Umar bin Khattab

oleh Muhammad Husain Haekal

Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

5. Umar Memulai Tugasnya (2/3)

Pidato pertama

Hari ketiga ia datang ke Masjid, dan selesai baiat ia berkata: "Orang Arab ini seperti unta yang jinak, mengikuti yang menuntunnya ke mana saja dibawa. Tetapi saya, demi Allah, akan membawa mereka ke jalan yang benar."

Orang makin banyak memperhatikan Umar. Terbayang oleh semua hadirin yang ada di Masjid, bahwa orang ini akan membawa malapetaka kepada mereka, karena sikapnya yang begitu tegar dan keras. Umar dapat menangkap perasaan itu dari wajah mereka. Ketika orang sudah banyak berkumpul akan melaksanakan salat lohor, Umar naik ke tangga mimbar setapak demi setapak dan berkata:

"Saya mendapat kesan, orang merasa takut karena sikap saya yang keras. Kata mereka Umar bersikap demikian keras kepada kami, sementara Rasulullah masih berada di tengah-tengah kita, juga bersikap keras demikian sewaktu Abu Bakr menggantikannya. Apalagi sekarang, kalau kekuasaan sudah di tangannya. Benarlah orang yang berkata begitu.

"... Ketika itu saya bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan pelayannya. Tak ada orang yang mampu bersikap seperti Rasulullah, begitu ramah, seperti difirmankan Allah: Sekarang sudah datang kepadamu seorang rasul dari golonganmu sendiri: terasa pedih hatinya bahwa kamu dalam penderitaan, sangat prihatin ia terhadap kamu, penuh kasih sayang kepada orang-orang beriman. (Qur'an, 9:128) Di hadapannya ketika itu saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama Rasulullah sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Rasulullah.

"Setelah itu datang Abu Bakr memimpin Muslimin. Juga sudah tidak asing lagi bagi Saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan dan lemah lembut. Ketika itu juga saya pelayan dan pembantunya. Saya gabungkan sikap keras saya dengan kelembutannya. Juga saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama dia sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Abu Bakr.

"Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair.. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin. Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua. Saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan saya letakkan di tanah dan pipinya yang sebelah lagi akan saya injak dengan kakiku sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, sikap saya yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipi saya ini akan saya letakkan di tanah.

"Dalam beberapa hal, Saudara-saudara berhak menegur saya. Bawalah saya ke sana; yang perlu Saudara-saudara perhatikan, ialah:

"Saudara-saudara berhak menegur saya agar tidak memungut pajak atas kalian atau apa pun yang diberikan Allah kepada Saudara-saudara, kecuali demi Allah; Saudara-saudara berhak menegur saya, jika ada sesuatu yang di tangan saya agar tidak keluar yang tak pada tempatnya; Saudara-saudara berhak menuntut saya agar saya menambah penerimaan atau penghasilan Saudara-saudara, insya Allah, dan menutup segala kekurangan; Saudara-saudara berhak menuntut saya agar Saudara-saudara tidak terjebak ke dalam bencana, dan pasukan kita tidak terperangkap ke tangan musuh; kalau Saudara-saudara berada jauh dalam suatu ekspedisi, sayalah yang akan menanggung keluarga yang menjadi tanggungan Saudara-saudara.

"Bertakwalah kepada Allah, bantulah saya mengenai tugas Saudara-saudara, dan bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar ma 'ruf nahi munkar, dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-saudara sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya demi kepentingan Saudara-saudara sekalian. Demikianlah apa yang sudah saya sampaikan, semoga Allah mengampuni kita semua."

Sesudah menyampaikan pidatonya itu Umar turun dari mimbar dan langsung memimpin sembahyang. Selesai salat ia pergi meninggalkan mereka. Hadirin masih merenungkan apa yang mereka dengar tadi. Mereka memang sudah mengenai Umar sebagai yang suka berterus terang, lahirnya sama dengan batinnya, yang dikatakannya dan yang tidak dikatakannya sama. Mereka sudah mengenalnya sebagai orang yang adil dengan segala kekerasan watak dan kekasarannya. Ternyata kini dia sendiri yang mengatakan bahwa sikap kerasnya itu hanya ditujukan kepada orang-orang zalim. Dia tidak menipu mereka ketika mengatakan bahwa bagi orang yang jujur dan adil ia akan lebih lembut dari mereka semua. Yang harus mereka akui dan tak boleh dilupakan, dalam beberapa hal mereka juga sudah mengenalnya ia bersikap ramah. Di samping itu ia sudah berjanji akan menambah penerimaan dan penghasilan mereka dan akan menjadi pelindung keluarga mereka selama mereka berada jauh di medan perang. Bukankah sudah seharusnya mereka mencurahkan segala kepercayaan kepadanya dan memenuhi seruannya itu kalau mereka dipanggil?

Demikianlah perasaan sebagian besar mereka yang hadir. Tetapi pemuka-pemuka mereka masih tetap berhati-hati. Sebagian mereka merasa tidak puas terhadap Umar, dan yang sebagian besar mereka ikut prihatin melihat keadaan di Irak dan Syam.

Muslimin ragu menghadapi kehebatan Persia

Sekarang Umar datang kembali hendak melakukan salat asar, kemudian mengadakan mobilisasi untuk diberangkatkan bersama Musanna. Tetapi mereka tampaknya masih tampak enggan. Ketika itu Musanna hadir, dan ia mendesak sekali kepada Umar agar kaum murtad yang sudah jelas-jelas bertobat diperbantukan kepadanya; mereka lebih mampu dalam memerangi Persia. Ia makin keras mendesak tatkala Umar memerintahkan para tawanan perang keluarga kaum murtad dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka. Yakin dia bahwa perintah ini akan membuat mereka lebih siap berangkat bersama dia. Melihat Umar tidak segera menjawab permintaannya itu dan melihat orang makin banyak yang menyetujui Umar dan pemerintahannya, harapannya mereka akan segera maju sesuai dengan seruan Khalifah untuk bergabung kepadanya. Tetapi melihat keengganan mereka dan di wajah mereka terlihat bahwa muka-muka orang Persia memang sangat mereka benci karena bengisnya mereka berkuasa, tindakan mereka yang sewenang-wenang dan keserakahannya menguasai bangsa-bangsa lain, Musanna tampil berpidato di hadapan mereka:

"Saudara-saudara! Saudara-saudara jangan takut menghadapi wajah mereka. Kami sudah menjelajahi desa Persia dan kami dapat mengalahkan mereka di kanan kiri Sawad, kami hadapi dan kami hancurkan mereka. Jadi yang sebelum kita sudah mempunyai keberanian menghadapi mereka, maka yang sesudahnya juga insya Allah demikian."

Umar menyimak kata-kata Musanna itu dan melihat dampaknya yang baik pada pendengarnya. Setelah berdiri dan berpidato di hadapan mereka, di antaranya ia mengatakan: "Di Hijaz sudah tak ada lagi rumah buat kita kecuali di tempat mencari rumput, dan kekuatan penduduknya hanya dengan itu. Manalah orang-orang asing kaum Muhajirin itu dari yang sudah dijanjikan Allah. Mengembaralah di muka bumi, bumi yang akan diwariskan kepada kamu sekalian, seperti dijanjikan Allah dalam Kitab-Nya. Ia berfirman untuk memenangkannya di atas semua agama. Allah akan memenangkan agama-Nya, akan memuliakan pembelanya dan mewariskan bangsa-bangsa kepada yang berhak. Manakah hambahamba Allah yang saleh itu!"

Sesudah menyimak kata-kata Musanna dan Umar, orang banyak itu merasa sangat tercela dengan sikap mereka yang masih malas-malas itu. Mereka sudah membela Rasulullah dan memuliakan agama Allah, tetapi mengapa dengan seruan Umar mereka tak mau beranjak? Mereka maju mundur: maukah mereka menyambut seruan itu ataukah masih akan tetap enggan? Sementara mereka dalam keadaan demikian tiba-tiba Abu Ubaid bin Mas'ud bin Amr as-Saqafi tampil, siap akan berangkat ke Irak. Dialah orang pertama yang menyambut tugas ini. Menyusul kemudian orang kedua, Salit bin Qais. Ketika itulah orang baru datang mengerumuni mereka dan mereka sepakat akan berangkat bersama-sama. Jumlah mereka mencapai seribu orang dari Medinah. Umar senang sekali melihat mereka sudah. berkumpul demikian. Jantungnya tergetar karena rasa bersyukur kepada Allah, bahwa kaum Muslimin sekarang sudah tergugah dari kebekuannya selama ini, yang tadinya hampir saja merusak suasana.

Abu Ubaid memimpin pasukan ke Irak

Siapakah dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang akan memegang pimpinan ekpedisi itu? Keadaan ini menjadi pemikiran mereka yang tadinya masih ragu memenuhi seruan itu. Mereka khawatir jika Umar menyerahkan pimpinan pasukan kepada satu orang yang bukan dari Medinah sementara kebanyakan anggota pasukannya terdiri dari orang-orang Medinah. Cepat-cepat mereka berkata kepada Khalifah: "Pimpinan mereka hendaknya seorang sahabat yang mula-mula, dari Muhajirin dan Ansar." Tetapi sikap ragu-ragu mereka selama tiga hari pertama pemerintahan Umar telah melukai hati dan masih terasa bekasnya. Oleh karena itu Umar langsung menjawab mereka: "Tidak! Allah telah mengangkat Saudara-saudara karena kesigapan dan kecepatan Saudara-saudara menghadapi musuh. Kalau kalian takut dan enggan menghadapi musuh, lebih baik pimpinan diserahkan kepada orang yang mau mempertahankan dan menyambut seruan itu. Pimpinan akan saya serahkan hanya kepada orang yang pertama menyambut tugas ini. Kemudian ia memanggil Abu Ubaid, dan pimpinan pasukan diserahkan kepadanya. Setelah itu ia memanggil Sa'd bin Ubaid dan Salit bin Qais dan katanya kepada mereka: "Kalian berdua kalau dapat menyusulnya akan saya serahi pimpinan dan kalian akan dapat melakukan itu dengan keberanian kalian."

Musanna bin Harisah merasa lega setelah melihat pasukan itu sudah siap berangkat ke Irak. Menurut pendapat Umar Musanna tidak perlu tinggal di Medinah, dan diperintahkannya ia kembali ke Irak dengan angkatan bersenjatanya. Kata Umar kepadanya: "Cepat-cepatlah supaya kawan-kawanmu segera menemuimu!" Pasukan baru itu sekarang sudah dalam persiapan. Bilamana waktu keberangkatan sudah dekat, Umar berpesan kepada Abu Ubaid:

"Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaklah mereka bersama-sama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum Anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, yang pandai melihat kesempatan dan pandai pula mengelak."

Inilah masalah yang sungguh pelik. Dengan ilham yang diberikan Allah kepadanya, dalam empat hari pemerintahannya ia telah dapat mengatasinya, sehingga kesibukannya dalam soal ini tidak sampai mengganggu pikirannya dalam menghadapi soal-soal latin yang sekarang sedang bertimbun di depannya. Pikirannya tertuju pada soal Syam, orang-orang Kristiani Najran dan sekian lagi masalah, yang menurut pendapatnya berbeda dengan pendapat Abu Bakr. Ia sedang memikirkan suatu strategi yang harus diambil untuk mewujudkan konsepnya itu dan mendapat persetujuan Muslimin yang ada di sekitarnya. Tatkala melaksanakan konsepnya dalam menghadapi problem seperti ini, seperti biasa ia berterus terang, dan sangat tegas, tak kenal ragu atau basa-basi, dan tidak mengelak untuk memikul semua tanggung jawab sepenuhnya, sebab ia percaya bahwa ia benar, dan untuk itu pasti Allah mendukungnya.

Khalid bin Walid dipecat dari pimpinan militer

Semua orang sudah tahu pandangannya yang begitu jelek terhadap Khalid bin Walid dan keprihatinannya sehubungan dengan peristiwa Malik bin Nuwairah. Ia meminta kepada Abu Bakr supaya Khalid dijatuhi sanksi. Sejak peristiwa itu pandangan Umar terhadap Khalid tidak berubah. Jenderal itu telah dipindahkan dari Irak ke Syam atas perintah Abu Bakr dan menyerahkan pimpinan kepada pasukan Muslimin. Di samping itu sudah lebih dari sebulan ia tak dapat mengalahkan pasukan Rumawi, bahkan tidak menghadapinya. Mana ada kesempatan lebih baik dari ini untuk memecat Khalid dari pimpinan militer dan menyerahkannya kepada Abu Ubaidah! Dan inilah yang dilakukan Umar. Keesokan harinya sesudah Abu Bakr wafat ia menulis surat kepada Abu Ubaidah memberitahukan tentang meninggalnya Khalifah, kemudian surat tentang pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah menggantikannya sebagai panglima dan Khalid sebagai komandan batalion yang tadinya dipegang Abu Ubaidah. Untuk menyampaikan berita wafatnya Abu Bakr Umar mengutus Yarfa' pembantunya, sedang mengenai pemecatan Khalid dan pengangkatan Abu Ubaidah yang diutusnya Mahmiyat bin Zanim dan Syaddad bin Aus. Dalam surat pengangkatannya ia berpesan kepada Abu Ubaidah dengan mengatakan: "Jangan menjerumuskan pasukan Muslimin karena mengharapkan rampasan perang. Janganlah menempatkan mereka di suatu tempat sebelum Anda merahasiakan kekuatannya dari mereka dan mengetahui bagaimana kedatangannya. Janganlah mengirim satuan kecuali dalam rombongan besar. Janganlah menjerumuskan pasukan Muslimin ke dalam malapetaka! Allah telah menguji Anda dengan saya dan mengujiku dengan Anda. Tutuplah matamu dari kesenangan dunia dan lupakan. Janganlah Anda sampai binasa seperti yang terjadi dengan yang sebelummu, dan Anda sudah melihat sendiri kehancuran mereka!" Bagaimana Umar berani mempertaruhkan diri dengan memecat Khalid padahal pimpinan angkatan bersenjata Muslimin di Syam di tangan Khalid dan angkatan ini dalam situasi yang sangat genting! Mereka di sana tidak menghadapi pihak Rumawi secara berhadap-hadapan, dan untuk itu memang tidak mampu. Demikian juga halnya pasukan Rumawi terhadap pasukan Muslimin. Begitulah keadaan mereka sebelum keberangkatan Khalid bin Walid dari Irak ke Syam. Setelah Khalid berada di tengah-tengah mereka keadaan pun tetap demikian. Kedua pihak menunggu kesempatan keluar dari situasiyang begitu mencekam untuk menyerbu musuh. Tidakkah Khalifah merasa khawatir dengan pemecatan Khalid itu keadaan pasukan Muslimin akan berantakan dan situasinya akan makin gawat? Tidakkah lebih baik ia menunggu sampai Khalid lepas dari situasi kritis sekarang ini. Sesudah itu baru ia bertindak dengan cara yang bagaimanapun?!

Melihat perkembangan perang yang sedang berlangsung itu, sudah tentu segala pertimbangan ini besar sekali artinya. Nanti akan kita lihat bahwa Abu Ubaidah sangat menghargainya tanpa merasa khawatir Khalifah akan marah kepadanya. Tetapi Umar melihatnya dari segi lain. Jika pemecatan Khalid ditunda sampai perang selesai keadaan akan membahayakan politiknya dan akan merusak strateginya. Tak terlihat jalan lain dalam perang itu: berkesudahan dengan kekalahan pasukan Muslimin, atau dengan kemenangan. Kalau Muslimin kalah, pemecatan Khalid tak ada arti apa-apa atas kekalahan itu. Kebalikannya, kalau menang dan Khalid sebagai panglimanya, Umar tidak akan memecat seorang panglima yang sedang dalam puncak kejayaannya. Kalau ini juga yang dilakukannya, berarti ia mengambil suatu tindakan yang sangat mengerikan. Umar cenderung tidak akan membiarkan Khalid sebagai panglima tertinggi di Syam atau di tempat lain. Oleh karenanya ia cepat-cepat mengeluarkan perintah pemecatannya. Apa boleh buat, Khalid tak dapat mewujudkan apa yang dipercayakan Abu Bakr kepadanya. Kalau sesudah itu pasukan Muslimin menang, Umar tidak salah. Ia hanya melakukan apa yang diyakininya bahwa dia benar. Dalam hal ini Khalid dalam posisi yang tidak dirugikan oleh orang yang memerintahkan pemecatannya.

Sampai pada masa kita sekarang ini orang masih bertanya-tanya gerangan apa rahasia di balik pemecatan Khalid oleh Umar itu, dan Khalid Saifullah seperti diucapkan oleh Rasulullah. Dialah yang berhasil menumpas kaum murtad, kaum pembangkang dan yang telah membebaskan Irak. Dia pahlawan yang tak ada bandingannya dan dia jenius perang yang sudah tak dapat dibantah. Benarkah terbunuhnya Malik bin Nuwairah dan dikawininya istrinya oleh Khalid itu juga yang masih membekas di hati Umar sehingga ia bertindak seperti itu? Ataukah Umar khawatir orang akan terpengaruh oleh Khalid karena kemenangannya yang terus-menerus di medan perang, yang bukan tidak mungkin akibatnya akan menjerumuskan negara ke dalam bencana? Ada beberapa orang yang berpendapat seperti kemungkinan terakhir ini. Mereka mengatakan bahwa ketika Khalid kembali ke Medinah menanyakan kepada Umar alasan pemecatannya Umar menjawab: "Saya memecatmu bukan karena meragukan Anda, tetapi banyak orang sudah tergila-gila kepadamu, maka saya khawatir Anda pun akan terpengaruh oleh mereka." Sumber ini tak ada dasarnya. Yang jelas sesudah pemecatannya itu Khalid tidak pergi ke Medinah. Ia tetap di Syam meneruskan tugasnya dalam perang di bawah pimpinan Abu Ubaidah, sampai pada tahun tujuh belas sesudah hijrah Umar baru memecatnya dari segala jabatannya dalam tentara. Saya juga tidak berpendapat bahwa terbunuhnya Malik bin Nuwairah menjadi sebab pemecatannya. Peristiwa itu sudah berlalu dua tahun silam setelah Umar mejijabat Khalifah, dan selama dalam dua tahun ini kehebatan Khalid dalam pimpinan militer mencapai puncaknya. Peranannya dalam perang Yamamah dan perang Irak sudah menjadi buah bibir semua orang di seluruh Semenanjung, di Persia dan di Rumawi. Menurut hemat saya, Umar memecat Khalid karena krisis kepercayaan antara kedua orang ini. Sejak sebelum Umar menjadi Khalifah sampai selama ia dalam jabatan itu kepercayaan ini memang sudah tidak ada.

Yang saya maksudkan bukan kepercayaan Umar kepada kejeniusan Khalid, atau kepercayaan Khalid akan keadilan Umar. Tetapi yang saya maksudkan kepercayaan orang yang berpandangan bijaksana terhadap temannya. Karena itu ia menutup mata atas segala kekurangannya, sehingga segala perbuatannya yang baik dapat dua kali lipat menghapus kejahatannya. Umar melihat Khalid begitu sombong sehingga ia serba tergesa-gesa, kendati ketergesaan ini bukan alasan lalu boleh melanggar perintah atasan. Karena kesombongan dan main tergesa-gesa itu juga maka ketika dalam pembebasan Mekah dulu ia melakukan pembunuhan, padahal Nabi sudah melarang pembunuhan. Begitu juga ketika ia pergi ke tempat Banu Tamim, ia membunuh Malik bin Nuwairah tanpa izin dari Abu Bakr. Khalid menuduh Umar yang mendorong Khalifah pertama itu menimpakan segala kesalahan kepadanya, sehingga tatkala Abu Bakr memerintahkan ia meninggalkan Irak pergi ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Um Sakhlah4, dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak." Jika kepercayaan antara kedua orang itu sudah hilang sedemikian rupa, kerja sama pun sudah tidak akan mungkin, terutama jika yang seorang kepala negara dan yang seorang lagi pemimpin militer dan panglimanya. Jadi tidak heran Umar memecat Khalid. Maksudnya supaya antara keduanya jangan ada hubungan langsung. Malah ia meminta Abu Ubaidah untuk menjadi atasan Khalid dan mengeluarkan segala instruksi kepadanya. Persahabatan antara Khalid dengan Abu Ubaidah sangat akrab dan baik sekali.

Kadang ada yang berkeberatan dengan pendapat kita ini, karena Khalifah tidak mengurus masalah negara untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan umat. Oleh karena itu Umar harus melupakan segala persoalan dengan Khalid, dan membiarkan Saifullah berjalan tanpa diamati, dengan mengambil contoh dari Abu Bakr, dan apa yang dikerjakannya menjadi contoh pula bagi kaum Muslimin dalam menilai pekerjaan orang, dan penilaian ini berada di atas segala pertimbangan dan kecenderungan pribadi. Sudah tentu menurut teori logika keberatan ini ada nilainya juga, tetapi dalam kenyataan hidup nilai ini menjadi hilang samasekali. Kita umat manusia tak dapat bertindak sendiri menghadapi masalah-masalah kehidupan ini menurut pertimbangan akal kita saja; perasaan kita juga sering sekali mempengaruhi kita. Baik yang kita isyaratkan itu khusus mengenai persoalan kita sendiri atau mengenai persoalan orang lain yang diwakilkan kepada kita. Seperti dengan pikiran kita, kita terpengaruh ketika tindakan itu kita lakukan dengan perasaan kita. Dalam kecenderungan kita, adakalanya pengaruh perasaan itu lebih besar daripada pengaruh pikiran kita. Suatu hal yang mustahil kita dapat membuat tabir pemisah antara kekuatan perasaan dengan kekuatan akal pikiran. Memang benar, ada orang yang lebih banyak terpengaruh oleh perasaan, ada pula yang lebih banyak terpengaruh oleh pikirannya. Tetapi perbedaan jumlah tidak akan mengubah perpaduan perasaan dengan akal pikiran itu dalam menjalankan keputusan-keputusan kita. Sudah tentu, Umar juga terpengaruh oleh perasaannya sendiri terhadap Khalid. Barangkali juga ia menduga bahwa Khalid mendengkinya dalam soal kekhalifahan, seperti halnya dengan Khalid dulu yang mengira Umar mendengkinya dalam soal pembebasan Irak. Kedua orang ini luar biasa kuatnya dalam bidangnya masing-masing. Jika dua perasaan ini saling bertemu dalam keadaan demikian, dikhawatirkan akan terjadi perbenturan, dan perbenturan ini akan membawa akibat yang buruk sekali terhadap negara dan masa depannya. Oleh karena itu Umar segera mengambil langkah tegas yang tak kenal ampun. Yang dilihatnya bukan segi keadilan, tetapi segi ketertiban umum dan keselamatan negara.

Tetapi dari pihaknya tindakan Umar memecat Khalid tidak aneh, sekalipun ini yang pertama dalam bentuknya. Bahkan inilah politiknya yang dijalankan terhadap para wakil dan gubernurnya selama pemerintahannya itu. Kelak akan kita lihat bahwa tindakannya terhadap para pejabatnya dengan disiplin yang keras sudah biasa dalam garis kebijaksanaannya, dan memang ini pula yang diajarkan kepada mereka dan jika ada pengaduan dalam soal ini mereka akan diadili, dan siapa saja yang tidak memuaskan dalam memegang amanat dan menjalankan tugasnya akan dipecat. Itulah, karena ia cenderung memusatkan semua kekuasaan di tangannya. Pada pertama kali memegang jabatannya itu ia berkata: "Demi Allah, jika terjadi sesuatu mengenai persoalan kalian ini, lalu yang lain datang berkuasa jauh sesudahku, maka mereka kembali akan meninggalkan pesan dan amanat itu. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka." Kalau pandangan demikian bertemu dalam suatu politik negara seperti yang dikenal tentang Umar dan pandangannya terhadap Khalid serta hilangnya kepercayaan dan persahabatan antara kedua orang ini, rahasia pemecatan Khalid ini akan terungkap, dan akan terungkap pula letal rahasia ini dari hati Umar.

Umar sudah memecat Khalid dari pimpinan militer di Syam dan pimpinan itu diserahkannya kepada Abu Ubaidah. Tetapi ini tidak mengubah posisi pasukan Muslimin terhadap Rumawi dan tidak pula akan memperkuat mereka dalam perang. Bahkan sebaliknya, akan menimbulkan malapetaka besar.

Kalau Umar memerintahkan agar tawanan perang dari kaum murtad dikembalikan kepada keluarganya, dan dengan begitu dapat mengambil hati mereka, maka dari segenap penjuru kini mereka cepatcepat datang memenuhi seruannya dengan tujuan ingin ikut mengambil bagian dalam perang, ingin membersihkan diri dari kemurtadan mereka yang lalu, mereka dan yang sesama mereka akan mendapat pula rampasan perang seperti yang diperoleh Muslimin yang lain. Dengan demikian Umar merasa puas dengan karunia Allah dalam mengatasi situasi yang begitu genting dihadapi pasukan Muslimin di luar Semenanjung Arab. Sekarang pikirannya tertuju ke arah lain yang pada dasarnya tidak menyimpang dari kebijaksanaan Rasulullah dan kebijaksanaan Abu Bakr, kendati dalam beberapa hal secara detail berbeda.

Rasulullah mengajak semua orang kepada agama Allah, tidak membeda-bedakan antara Ahli Kitab dengan yang lain. Tetapi orang-orang Yahudi Medinah melihat dakwah ini membahayakan mereka. Maka mereka pun mengadakan pendekatan dengan Muhammad dan mengadakan perjanjian tentang kebebasan beragama. Hanya saja tak lama setelah mereka melihat keadaan Nabi sudah stabil, mereka berkomplot memusuhinya. Maka mereka pun dihadapinya dan dikeluarkan dari Medinah dan dari beberapa perkampungan mereka di Jazirah Arab. Mereka yang masih tinggal hanya sebagian kecil, yang sesudah perang Khaibar mereka meminta damai untuk tetap tinggal dan bekerja di daerah mereka dengan ketentuan separuh dari hasil pertanian untuk Muslimin. Adapun kaum Nasrani Najran mereka mengirim delegasi untuk berdebat dengan Nabi. Setelah Nabi mengajak mereka agar hanya menyembah Allah dan jangan mempersekutukan-Nya dengan siapa pun dan mereka tidak akan saling mempertuhan selain Allah, mereka menolak dan kembali ke negeri mereka. Setelah itu mereka mengirim sebuah delegasi lagi meminta damai dengan membayar jizyah dengan imbalan mereka mendapat perlindungan dan kebebasan atas keyakinan agama mereka. Pihak Nasrani Najran juga memberikan pengakuan pada pemerintahan Abu Bakr dan mengadakan perjanjian yang sama dengan perjanjian yang diadakan dengan Nabi. Juga perlakuan terhadap Yahudi Khaibar sama dengan perlakuan Rasulullah terhadap mereka.

(sebelum, sesudah)


Umar bin Khattab
"Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu"
 
Judul asli "Al-Faruq Umar" cetakan ke 7 oleh Muhammad Husain Haekal, Ph.D.,
dengan izin ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjermah.
diterjemahkan oleh Ali Audah.
Cetakan pertama, April 2000
Diterbitkan oleh P.T. Pustaka Litera AntarNusa
Jln. Arzimar III, Blok B No. 7A, Tel. (0251) 330505, 370505, Fax. (0251) 380505 Bogor 16152.
Jln. Rukem I-19, Rawamangun, Tel./Fax. (021) 4722889, Jakarta 13220.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang No. 7/1987
ISBN 979-8100-38-7
Anggota IKAPI.
Setting dan kulit luar oleh Litera AntarNusa
Dicetak oleh P.T. IKRAR MANDIRIABADI, Jakarta.
 
Indeks Islam | Indeks Haekal | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team