|
PRAKATA (3/3)
Kebebasan berpikir dan mengecam
perselisihan
Umar sangat membenci pertentangan. Ia mengancam mereka
yang suka membuat pertentangan kendati mereka
sahabat-sahabat dan sangat terpandang di kalangan Muslimin.
Yang demikian ini tidak aneh nanti pembaca akan melihat,
bahwa hal itu sesuai dengan cara berpikirnya sewaktu ia
hidup di masa jahiliah dan di masa Islam. Sebabnya bukan
seperti diduga oleh sebagian orang karena ia berpandangan
sempit. Sebaliknya, pada zamannya itu Umar orang yang paling
banyak pengetahuannya dan pandangannya pun paling luas. Ia
sangat mengutamakan ketertiban umum dari segala seginya. Ia
melihat stabilitas dalam ketertiban dan ketenteraman itu
merupakan jaminan yang sangat menentukan demi kepentingan
pribadi dan masyarakat.
Bagaimana mungkin pertentangan pendapat yang sudah begitu
jauh dapat bertemu dengan ajaran Islam yang mengajak orang
merenungkan, menggunakan penalaran dan pikiran? Bagaimana
mungkin kebebasan menyatakan pendapat dapat tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah suatu lingkungan yang
penguasanya mengancam hendak menghukum pihak yang berlainan
pendapat itu?
Inilah tantangan yang memang selalu dibawa-bawa oleh
beberapa orientalis. Kita kemukakan kembali di sini tak lain
hanya karena sejarah kebudayaan umat manusia memang tak
dapat menerimanya. Dewasa ini banyak sarjana yang
berpendapat bahwa abstraksi (pembebasan dari segala
kepercayaan dan konsep) berdasarkan logika dalam beberapa
hipotesis yang dasarnya teori mempengaruhi pikiran umat
manusia hanya baru di zaman metafisika tatkala pikiran
mengenal teori-teori ilmiah sudah tak mendapat pegangan,
maka teori abstraksi inilah yang dijadikan sumber
kekuatannya. Dengan abstraksi itu ia mau berpegang pada
teori teori yang dari segi sains tak dapat dibuktikan. Lalu
ia membahas masalah-masalah yang sebagian besar termasuk apa
yang oleh Herbert Spencer disebut "The unknowable"-yang tak
dapat diketahui . Sesudah sains mengakui dan dijadikan dasar
pula oleh filsafat realisme, teori abstraksi berdasarkan
logika itu menjadi barang mewah yang dalam dunia filsafat
pengaruhnya tidak seberapa. Kalau dulu Rasulullah dan para
penggantinya terdahulu melarang orang terlalu jauh hanyut
kedalam hal-hal yang tak mungkin diketahui, karena yang
demikian hanya akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan,
dengan demikian tidak berarti mereka melarang kebebasan
berpikir, bahkan mereka menentang cara berpikir demikian
yang oleh sains sekarang yang oleh sains sekarang disebut
cara debat sia-sia - tidak produktif.
Bentuk-bentuk berpikir yang didasarkan pada kenyataan,
sains memandangnya sebagai bidangnya untuk dijadikan bahan
studinya, yang pada waktu itu memang sudah menjadi bidang
yang harus dimusyawahkan. Yang berkenaan dengan hukum fikih
dan perundang-undangan menjadi bahan ijtihad yang didasarkan
pada penalaran. Kalau hasil ijtihadnya benar, itulah yang
dari Allah, kalau salah, itulah yang datang dirinya dan dari
setan.
Apa yang dilarang untuk diperdebatkan serta hikmah
larangan itu akan pembaca lihat lebih jelas dalam buku ini.
Untuk memperjelas hikmah itu, cukup kalau saya sebut
misalnya larangan Rasulullah orang membicarakan masalah
takdir terlalu dalam. Masalah takdir ini pernah menimbulkan
pertentangan dan perdebatan begitu sengit pada abad-abad
yang silam, dan nyatanya ini tak berkesudahan dan tak akan
pernah mencapai hasil. Ini satu bukti bahwa larangan itu
memang merupakan hikmah yang sangat mendasar. Hikmah ini
memang wajar sekali jika kita ingat bahwa Islam ketika itu
baru tumbuh, orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan
kaum musyrik, semua mereka memerangi ajaran-ajarannya yang
pokok, dengan membangkitkan segala yang dapat menimbulkan
perdebatan dan pertentangan untuk menyebarkan suasana ragu
sekitar ajaran-ajaran itu dan untuk menjauhkannya dari
pikiran orang. Apalagi jika kita ingat bahwa abad pertama
Islam itu merupakan abad perjuangan yang terus-menerus.
Perdebatan karena pertentangan demikian akan sangat
merugikan perjuangan itu. Tantangan yang dikemukakan para
orientalis pun tak ada dasarnya. Umar yang begitu keras
melarang segala yang akan menimbulkan pertentangan sangat
beralasan, bahkan memang harus demikian.
Kendati dalam pengantar ini segala yang berkaitan dengan
terbentuknya Kedaulatan Islam sudah saya kemukakan secara
ringkas, saya tidak dapat menghindari pernbicaraan tentang
Umar sendiri. Pembaca akan melihat potretnya begitu jelas
dengan kesan yang kuat pada setiap bab dalam buku ini.
Karena pribadinya yang begitu menonjol adakalanya orang
merasa perlu memperbandingkannya dengan Abu Bakr. Oleh
karena itu sebelum berbicara tentang Umar di sini langsung
saya catat apa yang sudah sebutkan dalam pengantar Abu Bakr
as-Siddiq itu: "Bahkan sampai ada di antara mereka yang
mem buat perbandingan antara masa Abu Bakr dengan masa
Umar itu untuk melihat mana yang lebih besar jasanya.
Perbandingan demikian ini tidak pada tempatnya untuk kedua
tokoh tersebut, yang masing-masing dengan ciri kebesarannya
sendiri, kebesaran yang jarang sekali dicapai oleh seorang
politikus atau penguasa dalam sejarah dunia secara
keseluruhan. Bahwa masa Umar adalah masa yang paling besar
dalam sejarah Islam, sudah jelas. Pada masa itu dasar
kedaulatan negara sudah stabil, sistem pemerintahan sudah
teratur, panji-panji Islam sudah berkibar di Mesir dan di
kawasan-kawasan luar Mesir yang dibanggakan oleh Rumawi dan
Persia. Tetapi masa Umar yang agung itu berutang budi kepada
masa Abu Bakr, dan melengkapinya. Sama halnya dengan
kekhalifahan Abu Bakr yang berutang budi kepada masa
Rasulullah dan melengkapinya pula."
Kalaupun tidak pada tempatnya kita membuat perbandingan
antara dua masa itu, namun masa Umar adalah pelengkap masa
Abu Bakr. Membuat perbandingan antara keduanya tidak terlalu
sulit. Dari sana potret kedua tokoh itu akan tampak pada
kita, yang akan menambah pengertian kita tentang nilai
keberhasilan yang telah dicapai oleh mereka pada masanya
masing-masing. Dalam hal ini kita tidak melihat suatu
lukisan yang lebih baik daripada yang sudah dilukiskan oleh
Rasulullah ketika merundingkan masalah tawanan Perang Badr.
Saran Abu Bakr, lebih baik menerima tebusan dari mereka.
Umar menyarankan hukuman mati.
Tentang kedua orang ini Rasulullah membuat suatu
perumpamaan: Dalam alam malaikat Abu Bakr seperti Mikail,
diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada
hamba-Nya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim,
sangat lemah lembut terhadap masyarakatnya. Oleh
masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam
api, tetapi tak lebih ia hanya berkata:
"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah?
Tidakkah kamu berakal?" itulah yang di pihakku. Tetapi
terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun
dan Penyayang." (Qur'an, 14: 36). Contohnya lagi di kalangan
para nabi seperti Isa tatkala ia berkata. "Kalaupun mereka
Engkau siksa, mereka itu semua itu hamba-Mu; dan kalau
Engkau ampuni, Engkau Mahakuasa dan Bijaksana." (Qur'an,
5:118).
Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril,
diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap
musuh-musuh-Nya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh
tatkala berkata: "Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang
ingkar itu punya tempat tinggal di muka bumi ini." (Qur'an,
71:26). Atau seperti Musa bila ia berkata: "O Tuhan!
Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hati
mereka. Mereka tak akan percaya sebelum siksa yang pedih
mereka rasakan."(Qur'an, 10:88).
Nabi melukiskan sifat kedua orang itu pada masanya sangat
tepat sekali. Sampai pada waktu sebagai khalifah, dalam
segala hal Abu Bakr lemah lembut selama tidak mengenai
akidah dan keimanannya. Tetapi sebaliknya, apabila sudah
menyangkut masalah akidah dan agama tidak lagi bersikap
lemah lembut. Jiwa Abu Bakr sangat kuat, ia tidak mengenal
ragu dan pantang mundur, mempunyai kekuatan yang luar biasa
dalam membina kader dan menunjukkan bakat dan kemampuan
mereka. Dalam mendorong orang untuk melakukan apa yang baik
demi kepentingan umum, ia menyumbangkan segala kekuatan dan
kemampuan yang telah dikaruniakan Allah. Itu sebabnya, jika
ia menugaskan orang-orang mengurus sesuatu, mereka diberi
kebebasan sepenuhnya menyelesaikan tugas itu sesuai dengan
kepercayaan yang diberikannya kepada mereka, dan kepercayaan
itu disertai penilaiannya yang baik. Itulah cara dia memilih
orang. Kita melihat misalnya ketika ia memberikan
garis-garis besar kebijakannya kepada para komandannya dalam
Perang Riddah dan dalam menghadapi Irak dan Syam. Mengenai
penjabaran selanjutnya diserahkan kepada mereka, dan apa
yang sudah mereka capai dalam tugas itu ia tidak lagi
meminta perhitungan. Kalau sebaliknya, mereka tidak
beruntung, dan mundur karena gagal, dicarinya upaya untuk
mengatasinya. Itulah yang pernah dilakukannya tatkala
pimpinan pasukan yang tidak beruntung dalam Perang Riddah
itu dan dalam menghadapi perang dengan Syam tidak mau
kembali ke Medinah supaya tidak menimbulkan patah semangat
di kalangan penduduk; dan ketika pasukan Syam begitu lesu
menghadapi pasukan Rumawi. Ia memberikan bala bantuan dengan
mengirim Khalid bin Walid yang dipindahkan dari Irak,
sehingga membuat pihak Rumawi lupa akan bisikan setan.
Kebijakannya terhadap pejabat dan
rakyatnya
Sikap demikian bukan hanya dengan para komandannya yang
da lam medan perang saja, tetapi juga dalam masalah-masalah
agama. Ia tidak mencampuri apa yang sudah diserahkan kepada
para wakilnya kecuali jika ada yang perlu diluruskan atau
diperbaiki. Kalau segala sesuatunya sudah berjalan dengan
baik dibiarkannya, dan dia sendiri mengurus soal-soal negara
yang lain, seperti halnya dengan Zaid bin Sabit setelah
diserahi tugas mengumpulkan Qur'an. Ia tidak men
campuri pekerjaan itu kecuali jika Zaid meminta
pendapatnya.
Pemimpin yang membatasi kebijakannya pada soal-soal umum,
sudah percaya kepada wakil-wakilnya, nama mereka ditampilkan
di samping namanya sendiri. Orang yang tidak benar-benar
mendalami masalahnya akan mengira bahwa jasa wakil-wakilnya
itu lebih besar dari jasanya. Jelas ini penilaian yang
salah. Pikiran pokoknya ialah segalanya dalam setiap
pekerjaan. Kebebasan seorang wakil yang diberi kepercayaan
mengurus sampai ke soal yang sekecil-kecilnya akan menambah
kegiatannya dan ia akan makin berani memikul segala tanggung
jawab. Ini berarti keinginannya mencapai prestasi karena
kepercayaan yang diberikan atasannya itu akan pula
bertambah.
Kebijakan ini sesuai dengan watak Abu Bakr dan sifatnya
yang lemah lembut serta kekuatan iman dan akidahnya, juga
sesuai dengan umurnya. Ia memangku jabatan khalifah dalam
usia di atas enam puluh tahun, berperawakan kecil dan lemah.
Berbeda dengan Umar yang memangku jabatannya dalam usia
sekitar lima puluh tahun, dengan keperkasaan dan kegiatannya
sebagai pemuda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakr. Di samping
itu Umar berwatak keras, bertubuh kekar dan kuat, aktif
dalam segala hal, jati dirinya baru menonjol setelah terjadi
peristiwa-peristiwa besar dan penting dengan segala
kekuatannya yang sungguh agung. Bahkan jati diri itu yang
senantiasa menonjol. Sedapat mungkin ia ingin menangani
sendiri segala persoalan kaum Muslimin, yang besar dan yang
kecil, perorangan atau kelompok. Jati dirinya yang sangat
menonjol itu, dengan segala kepercayaan yang diberikannya
kepada mereka yang bertugas mengurus negara, mendorongnya
untuk selalu memberikan perhatian kepada mereka, dan selalu
berhubungan dengan mereka, sehingga, sementara ia tinggal di
Medinah, terbayang olehnya ia berada di tengah-tengah mereka
di Irak, atau di Syam, di Persia atau di Mesir. Hubungan dan
pemantauannya ini membuatnya sangat cermat dan peka terhadap
mereka. Tidak jarang hati mereka sebagian bergolak.
Sekiranya orang yang menggugah hati mereka bukan Umar,
dengan keteguhan watak dan sikapnya yang tegas dan keras,
niscaya pergolakan itu akan ada pengaruhnya dengan segala
akibat yang tidak diharapkan.
Jati diri Umar yang sangat menonjol itu sangat
berpengaruh terhadap kehidupan intelektual, seperti terlihat
dampaknya dalam administrasi pemerintahan. Ia termasuk orang
yang paling banyak berijtihad - berusaha dengan
sungguh-sungguh memecahkan masalah hukum agama menurut
pertimbangan akal. Kebiasaan demikian itu dilakukannya sejak
masa Rasulullah dan di masa Abu Bakr, dan orang pertama yang
berijtihad dalam kekhalifahannya. Setiap ada masalah
menyangkut kepentingan umat Islam, pasti ia memberikan
pendapatnya. Setiap ada masalah hukum fikih pasti ia membuat
suatu ketetapan hukum yang menjadi pegangan orang-orang
sezamannya, kemudian menjadi pegangan generasi sesudahnya.
Kita akan melihat bahwa dia sering berlainan pendapat dengan
Rasulullah dan dengan Abu Bakr penggantinya, dan kadangkala
wahyu memperkuat pendapatnya dan adakalanya pula menolak.
Pada masa kekhalifahannya umat merasa sangat puas dengan
hasil ijtihadnya itu. Yang lebih memperkuat pendapatnya
karena ia mengenyampingkan segala kepentingan perorangan dan
pertimbangan pribadi. Dia bekerja semata-mata demi Allah,
demi agama Allah dan demi kebaikan kaum Muslimin yang
tak ada tara bandingnya di kalangan pemimimpin Muslimin
sesudahnya.
Jika apa yang diriwayatkan tentang pengorbanannya demi
kepentingan orang lain itu benar, tentu Umar merupakan
teladan yang luar biasa dalam sejarah, tentu dia sudah lebih
dekat ke tingkat para nabi dan rasul daripada kepada tingkat
orang-orang besar.9 Dan orang ini sudah mencapai
kedudukan tertinggi pada zamannya, orang yang berkuasa penuh
dalam sebuah imperium besar dunia ketika itu. Tetapi tidak
mau hidup mewah, ia lebih suka memilih hidup sebagai orang
miskin untuk ikut merasakan kehidupan mereka. Tetapi
zuhudnya menjauhi kenikmatan dunia ini bukanlah zuhud orang
yang menjauhi dan membenci dunia, melainkan zuhud orang yang
mampu menguasai dan mengurus kepentingan duniawi. Kendati ia
sangat bertakwa dan begitu kuat rnenjauhi segala larangan
agama, ia tidak membenarkan perbuatan orang yang begitu
hanyut dalam ibadah, menjauhi segala kenikmatan hidup di
dunia, orarrg-orang yang merendah rendahkan suaranya bila
berbicara dan melangkah perlahan-lahan ketika berjalan,
ingin mendapat sebutan sebagai orang yang taat beribadah.
Soalnya karena ia memang tidak menyukai kelemahan dalam
segala bentuknya dan sangat membenci segala sikap yang
dibuat-buat.
Umar dipandang sebagai lambang keadilan karena sikap
zuhudnya dari segala kenikmatan dunia itu. Dengan zuhudnya
itu ia sudah tidak mengenal takut selain kepada Allah, dan
tidak mengharapkan dari siapa pun selain dari Allah. Rasa
takut dan harapannya kepada Allah sangat kuat. Ia tahu bahwa
Allah akan mengadakan perhitungan atas segala tindakannya
mengurus kepentingan umat. Inilah yang lebih ditakutinya,
dan ini pula yang membuatnya berpegang teguh pada keadilan
sesuai dengan kehendak Allah. Dengan keadilannya ia tak
pernah membedakan kerabat atau bukan, orang yang dekat atau
yang jauh. Setiap Muslim baginya semua sama. Siapa pun yang
masuk dalam perlindungan Islam ia berhak mendapat keadilan
Amirulmu'minin.10 Cintanya kepada keadilan
lepas dari segala nafsu. Dimintanya semua wakilnya - seperti
para gubernur - bersikap dan bertindak adil seperti dia.
Dimintanya kepada semua warga di seluruh wilayah kedaulatan
itu menyampaikan keluhan kepadanya untuk diluruskan, jika
ada di antara wakilnya yang bertindak merugikan warga. Jika
ada orang yang mengadukan seorang pejabat atau gubernur yang
berlaku curang dimintanya pejabatnya itu berlaku adil
terhadap mereka, untuk menjaga kewibawaan undang
undang dan untuk menjaga agar ia dalam menempati kedudukan
dan kekuasaannya tetap bersikap adil.
Umar, dengan sikap zuhudnya dari segala kenikmatan dunia
itulah yang mendorong hatinya begitu prihatin terhadap
golongan miskin, hal yang pada mulanya dikhawatirkan orang
tidak akan mendapat perhatian bila dia yang menggantikan
memegang pimpinan. Orang sudah melihatnya di masa
Rasulullah, luar biasa kerasnya ia berpegang pada keadilan.
Juga orang sudah melihatnya di masa Abu Bakr, sikapnya
sangat keras terhadap kezaliman. Tak terbayangkan oleh siapa
pun bahwa ia akan mempunyai rasa kasih sayang. Oleh karena
itu, tak lama kemudian setelah ia memangku jabatan itu, ia
masih bertindak tegas dan keras terhadap ketidakadilan, di
samping sikapnya yang ramah dan penuh kasih sayang terhadap
kaum duafa dan fakir miskin. Bahkan kasih sayangnya kepada
mereka melebihi ibu-bapa mereka sendiri, menahan air mata
mereka, mengantarkan sendiri hak-hak mereka dan
memperhatikan keperluan mereka besar kecil. Dalam setiap
bangsa jumlah kaum duafa dan fakir miskin itulah yang
terbanyak. Tetapi mereka sekarang di tangan Umar seperti
mendapat pengayoman dan tempat berlindung. Laki-laki yang
tak kenal ampun dan keras ini ternyata kini lebih mereka
cintai daripada diri mereka dan anak-anak mereka
sendiri.
Apa yang sudah saya kemukakan dalam pengantar ini bukan
berarti bahwa Umar bin Khattab lalu tak pernah bersalah,
atau bahwa tak pernah ada gejala-gejala yang akan membuat
orang berselisih pendapat mengenai kebijakannya. Kita akan
melihat bagaimana orang berbeda pendapat sekitar sikapnya
terhadap Khalid bin Walid misalnya. Orang terlihat bahwa dia
bersikap tidak adil terhadap jenderal perkasa yang telah
ikut meletakkan dasar-dasar Kedaulatan Islam itu. Yang lain
berpendapat bahwa maksudnya lebih banyak diarahkan untuk
kepentingan Kedaulatan Islam daripada bersikap adil terhadap
Khalid. Kita akan melihat bagaimana ia memecat Sa'd bin Abi
Waqqas yang bukan karena tidak cakap atau berkhianat.
Sungguhpun begitu perbedaan pendapat orang terhadap
pendapat-pendapat Umar serta politik dan kebijakannya itu
tidak berubah bahwa dia tak pernah terbawa oleh nafsu dan
tak pernah melawan hati nuraninya sendiri. Ia tak pernah
terbawa oleh nafsunya, juga tak sampai keluar dari
pribadinya. Ia sangat cermat mengadakan perhitungan dengan
hati nuraninya, mengadakan introspeksi setiap melakukan
suatu ijtihad, atau menetapkan suatu ketentuan ataupun
mengeluarkan suatu perintah.
Inilah lukisan selintas tentang Umar dan segala
tindakannya. Hal ini sudah diuraikan lebih terinci dalam
buku ini, yang saya harapkan dapat terungkap dengan
sejelas-jelasnya. Lukisan ini memperlihatkan kepada kita
tentang pengaruh pribadinya yang begitu kuat dalam membangun
sebuah imperium besar dalam waktu singkat, dan akan terlihat
apa sebab tokoh besar ini namanya tetap kekal dalam sejarah,
menjadi buah bibir orang dengan penuh rasa hormat dan kagum,
generasi demi generasi, di barat dan di timur.
Sejarah politik tumbuhnya Kedaulatan
Islam tujuan utama buku ini
Tetapi yang diuraikan dalam buku ini tidak melampaui
sejarah politik dalam perjalanan sejarah Muslimin dahulu
selama kurun waktu yang singkat itu. Uraian tentang sejarah
Arab dari segi sosial, mengenai Persia dan Rumawi disinggung
sccara ringkas dengan tujuan hendak menjelaskan sejarahnya
dari segi politik, dan tidak dimaksudkan untuk menguraikan
dengan terinci scgala perkembangan kehidupan sosial di
negeri-negeri Arab dengan lahirnya Islam, dan bukan untuk
menguraikan perjalanan politik itu sendiri di negeri-negeri
yang sudah dibebaskan oleh Muslimin. Juga dalam bab
tersendiri yang membahas ijtihad Umar, ijtihad ini tidak
diuraikan secara lebih terinci. Beberapa peneliti masa kita
sekarang sudah ada yang menulis segi ini dengan bagus
sekali. Dalam pembahasan seperti ini kaum orientalis juga
telah berjasa; nama-nama mereka dapat disejajarkan dengan
nama-nama sarjana-sarjana dan penulis-penulis Muslim.
Kalangan orientalis juga sudah berjasa mengadakan penelitian
serupa yang dapat disejajarkan dengan nama-nama mereka itu
dengan nama-nama para sarjana dan penulis-penulis Muslim
lainnya. Sungguhpun begitu bidang ini masih perlu digali
lebih lanjut. Saya yakin hal ini akan mendapat perhatian
sebagaimana mestinya.
Saya ingin menyudahi pengantar ini dengan permohonan
kepada Allah semoga kita semua diberi-Nya bimbingan ke arah
kebenaran atas segala yang kita kemukakan dalam studi ini.
Kebenaran itu juga yang selalu menjadi harapan seorang
peneliti yang jujur. Hanya Allah juga yang dapat menjaga
kita dari segala kealpaan. Mahaadil Dia, Maha halus
dan Mahatahu.
MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
Catatan kaki:
- Pengertian kedaulatan di sini dan di bagian-bagian
lain dalam buku ini merupakan terjemahan kata bahasa Arab
imbaraturiyah, 'sebuah kedaulatan besar, luas dan banyak
jumlahnya, dengan kekuatan yang besar meliputi berbagai
macam bangsa, golongan, ras dan kebudayaan yang beraneka
warna', (Al-Mu'jam al-Kabir); imperium (Latin) atau
empire (Inggris), Roman Empire atau Byzantine Empire,
Kedaulatan Roma atau kedaulatan Rumawi, 'kedaulatan di
tangan seorang pemimpin militer tertinggi; kekuasaan
tertinggi, kedaulatan mutlak, absolut, kedaulatan
kekaisaran' Webster's New Twentienth Century Dictionary.
- Pnj.
- Mencakup Suria, Libanon, Yordania dan Palestina
sekarang. - Pnj.
- Mada'in, al-Mada'in, nama sekumpulan kota lama di
Mesopotamia (Irak); dalam sejarah umum lebih dikenal
dengan nama Ctesiphon, terletak di tepi Sungai Tigris (
Dajlah), sekitar 25 mil dari Bagdad. - Pnj.
- Moral atau morale, diterjemahkan dari kata bahasa
Arab ma'nawi yang berarti nirbenda, immaterial,
kebalikannya dari materi, yang di sana sini dalam
terjemahan ini dipakai juga kata 'maknawi.' Dapat
dibandingkan dengan rohani dan jasmani. Dalam KBBI kata
maknawi ini mempunyai dua arti: 1. mengenai makna; 2.
asasi; penting. - Pnj.
- Ailah, Elath atau Aqabah sekarang di dekat Teluk
Aqabah. - Pnj.
- Jizyah, pajak yang dikenakan kepada warga bukan
Muslim dengan jaminan keamanan dan yang bersangkutan
dibebaskan dari wajib militer. - Pnj.
- Yakni dua buku Dr. Haekal yang sudah terbit sebelum
ini. Sejarah Hidup Muhammad dan Abu Bakr as-Siddiq. -
Pnj.
- Yakni dua buku Dr. Haekal yang sudah terbit sebelum
ini. Sejarah Hidup Muhammad dan Abu Bakr as-Siddiq. -
Pnj.
- Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam
berkata: "Sekiranya sesudahku akan ada seorang nabi,
tentulah dia Umar bin Khattab." Diriwayatkan oleh Uqbah
bin Amir dalam Musnad Ahmad.
- Yakni Khalifah, tetapi Umar tidak mau menggunakan
gelar ini. - Pnj.
|