I. Abu Bakr pada Masa Nabi (3/3)
Muhammad Husain Haekal
Kekuasaan iman pada Abu Bakr
Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakr,
menguasai segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia
menjadi pengikut Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis
segala peristiwa kejiwaannya dan perbuatannya serta segala
tingkah lakunya itu kalau orang mau melihatnya dari segi
moral. Sebaliknya, semua yang di luar itu, tak ada
pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa mempengaruhi
hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika itu yang
terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa
terhadap dirinya - hati nuraninya, pikiran dan jiwanya -
semua hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua itu adalah
iman, iman yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat
siddiqin, yang sudah begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr.
Pihak Mekah sudah menyusun barisan, Nabi pun sudah pula
mengatur kaum Muslimin siap menghadapi perang. Seperti
diusulkan oleh Sa'd bin Mu'az, ketika itu pihak Muslimin
membangun sebuah dangau di barisan belakang, sehingga jika
nanti kemenangan berada di pihak mereka, Rasulullah dapat
kembali ke Medinah.
Abu Bakr dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil
mengawasi jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai
dan Muhammad melihat jumlah pihak musuh yang begitu besar
sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah
kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya
kepada Allah. Ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah
dijanjikan-Nya. Ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar
Allah memberikan pertolongan, sambil katanya:
"Allahumma ya Allah! Inilah Kuraisy sekarang datang
dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan
Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Kau janjikan
kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak
lagi ada ibadat kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil
merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya
terjatuh. Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak
terbawa kantuk, dan ketika itu juga tampak olehnya
pertolongan Allah itu datang. Ia sadar kembali, kemudian ia
bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar menemui
sahabat-sahabatnya sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup Muhammad. Setiap seorang
yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian,
terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah
akan menempatkannya di dalam surga."
Abu Bakr di Badr
Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan
kemenangan anak buahnya yang hanya sedikit itu dalam
menghadapi lawan yang jauh lebih banyak, dengan diam-diam
jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah memohon
pertolongan. Kemudian terbuka di hadapannya tabir hari yang
amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakr, ia tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh
iman ia percaya bahwa Allah pasti akan menolong agama-Nya,
dan dengan hati penuh kepercayaan akan datangnya pertolongan
itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam imbauannya
kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah
karena kekhawatiran yang begitu besar menghadapi nasib yang
akan terjadi hari itu, ketika itulah Rasulullah berdoa
mengimbau, bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi
janji-Nya. Itulah yang diulangnya, diulang sekali lagi,
hingga mantelnya terjatuh, itulah yang membuatnya mengimbau
sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi:
"Rasulullah, dengan doamu Allah akan memenuhi apa yang telah
dijanjikan-Nya kepadamu."
Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam
dirinya
Banyak orang yang sudah biasa dengan, suatu kepercayaan
sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku
dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan
lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka
menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras,
dan tegar. Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang
begitu agung dan begitu teguh, tak pernah ia goyah dan ragu,
jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh pemaaf,
penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan. Dengan
begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang
paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih
sayang. Demi kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya,
terutama masalah hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah
dijunjung tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia
akan berpegang teguh pada prinsip ini seperti pada yang
pertama. Terasa lemah ia menghadapi semua itu sehingga
matanya basah oleh air mata yang deras mengalir.
Sikapnya terhadap tawanan Badr
Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin
kembali ke Medinah dengan membawa tawanan perang Kuraisy.
Mereka ini masih ingin hidup, ingin kembali ke Mekah,
meskipun dengan tebusan yang mahal. Tetapi mereka masih
khawatir Muhammad akan bersikap keras kepada mereka
mengingat gangguan mereka terhadap sahabat-sahabatnya selama
beberapa tahun dahulu yang berada di tengah-tengah mereka.
Mereka berkata satu sama lain: "Sebaiknya kita mengutus
orang kepada Abu Bakr. Ia paling menyukai silaturahmi dengan
Kuraisy, paling punya rasa belas kasihan, dan kita tidak
melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia." Mereka
lalu mengirim delegasi kepada Abu Bakr.
"Abu Bakr," kata mereka kemudian, "di antara kita ada
yang masih pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita
serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun
masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya
ia bermurah hati kepada kami atau menerima tebusan
kami."
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi
mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit
urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar
seperti pembicaraannya dengan Abu Bakr. Tetapi Umar menatap
muka mereka dengan mata penuh curiga tanpa memberi
jawaban.
Kemudian Abu Bakr sendiri yang bertindak sebagai
perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang Kuraisy
musyrik itu. Ia mengharapkan belas kasihannya dan sikap yang
lebih lunak terhadap mereka. Ia menolak alasan-alasan Umar
yang mau main keras terhadap mereka. Diingatkannya pertalian
kerabat antara mereka dengan Nabi. Apa yang dilakukannya itu
sebenarnya karena memang sudah bawaannya sebagai orang yang
lembut hati, dan kasih sayang baginya sama dengan
keimanannya pada kebenaran dan keadilan. Barangkali dengan
mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih sayang itu juga
yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti kodrat yang
ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya selama ia melihat
sifat kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung,
jauh dari segala sifat lemah dan hawa nafsu. Yang
menggerakkan hatinya hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau,
kekuasaan manusia terhadap dirinya ialah kekuasaan yang
dapat meredam bengisnya kekuatan, dapat melunakkan kejamnya
kekuasaan.
Arah hidupnya sesudah Badr
Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru
buat kaum Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam
hidup Abu Bakr. Kaum Muslimin mulai mengatur siasat dalam
menghadapi Kuraisy dan kabilah-kabilah sekitarnya yang
melawan mereka. Abu Bakr mulai bekerja dengan Nabi dalam
mengatur siasat itu berlipat ganda ketika masih tinggal di
Mekah dulu dalam melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin
semua sudah tahu, bahwa Kuraisy tidak akan tinggal diam
sebelum mereka dapat membalas dendam kejadian di Badr itu.
Juga mereka mengetahui bahwa dakwah yang baru tumbuh ini
perlu sekali mendapat perlindungan dan perlu mempertahankan
diri dari segala serangan terhadap mereka itu. Jadi harus
ada perhitungan, harus ada pengaturan siasat. Dengan
posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah kita
lihat, Abu Bakr tak akan dapat bekerja tanpa adanya
perhitungan dan pengaturan serupa itu, supaya jangan timbul
kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan pihak Yahudi
dan golongan munafik, dan supaya jangan ada serangan pihak
luar ke Medinah.
Abu Bakr dan Umar, pembantu
Rasulullah
Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah
mengangkat martabat mereka. Inilah yang telah menimbulkan
kedengkian di pihak lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa
sakit hati yang tadinya biasa-biasa saja. Dalam hati
kabilah-kabilah di sekitar Medinah yang tadinya merasa aman
kini timbul rasa khawatir. Tidak bisa lain, untuk mencegah
apa yang mungkin timbul dari mereka itu, diperlukan suatu
siasat yang mantap, suatu perhitungan yang saksama.
Musyawarah yang terus-menerus antara Nabi dengan
sahabat-sahabat telah diadakan. Abu Bakr dan Umar oleh Nabi
diambil sebagai pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat
baru, yang sekaligus merupakan batu penguji mengingat adanya
perbedaan watak pada kedua orang itu, meskipun mereka
sama-sama jujur dan ikhlas dalam bermusyawarah. Di samping
dengan mereka ia juga bermusyawarah dengan kaum Muslimin
yang lain. Musyawarah ini memberi pengaruh besar dalam arti
persatuan dan pembagian tanggung jawab demikian, sehingga
masing-masing mereka merasa turut memberikan saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi itu
kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan
mengeluarkan mereka dari Medinah. Begitu juga akibat rasa
kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling
Medinah, mereka berkumpul hendak mengadakan serangan ke
dalam kota. Tetapi begitu mendengar Muhammad keluar hendak
menyongsong mereka, mereka sudah lari ketakutan.
Dalam perang Uhud
Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah,
dan ini tidak menutup pikiran Kuraisy hendak membalas dendam
atas kekalahan mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka hendak
menuntut balas itu mereka akan berhadapan dengan pihak
Muslimin di Uhud. Di sinilah terjadi pertempuran hebat.
Tetapi hari itu kaum Muslimin mengalami bencana tatkala
pasukan pemanah melanggar perintah Nabi. Mereka meninggalkan
posnya, pergi memperebutkan harta rampasan perang. Saat itu
Khalid bin Walid mengambil kesempatan, Kuraisy segera
mengadakan serangan dan kaum Muslimin mengalami kekacauan.
Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu yang dilakukan oleh
kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan wajahnya,
sehingga Kuraisy berteriak-teriak mengatakan Nabi sudah
meninggal. Kalau tidak karena pahlawan-pahlawan Islam ketika
itu segera mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan
nyawa mereka, tentu Allah waktu itu sudah akan menentukan
nasib lain terhadap mereka.
Sejak itu Abu Bakr lebih sering lagi mendampingi Nabi,
baik dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di
Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin - sampai keadaan jadi
stabil sesudah pembebasan Mekah dan masuknya Banu Saqif di
Ta'if ke dalam pangkuan Islam - penuh tantangan berupa
peristiwa-peristiwa perang, atau dalam usaha mencegah perang
atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum
lagi peristiwa-peristiwa kecil lainnya dalam bentuk
ekspedisi-ekspedisi atau patroli. Waktu itu orang-orang
Yahudi - dipimpin oleh Huyai bin Akhtab - tak henti-hentinya
menghasut kaum Muslimin. Begitu juga Kuraisy, mereka
berusaha mati-matian mau melemahkan dan menghancurkan
kekuatan Islam. Terjadinya perang Banu Nadir, Khandaq dan
Banu Quraizah dan diselang seling dengan bentrokan-bentrokan
lain, semua itu akibat politik Yahudi dan kedengkian
Kuraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu Bakr lebih
banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat
kepercayaannya pada ajaran Nabi.
Setelah Rasulullah merasa aman melihat ketahanan Medinah,
dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah ke arah yang
baru - semoga Allah membukakan jalannya untuk menyempurnakan
agama-Nya - maka peranan yang dipegang Abu Bakr itu telah
menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah,
dialah orang yang punya tempat dalam hati mereka, orang yang
sangat mereka hargai.
Sikapnya di Hudaibiyah
Enam tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah
Muhammad mengumumkan kepada orang banyak untuk mengerjakan
ibadah haji ke Mekah. Berita perjalanan jemaah ini sampai
juga kepada Kuraisy. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan
Muhammad memasuki Mekah secara paksa. Maka Muhammad dan para
sahabat pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah.
Ia berpegang teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap
usaha yang akan menimbulkan bentrokan dengan Kuraisy.
Diumumkannya bahwa kedatangannya adalah akan menunaikan
ibadah haji, bukan untuk berperang. Kemudian dilakukan
tukar-menukar delegasi dengan pihak Kuraisy, yang berakhir
dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan
boleh kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin
Khattab, karena harus mengalah dan harus pulang. Mereka
berpendapat, isi perjanjian ini merendahkan martabat agama
mereka. Tetapi Abu Bakr langsung percaya dan yakin akan
kebijaksanaan Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath
(48) bahwa persetujuan Hudaibiyah itu adalah suatu
kemenangan yang nyata, dan Abu Bakr dalam hal ini, seperti
juga dalam peristiwaperistiwa lain, ialah as-Siddiq,
yang tulus hati, yang segera percaya.
Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para
utusan
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan
Muslimin di Medinah juga makin kuat. Salah satu manifestasi
kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak Yahudi
di Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada
kekuasaan Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian
mereka dikeluarkan dari tanah Arab. Di samping itu,
manifestasi lain kuatnya Muslimin waktu itu serta tanda
kukuhnya dakwah Islam ialah dengan dikirimnya surat-surat
oleh Muhammad kepada raja-raja dan para amir (penguasa) di
Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan negeri-negeri Arab
di sekitarnya atau yang termasuk amiratnya.
Adapun gejala yang paling menonjol tentang sempurna dan
kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah dan pengepungan
Ta'if. Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang sudah
bersinar ke seluruh Semenanjung; sampai ke perbatasan kedua
imperium besar yang memegang tampuk pimpinan dunia ketika
itu: Rumawi dan Persia.
Dengan demikian Rasulullah dan kaum Muslimin sudah merasa
lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap harus
waspada terhadap kemungkinan adanya serangan dari
pihak-pihak yang ingin memadamkan cahaya agama yang baru
ini.
Bersinarnya cahaya Islam
Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan ini
delegasi mereka datang berturut-turut dari segenap
Semenanjung, menyatakan keimanannya pada agama baru ini.
Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang
diri?! Sekarang ia sudah dapat mengalahkan Yahudi, Nasrani,
Majusi dan kaum musyrik. Bukankah hanya kebenaran yang akan
mendapat kemenangan? Adakah tanda yang lebih jelas bahwa
memang dak wahnya itulah yang benar, yang mutlak
mendapat kemenangan atas mereka semua itu? Ia tidak
bermaksud menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah beriman
kepada Allah, dan berbuat segala yang baik. Inilah logika
yang amat manusiawi, diakui oleh umat manusia pada setiap
zaman dan mereka beriman di mana pun mereka berada. Ini juga
logika yang diakui oleh akal pikiran manusia. Kekuatan
argumentasinya yang tak dapat dikalahkan itu sudah
dibuktikan oleh sejarah.
Abu Bakr memimpin jamaah haji
Allah telah mengizinkan kaum Muslimin melengkapi
kewajiban agamanya, dan ibadah haji itulah kelengkapannya.
Oleh karena itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut
itu tidak memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah pergi
ke Baitullah. Maka dimintanya Abu Bakr memimpin jamaah pergi
menunaikan ibadah haji. Ia berangkat bersama tiga ratus
orang. Mereka melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf
dan sai. Dalam musim haji inilah Ali bin Abi Talib
mengumumkan - sumber lain menyebutkan Abu Bakr yang
mengumumkan - bahwa sesudah tahun itu tak boleh lagi kaum
musyrik ikut berhaji. Kemudian orang menunda empat bulan
lagi supaya setiap golongan dapat kembali ke tempat tinggal
dan negeri masing-masing.
Sejak hari itu, sampai sekarang, dan sampai waktu yang
dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik pergi
berhaji ke Baitullah, dan tidak akan ada.
Haji Perpisahan dan keberangkatan
Usamah
Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji
perpisahan. Abu Bakr juga ikut serta. Rasulullah saw.
berangkat bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh
seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari
melaksanakan ibadah haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di
Medinah. Ketika itu dikeluarkannya perintah supaya satu
pasukan besar disiapkan berangkat ke Syam, terdiri dari kaum
Muhajirin yang mulamula, termasuk Abu Bakr dan Umar.
Pasukan itu sudah bermarkas di Jurf (tidak jauh dari
Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa Rasulullah jatuh
sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit
Rasulullah bertambah keras, orang makin cemas.
Abu Bakr memimpin salat
Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu
Bakr memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah
mengatakan: "Setelah sakit Rasulullah saw. semakin berat
Bilal datang mengajak ber sembayang: 'Suruh Abu Bakr
memimpin salat!' Kataku: Rasulullah, Abu Bakr cepat terharu
dan mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak
akan terdengar. Bagaimana perintahkan kepada Umar saja!
Katanya: 'Suruh Abu Bakr memimpin sembahyang!' Lalu kataku
kepada Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu Bakr orang
yang cepat terharu dan kalau dia menggantikanmu suaranya tak
akan terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar
saja! Usul itu disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi
lagi: Kamu seperti perempuan-perempuan yang di sekeliling
Yusuf. Suruhlah Abu Bakr memimpin sembahyang. Kemudian kata
Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari yang
kaulakukan."
Sekarang Abu Bakr bertindak memimpin salat sesuai dengan
perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakr tidak ada di
tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang,
maka Umar yang diminta mengimami salat. Suara Umar cukup
lantang, sehingga ketika mengucapkan takbir di mesjid
terdengar oleh Muhammad dari rumah Aisyah, maka katanya:
"Mana Abu Bakr? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki
yang demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakr
sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang
salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan
Rasulullah.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Muhammad
keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara
lain ia berkata:
"Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di
dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi
Allah." Kemudian diam. Abu Bakr segera mengerti, bahwa yang
dimaksud oleh Nabi dirinya. Ia tak dapat menahan air mata
dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak
kami."
Setelah itu Muhammad minta semua pintu mesjid ditutup
kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakr. Kemudian katanya
sambil menunjuk kepada Abu Bakr: "Aku belum tahu ada orang
yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti
dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai
khalil (teman) maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi
persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba
saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia keluar waktu subuh ke
mesjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl
bin al-Abbas. Abu Bakr waktu itu sedang mengimami
orang-orang bersembahyang. Ketika kaum Muslimin melihat
kehadiran Nabi, mereka bergembira luar biasa. Tetapi Nabi
memberi isyarat supaya mereka meneruskan salat. Abu Bakr
merasa bahwa mereka berlaku demikian karena ada Rasulullah.
Abu Bakr surut dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi isyarat
agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakr,
salat sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak lama
kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakam sebuah
bejana berisi air dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam
bejana itu dan dengan begini ia mengusap air ke wajahnya.
Tak lama kemudian ia telah kembali kepada Zat Maha Tinggi,
kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah meninggalkan dunia kita setelah Allah
menyempumakan agama ini bagi umat manusia, dan melengkapi
kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan
orang-orang Arab itu kemudian? Ia tidak meninggalkan seorang
pengganti, juga tidak membuat suatu sistem hukum negara yang
terinci. Hendaklah mereka berusaha (berijtihad) sendiri.
Setiap orang yang berijtihad akan mendapat bagian.
Catatan Kaki:
- Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat Arab
yang berasal dari satu moyang, lebih kecil dari sya'b dan
lebih besar dari 'imarah, kemudian berturut-turut batn,
'imarah dan fakhz (A).
- Mungkin juga dinisbahkan pada nama Ka'bah yang lain,
yakni al-Baitul-'Atiq atau "Rumah Purba". Kata
'Atiq berarti juga "yang dibebaskan" (A).
- Bakr berarti dini (A).
- Siddiq, orang yang selalu membenarkan,
percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang
kemudian menjadi gelar Abu Bakr (al-Mu'jam al-Wasit);
orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan
Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56) (A).
- Ada juga sumber yang menyebutkan, bahwa Abu Bakr
bermaksud pergi bersama-sama mereka yang hijrah ke
Abisinia; tetapi ia bertemu dengan Rabiah bin ad-Dugunnah
yang berkata kepadanya: "Wah, jangan ikut hijrah. Engkau
penghubung tali kekeluargaan, engkau yang membenarkan
peristiwa Isra, membantu orang tak punya dan engkau yang
mengatur pasang surutnya keadaan." Ia lalu diberi
perlindungan keamanan oleh Kuraisy. Abu Bakr tetap
tinggal di Mekah dan di serambi rumahnya ia membangun
sebuah mesjid. Di tempat itu ia sembahyang dan membaca
Qur'an. Sekarang Kuraisy merasa khawatir,
perempuan-perempuan dan pemuda-pemuda mereka akan
tergoda. Mereka mengadu kepada Ibn ad-Dugunnah. Abu Bakr
mengembalikan jaminan perlindungan itu dan ia tetap
tinggal di Mekah rnenghadapi segala gangguan.
|