Ahmadiyah dalam Perspektif | |
PAHAM MAHDI AHMADIYAH (2/6) oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A. Dalam perjalanan hidupnya, pendiri aliran ini pernah mendapat pendidikan dasar di kampung sendiri, kemudian ia meneruskan pelajarannya di kota Batala dekat kota Qadian. Sewaktu mudanya, ia diasuh sendiri oleh ayahnya dalam mengurus tanah pertaniannya, kemudian ia menjadi pegawai pada pemerintah Inggris di Sialkot sejak 1864-1868. Disamping pekerjaan sehari-harinya, sisa waktu yang ada, ia pergunakan untuk membaca al-Quran. Selama di Sialkot, demikian Maulana Muhammad 'Ali, ia pernah terlibat dalam suatu persengketaan dengan kaum misionaris Kristen dan sesudah empat tahun tinggal disana, ia dipanggil pulang oleh ayahnya untuk bertani. Karena merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, maka sebagian besar waktunya dipergunakan untuk mempelajari al-Quran. Di saat yang sama, ia lebih suka menyepi daripada mengejar keduniaan. Kematian ayahnya, merupakan babak baru dalam sejarah hidupnya, sekarang ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada Islam. Tampaknya ia mulai tertarik pada pergerakan kaum Hindu, Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan, guna menentang kepercayaan dan pemimpin Hindu dalam berbagai media cetak. Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan ummat Muslim di satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan kaum Arya Samaj, dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pembaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinanya.8 Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas 'Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya 'Isa al-Masih dan hadis-hadis Mahdiyyah yang relevan dengan prinsip keyakinan diatas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan peristiwa-peristiwa alamiah. Selain itu, untuk memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali. Sebagai contoh yang cukup menarik dikemukakan di sini, ialah bahwa diantara tanda-tanda kehadiran al-Mahdi adalah terjadinya dua gerhana di bulan Ramadan, dan belum pernah terjadi sejak penciptaan langit dan bumi. Pertama gerhana bulan di malam permulaan bulan Ramadan, dan kedua, gerhana matahari di pertengahan bulan tersebut. Menurut kaum Ahmadiyah, dua peristiwa alamiah yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Daraqutni, benar-benar telah terjadi di daerah Punjab, India, dimana Mirza Ghulam Ahmad dilahirkan. Kejadian gerhana yang aneh ini, menurut pendapat mereka, terjadi pada hari Kamis 13 Ramadan 1311 H/22 Maret 1894 M, sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum'at 28 Ramadan 1311 H/6 April 1894 M. Dua peristiwa ini merupakan tanda-tanda alamiah tentang kebenaran pengakuan Mirza sebagai al-Mahdi dan al-Masih.9 Demikian menurut keyakinan Ahmadiyah. Sebagai pengikutnya, Saleh A. Nahdi mengomentari hadis yang menyatakan: "... Bila kamu melihat di sebelah Timur api berkobar selama tiga atau tujuh hari lamanya, maka harapkanlah kelapangan bagi ummat Muhammad." Api yang berkobar di sebelah Timur diartikan sebagai gunung Krakatau yang meletus tahun 1883.10 Dengan demikian, kehadiran pendiri aliran ini menurut keyakinan pengikutnya telah diramalkan oleh Rasulullah, kemudian mereka interpretasikan secara rasional dan untuk menguatkan alasan-alasan mereka, dikemukakan pula sebuah hadis riwayat Abu Nu'aim dari Abu Bakr ibn Muqri: "Al-Mahdi akan muncul dari sebuah kampung bernama Karimah." Dalam keterangan lain menyebutkan, tempat munculnya al-Mahdi adalah kampung Kadi'ah atau disebut juga dengan nama Kara'ah.11 Nama-nama tersebut menunjukkan tidak jelasnya tempat di mana al-Mahdi akan muncul, sehingga siapa saja dapat menafsirkannya sesuai dengan keinginannya. Menurut paham pengikut Ahmadiyah, al-Mahdi yang dimaksud dalam hadis-hadis Mahdiyyah, bukanlah berasal dari Mekkah atau Madinah, akan tetapi dari Persia yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keturunan Rasulullah. Kalau pun al-Mahdi itu harus dari Ahlul-Bait, maka yang dimaksudkan tidaklah ia mesti mempunyai hubungan darah dengan Nabi, akan tetapi boleh jadi ia seorang yang saleh, taat, dan setia kepada Nabi, seperti yang ditunjukkan oleh Salman al-Farisi sebagai yang diisyaratkan hadis Nabi dalam al-Jami'us-Sagir: "Salman termasuk (keluarga) kami Ahlul-Bait. Walhasil, demikian Maulana Muhammad Sadiq menegaskan, hadis yang menerangkan bahwa Mahdi di akhir zaman itu berasal dari kalangan Ahlul-Bait, hanyalah menyatakan bahwa dia seorang yang sangat setia dan taat kepada Nabi.12 Sekalipun dia bukan berasal dari keturunan Nabi atau bukan bangsa Arab, tetapi dia seorang yang saleh dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang ditunjukkan oleh Mirza, maka menurut paham aliran ini, dialah al-Mahdi yang dijanjikan oleh Nabi. Oleh karena itu, didalam masalah kemahdian, tentunya kaum Ahmadiyah cenderung menolak hadis-hadis Mahdiyyah yang dipegangi oleh kaum Syi'ah. Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase perpecahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya. A. FASE KEBANGKITAN (1880 -1900) Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh ummat Muslim pada umumnya. Dalam hubungan ini, al-Maududi menjelaskan, bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka. Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu.13 Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang aneh oleh masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru). Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas dimasa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini. Selain itu, disaat yang sama, ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam.14 Di tahun itu pula pernyataan-pernyataannya yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan baru diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barahin Ahmadiyah. Dalam buku ini dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih bersifat apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam Ahmad terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum misionaris. Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai'at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk maksud yang terakhir ini, ia memerlukan bai'at atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai'atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah. Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah,15 demikian penjelasan Maulana Muhammad 'Ali. Tentunya nama tersebut diambil dari Surah as-Saf: 6, yang isinya memuat informasi Nabi 'Isa kepada Bani Isra'il, bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya. Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagai berikut: "Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya); "Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan" . Allah berfirman lagi: "Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam." Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya."16 Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan 'Isa al-Masih. yang menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan ummat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid'ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam. Dari kenyataan diatas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam. Nama "Ahmadiyah," oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris. B. FASE MENGHADAPI UJIAN (1900-1908) Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai "nabi" dan menghormatinya seperti layaknya seorang rasul Tuhan. Dalam hubungan ini al-Maududi menjelaskan bahwa salah seorang propagandisnya, Maulawi 'Abd al-Karim menyatakan dalam khutbah Jumatnya sebagai berikut: (bersambung 3/6) ------------------------------------------------- Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif Drs. Muslih Fathoni, M.A. Edisi 1 Cetakan 1 (1994) PT. RajaGrafindo Persada Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15 Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai Jakarta Utara 14240 | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |