Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PRAKATA (3/3)

Kebebasan berpikir dan mengecam perselisihan

Umar sangat membenci pertentangan. Ia mengancam mereka yang suka membuat pertentangan kendati mereka sahabat-sahabat dan sangat terpandang di kalangan Muslimin. Yang demikian ini tidak aneh nanti pembaca akan melihat, bahwa hal itu sesuai dengan cara berpikirnya sewaktu ia hidup di masa jahiliah dan di masa Islam. Sebabnya bukan seperti diduga oleh sebagian orang karena ia berpandangan sempit. Sebaliknya, pada zamannya itu Umar orang yang paling banyak pengetahuannya dan pandangannya pun paling luas. Ia sangat mengutamakan ketertiban umum dari segala seginya. Ia melihat stabilitas dalam ketertiban dan ketenteraman itu merupakan jaminan yang sangat menentukan demi kepentingan pribadi dan masyarakat.

Bagaimana mungkin pertentangan pendapat yang sudah begitu jauh dapat bertemu dengan ajaran Islam yang mengajak orang merenungkan, menggunakan penalaran dan pikiran? Bagaimana mungkin kebebasan menyatakan pendapat dapat tumbuh dan berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang penguasanya mengancam hendak menghukum pihak yang berlainan pendapat itu?

Inilah tantangan yang memang selalu dibawa-bawa oleh beberapa orientalis. Kita kemukakan kembali di sini tak lain hanya karena sejarah kebudayaan umat manusia memang tak dapat menerimanya. Dewasa ini banyak sarjana yang berpendapat bahwa abstraksi (pembebasan dari segala kepercayaan dan konsep) berdasarkan logika dalam beberapa hipotesis yang dasarnya teori mempengaruhi pikiran umat manusia hanya baru di zaman metafisika tatkala pikiran mengenal teori-teori ilmiah sudah tak mendapat pegangan, maka teori abstraksi inilah yang dijadikan sumber kekuatannya. Dengan abstraksi itu ia mau berpegang pada teori teori yang dari segi sains tak dapat dibuktikan. Lalu ia membahas masalah-masalah yang sebagian besar termasuk apa yang oleh Herbert Spencer disebut "The unknowable"-yang tak dapat diketahui . Sesudah sains mengakui dan dijadikan dasar pula oleh filsafat realisme, teori abstraksi berdasarkan logika itu menjadi barang mewah yang dalam dunia filsafat pengaruhnya tidak seberapa. Kalau dulu Rasulullah dan para penggantinya terdahulu melarang orang terlalu jauh hanyut kedalam hal-hal yang tak mungkin diketahui, karena yang demikian hanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan, dengan demikian tidak berarti mereka melarang kebebasan berpikir, bahkan mereka menentang cara berpikir demikian yang oleh sains sekarang yang oleh sains sekarang disebut cara debat sia-sia - tidak produktif.

Bentuk-bentuk berpikir yang didasarkan pada kenyataan, sains memandangnya sebagai bidangnya untuk dijadikan bahan studinya, yang pada waktu itu memang sudah menjadi bidang yang harus dimusyawahkan. Yang berkenaan dengan hukum fikih dan perundang-undangan menjadi bahan ijtihad yang didasarkan pada penalaran. Kalau hasil ijtihadnya benar, itulah yang dari Allah, kalau salah, itulah yang datang dirinya dan dari setan.

Apa yang dilarang untuk diperdebatkan serta hikmah larangan itu akan pembaca lihat lebih jelas dalam buku ini. Untuk memperjelas hikmah itu, cukup kalau saya sebut misalnya larangan Rasulullah orang membicarakan masalah takdir terlalu dalam. Masalah takdir ini pernah menimbulkan pertentangan dan perdebatan begitu sengit pada abad-abad yang silam, dan nyatanya ini tak berkesudahan dan tak akan pernah mencapai hasil. Ini satu bukti bahwa larangan itu memang merupakan hikmah yang sangat mendasar. Hikmah ini memang wajar sekali jika kita ingat bahwa Islam ketika itu baru tumbuh, orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan kaum musyrik, semua mereka memerangi ajaran-ajarannya yang pokok, dengan membangkitkan segala yang dapat menimbulkan perdebatan dan pertentangan untuk menyebarkan suasana ragu sekitar ajaran-ajaran itu dan untuk menjauhkannya dari pikiran orang. Apalagi jika kita ingat bahwa abad pertama Islam itu merupakan abad perjuangan yang terus-menerus. Perdebatan karena pertentangan demikian akan sangat merugikan perjuangan itu. Tantangan yang dikemukakan para orientalis pun tak ada dasarnya. Umar yang begitu keras melarang segala yang akan menimbulkan pertentangan sangat beralasan, bahkan memang harus demikian.

Kendati dalam pengantar ini segala yang berkaitan dengan terbentuknya Kedaulatan Islam sudah saya kemukakan secara ringkas, saya tidak dapat menghindari pernbicaraan tentang Umar sendiri. Pembaca akan melihat potretnya begitu jelas dengan kesan yang kuat pada setiap bab dalam buku ini. Karena pribadinya yang begitu menonjol adakalanya orang merasa perlu memperbandingkannya dengan Abu Bakr. Oleh karena itu sebelum berbicara tentang Umar di sini langsung saya catat apa yang sudah sebutkan dalam pengantar Abu Bakr as-Siddiq itu: "Bahkan sampai ada di antara mereka yang mem­ buat perbandingan antara masa Abu Bakr dengan masa Umar itu untuk melihat mana yang lebih besar jasanya. Perbandingan demikian ini tidak pada tempatnya untuk kedua tokoh tersebut, yang masing-masing dengan ciri kebesarannya sendiri, kebesaran yang jarang sekali dicapai oleh seorang politikus atau penguasa dalam sejarah dunia secara keseluruhan. Bahwa masa Umar adalah masa yang paling besar dalam sejarah Islam, sudah jelas. Pada masa itu dasar kedaulatan negara sudah stabil, sistem pemerintahan sudah teratur, panji-panji Islam sudah berkibar di Mesir dan di kawasan-kawasan luar Mesir yang dibanggakan oleh Rumawi dan Persia. Tetapi masa Umar yang agung itu berutang budi kepada masa Abu Bakr, dan melengkapinya. Sama halnya dengan kekhalifahan Abu Bakr yang berutang budi kepada masa Rasulullah dan melengkapinya pula."

Kalaupun tidak pada tempatnya kita membuat perbandingan antara dua masa itu, namun masa Umar adalah pelengkap masa Abu Bakr. Membuat perbandingan antara keduanya tidak terlalu sulit. Dari sana potret kedua tokoh itu akan tampak pada kita, yang akan menambah pengertian kita tentang nilai keberhasilan yang telah dicapai oleh mereka pada masanya masing-masing. Dalam hal ini kita tidak melihat suatu lukisan yang lebih baik daripada yang sudah dilukiskan oleh Rasulullah ketika merundingkan masalah tawanan Perang Badr. Saran Abu Bakr, lebih baik menerima tebusan dari mereka. Umar menyarankan hukuman mati.

Tentang kedua orang ini Rasulullah membuat suatu perumpamaan: Dalam alam malaikat Abu Bakr seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hamba-Nya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim, sangat lemah lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api, tetapi tak lebih ia hanya berkata:

"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?" itulah yang di pihakku. Tetapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang." (Qur'an, 14: 36). Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata. "Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua itu hamba-Mu; dan kalau Engkau ampuni, Engkau Mahakuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 5:118).

Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuh-Nya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala berkata: "Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya tempat tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71:26). Atau seperti Musa bila ia berkata: "O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hati mereka. Mereka tak akan percaya sebelum siksa yang pedih mereka rasakan."(Qur'an, 10:88).

Nabi melukiskan sifat kedua orang itu pada masanya sangat tepat sekali. Sampai pada waktu sebagai khalifah, dalam segala hal Abu Bakr lemah lembut selama tidak mengenai akidah dan keimanannya. Tetapi sebaliknya, apabila sudah menyangkut masalah akidah dan agama tidak lagi bersikap lemah lembut. Jiwa Abu Bakr sangat kuat, ia tidak mengenal ragu dan pantang mundur, mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam membina kader dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka. Dalam mendorong orang untuk melakukan apa yang baik demi kepentingan umum, ia menyumbangkan segala kekuatan dan kemampuan yang telah dikaruniakan Allah. Itu sebabnya, jika ia menugaskan orang-orang mengurus sesuatu, mereka diberi kebebasan sepenuhnya menyelesaikan tugas itu sesuai dengan kepercayaan yang diberikannya kepada mereka, dan kepercayaan itu disertai penilaiannya yang baik. Itulah cara dia memilih orang. Kita melihat misalnya ketika ia memberikan garis-garis besar kebijakannya kepada para komandannya dalam Perang Riddah dan dalam menghadapi Irak dan Syam. Mengenai penjabaran selanjutnya diserahkan kepada mereka, dan apa yang sudah mereka capai dalam tugas itu ia tidak lagi meminta perhitungan. Kalau sebaliknya, mereka tidak beruntung, dan mundur karena gagal, dicarinya upaya untuk mengatasinya. Itulah yang pernah dilakukannya tatkala pimpinan pasukan yang tidak beruntung dalam Perang Riddah itu dan dalam menghadapi perang dengan Syam tidak mau kembali ke Medinah supaya tidak menimbulkan patah semangat di kalangan penduduk; dan ketika pasukan Syam begitu lesu menghadapi pasukan Rumawi. Ia memberikan bala bantuan dengan mengirim Khalid bin Walid yang dipindahkan dari Irak, sehingga membuat pihak Rumawi lupa akan bisikan setan.

Kebijakannya terhadap pejabat dan rakyatnya

Sikap demikian bukan hanya dengan para komandannya yang da lam medan perang saja, tetapi juga dalam masalah-masalah agama. Ia tidak mencampuri apa yang sudah diserahkan kepada para wakilnya kecuali jika ada yang perlu diluruskan atau diperbaiki. Kalau segala sesuatunya sudah berjalan dengan baik dibiarkannya, dan dia sendiri mengurus soal-soal negara yang lain, seperti halnya dengan Zaid bin Sabit setelah diserahi tugas mengumpulkan Qur'an. Ia tidak men­ campuri pekerjaan itu kecuali jika Zaid meminta pendapatnya.

Pemimpin yang membatasi kebijakannya pada soal-soal umum, sudah percaya kepada wakil-wakilnya, nama mereka ditampilkan di samping namanya sendiri. Orang yang tidak benar-benar mendalami masalahnya akan mengira bahwa jasa wakil-wakilnya itu lebih besar dari jasanya. Jelas ini penilaian yang salah. Pikiran pokoknya ialah segalanya dalam setiap pekerjaan. Kebebasan seorang wakil yang diberi kepercayaan mengurus sampai ke soal yang sekecil-kecilnya akan menambah kegiatannya dan ia akan makin berani memikul segala tanggung jawab. Ini berarti keinginannya mencapai prestasi karena kepercayaan yang diberikan atasannya itu akan pula bertambah.

Kebijakan ini sesuai dengan watak Abu Bakr dan sifatnya yang lemah lembut serta kekuatan iman dan akidahnya, juga sesuai dengan umurnya. Ia memangku jabatan khalifah dalam usia di atas enam puluh tahun, berperawakan kecil dan lemah. Berbeda dengan Umar yang memangku jabatannya dalam usia sekitar lima puluh tahun, dengan keperkasaan dan kegiatannya sebagai pemuda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakr. Di samping itu Umar berwatak keras, bertubuh kekar dan kuat, aktif dalam segala hal, jati dirinya baru menonjol setelah terjadi peristiwa-peristiwa besar dan penting dengan segala kekuatannya yang sungguh agung. Bahkan jati diri itu yang senantiasa menonjol. Sedapat mungkin ia ingin menangani sendiri segala persoalan kaum Muslimin, yang besar dan yang kecil, perorangan atau kelompok. Jati dirinya yang sangat menonjol itu, dengan segala kepercayaan yang diberikannya kepada mereka yang bertugas mengurus negara, mendorongnya untuk selalu memberikan perhatian kepada mereka, dan selalu berhubungan dengan mereka, sehingga, sementara ia tinggal di Medinah, terbayang olehnya ia berada di tengah-tengah mereka di Irak, atau di Syam, di Persia atau di Mesir. Hubungan dan pemantauannya ini membuatnya sangat cermat dan peka terhadap mereka. Tidak jarang hati mereka sebagian bergolak. Sekiranya orang yang menggugah hati mereka bukan Umar, dengan keteguhan watak dan sikapnya yang tegas dan keras, niscaya pergolakan itu akan ada pengaruhnya dengan segala akibat yang tidak diharapkan.

Jati diri Umar yang sangat menonjol itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan intelektual, seperti terlihat dampaknya dalam administrasi pemerintahan. Ia termasuk orang yang paling banyak berijtihad - berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan masalah hukum agama menurut pertimbangan akal. Kebiasaan demikian itu dilakukannya sejak masa Rasulullah dan di masa Abu Bakr, dan orang pertama yang berijtihad dalam kekhalifahannya. Setiap ada masalah menyangkut kepentingan umat Islam, pasti ia memberikan pendapatnya. Setiap ada masalah hukum fikih pasti ia membuat suatu ketetapan hukum yang menjadi pegangan orang-orang sezamannya, kemudian menjadi pegangan generasi sesudahnya. Kita akan melihat bahwa dia sering berlainan pendapat dengan Rasulullah dan dengan Abu Bakr penggantinya, dan kadangkala wahyu memperkuat pendapatnya dan adakalanya pula menolak. Pada masa kekhalifahannya umat merasa sangat puas dengan hasil ijtihadnya itu. Yang lebih memperkuat pendapatnya karena ia mengenyampingkan segala kepentingan perorangan dan pertimbangan pribadi. Dia bekerja semata-mata demi Allah, demi agama Allah dan demi kebaikan kaum Muslimin yang tak·ada tara bandingnya di kalangan pemimimpin Muslimin sesudahnya.

Jika apa yang diriwayatkan tentang pengorbanannya demi kepentingan orang lain itu benar, tentu Umar merupakan teladan yang luar biasa dalam sejarah, tentu dia sudah lebih dekat ke tingkat para nabi dan rasul daripada kepada tingkat orang-orang besar.9 Dan orang ini sudah mencapai kedudukan tertinggi pada zamannya, orang yang berkuasa penuh dalam sebuah imperium besar dunia ketika itu. Tetapi tidak mau hidup mewah, ia lebih suka memilih hidup sebagai orang miskin untuk ikut merasakan kehidupan mereka. Tetapi zuhudnya menjauhi kenikmatan dunia ini bukanlah zuhud orang yang menjauhi dan membenci dunia, melainkan zuhud orang yang mampu menguasai dan mengurus kepentingan duniawi. Kendati ia sangat bertakwa dan begitu kuat rnenjauhi segala larangan agama, ia tidak membenarkan perbuatan orang yang begitu hanyut dalam ibadah, menjauhi segala kenikmatan hidup di dunia, orarrg-orang yang merendah rendahkan suaranya bila berbicara dan melangkah perlahan-lahan ketika berjalan, ingin mendapat sebutan sebagai orang yang taat beribadah. Soalnya karena ia memang tidak menyukai kelemahan dalam segala bentuknya dan sangat membenci segala sikap yang dibuat-buat.

Umar dipandang sebagai lambang keadilan karena sikap zuhudnya dari segala kenikmatan dunia itu. Dengan zuhudnya itu ia sudah tidak mengenal takut selain kepada Allah, dan tidak mengharapkan dari siapa pun selain dari Allah. Rasa takut dan harapannya kepada Allah sangat kuat. Ia tahu bahwa Allah akan mengadakan perhitungan atas segala tindakannya mengurus kepentingan umat. Inilah yang lebih ditakutinya, dan ini pula yang membuatnya berpegang teguh pada keadilan sesuai dengan kehendak Allah. Dengan keadilannya ia tak pernah membedakan kerabat atau bukan, orang yang dekat atau yang jauh. Setiap Muslim baginya semua sama. Siapa pun yang masuk dalam perlindungan Islam ia berhak mendapat keadilan Amirulmu'minin.10 Cintanya kepada keadilan lepas dari segala nafsu. Dimintanya semua wakilnya - seperti para gubernur - bersikap dan bertindak adil seperti dia. Dimintanya kepada semua warga di seluruh wilayah kedaulatan itu menyampaikan keluhan kepadanya untuk diluruskan, jika ada di antara wakilnya yang bertindak merugikan warga. Jika ada orang yang mengadukan seorang pejabat atau gubernur yang berlaku curang dimintanya pejabatnya itu berlaku adil terhadap mereka, untuk menjaga kewibawaan undang­ undang dan untuk menjaga agar ia dalam menempati kedudukan dan kekuasaannya tetap bersikap adil.

Umar, dengan sikap zuhudnya dari segala kenikmatan dunia itulah yang mendorong hatinya begitu prihatin terhadap golongan miskin, hal yang pada mulanya dikhawatirkan orang tidak akan mendapat perhatian bila dia yang menggantikan memegang pimpinan. Orang sudah melihatnya di masa Rasulullah, luar biasa kerasnya ia berpegang pada keadilan. Juga orang sudah melihatnya di masa Abu Bakr, sikapnya sangat keras terhadap kezaliman. Tak terbayangkan oleh siapa pun bahwa ia akan mempunyai rasa kasih sayang. Oleh karena itu, tak lama kemudian setelah ia memangku jabatan itu, ia masih bertindak tegas dan keras terhadap ketidakadilan, di samping sikapnya yang ramah dan penuh kasih sayang terhadap kaum duafa dan fakir miskin. Bahkan kasih sayangnya kepada mereka melebihi ibu-bapa mereka sendiri, menahan air mata mereka, mengantarkan sendiri hak-hak mereka dan memperhatikan keperluan mereka besar kecil. Dalam setiap bangsa jumlah kaum duafa dan fakir miskin itulah yang terbanyak. Tetapi mereka sekarang di tangan Umar seperti mendapat pengayoman dan tempat berlindung. Laki-laki yang tak kenal ampun dan keras ini ternyata kini lebih mereka cintai daripada diri mereka dan anak-anak mereka sendiri.

Apa yang sudah saya kemukakan dalam pengantar ini bukan berarti bahwa Umar bin Khattab lalu tak pernah bersalah, atau bahwa tak pernah ada gejala-gejala yang akan membuat orang berselisih pendapat mengenai kebijakannya. Kita akan melihat bagaimana orang berbeda pendapat sekitar sikapnya terhadap Khalid bin Walid misalnya. Orang terlihat bahwa dia bersikap tidak adil terhadap jenderal perkasa yang telah ikut meletakkan dasar-dasar Kedaulatan Islam itu. Yang lain berpendapat bahwa maksudnya lebih banyak diarahkan untuk kepentingan Kedaulatan Islam daripada bersikap adil terhadap Khalid. Kita akan melihat bagaimana ia memecat Sa'd bin Abi Waqqas yang bukan karena tidak cakap atau berkhianat. Sungguhpun begitu perbedaan pendapat orang terhadap pendapat-pendapat Umar serta politik dan kebijakannya itu tidak berubah bahwa dia tak pernah terbawa oleh nafsu dan tak pernah melawan hati nuraninya sendiri. Ia tak pernah terbawa oleh nafsunya, juga tak sampai keluar dari pribadinya. Ia sangat cermat mengadakan perhitungan dengan hati nuraninya, mengadakan introspeksi setiap melakukan suatu ijtihad, atau menetapkan suatu ketentuan ataupun mengeluarkan suatu perintah.

Inilah lukisan selintas tentang Umar dan segala tindakannya. Hal ini sudah diuraikan lebih terinci dalam buku ini, yang saya harapkan dapat terungkap dengan sejelas-jelasnya. Lukisan ini memperlihatkan kepada kita tentang pengaruh pribadinya yang begitu kuat dalam membangun sebuah imperium besar dalam waktu singkat, dan akan terlihat apa sebab tokoh besar ini namanya tetap kekal dalam sejarah, menjadi buah bibir orang dengan penuh rasa hormat dan kagum, generasi demi generasi, di barat dan di timur.

Sejarah politik tumbuhnya Kedaulatan Islam tujuan utama buku ini

Tetapi yang diuraikan dalam buku ini tidak melampaui sejarah politik dalam perjalanan sejarah Muslimin dahulu selama kurun waktu yang singkat itu. Uraian tentang sejarah Arab dari segi sosial, mengenai Persia dan Rumawi disinggung sccara ringkas dengan tujuan hendak menjelaskan sejarahnya dari segi politik, dan tidak dimaksudkan untuk menguraikan dengan terinci scgala perkembangan kehidupan sosial di negeri-negeri Arab dengan lahirnya Islam, dan bukan untuk menguraikan perjalanan politik itu sendiri di negeri-negeri yang sudah dibebaskan oleh Muslimin. Juga dalam bab tersendiri yang membahas ijtihad Umar, ijtihad ini tidak diuraikan secara lebih terinci. Beberapa peneliti masa kita sekarang sudah ada yang menulis segi ini dengan bagus sekali. Dalam pembahasan seperti ini kaum orientalis juga telah berjasa; nama-nama mereka dapat disejajarkan dengan nama-nama sarjana-sarjana dan penulis-penulis Muslim. Kalangan orientalis juga sudah berjasa mengadakan penelitian serupa yang dapat disejajarkan dengan nama-nama mereka itu dengan nama-nama para sarjana dan penulis-penulis Muslim lainnya. Sungguhpun begitu bidang ini masih perlu digali lebih lanjut. Saya yakin hal ini akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya.

Saya ingin menyudahi pengantar ini dengan permohonan kepada Allah semoga kita semua diberi-Nya bimbingan ke arah kebenaran atas segala yang kita kemukakan dalam studi ini. Kebenaran itu juga yang selalu menjadi harapan seorang peneliti yang jujur. Hanya Allah juga yang dapat menjaga kita dari segala kealpaan. Mahaadil Dia, Maha­ halus dan Mahatahu.

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL

Catatan kaki:

  1. Pengertian kedaulatan di sini dan di bagian-bagian lain dalam buku ini merupakan terjemahan kata bahasa Arab imbaraturiyah, 'sebuah kedaulatan besar, luas dan banyak jumlahnya, dengan kekuatan yang besar meliputi berbagai macam bangsa, golongan, ras dan kebudayaan yang beraneka warna', (Al-Mu'jam al-Kabir); imperium (Latin) atau empire (Inggris), Roman Empire atau Byzantine Empire, Kedaulatan Roma atau kedaulatan Rumawi, 'kedaulatan di tangan seorang pemimpin militer tertinggi; kekuasaan tertinggi, kedaulatan mutlak, absolut, kedaulatan kekaisaran' Webster's New Twentienth Century Dictionary. - Pnj.
  2. Mencakup Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang. - Pnj.
  3. Mada'in, al-Mada'in, nama sekumpulan kota lama di Mesopotamia (Irak); dalam sejarah umum lebih dikenal dengan nama Ctesiphon, terletak di tepi Sungai Tigris ( Dajlah), sekitar 25 mil dari Bagdad. - Pnj.
  4. Moral atau morale, diterjemahkan dari kata bahasa Arab ma'nawi yang berarti nirbenda, immaterial, kebalikannya dari materi, yang di sana sini dalam terjemahan ini dipakai juga kata 'maknawi.' Dapat dibandingkan dengan rohani dan jasmani. Dalam KBBI kata maknawi ini mempunyai dua arti: 1. mengenai makna; 2. asasi; penting. - Pnj.
  5. Ailah, Elath atau Aqabah sekarang di dekat Teluk Aqabah. - Pnj.
  6. Jizyah, pajak yang dikenakan kepada warga bukan Muslim dengan jaminan keamanan dan yang bersangkutan dibebaskan dari wajib militer. - Pnj.
  7. Yakni dua buku Dr. Haekal yang sudah terbit sebelum ini. Sejarah Hidup Muhammad dan Abu Bakr as-Siddiq. - Pnj.
  8. Yakni dua buku Dr. Haekal yang sudah terbit sebelum ini. Sejarah Hidup Muhammad dan Abu Bakr as-Siddiq. - Pnj.
  9. Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Sekiranya sesudahku akan ada seorang nabi, tentulah dia Umar bin Khattab." Diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir dalam Musnad Ahmad.
  10. Yakni Khalifah, tetapi Umar tidak mau menggunakan gelar ini. - Pnj.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team