|
5. Umar Memulai Tugasnya (3/3)
Pengosongan Nasrani Najran
Tatkala menerima pergantian itu Umar memperhatikan
masalahnya. Dalam hal ini ia menempuh suatu langkah baru. Ia
memerintahkan kepada Ya'la bin Umayyah agar Nasrani Najran
itu mengosongkan perkampungan mereka, dengan mengatakan:
"Selesaikanlah urusan mereka dan janganlah mereka diganggu
dari agama mereka. Keluarkanlah barang siapa yang masih
berpegang pada agamanya. Tempatkanlah Muslim, dan
berkelilinglah di tempat yang sudah dikosongkan. Kemudian
biarlah memilih sendiri tempat lain. Katakan kepada mereka
bahwa kita mengeluarkan mereka atas perintah Allah dan
Rasul-Nya untuk tidak membiarkan ada dua agama di jazirah
Arab. Orang yang masih berpegang pada agamanya hendaklah
keluar, kemudian kita beri mereka tanah seperti tanah mereka
sebagai pengakuan mereka kepada hak kita, dan memenuhi janji
kita memberi perlindungan kepada mereka sebagaimana
diperintahkan Allah, menggantikan hubungan mereka dengan
tetangga-tetangga penduduk Yaman dan yang lain, yang sudah
menjadi tetangga-tetangga mereka di pedesaan."
Sebagian orang mengira bahwa kebijakan Umar ini melanggar
apa yang sudah ditempuh oleh Rasulullah dan diteruskan oleh
Abu Bakr. Kalangan orientalis berpegang pada alasan ini
untuk menyerang Umar. Tetapi kalangan, sejarawan Muslim
mengemukakan beberapa alasan. Rasulullah mengadakan
perjanjian dengan umat Kristiani Najran untuk tidak diganggu
dari agama mereka "sepanjang mereka memelihara perjanjian
itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba." Tetapi
ternyata mereka menjalankan riba dengan melipatgandakan;
jadi mereka sudah melanggar janji. Maka Umar berhak mengusir
mereka dari Semenanjung. Sumber lain menyebutkan bahwa
mereka saling berselisih di antara sesama mereka dan setelah
perselisihan makin memuncak, mereka meminta kepada Umar agar
mereka dikeluarkan dari perkampungan itu. Dan yang lain lagi
mengatakan, bahwa setelah kedudukan mereka makin kuat Umar
khawatir, maka mereka pun dikeluarkan. Baik sebagian Sumber
ini autentik atau semua tidak, menurut hemat saya
penyebabnya tidak terletak pada rencana kerja Umax, untuk
mengeluarkan mereka dari Semenanjung, tetapi pada ketentuan
umum politik negara yang oleh Umar sudah diyakininya, lalu
dengan tegas dan adil ia laksanakan.
Untuk melihat ketentuan ini baik kita singkirkan dulu
.tuduhan bahwa Umar fanatik, seperti yang dilontarkan
kalangan orientalis! Mereka mengatakan itu berdasarkan
keyakinan orang masa kita sekarang tentang kebebasan
beragama sebagai suatu argumen untuk menyalahkan tindakan
Umar. Sudah tentu ini salah sekali, dengan menutup mata pada
kenyataan. Kenyataannya pada masa Umar agama merupakan dasar
yang paling utama dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang
berbeda dengan agama masyarakat umumnya, atau yang
melawannya, bagi mereka termasuk hukum melawan agama, dan
pihak penguasa sah memerangi mereka bahkan wajib. Untuk itu
Muhammad diperangi ketika mengajak orang menyembah Allah dan
agama Allah, dan karena agama pulalah maka terjadi perang
dahsyat antara Rumawi dengan Persia. Keadaan tetap berjalan
demikian di Eropa dan di luar Eropa sampai pada waktu belum
berselang lama ini dari zaman kita. Demi agama pula pecah
Perang Salib antara Islam dengan Kristen. Untuk itu pula
terjadi beberapa tragedi pembantaian antara Katolik dengan
Protestan. Rasulullah sudah mengadakan perjanjian dengan
kaum Nasrani Najran karena kesatuan politik di Semenanjung
ketika itu belum ada. Letak Najran berdekatan dengan Yaman,
yang sejak waktu lama sebelum Muhammad dan sebelum Nasrani
mereka memang hidup dalam paganisme.
Sesudah Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakr,
Yaman termasuk pelopor yang murtad dan memberontak kepada
kekuasaan Medinah. Jadi wajar saja Abu Bakr mengadakan
perjanjian dengan kaum Nasrani Najran seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah. Perang Riddah sudah dapat menumpas kaum
murtad dan pemberontakannya sekaligus, yang menyebabkan
mereka habis kemudian diteruskan dengan perang Irak dan Syam
sehingga tergalang persatuan dan kesatuan politik dan
kesatuan agama di segenap penjuru Semenanjung, dan semua itu
melahirkan sebuah kedaulatan dengan Medinah sebagai ibu
kotanya dan kepala pemerintahannya Khalifah Rasulullah.
Tatkala Umar memegang kekuasaan, semua faktor penyebab
lahirnya perjanjian Najran di masa Nabi dan masa Abu Bakr
sudah tak ada lagi. Sekarang tiba saatnya Umar harus
memikirkan suatu rencana baru dalam politik negara yang akan
dapat menyatukan semua bagian dari utara sampai ke selatan
Semenanjung dan Medinah menjadi ibu kotanya yang tak
tersaingi.
Bahwa sekarang seluruh kawasan Arab sudah menjadi sebuah
negara kesatuan dengan satu agama, dipimpin oleh orang yang
sudah disepakati pengangkatannya, maka layak sekali apabila
pemimpin ini berusaha membuang semua unsur yang akan
mendatangkan kelemahan, di antaranya banyaknya suku bangsa
atau agama yang berbagai macam yang mempunyai kekuasaan
mutlak pada penduduk. Inilah kenyataan yang berlaku dan
tetap berlaku. Kita melihat misalnya macam-macam perjanjian
yang diadakan sampai waktu akhir-akhir ini mengenai
perpindahan kelompok-kelompok dari jenis ras yang sama ke
dalam satu lingkungan yang sama. Atas dasar itu juga suatu
bangsa beradab tidak dibenarkan menganut lebih dari satu
ketentuan hukum. Hal-hal yang menjadi pegangan Islam tidak
sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada agama
Kristen. Islam mengharamkan riba, Kristen membolehkan; Islam
mengharamkan minuman keras, Kristen tidak mengharamkan;
dasar Islam tauhid, dasar Kristen trinitas.' Waktu itu
ketentuan-ketentuan ini dan yang semacamnya berlaku ketat,
orang tak dapat menenggangnya seperti sekarang, atas nama
kebebasan beragama atau berkeyakinan. Tidak heran apabila
Umar bersikeras tidak mau membiarkan ada dua agama di
jazirah Arab. Orang-orang Arab di Semenanjung itu semua
menerima dan rela hanya dengan satu agama sejak masa
Rasulullah, dan sesudah pernah sebagian murtad pada masa Abu
Bakr kemudian kembali lagi. Kesatuan agama itulah yang
menjamin ketenteraman dan kuatnya persatuan mereka, dan
jangan ada di antara mereka yang tidak seagama yang
memberontak, yang akan mengganggu ketenteraman dan merusak
persatuan mereka. Itulah yang dilakukannya, dan itu pula
sebabnya ia memanggil Ya'la bin Umayyah untuk mengeluarkan
orang-orang Nasrani dari Najran.
Tindakan Umar dalam hal ini patut dipuji, bukan diserang
dan disalahkan. Acuan mereka pada apa yang pernah dilakukan
oleh kaum mayoritas dari kalangan Katolik atau Protestan
ketika mereka menekan lawan sektenya sampai mereka dibunuh
dan disiksa dengan berbagai macam cara.
Bahkan pesan pertama yang diberikan Umar kepada Ya'la,
jangan sampai. ada orang memperdaya dan menggoda umat
Nasrani Najran dari agama mereka; biarkan mereka bebas
sepenuhnya, ingin tetap dengan agama mereka atau akan
berpindah kepada Islam; mereka agar diberi-tanah yang sama
di luar Semenanjung Arab, seperti tanah mereka itu. Dengan
demikian mereka tidak dirugikan, dan apa yang dilakukan Umar
itu sama seperti yang dilakukan negara-negara beradab dewasa
ini, ketika ada suatu golongan atau ras menghadapi pembagian
dipindahkan ke tempat golongannya yang mayoritas. Bahaya
perselisihan di kalangan mereka dengan tetangga-tetangga
tidak akan lebih berbahaya daripada dengan golongan
mayoritas yang berada di sekitar mereka.
Sesudah orang tahu Umar mengeluarkan kaum Nasrani Najran,
mereka pun yakin bahwa ia akan juga mengeluarkan orang-orang
Yahudi dan bukan Muslim lainnya dari Semenanjung Arab.
Politik macam ini baru adanya. Tetapi buat mereka bukan
sesuatu yang aneh dan tidak heran. Justru yang barangkali
lebih aneh buat mereka pengangkatan Abu Ubaid as-Saqafi
menjadi komandan pasukan di Irak termasuk adanya orang-orang
Medinah dari kaum Muhajirin dan Ansarnya di dalamnya. Dan
yang lebih lagi mengherankan mereka pemecatan Khalid bin
Walid dari pimpinan militer di Syam. Mereka juga melihat
tindakan yang diambil Umar itu tegas dan adil. Mereka ingat
posisi Umar dengan Rasulullah dan dengan Abu Bakr, juga
mereka ingat posisi Muslimin dan gentingnya keadaan di Irak
dan Syam. Mereka melihat ketika ia berpidato di hadapan
mereka. Ia tidak mementingkan diri sendiri, tetapi
semata-mata demi Allah dan demi kepentingan umat. Maka lebih
baik mereka menyerahkan persoalan dan tanggung jawab itu ke
tangannya. Mereka hanya akan bermohon kepada Allah dengan
doa semoga ia berhasil seperti keberhasilan Abu Bakr
sebelumnya.
Apa yang dipidatokan Umar itu pengaruhnya tidak kurang
dari pandangan-pandangannya yang lain dalam hati mereka.
Ketulusan hatinya terpantul dalam kata-katanya. Sikapnya
tidak mementingkan diri sendiri tetapi semata-mata demi
Allah dan untuk kepentingan umum tampak dari setiap kata
yang diucapkannya. Katanya kepada mereka: "Saya mengharapkan
masih akan bersama-sama dengan Saudara-saudara. Sedikit
banyak saya akan bekerja atas dasar kebenaran insya Allah.
Jangan sampai ada seorang Muslim walaupun sedang
dalam dinas militernya yang tidak mendapat haknya dan
bagiannya dari harta Allah." Ia juga berkata: "Saya seorang
manusia Muslim, seorang hamba yang lemah, kecuali jika dapat
pertolongan Allah Yang Mahakuasa. Yang telah memberi
kepercayaan kepada saya dalam kekhalifahan ini samasekali
tidak akan mengubah perangai saya, insya Allah. Keagungan
hanya pada Allah 'Azza wa J alia. Tak ada seorang hamba pun
yang mempunyai keagungan, jangan ada di antara kalian yang
akan mengatakan, bahwa sejak pengangkatannya Umar sudah
berubah. Saya menyadari hak saya, akan saya kemukakan dan
akan saya jelaskan keadaan saya ini kepada Saudara-saudara.
Siapa pun orang yang memerlukan atau merasa dirugikan atau
ada keluhan tentang saya sehubungan dengan perangai saya,
temuilah saya. Saya adalah salah seorang dari kalian...Yang
menjadi dambaanku hanya kebaikan bagi kalian." Segala kritik
kalian sangat berharga bagi saya, dan saya bertanggung jawab
atas amanat yang dipercayakan kepada saya. Insya Allah saya
akan mengawasi dan datang sendiri, tidak akan saya wakilkan
kepada orang lain. Hanya di tempat-tempat yang jauh akan
saya serahkan orang yang dapat memegang amanat dan
orang-orang yang ikhlas memberikan pendapat di antara kalian
untuk kepentingan umum. Insya Allah saya tidak akan
memberikan kepercayaan ini selain kepada mereka."
Dengan kata-kata itu dan yang senada dengan itu Umar
berpidato kepada mereka serta mendekatkan hati mereka. Hati
orang Arab di seluruh Semenanjung sudah merasa dekat
kepadanya sejak ia memerintahkan pengembalian para tawanan
perang kaum murtad kepada keluarga mereka. Sesudah ia
mengangkat Abu Ubaidah dan memecat Khalid dan memerintahkan
pengosongan kaum Nasrani Najran, tidak ada lagi orang yang
merasa kesal kepadanya, kendati mereka melihat hal-hal baru
yang diadakan Umar menurut pendapatnya sendiri selama
masanya itu, yang dalam hal ini ia tidak mencontoh
pendahulunya. Buat apa mereka harus merasa kesal, sedang
segala tanggung jawab ada di tangannya. Mereka pun sudah
mengenalnya, sudah biasa ia memikul tanggung jawab besar
tanpa harus merasa lelah, dan tidak jarang Allah memberi
ilham kepadanya sehingga ia dapat mengatasinya sampai
mencapai hasil gemilang.
Gelar Umar dengan Amirulmukminin
Suatu hari Umar sedang duduk di Masjid selesai memberikan
pedoman kepada Muslimin mengenai kebijaksanaannya, dan bahwa
sudah tiba saatnya harus mereka laksanakan. Abu Ubaidah
datang kepadanya untuk mengucapkan selamat tinggal
sehubungan dengan keberangkatannya ke Irak memimpin pasukan
yang sudah berkumpul di sekitar bendera, diikuti oleh
orang-orang yang tidak sedikit jumlahnya. Semua mereka
menyambut Khalifah Khalifah Rasulullah itu. Dengan kata-kata
yang diulang, gelar ini terasa berat diucapkan dan berat
pula di telinga. Apa yang bergejolak dalam hati ini menjadi
bahan pembicaraan mereka pula. Sementara dalam keadaan
demikian tiba-tiba salah seorang dari mereka tampil
menyambut Umar dengan kata-kata: "Salamullah 'alaika ya
amirul mu'minin Salam sejahtera bagi Anda, wahai
Amirulmukminin!"5 Mendengar gelar baru ini orang
menyambutnya dengan gembira disertai senyum tanda setuju.
Sejak itu tak ada lagi orang memanggil Umar dengan Khalifah
Khalifah Rasulullah, melainkan semua orang sudah menyebutnya
"Amirulmukminin." Gelar ini tetap melekat pada Umar dan pada
para khalifah dan raja-raja Muslimin sesudahnya.
Sekarang Musanna sudah mendahului kita ke Irak. Kita
harus cepat-cepat menyusulnya untuk meneruskan ceritanya
tatkala Abu Ubaid dan pasukannya menyusul kita dan yang akan
menjadi panglimanya. Kemudian bagaimana ia bertempur
mati-matian dengan perjuangan penuh bahaya dan akhirnya
gugur sebagai syahid.
Catatan Kaki:
- Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengutip beberapa sumber
tentang khutbah Umar yang pertama, di antaranya dari
sumber yang mengacu kepada Affan bin Muslim dan Wahb bin
Jarir, dari Jarir bin Hazim dan dari Humaid bin Hilal di
antara orang-orang yang menyaksikan kematian Abu Bakr
sebagai berikut: "Selesai pemakaman Umar
mengebutkan tangannya dari debu kuburan. Kemudian ia
mengucapkan pidato, yang teksnya akan pembaca lihat nanti
dalam bab ini. Kita meragukan bahwa Umar berpidato dalam
situasi seperti ini; kita lebih cenderung mengatakan
bahwa Umar berpidato dalam kesempatan lain. Putrinya
Aisyah Ummulmukminin, Ali bin Abi Talib dan Umar
menyampaikan eulogi (pujian duka) begitu berita kematian
Abu Bakr diumumkan setelah matahari terbenam. Dalam
pujian dukanya itu tak lebih Umar mengatakan: "Wahai
Khalifatullah! Sepeninggalmu, sungguh ini suatu beban
yang sangat berat yang harus kami pikul. Sungguh engkau
tak tertandingi, bagaimana pula hendak menyusulmu!" Abu
Bakr dimakamkan di rumah Aisyah setelah malam turun,
dalam lubang tempat Rasulullah dimakamkan. Tak ada siapa
pun di pemakaman itu selain mereka yang menyelenggarakan.
Abdullah anak Abu Bakr bermaksud hendak membantu mereka,
tetapi Umar berkata: "Sudah cukup." Rasanya tidak wajar
Umar akan berpidato di tengahtengah mereka. Di samping
itu orang pun sudah pulang semua ke rumah masing-masing.
Pada saat semacam itu di Masjid sudah tak ada orang
selain sebagian kecil penghuni Suffah, sebab pada waktu
itu di Masjid tak ada penerangan.
- As-Sawad al-'Iraq. Nama 'Iraq berasal dari kata
bahasa Pahlavi "Airak" yang berarti "tanah rendah" atau
"tanah selatan." Tetapi as-Sawad dengan arti "tanah
hitam" nama dalam bahasa Arab yang tertua untuk tanah
resapan di tepi Sungai Tigris (Tigris) dan Furat
(Euphrates), hilir Mesopotamia. Kata ini dipakai juga
untuk menyatakan daerah pertanian atau perkebunan suatu
wilayah atau kota, seperti "sawad al-'Iraq," "sawad
Khuzistan," "sawad al-Urdun," "sawad Bagdad," "sawad
Basrah" dan sebagainya. Sawad al-arabi berada di
kawasan Irak Hilir, termasuk Basrah dan Kufah yang
sekarang. Irak terbagi menjadi dua kawasan, al-'Iraq
al-'arabi (Irak-Arab) yang secara umum dalam sejarah lama
sama dengan Mesopotamia, termasuk Irak Hulu atau
Al-Jazirah, dan al-Iraq al-ajami
(Irak-Persia) yang dibatasi oleh pegunungan Zagros, yang
kurang lebih sama dengan Media. Kota Tikrit biasanya
disebut yang membatasi kedua kawasan itu. (dari beberapa
sumber). Dalam terjemahan seterusnya dipakai kata Sawad
atau daerah pinggiran kota. Pnj.
- Ayyuhan-nas, harfiah, "Wahai semua
orang." Pnj.
- Maksudnya Umar bin Khattab. Pnj.
- Dalam Tarikh Damsyiq Ibn Asakir mengutip dua sumber
mengenai siapa yang memulai penyebutan "Amirulmukminin"
ini. Sumber pertama mengatakan bahwa alMugirah bin
Syu'bah yang pertama kali memanggilnya dengan gelar ini.
Sumber kedua mengatakan bahwa Umar menulis surat kepada
wakilnya di Irak agar mengirim dua orang yang tangguh dan
terpandang untuk dimintai keterangan mengenai keadaan di
sana. Maka diutus Adi bin Hatim at-Ta'i dan Labid bin
Rabi'ah. Sesampai di Medinah, setelah menambat unta
mereka di serambi Masjid mereka masuk. Mereka menemui Amr
bin al-As. "Izinkan kami menemui Amirulmukminin," kata
mereka. Amr berkata: Saya masuk menemui Umar seraya kata
saya: "Amirulmukminin!" Dijawab dengan mengatakan: "Yang
Anda katakan itu akan saya pakai. "Amirulmukminin,
gubernur Irak mengutus Adi bin Hatim dan Labid bin
Rabi'ah... lalu kata mereka: Izinkan kami menemui
Amirulmukminin. Maka kata saya: Tepat sekali kalian, dia
Amir dan kita orang-orang mukmin." Sejak itu gelar ini
melekat pada Umar dan seterusnya dipakai oleh para
penulis."
|