Mengapa Para Sufi Tergelincir
(Aschaffenburg, 26 Desember 1984)
Idris Shah
menyadari, sama halnya dengan para sufi bahwa hanya dengan
membaca buku-buku (tentang sufi, pen.) tidak membuka pintu
bagi seseorang untuk berjalan di jalan tasawuf. Namun
demikian, ia berhasil menyusun buku demi buku yang
bermanfaat tentang hikmah para Darwisy dan Majusi.
Tulisannya juga mampu menyingkap tarekat-tarekat tasawuf
yang terkenal melebihi susunan para pakar sejarawan tasawuf,
khususnya buku "Dimensi-dimensi Tasawuf dalam Islam" (Shebi
Hall;1975) karangan orientalis Barat spesialis bidang ini,
Prof. Annemarie Schimmel (guru besar Universitas Bonn dan
Harvard).
Sungguh bisa dianggap baik, pendapat yang mewajibkan agar
para pengkaji tasawuf bersikap skeptis total terhadap Allah
dalam validitas logika manusia, dan pemikiran rasional
sebagai instrumen untuk pengetahuan metafisika. Pada saat
yang sama, maka pintu masuk yang buntu bukan alternatif
masuknya lorong buntu. Dan, menerima bahwa penggunaan
pendekatan rasional untuk memecahkan problematika alam wujud
tidak representatif, tidak lain berarti penggunaan
pendekatan irasional menjadi lebih banyak.
Sebaliknya, konsep tasawuf tidak berhasil pada bidang
yang intuisi gagal mencapainya. Karena konsep tasawuf, pada
gilirannya, tidak lain daripada hasil produk pengetahuan
intuitif.
Tidak ada manfaat yang bisa diharapkan dari baik
pengalaman yang cukup selama kita tidak mampu
mengartikulasikannya dengan bahasa kita. Oleh karena itu,
sampai suasana-suasana ilham yang timbul dari kalbu
seseorang sufi tidak mungkin dibatasi, atau ditetapkan
kejadiannya, kecuali dalam batas-batas kerangka sempit
pemahaman-pemahaman kebahasaan yang bersumber dari
pengalaman intuitif kita. Dengan ungkapan lain, jalan
kesufian bukan alternatif sama sekali.
Tidak ada jalan di hadapan kita di luar batas-batas
instrumen intuisi kita. Juga tidak ada rasional atau
irasional yang lepas dari intuisi. Juga tidak ada ilham yang
bebas dari asosiasi-asosiasi makna yang terbatas sebelumnya
--yang timbul dari kosakata-kosakata bahasa yang kita buat
sendiri.
Walhasil, tidak ada jalan untuk meneliti hakikat
fundamental tentang sesuatu yang diyakini oleh seorang sufi
bahwa ia benar-benar melihat dengan mata batinnya atau ia
mendengar dengan telinga batinnya. Para sufi berasumsi bahwa
mereka mampu menyingkap para dajjal dengan mudah, dan
manusia pada umumnya. Sambil dituntut untuk menyingkap obat
penawar segala penyakit dan melihat keajaiban-keajaiban.
Mereka membuat sendiri para penghubung mereka --sebutan
terhadap wali-wali saleh di Maroko yang mampu menggantungkan
gunting-gunting di atas kuburan mereka; jika para ahli
hikmah karismatik muncul sebenarnya.
Keraguan yang berlebihan menjadi hal biasa setiap kali
seorang sufi hendak menyatu (ittihad) dengan Allah. Karena
hal ini bisa membawa dia pada waham (prasangka) wihdatul
wujud dalam dirinya, sementara Allah, menurut Islam,
Mahatinggi.
Sungguh, hal ini termasuk syirik yang bersandar pada
konsep wihdatul wujud yang timbul dari keinginan manusia,
karena bersatu dalam tataran ilahiah sebelum waktunya, cukup
membangkitkan kekhawatiran. Lebih buruk lagi, para sufi
berasumsi bahwa sebagian mereka --dengan mendisiplinkan diri
pada tarekat yang benar dalam beribadah-- mampu mencapai
makrifat lewat ilham khusus dengan cara yang lebih utama
daripada wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi. Ini
adalah bentuk ekstrem yang bisa meningkat ke taraf
kekufuran.
Sungguh, pria dan wanita --sebagaimana diciptakan oleh
Allah yang Mahasempurna-- bukanlah robot, bangunan rusak,
atau instrumen yang diliputi kekurangan fitrah. Manusia
memiliki kelebihan atas hewan dengan akalnya. Maka,
bagaimana bisa dibayangkan bahwa ia mampu beribadah kepada
Allah dengan cara yang lebih baik, jika ia mengutamakan
irasional atas rasionya?
Aku tidak mampu meyakini bahwa Al-Qur'an diturunkan untuk
memberi manfaat kepada manusia, dan bisa menjadi suatu
risalah misterius yang diliputi rahasia-rahasia yang
diketahui oleh segelintir sufi.
Dan apakah islami, jika beranggapan bahwa Islam adalah
sebuah agama moderat yang hanya dikhususkan untuk kalangan
aristokrat agamawan saja?
(sebelum,
sesudah)
|