I. Abu Bakr pada Masa Nabi (2/3)
Melindungi golongan lemah dengan
hartanya
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja
dengan kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam
menghibur kaum duafa dan orang-orang miskin yang disiksa dan
dianiaya oleh musuhmusuh dakwah, tidak hanya dengan
kedamaian jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi
ia menyantuni mereka dengan hartanya. Digunakannya hartanya
itu untuk membela golongan lemah dan orang-orang tak punya,
yang telah mendapat petunjuk Allah ke jalan yang benar,
tetapi lalu dianiaya oleh musuh-musuh kebenaran itu.
Sudah cukup diketahui, bahwa ketika Ia masuk Islam,
hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang
disimpannya dari hasil perdagangan. Dan selama dalam Islam
ia terus berdagang dan mendapat laba yang cukup besar.
Tetapi setelah hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian,
hartanya itu hanya tinggal lima ribu dirham. Sedang semua
harta yang ada padanya dan yang disimpannya, kemudian habis
untuk kepentingan dakwah, mengajak orang ke jalan Allah dan
demi agama dan Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk
menebus orang-orang lemah dan budak-budak yang masuk Islam,
yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain
hanya karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh
tuannya dicampakkan ke ladang yang sedang membara oleh panas
matahari, dengan menindihkan batu di dadanya lalu
dibiarkannya agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk
Islam. Dalam keadaan semacam itu tidak lebih Bilal hanya
mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad. Ketika itulah ia
dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir
bin Fuhairah oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan
menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak itu
yang disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli
lalu dibebaskan.
Peranan sebagai semenda Nabi
Tetapi Abu Bakr sendiri pun tidak bebas dari gangguan
Kuraisy. Sama halnya dengan Muhammad sendiri yang juga tidak
lepas dari gangguan itu dengan kedudukannya yang sudah
demikian rupa di kalangan kaumnya serta perlindungan Banu
Hasyim kepadanya. Setiap Abu Bakr melihat Muhammad diganggu
oleh Kuraisy ia selalu siap membelanya dan mempertaruhkan
nyawanya untuk melindunginya. Ibn Hisyam menceritakan, bahwa
perlakuan yang paling jahat dilakukan Kuraisy terhadap
Rasulullah ialah setelah agama dan dewa-dewa mereka
dicela.
Suatu hari mereka berkumpul di Hijr, dan satu sama lain
mereka berkata: "Kalian mengatakan apa yang didengarnya dari
kalian dan apa yang kalian dengar tentang dia. Dia
memperlihatkan kepadamu apa yang tak kamu sukai lalu kamu
tinggalkan dia."
Sementara mereka dalam keadaan serupa itu tiba-tiba
datang Rasulullah saw. Sekaligus ia diserbu bersama-sama
oleh mereka dan mengepungnya seraya berkata: Engkau yang
berkata begini dan begini? Maksudnya yang mencela
berhala-berhala dan kepercayaan mereka. Maka Rasulullah saw.
pun menjawab: Ya, memang aku yang mengatakan. Salah seorang
di antara mereka langsung menarik bajunya. Abu Bakr sambil
menangis menghalanginya seraya katanya: Kamu mau membunuh
orang yang mengatakan hanya Allah Tuhanku! Mereka kemudian
bubar. Itulah yang kita lihat perbuatan Kuraisy yang luar
biasa kepadanya.
Tetapi peristiwa ini belum seberapa dibandingkan dengan
peristiwa peristiwa lain yang benar-benar
memperlihatkan keteguhan iman Abu Bakr kepada Muhammad dan
risalahnya itu. Sedikit pun tak pernah goyah. Dan iman itu
jugalah yang membuat tidak sedikit kalangan Orientalis tidak
jadi melemparkan tuduhan kepada Nabi, seperti yang biasa
dilakukan oleh mereka yang suka berlebih-lebihan. Dengan
ketenangan dan kedamaian hatinya yang demikian rupa,
keimanan Abu Bakr tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia
tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh
dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah
sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya. Iman yang
mengisi jiwa Abu Bakr ini jugalah yang telah mempertahankan
Islam, sementara yang lain banyak yang meninggalkannya
tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai
peristiwa Isra.
Sikapnya mengenai kisah Isra
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah bahwa Allah
telah memperjalankannya malam hari dari Masjidilharam ke
Masjidilaksa dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh
orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian
yang sudah Islam pun merasa ragu. Tidak sedikit orang yang
berkata ketika itu: Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah
Mekah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan
pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja
Muhammad pergi pulang ke Mekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik
murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi.
Mereka pergi menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui
keimanannya dan persahabatannya dengan Muhammad. Mereka
menceritakan apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu
mengenai Isra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan
itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang berbicara
dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,
"tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan
kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi,
pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi
dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi ke mesjid dan mendengarkan Nabi yang
sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakr sudah
pernah mengunjungi kota itu.
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr
berkata: "Ra sulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan
"as-Siddiq"4.
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya
Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang
diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula
kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini,
akibat kesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa
banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya
keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang lain? Pernahkah kita
ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini memperkuat keyakinan
orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat
kedudukan Islam?
Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah
memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu
lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh
adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini,
lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma
sekaligus. Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan salah
satu inayah Ilahi demi agama yang benar ini. Kata-kata
itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan
yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh kekuatan
Hamzah dan Umar sebelumnya. Ini memang suatu kenyataan
apabila di dalam sejarah Islam Abu Bakr mempunyai tempat
tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada di antara
hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman
kesayangan), maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi
persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba
saatnya Allah mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakr mengenai Isra itu menunjukkan
pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang
tidak dapat di tangkap oleh kebanyakan orang. Di sinilah
pula Allah telah memperlihatkan kebijakanNya tatkala
Rasulullah memilih seorang teman dekatnya saat ia dipilih
oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya
kepada umat manusia. Itulah pula bukti yang kuat, bahwa
kata yang baik seperti pohon yang baik, akarnya tertanam
kukuh dan cabangnya (menjulang) ke langit, dengan jejak
yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak
akan dikalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.
Tugasnya sesudah Isra
Sesudah peristiwa Isra itu, sebagai orang yang cukup
berpengalaman akan seluk-beluk perbatasan, Abu Bakr tetap
menjalankan usaha dagangnya. Sebagian besar waktunya ia
gunakan menemani Rasulullah dan untuk menjaga orang-orang
lemah yang sudah masuk Islam, melindungi mereka dari
gangguan Kuraisy di samping mengajak mereka yang mulai
tergugah hatinya kepada Islam.
Sementara Kuraisy begitu keras mengganggu Nabi dan Abu
Bakr serta kaum Muslimin yang lain, belum terlintas dalam
pikiran Abu Bakr akan hijrah ke Abisinia bersama-sama kaum
Muslimin yang lain yang mau tetap bertahan dengan agama
mereka. Malah ia tetap tinggal di Mekah bersama Muhammad,
berjuang mati-matian demi dakwah di jalan Allah sambil
belajar tentang segala yang diwahyukan Allah kepada Nabi
untuk disiarkan kepada umat manusia. Dan dengan segala
senang hati disertai sifatnya yang lemah lembut, semua harta
pribadinya dikorbankannya demi kebaikan mereka yang sudah
masuk Islam dan demi mereka yang diharapkan mendapat
petunjuk Allah bagi yang belum masuk Islam.
Kaum Muslimin di Mekah ketika itu memang sangat
memerlukan perjuangan serupa itu, memerlukan sekali
perhatian Abu Bakr. Dalam pada itu Muhammad masih menerima
wahyu dari Allah dan ia sudah tidak lagi mengharapkan
penduduk Mekah akan menyambut ajakannya itu. Maka ia
mengalihkan perhatian kepada kabilah-kabilah. Ia menawarkan
diri dan mengajak mereka kepada agama Allah. Ia telah pergi
ke Ta'if, meminta pengertian penduduk kota itu. Tetapi ia
ditolak dengan cara yang tidak wajar. Dalam hubungannya
dengan Tuhan selalu ia memikirkan risalahnya itu dan untuk
berdakwah ke arah itu serta caracaranya untuk
menyukseskan dakwahnya itu.
Dalam pada itu Kuraisy juga tak pernah tinggal diam dan
tak pernah berhenti mengadakan perlawanan. Di samping semua
itu, Abu Bakr juga selalu memikirkan nasib kaum Muslimin
yang trnggal di Mekah, mengatur segala cara untuk
ketenteraman dan keamanan hidup mereka.
Usaha mencegah gangguan Kuraisy
Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis
biografi Abu Bakr tidak menyebutkan usahanya, apa yang
disebutkan itu sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu
dalam hati saya terbayang jelas segala perhatiannya itu,
serta hubungannya yang terus-menerus dengan Hamzah, dengan
Umar, dengan Usman serta dengan pemuka-pemuka Muslimin yang
lain untuk melindungi golongan lemah yang sudah masuk Islam
dari gangguan Kuraisy. Bahkan saya membayangkan hubungannya
dulu dengan kalangan luar Islam, dengan mereka yang tetap
berpegang pada kepercayaan mereka, tetapi berpendapat bahwa
Kuraisy tidak berhak memusuhi orang yang tidak sejalan
dengan kepercayaan mereka dalam menyembah berhala-berhala
itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita sudah melihat, di
antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari
gangguan Kuraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah
bertindak membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang
Kuraisy sepakat hendak memboikot Muhammad dan
sahabat-sahabatnya serta memblokade mereka selama tiga tahun
terus-menerus di celah-celah gunung di pinggiran kota Mekah,
supaya tak dapat berhubungan dan berbicara dengan orang di
luar selain pada bulan bulan suci. Saya yakin, bahwa
Abu Bakr, dalam menggerakkan mereka yang bukan
pengikut-pengikut agama Muhammad, namun turut marah melihat
tindakan-tindakan Kuraisy terhadapnya itu, punya pengaruh
besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang
ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu Bakr
dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru tumbuh,
itu pula yang menyebabkan Muhammad lebih dekat kepadanya.
Inilah yang telah mempertalikan kedua orang itu dengan tali
persaudaraan dalam iman, sehingga Muhammad memilihnya
sebagai teman dekatnya (khalil-nya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan
dengan kekuatan penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua
ikrar Aqabah, Muhammad pun mengizinkan sahabat-sahabatnya
hijrah ke kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu, ia
mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia.
Orang-orang Kuraisy tidak tahu, Muhammad ikut hijrah atau
tetap tinggal di Mekah seperti tatkala kaum Muslimin dulu
hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakr maksud Muhammad, yang oleh Kuraisy tidak
di ketahui? Segala yang disebutkan mengenai ini
hanyalah, bahwa Abu Bakr meminta izin kepada Muhammad akan
pergi hijrah, dan dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau
Allah nanti memberikan seorang teman kepadamu." Dan tidak
lebih dari itu.
Bersiap-siap, kemudian hijrah
Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman
yang begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu
Bakr sudah mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin
hijrah ke Yasrib, pihak Kuraisy memaksa mereka yang dapat
dikembalikan ke Mekah harus dikembalikan, dipaksa
meninggalkan agama itu. Kemudian mereka disiksa, dianiaya.
Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang musyrik itu berkumpul
di Darun Nadwah, berkomplot hendak membunuh Muhammad. Kalau
ia menemani Muhammad dalam hijrahnya itu lalu Kuraisy
bertindak membunuh Muhammad, tidak bisa tidak Abu Bakr juga
pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu, ketika ia oleh Muhammad
diminta menunda, ia pun tidak ragu. Bahkan ia merasa sangat
gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia hijrah bersama
Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini suatu
kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh
bersama dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat
surga.
Sejak itu Abu Bakr sudah menyiapkan dua ekor unta sambil
menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu.
Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Muhammad
seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah
mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakr menyampaikan
keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya
dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun
dikabulkan.
Khawatir Muhammad akan melarikan diri sesudah kembali ke
rumahnya, pemuda-pemuda Kuraisy segera mengepungnya.
Muhammad membisikkan kepada Ali bin Abi Talib supaya ia
mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di
tempat tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah
malam, dengan tidak setahu pemudapemuda Kuraisy ia
keluar pergi ke rumah Abu Bakr. Ternyata Abu Bakr memang
sedang jaga menunggunya. Kedua orang itu kemudian keluar
dari celah pintu belakang dan bertolak ke arah selatan
menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi.
Pemuda-pemuda Kuraisy itu segera bergegas ke setiap
lembah dan gunung mencari Muhammad untuk dibunuh.
Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas
gua itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu
Bakr sudah mandi keringat ketika terdengar suara mereka
memanggil-manggil. Ia menahan nafas, tidak bergerak dan
hanya menyerahkan nasib kepada Allah. Tetapi Muhammad masih
tetap berzikir dan berdoa kepada Allah. Abu Bakr makin
merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan Muhammad berbisik
di telinganya: "Jangan bersedih hati. Tuhan bersama
kita."
Pemuda-pemuda Kuraisy itu melihat ke sekeliling gua dan
yang di lihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam
sarangnya di mulut gua itu. Ia kembali ke tempat
teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk.
"Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak
sebe!um Muhammad lahir." Dengan perasaan dongkol
pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut.
Setelah mereka menjauh Muhammad berseru: "Alhamdulillah,
Allahu Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakr itu sungguh
makin menambah kekuatan imannya.
Apa penyebab ketakutan Abu Bakr ketika
dalam gua?
Adakah rasa takut pada Abu Bakr itu sampai ia bermandi
keringat dan merapatkan kepada Rasulullah karena ia sangat
mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana?
Atau karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang
dipikirkannya hanya Rasulullah dan jika mungkin ia akan
mengorbankan diri demi Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin
Abil-Hasan al-Basri, Ibn Hisyam menuturkan: "Ketika malam
itu Rasulullah s w. dan Abu Bakr memasuki gua, Abu Bakr
radiallahu 'anhu masuk lebih dulu sebelum Rasulullah saw.
sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di
tempat itu ada binatang buas atau ular. Ia mau melindungi
Rasulullah saw. dengan dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu genting
demikian mendengar suara pemuda-pemuda Kuraisy, ia berbisik
di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke
bawah, pasti mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang
akan menimpa dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah
dan perkembangan agama, yang untuk itu ia berdakwah atas
perintah Allah, kalau sampai pemuda-pemuda itu berhasil
membunuhnya. Bahkan barangkali pada saat itu tiada lain yang
dipikirkannya, seperti seorang itu yang khawatir akan
keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah. Tak
lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan
terjun melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin
melindung atau mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakr
memang lebih gelisah dari ibu itu, lebih menganggap enteng
segala bahaya yang datang, karena imannya kepada Allah dan
kepada Rasulullah memang sudah lebih kuat dari cintanya
kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang ibu dan dan
segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa yang
terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa
iman itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan
dengan itu segala makna yang kudus menjelma pula dalam
bentuk kekudusan dan kerohaniannya yang agung dan
cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakr sedang duduk dan
Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang
sedang mengancam kedua orang itu. Imajinasi saya tak dapat
membantu mengungkapkan segala yang terkandung dalam lukisan
hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam
bentuk yang bagaimanapun.
Apa artinya pengorbanan raja-raja dan
para pemimpin dibandingkan dengan pengorbanan
Rasulullah
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang
telah me ngorbankan diri demi seorang pemimpin atau
raja. Dan pada zaman kita ini pun banyak pemimpin yang
dikultuskan orang. Mereka lebih dicintai daripada diri
mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakr dalam gua jauh
berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat analisis
yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat
melukiskan keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang
kepada seorang pemimpin dan raja dibandingkan dengan
keyakinan Abu Bakr kepada Rasulullah yang telah menjadi
pilihan Allah dan mewahyukannya dengan agama yang benar!?
Dan apa pula artinya pengorbanan orang untuk
pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa
yang berkecamuk dalam pikiran Abu Bakr saat itu, yang begitu
khawatir terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah.
Lebihlebih lagi jika tak sampai dapat menolak bahaya
itu. Inilah keagungan yang sungguh cemerlang, yang rasanya
sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi. Itulah sebabnya
penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung soal
ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya
keluar dari tempat persembunyian dan meneruskan perjalanan.
Dalam perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak
kurang pula dari bahaya yang mengancam mereka selama di
dalam gua.
Abu Bakr masih dapat membawa sisa laba perdagangannya
sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang
menyambut Rasulullah begitu meriah, Abu Bakr memulai
hidupnya di kota itu seperti halnya dengan kaum Muhajirin
yang lain, meskipun kedudukannya tetap di samping
Rasulullah, kedudukan sebagai khalil, sebagai as-Siddiq dan
sebagai menteri penasehat.
Abu Bakr di Medinah
Abu Bakr tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada
keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu al-Haris dari suku
Khazraj. Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin
dan Ansar Abu Bakr dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakr
kemudian disusul oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal
di Mekah. Ia mengurus keperluan hidup mereka. Keluarganya
mengerjakan pertanian - seperti juga keluarga Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Talib - di tanah orang-orang Ansar
bersamasama dengan pemiliknya. Boleh jadi Kharijah bin
Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini lambat
laun makin dekat dengan Abu Bakr. Abu Bakr kawin dengan
putrinya - Habibah - dan dari perkawinan ini kemudian lahir
Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakr ketika ia
sedang dalam kandungan Habibah.
Keluarga Abu Bakr tidak tinggal bersamanya di rumah
Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Rauman dan putrinya
Aisyah serta keluarga Abu Bakr yang lain tinggal di Medinah,
di sebuah rumah berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari,
tempat Nabi tinggal. Ia mundar-mandir ke termpat mereka,
tetapi lebih banyak di tinggal di Sunh, tempat istrinya yang
baru.
Terserang demam
Tak lama tinggal di Medinah ia mendapat serangan demam,
yang juga banyak menyerang penduduk Mekah yang baru hijrah
ke Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim udara tempat
kelahiran mereka dengan udara tempat tinggal yang sekarang.
Udara Mekah adalah udara sahara, kering, sedang udara
Medinah lembab, karena cukup air dan pepohonan. Menurut
sumber dari Aisyah disebutkan bahwa demam yang menimpa
ayahnya cukup berat, sehingga ia mengigau.
Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru ini, dan
setelah bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak
memerlukan lagi bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang
dicurahkan untuk membantu Rasulullah dalam memperkuat
Muslimin, tak peduli betapa beratnya pekerjaan itu dan
besarnya pengorbanan.
Kemarahan Abu Bakr
Orang yang begitu damai dan tenang ini tak pernah
mengenal marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah
yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu
mulai berolok-olok dan main tipu muslihat. Rasulullah dan
kaum Muslimin dengan pihak Yahudi sudah membuat per
janjian, masing-masing menjamin kebebasan menjalankan dakwah
agamanya serta bebas melaksanakan upacara-upacara
keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi itu pada
mulanya mengira bahwa mereka mampu mengambil keuntungan dari
kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam menghadapi Aus
dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil mereka
memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, mulailah
mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama.
Beberapa orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang
dari mereka yang bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan
pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakr datang dan melihat
mereka, ia berkata kepada Finhas ini: "Finhas, takutlah
engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau tahu bukan
bahwa Muhammad Rasulullah. Dia telah datang kepada kita
dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat
itu dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas
berkata:
"Abu Bakr, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia
yang memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta
kepada-Nya, tetapi Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita
tidak memerlukan-Nya, tapi Dialah yang memerlukan kita.
Kalau Dia kaya, tentu tidak akan minta dipinjami harta kita,
seperti yang didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang
kalian menjalankan riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau
Ia kaya, tentu Ia tidak akan menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:
"Siapakah yang hendak meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, yang akan Ia lipatgandakan dengan
sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).
Setelah Abu Bakr melihat orang ini memperolok firman
Allah serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan
diri, dipukulnya muka Finhas itu keras-keras seraya
katanya:
"Demi Allah, kalau tidak karena adanya perjanjian antara
kami dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh
Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakr menjadi begitu keras, orang
yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi
sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh
tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada
kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu
ketika Persia mengalahkan Rumawi. Persia Majusi dan Rumawi
Ahli Kitab. Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena
diejek kaum musyrik yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah
karena juga Ahli Kitab seperti mereka. Ada seorang musyrik
menyinggung soal ini di depan Abu Bakr dengan begitu
bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakr naik pitam.
Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ekor unta bahwa
kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum
habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar akan
sangat marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang
begitu tulus kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya
tatkala ia berusia empat puluh, dan tetap itu juga setelah
sekarang usianya lima puluh tahun sampai kemudian ketika ia
sudah menjadi Khalifah dan memegang pimpinan kaum
Muslimin.
|