|
PENUTUP (2/3)
Pengaruh agama dan bahasa yang
harmonis dalam kesatuan Kedaulatan
Dalam buku ini sudah beberapa kali saya singgung tentang
keluhuran budi dan maknawi orang-orang Arab yang begitu kuat
setelah Islam menghancurkan belenggu paganisme yang selama
itu menghantui mereka, dan sesudah mereka bersatu dalam satu
akidah dan di bawah satu panji. Kemenangan Muslimin
menghadapi dua singa raksasa - Persia dan Rumawi - juga
memberi pengaruh yang positif di negeri-negeri yang
dikalahkan itu. Ketika itu maraknya intrik-intrik di dalam
istana menjadi penyebab utama ketidakstabilan dan kekacauan
serta buruknya pemerintahan di Persia, dan penindasan agama
menjadi penyebab utama buruknya pemerintahan Rumawi di Syam
dan Mesir. Setelah pasukan Muslimin dapat mengalahkan Irak
dan Persia, tak ada lagi intrik-intrik dalam istana itu.
Dengan demikian setiap amir (emir) disibukkan oleh emiratnya
(wilayahnya) masing-masing. Mereka berusaha memperbaiki
kebijakannya agar tidak mendapat teguran dan kemarahan
wakil-wakil Muslimin dan Amirulmukminin. Pihak Irak dan
Persia merasakan unggulnya pihak Muslimin dari mereka justru
karena keadilan pemerintahannya. Dengan nalurinya mereka
sadar bahwa kalau mereka tidak memperlihatkan itikad baik
kepada pihak Muslimin, rasa hina karena kekalahan mereka itu
tak akan ada akhirnya, malah di mata pihak pemenang nasib
mereka akan lebih buruk lagi, dan hanya akan menjadi ejekan
dan hinaan. Oleh karena itu mereka mulai memperlihatkan
peninggalan bangsa mereka yang terbaik, juga sifat-sifat
terbaik bangsa dalam ilmu, kesenian dan kerajinan, yang
mereka warisi dari nenek moyang. Dalam hal ini semua mereka
memang sudah cukup kaya dan berpengaruh, yang dalam
kenyataan memang tak dapat dikejar oleh orang Arab.
Begitu juga yang dilakukan pihak Syam dan Mesir. Sesudah
kedatangan Muslimin membebaskan negeri mereka, tak ada lagi
penindasan agama, dan dengan demikian kebencian dan
kemarahan mereka pun berangsur reda, yang sedianya timbul
karena buruknya pemerintahan dan kekacauan yang selalu
terjadi di antara sesama mereka. Mereka juga mulai
memperlihatkan sifat-sifat terbaik dalam perdagangan,
pertanian, kerajinan, ilmu dan seni yang mereka warisi dari
nenek moyang. Kemampuan mereka yang asli yang diberikan alam
kepada mereka mulai tampak, mereka pun makin aktif dan
kreatif dengan menghasilkan berbagai produk dan karya yang
terbaik.
Semua ini dilaksanakan seperti sedang berlomba untuk
mencapai yang terbaik dan terhormat. Setiap golongan itu
menggantungkan diri pada bakat masing-masing yang paling
prima untuk mendapatkan penghargaan bangsa-bangsa yang sudah
sama-sama tergabung dalam satu kesatuan Kedaulatan itu.
Wajar sekali bahwa perlombaan yang berlangsung dalam bidang
ini justru untuk keagungan bersama, yakni keagungan dan
kehormatan Kedaulatan Islam di mata dunia.
Para pemimpin kaum Muslimin itu memuji kegiatan mereka
yang begitu besar di seluruh kawasan Kedaulatan. Mereka
melihatnya dengan perasaan senang, dengan mengharapkan agar
kegiatan demikian itu lebih besar lagi. Prinsip-prinsip
egaliter: kebebasan, persaudaraan dan persamaan yang sudah
ditanamkan Islam, mendekatkan kedua unsur itu terus-menerus
dalam kegiatan ini - lepas dari perbedaan-perbedaan ras,
bahasa dan keyakinan mereka. Masuknya sejumlah bangsa-bangsa
yang di bawah panji Imperium Islam yang baru tumbuh ke dalam
agama yang baru ini makin saling mempererat hubungan mereka,
sehingga bangsa-bangsa itu hampir melebur ke dalam satu
kesatuan yang harmonis, masing-masing berusaha untuk
mencapai tujuan bersama, yakni demi kebesaran semua dan demi
kebesaran setiap wilayahnya.
Tegaknya kesatuan Kedaulatan Islam tidak
mengubah jati diri bangsa-bangsa
Aktivitas besar ini membuat bangsa-bangsa yang sudah
membentuk Kedaulatan itu saling berlomba, yang kemudian
membuat Kedaulatan itu makin terdorong untuk mencapai
perluasan dan kebesarannya. Bagaimana tidak akan mengambil
cara ini sementara faktor-faktor kesatuan, persatuan dan
keharmonisan di antara bangsa-bangsa itu makin lama makin
kuat. Kebebasan beragama yang sudah menjadi ketentuan dalam
prinsip-prinsip Islam tidak berubah, dan bahwa tak ada
paksaan dalam soal agama, lepas dari orang-orang Mesir,
Syam, Irak dan Persia yang kebanyakan sudah menyambut agama
baru ini, kemudian mereka berbondong-bondong masuk secara
sukarela setelah melihat bukti.
Masuknya mereka ke dalam Islam mempunyai dampak yang
besar sekali dalam memperkuat kesatuan dan persatuan mereka,
sebab Islam tidak sekadar akidah saja, tetapi ia sudah
melampaui segi rohani ke segi moral dan sosial, dan
mewajibkan para penganutnya untuk berpegang pada kelembagaan
(institusi) moral dan hukum (perundang-undangan), yang
intinya berbeda dengan kelembagaan Kristen dan Majusi, juga
berbeda dengan kelembagaan jahiliah yang waktu itu menguasai
kawasan Semenanjung sebelum Nabi diutus.
Kesamaan nilai-nilai moral dalam suatu masyarakat dengan
sendirinya akan menghimpunnya ke dalam satu kesatuan yang
membuat semua orang makin saling mengenal dan bertambah
harmonis. Kesamaan semua dalam melihat yang makruf dan
mungkar, yang baik dan jahat, yang halal dan haram, dan
membentuk keharmonisan dalam tubuh secara keseluruhan,
menambah kekuatan maknawi dengan akibat selanjutnya
aktivitas dan kekuatan materinya juga bertambah. Kalau dasar
kesamaan ini berpangkal dari satu sumber, yaitu akidah, maka
semua mereka percaya bahwa mereka bertanggung jawab di
hadapan Allah Pencipta segalanya. Mereka akan mendapat
balasan atas segala perbuatan mereka - kebaikan dengan
kebaikan dan kejahatan dengan kejahatan. Itulah penyebab
terjalinnya keharmonisan. Bertambah kuatnya persatuan itu
sesuai dengan terjalinnya keharmonisan. Kita tidak ragu,
keharmonisan demikian ini memang sudah terjadi, dan sudah
terjalin di seluruh kawasan Kedaulatan, setelah
bangsa-bangsa yang dibebaskan itu beradaptasi dengan keadaan
mereka yang sekarang serta mengatur tata kehidupan mereka
dalam lingkungan itu.
Keharmonisan itu tampak makin teratur serta persatuan dan
kesatuan makin terasa lebih kuat setelah Islam melangkah
dari segi akidah dan moral ke segi hukum. Kaum Muslimin di
seluruh kawasan Kedaulatannya yang luas itu dengan patuh
melaksanakan apa yang terdapat dalam Kitabullah tentang
sistem keluarga, tentang waris, tentang lembaga sosial dan
ekonomi yang menyangkut soal-soal kehidupan sehari-hari.
Memang benar apa yang digariskan oleh Qur'an hanya mengenai
dasar-dasar umum, tetapi pengaruh dalam mengatur rinciannya
dalam perundang-undangan besar sekali. Begitu juga dalam
penerapannya kepada masyarakat Arab melalui jalan syariat di
seluruh wilayah Kedaulatan itu, pengaruhnya makin kuat, yang
akibatnya pada kesatuan dalam hukum, yang berlanjut sampai
pada generasi-generasi pertama dalam sejarah Imperium itu.
Kesinambungan ini bertambah kuat karena hukum Islam serta
kaidah-kaidah moral Islam dan kaidah-kaidah akidah dalam
Islam waktu itu memang merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Inilah yang menambah keharmonisan dan kuatnya
kesatuan yang memadukan kawasan-kawasan Kedaulatan itu
semua.
Mengingat Qur'an sebagai Kitabullah dan dasar agama ini,
maka wajar sekali tentunya bilamana orang mempelajari bahasa
Qur'an untuk menambah pengertiannya tentang agama dan bahasa
para penanggung jawab. Akidah dan bahasa merupakan sepasang
kekuatan yang besar sekali pengaruhnya dalam mempersatukan
dan kerja sama pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Rasanya tak perlu saya mengemukakan bukti lagi mengenai soal
ini. Di masa kita sekarang sudah kita lihat persatuan
bangsa-bangsa berbahasa Latin dan masyarakat bangsa-bangsa
berbahasa Inggris serta kerja sama bangsa-bangsa beragama
Kristen dan seterusnya. Bagaimanapun juga kita kini berada
dalam zaman yang sudah mengakui prinsip-prinsip kebebasan
yang lebih luas dari yang pernah dialami abad ketujuh Masehi
itu, dan dunia ilmu pengetahuan kini telah menjurus pada
persatuan tatkala lingkaran dunia terasa sudah semakin
sempit, suatu hal yang pada waktu itu tak pernah terlintas
dalam pikiran siapa pun.
Kebebasan dan persamaan penyebab
tersebarnya Islam begitu cepat
Tidak sedikit mereka yang sudah menulis sejarah masa
permulaan Kedaulatan Islam itu yang menyadari betapa besar
pengaruh tersebarnya Islam dan bahasa Arab terhadap
pembentukan dan kekuatan Kedaulatan itu. Karenanya, ada yang
bertanya-tanya: Mengapa pihak pemenang itu tidak
mengharuskan agama dan bahasa mereka kepada negeri-negeri
yang sudah mereka kuasai? Mereka menduga bahwa kalau hal itu
dilakukan anasir-anasir kelemahan tidak akan menggerogoti
Kedaulatan ini kemudian hari. Rasanya sudah tidak perlu lagi
saya menyanggah dugaan demikian itu. Mendiskusikan suatu
pengandaian yang tidak terjadi bukan karena akan
membuang-buang waktu; berdiskusi dengan beranda-andai
semacam ini memang besar artinya dalam mengantarkan umat
manusia ke masa depan. Tetapi sebabnya ialah bahwa dasar
dugaan ini sangat lemah. Andaikata orang-orang Arab itu
memaksakan agama dan bahasa mereka kepada bangsa-bangsa yang
sudah dikalahkan, niscaya berdirinya Kedaulatan untuk
kemudian roboh lagi. Sebabnya ialah bahwa setiap kaidah yang
bukan diterima dengan bebas secara sukarela akan cepat
runtuh, dan setiap sistem yang didasarkan pada kekerasan
akan menimbulkan kebencian dan perlawanan. Sekiranya kaum
Muslimin memaksakan Islam kepada bangsa-bangsa yang
dikalahkan itu, akibatnya tentu akan sia-sia dan orang malah
akan memberontak, pemerintahan yang mereka bangun di
negeri-negeri itu tidak akan berhasil tanpa kekerasan dengan
tangan besi. Pemerintahan yang dijalankan atas dasar
kekerasan akan cepat rapuh. Kita sudah melihat, dan kaum
Muslimin yang mula-mula juga menyaksikan apa yang sebenarnya
telah menimpa Heraklius tatkala ia hendak memaksakan adanya
satu sekte Kristen atas sekte-sekte Kristen lainnya yang
beraneka macam. Orang memberontak kepadanya dan kepada
wakil-wakilnya, yang berakhir dengan kaburnya dia sendiri
dari Syam ketika menghadapi pasukan Muslimin, dan dengan
masuknya Islam ke Mesir serta lepasnya negeri itu dari
imperium kekuasaannya.
Adapun jika orang dihadapkan kepada salah satu akidah dan
mereka menyambutnya secara bebas atas kemauan sendiri, maka
akidah itu akan menjadi bagian dari hidupnya, akan terasa
begitu suci dalam hati mereka sehingga mereka bersedia
mempertahankannya, bersedia mengorbankan nyawa demi
akidahnya itu. Inilah yang dilakukan oleh Muslimin yang
mula-mula dahulu dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama
mereka itu, dalam arti orang bebas menganut suatu
kepercayaan dan tanpa ada paksaan dalam soal agama. Inilah
hikmah terbesar yang menyebabkan Kedaulatan Islam berkembang
makin luas dalam kebesarannya.
Soal bahasa sama dengan soal agama. Kalau orang tidak
menyambutnya dengan senang hati dan atas kehendak sendiri,
memperhitungkan manfaatnya yang besar jika mempelajarinya,
maka semua usaha hendak mengajak orang agar mempelajarinya
akan sia-sia, apalagi akan berbicara dengan bahasa itu.
Kebebasan mengenai kepercayaan yang dijamin oleh pihak
Muslimin terhadap penduduk negeri-negeri yang sudah
dibebaskan itu merupakan salah satu faktor yang membuat
orang-orang Persia, Rumawi dan yang lain begitu bergairah
menyambut Islam dan bahasa Arab. Dan yang membuat mereka
lebih bergairah lagi menyambutnya karena Islam mengharuskan
persamaan antara sesama orang seiman, lepas dari perbedaan
ras, warna kulit, bahasa dan adat istiadat masing-masing,
serta adanya ketentuan bahwa tak ada kelebihan orang Arab
dari yang bukan-Arab kecuali dengan takwa, dan bahwa
orang-orang beriman semua bersaudara, dan tidak sempurna
iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya sendiri. Persaudaraan, kebebasan dan
persamaan, semua ini menyebabkan tersiarnya suasana yang
membuat kuatnya kesatuan dan persatuan Kedaulatan Islam jadi
berlipat ganda, dan berlipat ganda pula wilayah-wilayah yang
ada di dalamnya.
Interaksi jati diri telah membentuk
kebudayaan Islam
Kendati begitu, dengan adanya aktivitas itu semua, kita
masih dapat membedakan - pada suatu masa dalam sejarah Islam
yang mula-mula atau sesudahnya - bagian setiap wilayah
tentang peninggalan-peninggalan besar yang telah dihasilkan,
seperti fikih, sastra, ilmu pengetahuan dan filsafat,
industri dan pertanian serta segala ekspresi kehidupan dalam
arti maknawi dan materi. Soalnya, setiap bangsa mempunyai
ciri sendiri yang sudah dibentuk oleh lingkungan, dan waktu
pun mengukuhkannya secara turun-temurun. Ciri demikian ini
tampak jelas dalam karya seni, sastra dan berbagai macam
pikiran dan dalam perindustrian atau kerajinan, pertanian
dan sebagainya sudah tidak asing lagi sebagai peninggalan
kehidupan materi mereka. Sejarah kebudayaan Arab
menceritakan kepada kita tentang lukisan-lukisan dan
warna-warna yang diperkenalkan oleh Persia dan Rumawi -
dalam aliran penulisan dan pemikiran - yang oleh orang Arab
sendiri di Semenanjung tak pernah dikenal, padahal
orang-orang Persia dan Rumawi belajar bahasa Arab dari orang
Semenanjung. Tidak aneh, bahasa adalah wujud hidup yang
selalu berjalan seiring dengan lingkungan setempat. Dan
sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan gambaran umat
manusia, dalam gaya dan bentuknya, ia terpengaruh oleh
keanekaragaman pikiran dan imajinasi. Jadi wajar sekali jika
bahasa Arab itu terpengaruh oleh lukisan-lukisan dan
warna-warna yang pengungkapannya dalam budaya dan pemikiran
Persia dan Rumawi sudah biasa, dan sekaligus mempengaruhi
gayanya dalam puisi dan prosa yang sejalan dengan tujuan
itu.
Warna-warna baru dalam seni dan sastra Arab yang dibawa
oleh Persia dan Rumawi itu, pengaruhnya jelas sekali pada
orang-orang Arab sendiri. Pengaruh ini dapat kita rasakan
dalam aliran Basrah dan aliran Kufah dalam bahasa yang
berbeda, suatu perbedaan yang oleh para sejarawan bahasa dan
sastra sampai sekarang masih sering disebut-sebut. Timbulnya
perbedaan ini karena Basrah dan Kufah keduanya di Irak, dan
kedua kota itu bertetangga dengan Persia, dan karena
berdekatan wajar pula penduduknya jadi terpengaruh oleh
segala macam budaya Persia yang dibawa ke sana. Jadi tidak
aneh jika salah satu kotanya lebih banyak bertahan pada
corak Arabnya, yang lain lebih bebas mengikuti budaya
Persia.
Ciri khas kebangsaan itu tidak jelas terlihat dalam
kehidupan maknawi saja dan dalam ekspresi kehidupan seni,
ilmu dan sastranya, tetapi dalam kehidupan materi pengaruh
ciri ini tidak sedikit dapat kita baca. Kain loreng buatan
Yaman, kain sutra dari Damsyik dan kain linen dari Mesir,
serta warna-warna serupa yang membedakan mengenai industri
dan ekonomi sesuai dengan perbedaan lingkungan itu,
membuktikan bertahannya ciri ini, dan bahwa apa yang terjadi
dengan bersatunya Imperium itu pengaruhnya tidak akan dapat
dihapus atau dihilangkan begitu saja.
Sungguhpun begitu, ciri kebangsaan yang jelas dalam
gejala-gejala kehidupan maknawi dan materi yang beraneka
ragam itu, samasekali tidak sampai merusak kesatuan Imperium
itu dalam sejarahnya yang mula-mula. Serasinya Kedaulatan
itu sudah begitu kuat dari ujung timur ke ujung barat dan
dari ujung utara sampai ke selatan. Dari keserasian ini
lahir pula pembauran yang kemudian menghasilkan buah yang
mengikat semua kawasan Kedaulatan dengan tali yang sangat
kuat. Filsafat Yunani berbaur dengan peradaban Persia di
bawah panji tauhid Islam, maka dari pembauran ini lahirlah
filsafat Islam. Imajinasi Persia berbaur dengan kesenian
Bizantium dalam bahasa Arab, maka dalam puisi dan prosa
berbahasa Arab lahir pula aneka sastra Islam. Seni dekorasi
Persia berbaur dengan seni bangunan Rumawi, maka seni
bangunan Arab itu pun lahir dari buah pembauran ini.
Pembauran ini meluas sampai kepada segala rupa sarana dalam
kehidupan di seluruh Kedaulatan itu, maka lahirlah sebuah
ciptaan baru yang makin lama makin kuat dan bersemarak.
Mulanya didahului oleh kemenangan Islam, kemudian berjalan
seiring, dengan pengaruh yang sudah membentang ke seluruh
dunia, yang dekat dan jauh. Inilah pengaruh kemenangan yang
lebih bertahan dengan akar dan cabang-cabangnya yang lebih
kuat dan subur. Segala kreasi baru ini, itulah kebudayaan
Islam.
Di bawah kebudayaan ini dalam abad-abad permulaan itu
Kedaulatan Islam tumbuh subur dalam arti sampai menyilaukan
dunia, dan semua mata dari segenap penjuru sorotannya
terarah ke sana. Sebagai akibatnya di segenap penjuru
Kedaulatan yang luas itu orang sudah melupakan
perbedaan-perbedaan kebangsaannya, dan yang mereka sebutkan
hanya bahwa mereka adalah Muslim, dan mereka bersaudara,
terikat oleh prinsip-prinsip kemerdekaan, persaudaraan dan
persamaan seperti yang sudah ditentukan dalam Islam. Hukum
yang berlaku di antara mereka dasarnya keadilan dan
ketakwaan. Mereka satu sama lain dapat saling bersemenda,
orang Arab menikah dengan gadis-gadis Persia, Irak, Syam
atau Mesir, dan Muslimin yang lain penduduk negeri-negeri
itu menikah dengan gadis-gadis Arab. Dengan demikian
pertalian darah dan nasab sudah terikat pada hubungan yang
lebih erat antara sesama Muslim semua. Pengertian fanatisme
kegolongan dan ras terhapus dari hati mereka. Dalam kesatuan
Kedaulatan itu sekarang yang ada hanya semangat yang
menambah kekuatan, dan warga pun dalam mencipta makin
bergairah, dalam pengertian maknawi dan materi. Keagungan
kebudayaan Islam dengan itu makin terangkat.
Yang demikian ini berjalan dari generasi ke generasi.
Pengaruh interaksi unsur-unsur yang menjadi ciri khas
masing-masing bangsa dalam Kedaulatan itu besar sekali dalam
mengantarkan peradaban dunia di Timur dan Barat. Karena
tenaga-tenaga penggerak untuk interaksi unsur-unsur ini dan
pengawalannya sangat kuat, maka unsur-unsur perpecahan dan
kelemahan selama beberapa generasi itu masih tersembunyi dan
jejaknya juga tidak terlihat. Kalau jejak ini ada yang mulai
tampak tenaga-tenaga penggerak tadi akan segera
menghapusnya. Gambaran semacam itu sudah kita lihat ketika
Umar terbunuh. Hanya saja unsur-unsur yang masih tersembunyi
itu tidak terkikis habis sampai ke akar-akarnya; masih ada
yang bersembunyi di tempatnya, seperti kuman penyakit yang
bersembunyi dalam badan yang sehat. Jika berusaha hendak
bergerak atau muncul kembali ia tidak akan mampu, karena
yang dihadapinya adalah badan yang sehat, yang akan
menangkisnya kembali ke dalam sarang dan jaringannya, tanpa
disadari bahwa keberadaan dan kemampuan kuman itu masih akan
kembali aktif begitu kesehatan itu mulai melemah.
Di bawah naungan tenaga-tenaga penggerak inilah warga
Syam menjadi pendukung orang Arab Muslim pada masa Banu
Umayyah, orang-orang Persia menjadi pendukung kuat Banu
Abbas sebagai kerabat Rasulullah dan orang Mesir tampil ke
pentas politik Islam dalam situasi yang sudah sangat gawat.
Penampilan dan dukungan mereka masing-masing besar sekali
dampaknya dalam mempercepat pertumbuhan dan menguatnya
Kedaulatan itu, yang tetap bertahan dalam keutuhan
wilayah-wilayah itu, sampai kemudian tiba waktunya untuk
berputar lagi.
|