Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM MAHDI AHMADIYAH (4/6) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. Sikap para pengikut Mirza ini tampak lebih agresif daripada sikap pendiri aliran tersebut, sebab dia tidak suka mengkafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan Muslim lain, kecuali kalau dirinya dikafirkan secara terang-terangan, sebagaimana dinyatakan: "... Maka mereka telah mengkafirkan aku dan mereka telah pula memfatwakan yang demikian itu untuk diriku maka, dengan pengkafiran mereka terhadap diriku, jadilah mereka itu tergolong orang-orang kafir, berdasarkan pada fatwa Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, aku tiada mengkafirkan mereka, bahkan mereka sendirilah yang memasukkan diri mereka ke dalam fatwa Rasulullah".25 Sejak munculnya dua pendapat yang kontoversial dari intern Ahmadiyah ini, maka secara riilnya di tahun 1914, terpecahlah aliran ini menjadi dua sekte. Pertama adalah sekte Ahmadiya Qadiani, yang dalam ajarannya mencela Muslim lain sebagai kafir, dan sekte ini berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah RasuBullah SAW. Sekte ini dipimpin oleh Basyiruddin Mahmud Ahmad. Kelompok ini berpandangan bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak hanya sebagai Mujaddid (pembaharu) saja, tetapi juga sebagai nabi dan rasul yang harus ditaati dan dipatuhi seluruh ajarannya. Dengan demikian, Mahdiisme Ahmadiyah lebih realistis daripada Mahdiisme Syi'ah Isna 'Asyariyyah, sekalipun keduanya masih tetap bertahan sampai hari ini. Terpilihnya Basyiruddin Mahmud sebagai Khalifah al-Mahdi yang kedua, tampaknya tidak mendapat dukungan penuh dari seluruh Jemaat Ahmadiyah, di saat yang sama, maka muncullah Ahmadiyah tandingan yang disponsori oleh Khawaja Kamaluddin dan Maulawi Muhammad 'Ali yang tidak menyetujui pendirian prinsip golongan pertama yang kemudian dikenal sebagai golongan Qadiani. Adapun golongan kedua, dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore, yang disebut pula dengan Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam, sedangkan di Indonesia, golongan ini dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI); Untuk pertama kalinya golongan ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali. Syafi R. Batuah sebagai pengikut sekte Qadian berpendapat, bahwa lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi Khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore.26 Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya. Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.27 Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali. Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat. Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing. Selain itu mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani dibawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyah or The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 Precious Gems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam. Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.28 Disamping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika. Sebagaimana diketahui, Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta. Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang. Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya. B. AJARAN POKOK AHMADIYAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAHAM MAHDI 1. MASALAH WAHYU Sebagaimana dalam uraian di atas, kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, sebagaimana kemahdian Syi'ah tidak bisa terlepas dari masalah keimaman. Sebab Mahdi Ahmadiyah, juga mengaku sebagai al-Masih, sedangkan al-Masih sebagai yang diberitahukan dalam hadis sahih, akan turun kembali ke dunia dan dia adalah seorang Nabi yang ditugaskan oleh Tuhan untuk membunuh Dajjal, di akhir zaman. Itulah sebabnya kemahdian Ahmadiyah tidak bisa dipisahkan dengan masalah wahyu, karena wahyu yang disampaikan kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan ide pembaharuannya. Munculnya paham kewahyuan Ahmadiyah, tidak saja ia membawa pertentangan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam, tetapi juga di kalangan mereka (pengikut) Ahmadiyah sendiri. Menurut paham aliran ini, wahyu Tuhan itu tidak terputus sesudah Rasulullah wafat, dan wahyu yang terhenti itu hanyalah wakyu tasyri'i atau wahyu syari'at. Dalam hubungan ini, seorang propagandis Ahmadiyah dari Sialkot, Nazir Ahmad, menjelaskan bahwa wahyu yang terputus sesudah Rasulullah adalah wahyu tasyri', bukan wahyu mutlaq. Selanjutnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan wahyu terakhir ini, tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja, akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka.29 Senada dengan pemahaman di atas, pengikut sekte Lahore mencoba membagi cara-cara Tuhan menyampaikan firman-Nya, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Quran. Cara-cara itu adalah sebagai berikut: a. Wahyu, yaitu isyarat cepat yang merupakan petunjuk Tuhan yang masuk ke dalam hati seseorang, seperti petunjuk yang diterima oleh ibu Nabi Musa, agar menghanyutkan puteranya, Musa, di sungai Nil. Demikian juga seperti wahyu yang oleh diterima oleh kaum Hawari (murid-murid Nabi 'Isa), atau kaum laki-laki lain. (Lihat S. 28: 7; S. 5: 111; S. 21: 7). b. Dari belakang hijab atau tirai, yang meliputi: Pertama, dengan ru'yah salihah (mimpi baik), wahyu ini menurut pahamnya, diterima seseorang dalam keadaan setengah sadar. Sebagaimana yang dialami Rasulullah sewaktu mi'raj (Lihat S. 42:51). Kedua, dengan kasysyaf seperti petunjuk Tuhan yang dialami oleh Maryam (ibu Nabi 'Isa) sewaktu berdialog dengan Malaikat Jibril, (Lihat S. 41: 44). Dan ketiga dengan jalan ilham. c. Mengutus Jibril, wahyu yang disampaikan oleh Jibril ini dikenal dengan wahyu nubuwwah (wahyu kenabian). Wahyu jenis inilah yang telah terhenti, sedangkan jenis wahyu yang lain tetap berlangsung sampai kapan saja.30 Dari paham kewahyuan di atas, lalu timbullah anggapan bahwa Mirza Ghulam Ahmad yang diangkat Tuhan sebagai al-Masih. atau al-Mahdi, melalui ilham yang diterimanya, dipandang sebagai seorang nabi oleh sekte Qadiani. Dan secara implisit, sekte Lahore pun juga mengakuinya, hanya saja term yang mereka pakai adalah nabi lugawi, bukan nabi haqiqi. Bagi kaum Qadiani, pengakuan mereka terhadap kenabian Mirza tampak lebih tegas, sebab ia diyakini sebagai duplikat Nabi 'Isa a.s., yang berstatus nabi dan menerima wahyu. Disamping itu, berita kehadiran al-Masihjuga disebutkan dalam hadis-hadis sahih, kemudian mereka mencoba menguatkan keyakinan tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan. Al-Mahdi ini, semula mengakui bahwa petunjuk yang diterimanya dari Tuhan sebagai ilham, kemudian oleh para pengikutnya dinyatakan sebagai wahyu, dan pernyataan seperti itu tidak dibantahnya sama sekali oleh Mirza, malah diakui kebenaran anggapan tersebut. Untuk itu, lalu digunakan term-term baru seperti: wahyu nubuwwah, wakyu tasyri', wahyu gair tasyri', wahyu muhaddas, wahyu walayah dan lain sebagainya. Untuk menguatkan paham kewahyuan di atas, selain mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran, juga menggunakan hadis-hadis Nabi seperti: "Sungguh telah ada orang-orang sebelum kamu, dari kalangan bangsa Israel, yaitu orang-orang yang (dapat) berdialog dengan Tuhan, sekalipun mereka bukan para nabi. Maka jika sekiranya ada salah seorang diantara ummatku (termasuk golongan itu), tentulah 'Umar orangnya." (H.R. Bukhari). Wahyu-wahyu yang diterima oleh al-Mahdi dari Tuhan, sebagai acuan baginya dalam melaksanakan pembaharuan di tengah-tengah masyarakat Islam yang dipandangnya telah rusak, telah dihimpunnya sendiri menjadi 80 buah kitab lebih, yang kemudian disatukan menjadi sebuah kitab yang disebut Tazkirah yang isi kandungannya adalah merupakan penjelasan maksud al-Quran yang mencakup bidang akidah, ibadah, mu'amalah dan akhlak. Kitab inilah yang dijadikan pedoman oleh jemaat Ahmadiyah dalam melaksanakan ide-ide kemahdian Mirza Ghulam Ahmad. Tentunya, paham kewahyuan Ahmadiyah ini, ditolak keras oleh kaum Sunni karena dianggap teiah menyimpang dari prinsip Islam. Jika pendiri aliran Ahmadiyah ini tetap berpendirian bahwa petunjuk yang diterima itu adalah ilham, sebagaimana yang ia nyatakan di awal kegiatannya,31 artinya tidak tenggelam dalam anggapan pengikutnya yang menilai petunjuk tersebut sebagai wahyu, maka ide pembaharuannya akan mudah diterima oleh masyarakat luas dan tidak akan menimbulkan pandangan yang kontradiktif. Selain itu, ajaran Mirza yang menyatakan bahwa 'Isa a.s., benar-benar disalib di tiang salib, sekalipun Nabi 'Isa tidak sampai wafat, adalah lebih dekat dengan kepercayaan orang Nasrani daripada pernyataan al-Quran yang menegaskan bahwa Nabi 'Isa tidak disalib sama sekali, akan tetapi yang disalib adalah seorang yang diserupakan dengan 'Isa a.s. Sebagaimana dalam firman Allah: "... padahal mereka tidak membunuhnya ('Isa) dan tidak menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh adalah orang yang diserupakan dengan 'Isa ..." (S. 4: 157). Oleh karena itu, sangat boleh jadi penemuan Mirza Ghulam Ahmad tentang makam Yus Asaf di Srinagar, Kashmir, yang diyakininya sebagai makam Nabi 'Isa a.s., telah mengilhaminya untuk mengadakan pembaharuan. Dan terutama sekali jika sebelumnya ia harus menghadapi tantangan dari kaum propagandis dan misionaris Hindu dan Nasrani yang gencar menyerang Islam di satu pihak, dan kemunduran ummat Islam di berbagai bidang, di pihak lain. Perlu penulis tambahkan di sini, bahwa pendirian Mirza tentang penyaliban 'Isa a.s., atau Yesus Kristus di atas, sekalipun hal itu berlawanan dengan pernyataan al-Quran tampaknya pendirian ini didasarkan pada ide pembaharuannya. Yaitu keinginannya untuk mempertemukan antara paham Nasrani dengan paham Islam, sehingga dapat menarik pengikut kedua agama tersebut untuk menerima paham kemahdiannya. (bersambung 5/6) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |