Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

5. Umar Memulai Tugasnya (3/3)

Pengosongan Nasrani Najran

Tatkala menerima pergantian itu Umar memperhatikan masalahnya. Dalam hal ini ia menempuh suatu langkah baru. Ia memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan: "Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu dari agama mereka. Keluarkanlah barang siapa yang masih berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah Arab. Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji kita memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."

Sebagian orang mengira bahwa kebijakan Umar ini melanggar apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh Abu Bakr. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini untuk menyerang Umar. Tetapi kalangan, sejarawan Muslim mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah mengadakan perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi ternyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan; jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir mereka dari Semenanjung. Sumber lain menyebutkan bahwa mereka saling berselisih di antara sesama mereka dan setelah perselisihan makin memuncak, mereka meminta kepada Umar agar mereka dikeluarkan dari perkampungan itu. Dan yang lain lagi mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat Umar khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. Baik sebagian Sumber ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umax, untuk mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu dengan tegas dan adil ia laksanakan.

Untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu .tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan Umar. Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu Muhammad diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang dahsyat antara Rumawi dengan Persia. Keadaan tetap berjalan demikian di Eropa dan di luar Eropa sampai pada waktu belum berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan Protestan. Rasulullah sudah mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak waktu lama sebelum Muhammad dan sebelum Nasrani mereka memang hidup dalam paganisme.

Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakr, Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada kekuasaan Medinah. Jadi wajar saja Abu Bakr mengadakan perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah. Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan mereka habis kemudian diteruskan dengan perang Irak dan Syam sehingga tergalang persatuan dan kesatuan politik dan kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung, dan semua itu melahirkan sebuah kedaulatan dengan Medinah sebagai ibu kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah. Tatkala Umar memegang kekuasaan, semua faktor penyebab lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakr sudah tak ada lagi. Sekarang tiba saatnya Umar harus memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan Semenanjung dan Medinah menjadi ibu kotanya yang tak tersaingi.

Bahwa sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah negara kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali apabila pemimpin ini berusaha membuang semua unsur yang akan mendatangkan kelemahan, di antaranya banyaknya suku bangsa atau agama yang berbagai macam yang mempunyai kekuasaan mutlak pada penduduk. Inilah kenyataan yang berlaku dan tetap berlaku. Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian yang diadakan sampai waktu akhir-akhir ini mengenai perpindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama ke dalam satu lingkungan yang sama. Atas dasar itu juga suatu bangsa beradab tidak dibenarkan menganut lebih dari satu ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi pegangan Islam tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama Kristen. Islam mengharamkan riba, Kristen membolehkan; Islam mengharamkan minuman keras, Kristen tidak mengharamkan; dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.' Waktu itu ketentuan-ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat, orang tak dapat menenggangnya seperti sekarang, atas nama kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila Umar bersikeras tidak mau membiarkan ada dua agama di jazirah Arab. Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua menerima dan rela hanya dengan satu agama sejak masa Rasulullah, dan sesudah pernah sebagian murtad pada masa Abu Bakr kemudian kembali lagi. Kesatuan agama itulah yang menjamin ketenteraman dan kuatnya persatuan mereka, dan jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang memberontak, yang akan mengganggu ketenteraman dan merusak persatuan mereka. Itulah yang dilakukannya, dan itu pula sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk mengeluarkan orang-orang Nasrani dari Najran.

Tindakan Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang dan disalahkan. Acuan mereka pada apa yang pernah dilakukan oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau Protestan ketika mereka menekan lawan sektenya sampai mereka dibunuh dan disiksa dengan berbagai macam cara.

Bahkan pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la, jangan sampai. ada orang memperdaya dan menggoda umat Nasrani Najran dari agama mereka; biarkan mereka bebas sepenuhnya, ingin tetap dengan agama mereka atau akan berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama di luar Semenanjung Arab, seperti tanah mereka itu. Dengan demikian mereka tidak dirugikan, dan apa yang dilakukan Umar itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa ini, ketika ada suatu golongan atau ras menghadapi pembagian dipindahkan ke tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya perselisihan di kalangan mereka dengan tetangga-tetangga tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan mayoritas yang berada di sekitar mereka.

Sesudah orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran, mereka pun yakin bahwa ia akan juga mengeluarkan orang-orang Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung Arab. Politik macam ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan sesuatu yang aneh dan tidak heran. Justru yang barangkali lebih aneh buat mereka pengangkatan Abu Ubaid as-Saqafi menjadi komandan pasukan di Irak termasuk adanya orang-orang Medinah dari kaum Muhajirin dan Ansarnya di dalamnya. Dan yang lebih lagi mengherankan mereka pemecatan Khalid bin Walid dari pimpinan militer di Syam. Mereka juga melihat tindakan yang diambil Umar itu tegas dan adil. Mereka ingat posisi Umar dengan Rasulullah dan dengan Abu Bakr, juga mereka ingat posisi Muslimin dan gentingnya keadaan di Irak dan Syam. Mereka melihat ketika ia berpidato di hadapan mereka. Ia tidak mementingkan diri sendiri, tetapi semata-mata demi Allah dan demi kepentingan umat. Maka lebih baik mereka menyerahkan persoalan dan tanggung jawab itu ke tangannya. Mereka hanya akan bermohon kepada Allah dengan doa semoga ia berhasil seperti keberhasilan Abu Bakr sebelumnya.

Apa yang dipidatokan Umar itu pengaruhnya tidak kurang dari pandangan-pandangannya yang lain dalam hati mereka. Ketulusan hatinya terpantul dalam kata-katanya. Sikapnya tidak mementingkan diri sendiri tetapi semata-mata demi Allah dan untuk kepentingan umum tampak dari setiap kata yang diucapkannya. Katanya kepada mereka: "Saya mengharapkan masih akan bersama-sama dengan Saudara-saudara. Sedikit banyak saya akan bekerja atas dasar kebenaran insya Allah. Jangan sampai ada seorang Muslim — walaupun sedang dalam dinas militernya — yang tidak mendapat haknya dan bagiannya dari harta Allah." Ia juga berkata: "Saya seorang manusia Muslim, seorang hamba yang lemah, kecuali jika dapat pertolongan Allah Yang Mahakuasa. Yang telah memberi kepercayaan kepada saya dalam kekhalifahan ini samasekali tidak akan mengubah perangai saya, insya Allah. Keagungan hanya pada Allah 'Azza wa J alia. Tak ada seorang hamba pun yang mempunyai keagungan, jangan ada di antara kalian yang akan mengatakan, bahwa sejak pengangkatannya Umar sudah berubah. Saya menyadari hak saya, akan saya kemukakan dan akan saya jelaskan keadaan saya ini kepada Saudara-saudara. Siapa pun orang yang memerlukan atau merasa dirugikan atau ada keluhan tentang saya sehubungan dengan perangai saya, temuilah saya. Saya adalah salah seorang dari kalian...Yang menjadi dambaanku hanya kebaikan bagi kalian." Segala kritik kalian sangat berharga bagi saya, dan saya bertanggung jawab atas amanat yang dipercayakan kepada saya. Insya Allah saya akan mengawasi dan datang sendiri, tidak akan saya wakilkan kepada orang lain. Hanya di tempat-tempat yang jauh akan saya serahkan orang yang dapat memegang amanat dan orang-orang yang ikhlas memberikan pendapat di antara kalian untuk kepentingan umum. Insya Allah saya tidak akan memberikan kepercayaan ini selain kepada mereka."

Dengan kata-kata itu dan yang senada dengan itu Umar berpidato kepada mereka serta mendekatkan hati mereka. Hati orang Arab di seluruh Semenanjung sudah merasa dekat kepadanya sejak ia memerintahkan pengembalian para tawanan perang kaum murtad kepada keluarga mereka. Sesudah ia mengangkat Abu Ubaidah dan memecat Khalid dan memerintahkan pengosongan kaum Nasrani Najran, tidak ada lagi orang yang merasa kesal kepadanya, kendati mereka melihat hal-hal baru yang diadakan Umar menurut pendapatnya sendiri selama masanya itu, yang dalam hal ini ia tidak mencontoh pendahulunya. Buat apa mereka harus merasa kesal, sedang segala tanggung jawab ada di tangannya. Mereka pun sudah mengenalnya, sudah biasa ia memikul tanggung jawab besar tanpa harus merasa lelah, dan tidak jarang Allah memberi ilham kepadanya sehingga ia dapat mengatasinya sampai mencapai hasil gemilang.

Gelar Umar dengan Amirulmukminin

Suatu hari Umar sedang duduk di Masjid selesai memberikan pedoman kepada Muslimin mengenai kebijaksanaannya, dan bahwa sudah tiba saatnya harus mereka laksanakan. Abu Ubaidah datang kepadanya untuk mengucapkan selamat tinggal sehubungan dengan keberangkatannya ke Irak memimpin pasukan yang sudah berkumpul di sekitar bendera, diikuti oleh orang-orang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua mereka menyambut Khalifah Khalifah Rasulullah itu. Dengan kata-kata yang diulang, gelar ini terasa berat diucapkan dan berat pula di telinga. Apa yang bergejolak dalam hati ini menjadi bahan pembicaraan mereka pula. Sementara dalam keadaan demikian tiba-tiba salah seorang dari mereka tampil menyambut Umar dengan kata-kata: "Salamullah 'alaika ya amirul mu'minin — Salam sejahtera bagi Anda, wahai Amirulmukminin!"5 Mendengar gelar baru ini orang menyambutnya dengan gembira disertai senyum tanda setuju. Sejak itu tak ada lagi orang memanggil Umar dengan Khalifah Khalifah Rasulullah, melainkan semua orang sudah menyebutnya "Amirulmukminin." Gelar ini tetap melekat pada Umar dan pada para khalifah dan raja-raja Muslimin sesudahnya.

Sekarang Musanna sudah mendahului kita ke Irak. Kita harus cepat-cepat menyusulnya untuk meneruskan ceritanya tatkala Abu Ubaid dan pasukannya menyusul kita dan yang akan menjadi panglimanya. Kemudian bagaimana ia bertempur mati-matian dengan perjuangan penuh bahaya dan akhirnya gugur sebagai syahid.

Catatan Kaki:

  1. Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengutip beberapa sumber tentang khutbah Umar yang pertama, di antaranya dari sumber yang mengacu kepada Affan bin Muslim dan Wahb bin Jarir, dari Jarir bin Hazim dan dari Humaid bin Hilal di antara orang-orang yang menyaksikan kematian Abu Bakr — sebagai berikut: "Selesai pemakaman Umar mengebutkan tangannya dari debu kuburan. Kemudian ia mengucapkan pidato, yang teksnya akan pembaca lihat nanti dalam bab ini. Kita meragukan bahwa Umar berpidato dalam situasi seperti ini; kita lebih cenderung mengatakan bahwa Umar berpidato dalam kesempatan lain. Putrinya Aisyah Ummulmukminin, Ali bin Abi Talib dan Umar menyampaikan eulogi (pujian duka) begitu berita kematian Abu Bakr diumumkan setelah matahari terbenam. Dalam pujian dukanya itu tak lebih Umar mengatakan: "Wahai Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban yang sangat berat yang harus kami pikul. Sungguh engkau tak tertandingi, bagaimana pula hendak menyusulmu!" Abu Bakr dimakamkan di rumah Aisyah setelah malam turun, dalam lubang tempat Rasulullah dimakamkan. Tak ada siapa pun di pemakaman itu selain mereka yang menyelenggarakan. Abdullah anak Abu Bakr bermaksud hendak membantu mereka, tetapi Umar berkata: "Sudah cukup." Rasanya tidak wajar Umar akan berpidato di tengahtengah mereka. Di samping itu orang pun sudah pulang semua ke rumah masing-masing. Pada saat semacam itu di Masjid sudah tak ada orang selain sebagian kecil penghuni Suffah, sebab pada waktu itu di Masjid tak ada penerangan.
  2. As-Sawad al-'Iraq. Nama 'Iraq berasal dari kata bahasa Pahlavi "Airak" yang berarti "tanah rendah" atau "tanah selatan." Tetapi as-Sawad dengan arti "tanah hitam" nama dalam bahasa Arab yang tertua untuk tanah resapan di tepi Sungai Tigris (Tigris) dan Furat (Euphrates), hilir Mesopotamia. Kata ini dipakai juga untuk menyatakan daerah pertanian atau perkebunan suatu wilayah atau kota, seperti "sawad al-'Iraq," "sawad Khuzistan," "sawad al-Urdun," "sawad Bagdad," "sawad Basrah" dan sebagainya. Sawad al-’arabi berada di kawasan Irak Hilir, termasuk Basrah dan Kufah yang sekarang. Irak terbagi menjadi dua kawasan, al-'Iraq al-'arabi (Irak-Arab) yang secara umum dalam sejarah lama sama dengan Mesopotamia, termasuk Irak Hulu atau Al-Jazirah, dan al-’Iraq al-’ajami (Irak-Persia) yang dibatasi oleh pegunungan Zagros, yang kurang lebih sama dengan Media. Kota Tikrit biasanya disebut yang membatasi kedua kawasan itu. (dari beberapa sumber). Dalam terjemahan seterusnya dipakai kata Sawad atau daerah pinggiran kota. — Pnj.
  3. Ayyuhan-nas, harfiah, "Wahai semua orang." — Pnj.
  4. Maksudnya Umar bin Khattab. — Pnj.
  5. Dalam Tarikh Damsyiq Ibn Asakir mengutip dua sumber mengenai siapa yang memulai penyebutan "Amirulmukminin" ini. Sumber pertama mengatakan bahwa alMugirah bin Syu'bah yang pertama kali memanggilnya dengan gelar ini. Sumber kedua mengatakan bahwa Umar menulis surat kepada wakilnya di Irak agar mengirim dua orang yang tangguh dan terpandang untuk dimintai keterangan mengenai keadaan di sana. Maka diutus Adi bin Hatim at-Ta'i dan Labid bin Rabi'ah. Sesampai di Medinah, setelah menambat unta mereka di serambi Masjid mereka masuk. Mereka menemui Amr bin al-As. "Izinkan kami menemui Amirulmukminin," kata mereka. Amr berkata: Saya masuk menemui Umar seraya kata saya: "Amirulmukminin!" Dijawab dengan mengatakan: "Yang Anda katakan itu akan saya pakai. "Amirulmukminin, gubernur Irak mengutus Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi'ah... lalu kata mereka: Izinkan kami menemui Amirulmukminin. Maka kata saya: Tepat sekali kalian, dia Amir dan kita orang-orang mukmin." Sejak itu gelar ini melekat pada Umar dan seterusnya dipakai oleh para penulis."

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team