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas. Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma'al-Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya dengan mengatakan: Aku bukan nabi tetapi aku adalah Muhaddas (orang yang diajak berdialog oleh Tuhan). Akan tetapi sesudah tahun itu, Mirza menegaskan bahwa dirinya adalah nabi. Pengakuannya ini dijelaskan pula oleh puteranya, Basyiruddin Mahmud Ahmad, bahwa ayahnya tidak lagi berpegang pada akidahnya semula (sebelum tahun 1901) dan tahun itu adalah merupakan masa pergeseran dari akidahnya yang lama kepada akidahnya yang baru (mengaku sebagai nabi).18 Dalam kegiatan dakwahnya di tahun 1904, ia pun mengaku tidak hanya sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, tetapi ia juga mengaku sebagai Krishna. Ia merintis usahanya melalui majalah bulanan berbahasa Inggris seperti Review of Religions from Qadian, sebagai media yang dianggap banyak menarik orang-orang Barat dengan mendapat tantangan melalui berbagai mass media. Memang yang menjadi misi kemahdiannya di berbagai negeri di Barat adalah untuk meluruskan pandangan mereka yang keliru terhadap Islam. Rencananya ini lebih lanjut dikembangkan oleh pengikutnya sesudah ia wafat. Kemudian di tahun 1912 didirikan misi Islam di Inggris, sedangkan di Jerman Barat didirikan pada tahun 1922.19 Keinginan menyebarkan ide kemahdiannya di Eropa ini, telah ia canangkan dalam karyanya Nurul Haq yang ditulis dua tahun sesudah ia mengaku sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan. Disamping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat Islam. Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam. Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah. Keadaan ini rupanya tidak jauh berbeda dengan peristiwa yang pernah menimpa ummat Islam Indonesia, yaitu antara pengikut Islam Jama'ah dengan mereka yang bukan pengikut Islam Jama'ah. Dalam hubungan ini, Maulana Muhammad 'Ali menggambarkan, bahwa kekerasan dan permusuhan yang dialamatkan kepada aliran yang baru lahir itu, tampaknya mereka tidak mendapat pembelaan dari siapa pun. Mereka dikucilkan melalui fatwa-fatwa Ulama, perkawinan dengan mereka dipandang tidak sah dan barang-barang milik mereka, halal dirampas tanpa dapat dituntut di pengadilan. Akan tetapi, mereka tetap tabah dan berdiri tegar menghadapi ujian yang datang dan golongan Islam, Hindu, dan Kristen itu. Golongan Hindu dipimpin oleh Pandit Lekhram, 'Abdullah Atim dari golongan Kristen, dan Maulana Muhammad Husain dari Batala mewakili golongan 'Ulama Hadis dari kelompok Hanafi, Sunni, dan Syi'ah.20 Dalam menghadapi ujian ini Mirza menyatakan: "Celakalah kaumku! Sungguh mereka tidak mengenalku, mereka mendustakan, mencaci-maki, mengkafirkan, serta melaknatiku sebagai yang dilakukan oleh orang-orang kafir."21 Dalam aktivitasnya mempropagandakan tugas kemahdiannya di kalangan kaum Hindu di tahun 1904, ia pun mengatakan, bahwa dia diutus oleh Tuhan, tidak hanya untuk orang Islam dan Kristen, tetapi juga untuk orang-orang Hindu. Disaat itulah Mirza menyatakan dirinya sebagai Krishna. Dengan demikian, sifat kemahdian Ahmadiyah ini tampak jangkauannya lebih luas daripada sifat kemahdian Syi'ah. Sebelum ia wafat di tahun 1905, ia berwasiat pada pengikutnya, agar dibentuk suatu masyarakat yang disebut sebagai Sadar Anjuman Ahmadiyah. Selanjutnya ia pun menunjuk penggantinya yang kemudian diistilahkan sebagai khalifahnya. Setelah Mirza merasa sudah dekat ajalnya, ia menyerahkan tugas kemahdiannya kepada penggantinya yang masih muda usianya, untuk menyebarkan kebenaran Islam yang telah didakwahkannya, dan dua tahun kemudian, Mirza masih sempat menulis buku seperti Haqiqat al-Wahyi, Barahin Ahmadiyah bagian ke 5, dan Chashmah Ma'rifah dan lain sebagainya. Ia pada akhir April 1908, pergi ke Lahore dan disana ia menyelesaikan bukunya terakhir ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan persaudaraan antara orang-orang Hindu dan Islam. Ia menderita sakit diare yang kronis, dan pada 26 Mei 1908, ia menghembuskan nafas terakhir dan jenazahnya dimakamkan di Qadian.22 Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwasanya Milza Ghulam Ahmad adalah seorang yang banyak menderita berbagai macam penyakit, sebagaimana yang dicentakan lewat tulisan-tulisan Mirza sendiri dan para pengikutnya.23 Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah ơni tampaknya cukup mendapat sambutan di kalangan masyarakat Kristen di Barat yang sedang dilanda oleh krisis spiritual di satu pihak, dan di pihak lain masyarakat Barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit mereka cerna itu. Hal ini mengingatkan kita pada keberhasilan aliran Baha'i di Eropa dan Amerika Serikat di bawah pimpinan 'Abb-as Afandi yang memfokuskan kegiatan propagandanya di kalangan Kristen dan Yahudi, sesudah aliran ini gagal mempengaruhi ummat Islam. C. FASE PERPECAHAN DAN PENGEMBANGAN (1908-1924) Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya terbatas pada masa hidup pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan "khalifah" sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim. Pemikiran pertama, erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi yang memiliki jangkauan luas, baik di kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim. Tampaknya pemikiran ini menjadi salah satu faktor penyebab perpecahan dari dalam. Dan pada pemikiran kedua, tidak hanya berkaitan dengan doktrin Mahdiisme Ahmadiyah saja, akan tetapi juga berhubungan dengan prinsip-prinsip Islam. Pemikiran kedua ini rupanya merupakan sebab utama perpecahan di kalangan Ahmadiyah, terutama sesudah Maulawi Nuruddin wafat. Dalam kaitan ini, Maulana Muhammad 'Ali menjelaskan, bahwa golongan pertama mempertahankan keyakinannya yaitu: Barang siapa yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad, apakah ia telah mendengar namanya atau tidak, apakah ia (Mirza) sebagai Muslim, atau Mujaddid, atau sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan, maka orang itu, dihukumi kafir dan keluar dari Islam, kecuali mereka secara formal telah membai'atnya. Golongan kedua berpendapat, bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah, mereka adalah seorang Muslim, sekalipun mereka mengikuti aliran lain dalam Islam, dan tak seorang pun dari mereka keluar dari Islam, kecuali jika ia rnengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Adapun masalah kenabian Mirza Ghulam Ahmad, masih tetap merupakan masalah yang dipertentangkan diantara kedua golongan tersebut.24 (bersambung 4/6) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |