|
PRAKATA (3/3)
Kacaunya sumber para ahli sejarah
dapat dimaklumi
Saya berpendapat kekacauan sumber-sumber para ahli
sejarah dahulu itu yang akibatnya berlanjut sampai pada
upaya mereka yang datang kemudian, bahkan sampai masa kita
sekarang ini, dapat dimaklumi. Masa itu, ketika Abu Bakr
memegang pimpinan umat Islam adalah masa yang benar-benar
penuh perjuangan. Mereka yang beriman kepada Allah dan
kepada Rasulullah sedang memikul beban yang amat berat untuk
mendukung dakwah agama Allah serta ajaran-ajaran Rasulullah.
Mereka semua serentak terjun ke medan perjuangan, berjuang
di jalan Allah. Mereka terjun langsung ke kancah peperangan,
membunuh atau dibunuh. Buat mereka kehidupan dunia dengan
segala kenikmatannya itu tak ada artinya. Tidak apa memilih
hidup menderita, tabah menghadapi segala cobaan. Mereka
sudah menyerahkan hidup mereka untuk Allah, dan untuk semua
itu tanpa mengharapkan balasan selain pahala Yang Mahakuasa.
Buat mereka sudah tak ada lagi waktu senggang atau saat-saat
santai. Tak ada di antara mereka yang memikirkan apa yang
terjadi kemarin karena untuk hari esok memerlukan pekerjaan
yang lebih banyak dari kemarin.
Itulah sebabnya tak ada waktu buat mereka mencatat secara
teratur segala peristiwa besar yang terjadi masa itu. Baru
kemudian berita-berita itu disampaikan orang secara
berantai. Sesudah itu mereka tak dapat lagi menyampaikan dan
meneruskan berita itu seperti keagungan yang terjadi pada
masa Rasulullah. Ya, bagaimana akan dapat mereka lakukan
dalam kesibukan mereka yang terus-menerus dalam menyiarkan
agama serta menyusun kedaulatan Islam yang makin hari
bertambah luas itu.
Oleh karena itu, bagi penulis sejarah masa itu mau tak
mau harus menguji dan memperbandingkan sumber-sumber itu
sambil mencari kebenaran yang terdapat di dalamnya.
Pekerjaan dengan cara seperti yang telah diusahakan mereka
dahulu itu bukan main beratnya. Dengan tidak mengurangi
penghargaan serta penghormatan kita atas usaha itu, namun
mereka belum dapat mengungkapkan kekuatan yang ada pada masa
Abu Bakr dan pemerintahannya dalam bentuk yang begitu jelas,
memesonakan sekaligus mengagumkan dan luar biasa.
Contoh kacaunya referensi
Kita lihat misalnya buku-buku acuan yang kita pergunakan
dalam buku ini. Bab demi bab dapat kita baca untuk
mengetahui sampai berapa jauh kecermatan seperti yang kita
Sebutkan itu. Beberapa buku acuan itu hanya selintas saja
menyinggung masalah-masalah yang begitu penting, yang oleh
sumber-sumber lain diuraikan dengan terinci. Sampai-sampai
para ahli sejarah semacam Tabari, lbn Kasir dan Balazuri
misalnya, samasekali tidak menyinggung soal pengumpulan
Qur'an. Padahal peristiwa pengumpulan Qur'an itu pekerjaan
besar dan penting yang harus menghiasi masa Abu Bakr,
meskipun bukan yang terbesar. Mengenai peristiwa-peristiwa
yang berhubungan dengan Perang Riddah, pembebasan Irak dan
Syam, para sejarawan itu masih saling berbeda pendapat.
Bahkan berita-berita yang saling bertentangan itu terdapat
dalam satu kitab yang sama, sehingga orang akan menjadi
bingung mana berita yang boleh dipercaya dan mana yang
tidak.
Sulit mengikuti peristiwa dalam
urutan waktu
Perbedaan waktu ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi
tidak pula kurang pentingnya dengan perbedaan penggambaran
peristiwa-peristiwa itu. Mengenai waktu terjadinya peristiwa
itu sering pula masih bersifat untung-untungan, tidak
didasarkan pada suatu patokan yang secara cermat boleh
dijadikan pegangan. Juga perbandingan suatu peristiwa dengan
peristiwa yang lain masih sangat membingungkan. Tabari
misalnya, ia menyebutkan bahwa Perang Riddah itu terjadi
pada tahun sebelas Hijri dan masuk ke Irak pada tahun dua
belas sedang ke Syam dilakukan dalam tahun tiga belas.
Membaca rentetan waktu yang berturut-turut itu orang akan
menduga bahwa perang Irak baru dimulai setelah Perang Riddah
usai dan masuk ke Syam setelah keadaan di Irak stabil.
Tetapi bila peristiwa demi peristiwa serta kejadian-kejadian
itu diperiksa agak teliti orang akan jadi ragu mengenai
terjadinya rentetan demikian itu. Tetapi bila kita teliti
lebih dalam lagi akan ternyata bahwa peristiwa Irak itu
terjadi sementara Perang Riddah masih berlangsung, sedang
terjadinya penaklukan Syam seusai Perang Riddah. Sementara
itu pasukan Khalid bin Walid masih giat mengatur keamanan
dan ketertiban di Irak dan sedang bersiap-siap menghadapi
peperangan baru. o.
Juga dalam urutan geografi
Tidak hanya sampai di situ saja yang dapat menimbulkan
kebingungan. Dalam arti urutan geografi ketika mengikuti
peristiwa demi peristiwa orang sering terbentur. Bahkan
masih ada beberapa sumber yang saling bertentangan
sehubungan dengan urutan itu, untuk tidak menyebut adanya
nama-nama tempat yang berubah-ubah dan ada pula yang hampir
sama, yang juga dapat menimbulkan kebingungan baru. Beberapa
Orientalis pernah menerbitkan peta-peta Idrisi yang lama
seperti apa adanya, lalu dilampiri dengan peta-peta buatan
mereka sendiri seperti yang biasa kita kenal. Hal ini
membuat kita lebih mudah mengenali tempat-tempat dan
peristiwa-peristiwa itu masing-masing. Kalaupun hal ini
dapat memudahkan kita mengadakan penelitian, yang tadinya
memang cukup sulit, namun keraguan tetap ada sehubungan
dengan beberapa sumber, yang sebenarnya memang sukar dapat
dipercaya.
Oleh karena itu beberapa sejarawan masih maju mundur
menghadapi masa Abu Bakr itu, karena apa yang mereka baca
hampir tak dapat mereka percayai. Mereka yang menulis
sejarah Islam itu seolah mau menghindari hal-hal semacam itu
semua, atau cukup dengan isyarat saja sedikit mengenai masa
Abu Bakr itu, tak sampai memberikan suatu gambaran yang
lengkap, yang akan dapat mengungkapkan kejayaan masa itu dan
dampak yang sangat menentukan dalam sejarah Islam serta
lahirnya sebuah kedaulatan Islam.
Hanya sedikit sumber yang
menyinggung peranan Abu Bakr
Sumber-sumber demikian terasa makin kacau karena tidak
bicara tentang Abu Bakr masa pemerintahannya seperti ketika
bicara tentang Khalid bin Walid serta panglima-panglima lain
yang memasuki Syam dan tinggal di sana menunggu kedatangan
Khalid dari Irak, kemudian bersama-sama menaklukkan Damsyik
dan dengan bakat perangnya ia menghancurkan semua kekuatan
moral pihak Rumawi. Membaca kitab-kitab acuan semacam ini
orang akan membayangkan seolah Abu Bakr hanya tinggal di
Medinah, tak bekerja apa-apa selain beribadah. Inilah
kesalahan yang sungguh fatal. Padahal semua yang terjadi
pada masa Abu Bakr, Abu Bakr-lah jiwa dan penggeraknya.
Di atas sudah kita singgung apa yang terjadi dengan Abu
Bakr di satu pihak, dan Umar serta sebagian kaum Muslimin di
pihak lain mengenai perbedaan pendapat dalam menghadapi
golongan murtad dan mereka yang menolak melaksanakan zakat.
Betapa ia begitu gigih hendak menghadapi mereka walaupun
seorang diri. Dalam buku ini akan kita lihat, bahwa
sebenarnya dialah yang telah mendorong Khalid bin Walid
untuk pergi ke Irak memperkuat pasukan Musanna bin Harisah
asy-Syaibani dan dia juga yang berseru kepada semua penduduk
Arab di seluruh Semenanjung itu agar membebaskan Syam.
Setelah Abu Ubaidah serta pasukannya mengalami kelambatan
untuk memasuki Syam, dia jugalah yang mengerahkan Khalid bin
Walid untuk membantu mereka. Dalam pada itu dia juga yang
mengorganisasi pembentukan baitulmal serta mengatur
distribusi harta rampasan perang di kalangan umat Islam,
melakukan pengangkatan para gubernur serta mengawasi
pekerjaan mereka. Begitu besar perhatiannya dicurahkan pada
masalah-masalah negara dan administrasinya, sehingga semua
pikiran di luar itu, baik mengenai pribadinya ataupun soal
keluarga, dikesampingkan. Dalam mencurahkan pethatian untuk
kepentingan negara, dari soal yang kecil sampai ke soal yang
besar, dialah yang berhasil menyelesaikan dalam waktu
relatif pendek, suatu pekerjaan yang tidak akan dapat
diselesaikan orang dalam waktu bertahun-tahun. Malah sedikit
sekali orang yang akan mampu menyelesaikan.
Barangkali masih ada sebab lain yang cukup berpengaruh di
samping yang kita kemukakan di atas mengenai sikap para
sejarawan itu terhadap Abu Bakr dan zamannya. Mereka
mengira, bahwa persahabatannya dengan Rasulullah selama dua
puluh tahun itu, dan yang menjadi pilihan Rasulullah saw.
sehingga Rasul berkata: Kalau ada dari hamba Allah yang akan
kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah
" khalil-ku" - mereka mengira bahwa semua itu lebih penting
daripada prestasinya selama masa kekhalifahannya. Memang
sudah tak perlu disangsikan lagi bahwa kedudukan Abu Bakr di
samping Rasulullah dalam penilaian kita merupakan dampak
yang amat tinggi dan cemerlang; tetapi kekhalifahan Abu Bakr
adalah sebuah lingkaran yang telah melengkapi dan menjadi
mahkotanya sejarah yang agung itu.
Tugas kekhalifahannya tidak kurang
dari persahabatannya
Pekerjaan Abu Bakr dalam kekhalifahannya tak kurang
besarnya dari persahabatannya dengan Rasulullah. Bahkan pada
masa kerasulannya dia adalah salah seorang dari dua orang
itu (ketika keduanya berada dalam gua). Pertama, Allah telah
memilihnya dalam kenabian dan mengutamakannya dalam
menyampaikan risalah serta mewahyukan Qur'an kepadanya
sebagai penjelasan dan petunjuk serta pemisah antara yang
benar dengan yang batil. Beban yang dipikul oleh Abu Bakr
pada waktu kerasulan itu adalah beban seorang pengikut yang
penuh iman, yang kekuatan imannya kepada Allah dan kepada
Rasulullah tak pernah goyah. Bahkan beban yang dipikulnya
setelah Rasulullah berpulang ke rahmatullah, adalah beban
yang dipikulnya sendiri sebagai manusia pertama di kalangan
Muslimin dan sebagai pengganti (Khalifah) Rasulullah. Bukan
lagi ia seorang pengikut yang ikut bicara dalam musyawarah,
melainkan sebagai seorang pemimpin yang diikuti
sahabat-sahabatnya dengan memberikan pendapat kepadanya
seperti halnya ia sendiri dulu bersama-sama sahabat-sahabat
yang lain memberikan pendapat kepada Rasulullah.
Beban itu dipikulnya dengan penuh iman, penuh amanah dan
kejujuran. Allah telah memberikan balasan kepadanya dan
kepada kaum Muslimin dengan sebaik-baiknya. Jika kejujuran
Abu Bakr dalam bersahabat dengan Rasulullah merupakan suatu
manifestasi kebesaran insani yang didasarkan pada keimanan
yang murni sebagai sandarannya yang kukuh, maka pengabdian
Abu Bakr selama dalam kekhalifahannya untuk membela agama,
untuk melakukan dakwah serta membangun kedaulatan Islam,
tidak pula kurang agungnya dari persahabatannya dengan
Rasulullah, disertai keimanan yang sungguh-sungguh kepadanya
dan kepada segala yang diwahyukan Allah kepadanya. Oleh
karena itu sejarah kekhilafahan (pemerintahan) Abu Bakr
patut sekali dibahas secara lebih terinci.
Pengaruh kacaunya sumber pada para
sejarawan
Kekacauan bahan acuan atau sumber-sumber, terpengaruhnya
penggambaran masa Khalifah pertama oleh unsur-unsur yang
kebanyakan tak dapat diterima oleh kritik sejarah yang
sebenarnya, itulah pula yang kita lihat pengaruhnya dalam
buku-buku para penulis dulu. Kemudian pengaruh itu berpindah
kepada mereka yang datang kemudian, yang mengambil bahan
dari sana dan berusaha hendak menyimpulkan wajah yang
sebenarnya itu bulat-bulat dalam buku-buku mereka.
Begitu besar pengaruh itu pada beberapa penulis yang
datang kemudian, sehingga membuat mereka hanya sepintas lalu
saja melihat masa Abu Bakr, lalu cepat-cepat melangkah ke
masa Umar. Di sini mereka lama berbicara berpanjang-panjang.
Bahkan sampai ada di antara mereka yang membuat perbandingan
antara masa Abu Bakr dengan masa Umar itu untuk melihat mana
yang lebih besar jasanya. Perbandingan demikian ini tidak
pada tempatnya untuk kedua tokoh tersebut, yang
masing-masing menyandang kebesarannya sendiri, kebesaran
yang jarang sekali dicapai oleh seorang politikus atau
penguasa dalam sejarah dunia secara keseluruhan. Bahwa masa
Umar adalah masa yang paling besar dalam sejarah Islam,
sudah jelas. Pada masa itu dasar kedaulatan negara sudah
stabil, sistem pemerintahan sudah teratur, panji-panji Islam
sudah berkibar di Mesir dan di luar Mesir yang dibanggakan
oleh Rumawi dan Persia. Tetapi masa Umar yang agung itu
berutang budi kepada masa Abu Bakr dan sebagai penerusnya.
Sama halnya dengan kekhalifahan Abu Bakr yang berutang budi
kepada masa Rasulullah dan sebagai penerusnya pula.
Usaha Orientalis dan sejarawan
Islam
Studi-studi yang sudah pernah diadakan serta buku-buku
yang ditulis orang mengenai Abu Bakr dan masanya pada
saat-saat terakhir sudah lebih teliti dan jujur tampaknya.
Sudah menjadi kewajiban saya juga jika saya memuji inisiatif
kalangan Orientalis dengan ketelitian dan kejujurannya itu,
di samping adanya sebagian mereka yang masih penuh
prasangka, terdorong oleh rasa fanatisma agama. Abbe de
Marigny dalam abad kedelapan belas misalnya, sudah menulis
buku mengenai pengganti-pengganti Muhammad ini, dan Caussin
de Perceval pada awal abad kesembilan belas menulis Essai
sur l'Histoire des Arabes dan dalam tahun 1883 buku Sir
William Muir Annals of the Early Caliphate sudah pula
terbit.
Sejak masa itu sampai waktu kita sekarang kalangan
Orientalis di Jerman, di Inggris, di Itali dan di Prancis
serta di negara-negara lain tetap mempelajari dengan saksama
masa-masa tertentu dalam sejarah Islam di pelbagai tempat di
seluruh dunia.
Kalau saya sudah menyebutkan usaha para Orientalis, maka
sudah menjadi kewajiban saya pula menyebutkan upaya para
sejarawan Islam dan Arab, dengan sikap mereka yang jujur
mengenai masa Abu Bakr di samping kecermatan yang mereka
lakukan.
Sejak beberapa tahun yang lalu Rafiq al-Azm telah menulis
sejarah masa itu dalam jilid satu bukunya Asyhar
Masyahiril-Islam. Dalam beberapa kejadian ia banyak
terpengaruh oleh cara-cara para penulis lama. Almarhum
Syaikh Muhammad al-Khudari pada penutup ceramahnya
mengatakan: "Dalam hal ini kita ingin mengatakan
tegas-tegas: Kalau bukan Abu Bakr dengan kemauannya yang
keras, dengan inayat dan bantuan Allah juga, sejarah umat
Islam tidak akan berjalan seperti yang kita kenal sekarang
ini. Ia menghadapi semua itu saat pikiran dan perasaan semua
kaum Muslimin - yang kuat dan yang paling tabah sekalipun -
sedang didera oleh rasa kebingungan yang luar biasa."
Dalam jilid satu bukunya Khulafa' Muhammad
("Pengganti-pengganti Muhammad"), Umar Abun-Nasr
mengkhususkan pembicaraan mengenai Abu Bakr dan masanya.
Begitu juga almarhum Syaikh Abdul Wahhab an-Najjar dan yang
lain dari kalangan sejarawan mengadakan pembahasan mengenai
masa ini, yang sebenarnya patut sekali kita hargai.
Harapan
Sekarang setelah Tuhan meluluskan saya menulis buku ini,
masihkah akan ditakdirkan juga saya meneruskan dengan yang
kedua, mengenai masa Umar, ketiga dan keempat, sehingga
dapat saya selesaikan apa yang selama ini tersimpan dalam
pikiran saya hendak melakukan studi mengenai sejarah
kedaulatan Islam itu? Hanya Allah juga yang tahu. Tetapi
sudah saya putuskan bahwa saya akap meneruskan penulisan
mengenai masa Umar. Hanya saja antara keputusan dengan
pelaksanaan ada jarak, yang saya harapkan Allah akan
memberikan kemudahan kepada saya, dengan penuh kepercayaan
pada firman-Nya ini:
"Dan janganlah sekali-kali engkau mengatakan tentang
sesuatu: "Aku akan melakukannya besok." Kecuali (dengan
menambahkan) "Insya Allah - jika Allah menghendaki." Dan
ingatlah Tuhanmu bila engkau lupa, dan berkatalah: Semoga
Tuhanku membimbingku lebih dekat daripada ini ke jalan yang
benar." (Qur'an, 18. 23-24).
Saya sudahi pengantar ini dengan permohonan kepada Allah
semoga para ulama, para sarjana dan para peneliti dalam
mengikuti kehidupan Abu Bakr serta masa kekhalifahannya itu
diluluskan, sehingga dengan hasil penelitian mereka itu
wajah yang hendak saya lukiskan dalam buku ini dapat
terlaksana. Saya bersyukur kepada Allah atas taufik yang
telah dikaruniakan-Nya kepada saya dalam usaha ini. Segala
petunjuk dan taufik hanya dari Allah dan segalanya akan
kembali kepada-Nya.
MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
Catatan Kaki:
- Pengertian kedaulatan di sini dan di bagian-bagian
lain dalam buku ini merupakan terjemahan kata bahasa Arab
imbaraturiyah, sebuah kedaulatan besar, luas dan banyak
jumlahnya, dengan kekuatan yang besar meliputi berbagai
macam bangsa, golongan, ras dan kebudayaan yang beraneka
warna', (al-Mu'jam al-Kabir); imperium (Latin) atau
empire (Inggris), 'di Rumawi kuno, kedaulatan di tangan
seorang pemimpin militer tertinggi; kekuasaan tertinggi,
kedaulatan mutlak, absolut, kedaulatan kekaisaran'
Webster's New Twentienth Century Dictionary (A).
- Meliputi Suria, Libanon, Palestina dan Yordania
sekarang (A).
- Riddah sebuah istilah dalam sejarah Islam, dari akar
kata radda, irtadda, "berbalik ke belakang", dalam
istilah fikih "meninggalkan keyakinan, agama dsb." (Bd
Qur'an 3. 86-91; 16. 106 sqq). Orang yang melakukannya
disebut murtadd seperti yang dikenal dalam bahasa
Indonesia. Perang riddah berarti perang melawan kaum
murtad (A).
|