|
BAB 10. ISLAM DALAM DUNIA MODERN
Bagi seorang peninjau, pada akhir abad kedelapan belas
merupakan akhir perkembangan sejarah Islam. Berdasarkan
ajaran keesaan Tuhan yang sederhana, cermat, dan keras, yang
diberikan oleh Muhammad saw. pada masyarakat Arab yang
kecil, Islam telah meluas hingga suatu kompleks dari mazhab
dan aliran ilmu ketuhanan yang ditaruh atas bermacam-macam
himpunan dengan upacaranya sendiri, cita-cita dan ibadat
agama yang berbeda-beda. Apabila pendapat si peninjau tadi
dicat dengan filsafat Eropa Barat pada waktu itu, boleh juga
ia menganggap susunan keseluruhan tadi dijalin dengan
takhayul dan ditakdirkan untuk dimusnahkan dalam waktu yang
dekat oleh kekuatan, kemajuan, dan penerangan.
Tidak seorang pun peninjau di luar dapat menaksir
kekuatan benang-benang yang tidak tampak, yang pada saat
tantangan dapat mengumpulkan anggota berjenis-jenis kelompok
menjadi satu masyarakat dengan satu tujuan, satu kemauan,
ataupun daya hidup suatu cita yang besar --yang ditutupi
dengan endapan beberapa abad-- apabila cita-cita tadi
dihadapkan kepada tugas baru dan banyak bahaya. Sejarah
Islam dan usaha untuk menyesuaikan diri dibawah dua dorongan
yaitu tantangan dari dalam dan tekanan bahaya dari luar.
Mula-mula secara perlahan-lahan dan tanpa kemunduran, dengan
kepesatan yang bertambah, masyarakat Islam berkumpul menjadi
satu dan mulai meninjau pertahanannya. Masyarakat Islam
bangkit kembali dan waspada mencari rencana untuk bersatu
maju ke hari depan masih tidak diketahui dan tidak
diramalkan.
Pandangan sebagian besar muslimin dan hampir semua bangsa
Barat bahwa tekanan-tekanan luar yang timbul dari perluasan
politik dan ekonomi Eropa Barat terlihat sayup-sayup lebih
besar daripada tantangan dari dalam. Tetapi yang akhir ini
datang dahulu dan berasal dari pusat masyarakat Islam.
Akibatnya lebih mendalam daripada akibat yang timbul dari
hubungan dengan Barat.
Pangkal mulanya ialah Arabia Tengah. Lebih kurang dalam
tahun 1744 seorang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahab dengan
sokongan keluarga kerajaan Su'ud, Emir setempat dari
Dar'ijah mulai suatu pergerakan pembaharuan berdasarkan
mazhab Hambali yang sederhana dan pelajaran anti Sufi dari
ibn Taimijah dan penganutnya dalam abad keempat belas.
Pergerakan Wahabi ini (sebagaimana pergerakan ini seterusnya
terkenal) pertama-tama ditujukan menghadapi kemunduran tata
sila dan kemerosotan agama dalam pedesaan dan pada
suku-suku, mengutuk pemujaan orang suci dan bid'ah-bid'ah
lain dari kaum Sufi sebagai penyelewengan dan kekufuran, dan
akhirnya juga menyerang mazhab-mazhab lain karena
komprominya dengan bid'ah-bid'ah yang dibenci itu. Dalam
semangatnya untuk mengembalikan kesucian kesederhanaan iman,
pangeran-pangeran Su'udi memerangi tetangganya, dan setelah
menundukkan Arabia Tengah dan Arabia Timur, menyerang
propinsi-propinsi Dinasti Osman di bagian utara dan
syarif-syarif turun temurun dari Mekkah di Hijaz. Karbela di
Irak telah dirampas habis-habisan dalam tahun 1082, Mekkah
akhirnya ditundukkan, diduduki, dan "dibersihkan" dalam
tahun 1806. Dengan kedua tantangan tadi terhadap kekuasaan
Dinasti Osman dan terhadap adat istiadat Katholik dalam
Islam orang-orang Wahhabi yang hingga kini merupakan aliran
yang samar, telah menarik perhatian seluruh dunia Islam.
Tantangan tersebut telah diterima atas nama sultan oleh
Gubernur Mesir Muhammad Ali; pada tahun 1818 kekuasaan
Wahhabi telah dipatahkan. Dar'ijah ditundukkan dan
dibumihanguskan dan keluarga Su'udi yang pegang pemerintahan
dikirimkan ke Istambul untuk dihukum mati.
Lenyapnya kekuasaan politik Wahabi di Arabia itu tidak
berarti berakhirnya pergerakan Wahhabi. Bahkan di bidang
politik kesan-kesannya telah berlaku cukup lama hingga tidak
mudah dibinasakan. Di Nejd masih ketinggalan pemerintahan
seorang Emir Su'udi. Meskipun ia untuk sementara waktu
kurang berkuasa daripada keluarga Rasjidi di Hail, yang dulu
pernah di bawah pengawasannya, pemerintah Emir Su'udi
tersebut dapat membaharui kekuatannya dan menguasai kerajaan
Arab dalam abad ini di bawah pimpinan Abd al-Aziz, pembina
kerajaan baru Arabia Sa'udiya.
Lebih dalam pengaruhnya sebagai kekuatan agama dalam
masyarakat Islam. Sifat tidak luwes dan ekses-ekses
penganutnya yang terdahulu di Arabia dan penganutnya di
India dan Afrika Barat pada permulaan abad kesembilan belas
patut dikutuk oleh seluruh umat Islam. Pecahnya pergerakan
Wahhabi hanya merupakan pernyataan yang ekstrim dari
kecenderungan yang dapat dijumpai di beberapa bagian dunia
Islam dalam abad kedelapan belas. Dengan lampaunya tahapan
tidak luwes yang aktif, patokan-patokannya menguatkan
pergerakan untuk kembali kepada paham eka Tuhan dari umat
Islam yang mula-mula. Pergerakan tadi digabungkan dengan
perlawanan terhadap perembesan Sufi bertambah besar dalam
abad kesembilan belas, dan telah menyusun dalam bentuk
berlainan sebagai salah satu sifat utama Islam modern.
Menarik perhatian ialah pemberontakan dimulai dalam
propinsi yang paling asli Arab. Dalam garis besar
kekuatan-kekuatan agama yang telah membentuk Sufi setelah
al-Ghazali bukanlah orang Arab, melainkan orang Berber,
Persia, Turki; walaupun dapat dikatakan tidak masuk akal
untuk menghubungkan hal tersebut dengan penaklukan politik
tanah-tanah Arab. Pemasukan mereka menyebabkan melemahnya
keunggulan "cita-cita Arab" dalam Islam dan pengaruh alim
ulama Arab yang dahulu sampai dengan al-Ghazali. Kebanyakan
orang Persia dan Turki Mathnawi dari Jalal ad-Din ar-Rumi
telah menggantikan Hadis Nabawi sebagai penjelasan dan
tafsir ajaran agama dan kesusilaan Quran. Bahkan para alim
ulama yang terkemuka dari abad kedelapan belas --sebagaimana
telah kita maklumi-- telah menghubungkan warisan ajaran yang
lebih tua dengan doktrin kebatinan Sufi yang datang
kemudian.
Penghidupan kembali aliran Wahhabi adalah pernyataan baru
yang pertama dari cita-cita Arab, dan kemudian disusul oleh
pernyataan lain yang bebas asalnya. Pada akhir abad yang
sama, seorang sarjana Yaman, Muhammad al-Murtada (m. 1790),
telah diterbitkan pengesahan baru yang besar dari
al-Ghazali. Percetakan Arab yang mulai dikerjakan di Mesir
dalam tahun 1828 menghasilkan perbanyakan dan penyebaran
buku-buku pelajaran baku tentang ilmu ketuhanan dari abad
pertengahan dan menghidupkan kembali gengsi sarjana-sarjana
Mesir dalam ilmu pengetahuan Arab. Sarjana-sarjana Eropa
yang membahas ilmu pengetahuan ketimuran yang menerbitkan
naskah-naskah tua dengan penyelidikannya membantu langsung
dan menimbulkan pertentangan meneropongkan perhatian kepada
abad-abad terdahulu. Usaha-usaha itu semuanya digabungkan
untuk menekankan perbedaan antara Islam zaman dahulu dan
hari kemudian, serta memburukkan kalangan cerdik pandai dan
kaum sastrawan keturunan Persia dan Turki. Mereka menyiapkan
jalan bagi kembalinya daya karsa dan pengaruh Arab dalam
dunia Islam, yang muncul maju dengan pergerakan pembaharuan
Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Abduh pada awal abad
ini.
Masih jauh jalan yang harus ditempuh sebelum titik ini
tercapai. Dorongan Sufi dari abad kedelapan belas belum
habis kekuatannya. Khusus di Afrika Barat Laut, Sufi
mendapat kejayaan yang segar, waktu seorang murid Berber
dari tarekat Khalwatiyah, Ahmad al-Tijani mendirikan tarekat
Tijaniyah dalam tahun 1781. Tarekat baru itu dengan pesat
meluas ke jurusan Barat dan ke tanah Negro, dimana ia
bertalian dengan pergerakan memperoleh penganut dengan cara
fanatik dan berdarah, terutama atas kerugian tarekat
Qadariyah yang suka damai. Di India, Asia Tengah, dan di
kebanyakan negara Islam yang jauh letaknya timbullah
penghidupan baru Sufi dalam abad kesembilan belas. Hanya di
pusat tanah Arabia dan kota-kota, pergerakan Sufi terus
menerus mundur.
Diantara para Sufi kebangkitan baru kaum ortodoks
seakan-akan memberikan pengaruh yang bertambah. Kecuali
tarekat-tarekat yang lebih ekstrim dan tarekat yang tidak
teratur, upacara dan latihan-latihan yang berlebih-lebihan
lambat laun ditinggalkan, serta sebagian besar dari
ketuhanan kebatinan dan kecenderungan panteis. Alim ulama
ortodoks langsung tetap memberikan tekanan dalam jurusan
itu. Dengan mengundurkan diri dari hubungannya yang dahulu
rapat dengan tarekat-tarekat mereka umumnya mengambil tempat
di tengah-tengah: menolak serba asasi kaum Wahhabi dengan
alirannya yang bersifat fanatik dan tidak luwes dan menolak
tuntutan murid-murid Sufi. Dengan berpegang teguh pada
doktrin Katholik tentang ijmak, mereka menyatakan (dan
sebagian besar tetap menyatakan) bahwa walaupun pemujaan
wali-wali bertentangan dengan Islam, menghormati orang suci
dan doa dengan perantaraan mereka diperbolehkan hukum.
Sikap lunak dan sikap konservatif alim ulama tadi
bukanlah sesuai dengan perasaan para pejuang pembaharuan;
dan dalam tiap-tiap generasi membentuk lembaga-lembaga baru
untuk mempropagandakan prinsip-prinsip mereka. Dalam bagian
pertama abad kesembilan belas, perkembangan baru yang amat
menarik perhatian ialah pembentukan jamaah utusan kaum
pembaharuan atas dasar tegas ortodoks, tetapi disusun atas
garis-garis tarekat-tarekat. Pergerakan ini diambil oleh
keturunan Nabi saw. yaitu seorang Maroko bernama Sjarif
Ahmad ibn Idris (m. 1837). Setelah diterima sebagai murid
waktu masih muda, dalam salah satu cabang tarekat
Syadhiliyah yang telah diperbaharui, Ahmad ibn Idris menetap
di Mekkah; bakat kerohaniannya, kecerdasan, dan
kepribadiannya yang luar biasa telah menarik kalangan
penganut yang taat. Hingga sekarang masih merupakan suatu
pertanyaan apakah ia langsung dipengaruhi oleh pemberontakan
Wahhabi. Jelaslah ia seorang penganut Hambali yang menolak
ijmak, di luar ijmak yang didirikan oleh generasi pertama
dari sahabat Nabi saw. dan qiyas atau "kesejalanan" sebagai
sumber hukum. Quran dan sunah yang dapat diterima sebagai
sumber doktrin dan hukum. Disamping itu, ia mengajarkan
sejumlah doa yang sesuai dengan dikir Sufi. Ia menolak
doktrin Sufi persatuan dengan Tuhan, yang digantinya sebagai
tujuan hidup mistik dengan persatuan "mistik" ialah
persatuan dengan roh Nabi saw.
Tarekat Muhammadiyah dengan sekaligus memperoleh sukses
yang gemilang. Disamping tarekat asli pembangun (Idrisiyah)
di Arabia sendiri (tempat keturunannya memperoleh kuasa
politik dalam propinsi Asir) sejumlah muridnya mendirikan
himpunan-himpunan lain atas dasar yang sama atau sejenis.
Diantaranya yang amat berpengaruh adalah tarekat yang
didirikan oleh orang Aljazair Muhammad ibn Ali al-Sanusi (m.
1859) di Sirenaika dan seorang Hijaz bernama Muhammad Uthman
al-Amir Ghani (m. 1853) di Afrika Timur.
Nabi yang berlainan dari dua cabang tarekat Muhammadiah
memberikan gambaran peranan yang dimainkan oleh keadaan dan
kesempatan dalam pembentukan perkembangan tarekat-tarekat
tadi. Semua pergerakan pejuang pembaharuan yang sederhana
--walaupun suka damai dalam dasarnya-- lazimnya mudah
menggunakan jalan kekerasan. Dari permulaan mereka insaf
akan perlawanan pembesar agama ortodoks dan tidak mau
berkompromi baik dalam usaha pertahanan maupun dalam
penyerangannya. Karena kekuatan lengan keduniawian telah
dipalingkan kepadanya, maka perlawanannya yang dipaksakan
dalam saluran politik bersifat pergerakan pemberontakan dan
ditujukan untuk membangun suatu negara ketuhanan baru. Tidak
boleh dilupakan bahwa salah satu akibat penitikberatan pada
Quran dan sunah dalam keasasan Islam berarti memulihkan
kembali pada jihad jalan Allah; banyak dari keulungannya
yang menjadi anggapan masyarakat yang primitif, sebagaimana
telah dijelaskan dalam Bab 4. Sedangkan dalam masyarakat
yang berkembang sepanjang sejarah pengertian jihad lambat
laun melemah, dan lama-kelamaan ditafsirkan secara baru
dalam istilah kesusilaan Sufi.
Tarekat Amirghaniyah di Nubia dan Sudan yang bertengkar
dengan tarekat yang lebih ekstrim revolusioner --yang
didirikan oleh al-Mahdi Muhammad Ahmad (m. 1885)-- menjadi
pembela dari umat dan penaklukan pada pembesar keduniawian.
Pada lain pihak tarekat Sanusiyah dari Sirenaika yang
menolak tuntutan Dinasti Osman menjadi pengawas daerah
tersebut dan membentuk lembaga yang suka berjuang yang
diperlukan bagi tugas mengislamkan dan mengawasi orang nomad
di gurun pasir Libiya. Pada tahapan kemudian, waktu mereka
menghadapi perluasan kekuasaan Kristen, orang Sunusiyah
memainkan peranan sebagai pembela agama, mula-mula terha dap
perembesan orang Perancis ke daerah khatulistiwa Afrika,
kemudian sebagai sekutu Turki terhadap orang Itali di Libia
dan orang Inggris di Mesir. Meskipun telah dibinasakan dalam
bidang militer oleh pemerintah militer Fasis, tarekat
Sanusiyah telah memperlihatkan daya hidupnya dengan segera
munculnya kembali pada waktu orang Itali dienyahkan dari
Sirenaika.
Lama sebelum himpunan-himpunan utusan pengislaman dalam
gurun pasir yang jauh tadi melawan dengan caranya sendiri
perembesan kekuasaan-kekuasaan Barat, bersentuhan politik
dan ekonomi Kekristenan Barat telah mulai menimbulkan
ketegangan baru diantara penduduk muslimin. Perluasan yang
tidak kunjung henti dari kekuatan politik Eropa di daerah
Islam pertama menerbitkan perasaan kecemasan kebatinan yang
akibatnya dikuatkan masing-masing oleh kekacauan susunan
sosial dan ekonomi mereka yang lama dan pemasukan pikiran
Barat.
Saluran-saluran yang membawa cita-cita Barat tidak hanya
saluran kesusasteraan dan pendidikan, akan tetapi hampir
tidak ada batasnya dalam jenis dan seluk beluknya mengenai
pemerintahan, politik, susunan militer, hukum dan kehakiman,
perhubungan, kesehatan, perniagaan, industri, dan pertanian.
Cepat atau lambat, kehidupan hampir semua lapisan penduduk
akan merasakan pengaruh salah satu perkembangan tadi hingga
batas tertentu. Sekolah-sekolah dan akademi-akademi Barat
yang paling langsung membawa hasilnya pada lapisan-lapisan
terpelajar, mungkin pengaruh terbesar dibawa oleh
harian-harian dan majalah-majalah baru. Mula-mulanya dengan
kecil-kecilan di pusat-pusat utama dalam pertengahan abad
kesembilan belas, maka sekarang semua bagian dunia Islam
memiliki sejumlah harian sendiri, dan persuratkabaran di
Mesir khusus bersinar hingga jauh di luar perbatasannya
sendiri.
Diharapkan dengan kekuatan pengaruh Barat yang menembus
dan yang menyerap para muslimin merasa harus bertindak.
Mereka belum siap menjalankan usaha untuk pengertian dan
penyesuaian yang dibutuhkan untuk mempertalikan pengaruh
Barat tadi pada dasar-dasar kehidupan dan alam pikirannya
sendiri. Tanpa usaha tersebut hasilnya akan merupakan
pertikaian dan kebingungan, kedua keluar dan kedalam, serta
akan bertambah membingungkan lagi karena dalam kekuatan
Barat sendiri masih terdapat cita-cita dan tujuan yang
berlawanan. Untuk membedakan akibatnya, --yang tambahan dan
dangkal dari yang inti, alat dari alasan yang palsu dari
yang benar-- semua itu adalah tugas berat.
Penasihat-penasihat Barat, apabila bantuannya diminta untuk
menyelamatkan tugas tersebut acap kali terbukti kurang mahir
dan merupakan penuntun yang tidak boleh dipercaya.
Pada bidang keagamaan ada dua jalan untuk melayani
tantangan Barat yang muncul dengan sendirinya. Pertama,
mulai dari pokok-pokok dasar Islam dan mengeluarkan
pernyataan baru dalam suasana dan keadaan dewasa ini. Kedua,
mulai dari suatu filsafat Barat yang terpilih dan mencoba
meresapkan doktrin Islam dengan filsafat tadi. Kedua jalan
telah ditempuh; dari beberapa tafsiran dan aliran yang
saling berlawanan, kami akan membicarakan yang utama saja.
Cara pertama janganlah dicampurbaurkan dengan pendirian alim
ulama umumnya. Bagi alim ulama belumlah ada persoalan untuk
pernyataan baru dalam arti apa pun. Ilmu kalam, syariat, dan
amal umat ortodoks berdasarkan Quran dan sunah sebagaimana
ditafsirkan oleh sarjana-sarjana abad pertengahan --yang
sebagian besar disetujui oleh ijmak-- tetap mengikat dan
tidak boleh diubah, meskipun tekanan keadaan yang tidak
tertahankan, beberapa konsesi dalam soal amal dapat
diberikan untuk sementara. Barang siapa yang ingin
menyatakan baru doktrin Islam dapat melakukan demikian
karena dua alasan berlainan. Pada pihak pertama, pernyataan
baru dapat diberikan dengan tujuan menguatkan dunia Islam
terhadap pelanggaran barat, atau pada pihak lain supaya
menjadi garis tunggal, tempat setiap usaha penyesuaian dan
peleburan harus dimulai. Tekanan pada pihak yang awal harus
diberikan pada aspek-aspek lahir dari praktek dan organisasi
Islam, pada pihak akhir patokan-patokan dasar pikiran
Islam.
Dalam keadaan tersebut, sewajarnya bahwa jalan pertama
harus mendahului jalan kedua. Dalam seluruh umat Islam
penyerbuan Barat telah menimbulkan reaksi politik, misalnya
yang memuncak hingga pemberontakan India dalam tahun 1857.
Hal ini di luar tinjauan buku ini, kecuali sampai suatu
batas dimana peristiwa menyangkut pendirian dan kedudukan
agama yang tertentu. Bagi kalangan beragama; kelemahan dalam
bidang politik Islam diterangkan sebagai akibat kehilangan
kepercayaan dan kemerosotan ibadat. Oleh karena itu,
pergerakan pembaharuan umum yang pertama dalam abad
kesembilan belas memiliki dua sifat. Dalam segi agama,
pergerakan menuntut pembersihan kepercayaan dari amal
keagamaan, kenaikan tingkat kecerdasan, serta perluasan dan
modernisasi pendidikan. Dalam segi politik, pergerakan
bertujuan menghilangkan pelbagai sebab yang memecahbelah
muslimin dan mempersatukan mereka untuk mempertahankan iman.
Pemuka pergerakan tersebut ialah orang Afghan, Jamal al-Din
(1839-1897), yang perjuangannya tidak kunjung padam telah
mengobarkan perasaan Islam di dunia Timur Islam, dan yang
telah menolong menimbulkan pemberontakan Arabi di Mesir dan
revolusi Persia. Pembangun dan yang mengilhami pergerakan
Pan Islam, yang telah berjuang untuk menyatukan semua bangsa
muslimin di bawah Khalifah Dinasti Osman. Meskipun ia gagal
dalam pergerakan tersebut --tujuannya yang utama--
pengaruhnya masih hidup terus dalam pergerakan-pergerakan
populer yang baru-baru ini menggabungkan serba asasi Islam
dengan program politik yang praktis dan realistis.
Diantara murid-murid Jamal al-Din terdapat seorang yang
memiliki paham memisahkan pembaharuan politik daripada
pembaharuan keagamaan dan pernyataan baru doktrin Islam.
Orang itu ialah orang Mesir Syekh Muhammad Abduh
(1849-1905), yang memiliki cita-cita luas, bebas, dan agung.
Sebagai seorang guru muda di al-Azhar beliau telah mencoba
memperkenalkan tanggapan pendidikan agama yang lebih luas
dan lebih berfilsafat. Dalam pembuangan kemudian, ia bekerja
sama dengan Jamal al-Din pada majalah al-Urwa al-Wuthga yang
berhaluan setengah keagamaan dan setengah politik. Dalam
tahun 1888, beliau kembali ke Mesir, dan di sana --walaupun
menemukan perlawanan kuat alim ulama yang konservatif dan
lawan-lawan politik-- dengan sifat budi pekertinya dan
ajarannya telah mempengaruhi angkatan baru yang merasa
dirinya renggang dari formalisme al-Azhar hingga batas
tertentu.
Sebagaimana sarjana-sarjana besar dalam abad pertengahan
Muhammad Abduh memaparkan pikirannya dalam bentuk tafsir
Quran, meskipun beliau hidup tidak lama mengakhiri karyanya.
Beliau merupakan tokoh modernis dalam pengertian bahwa
beliau menganjurkan menuntut pikiran modern, dan yakin bahwa
dalam tahapan akhir pikiran modern ini hanya dapat
membenarkan kebenaran agama Islam. Berkenaan dengan susunan
kepercayaan ahli sunah waljamaah beliau bukan seorang
pembaharu. Beliau bukan sebagai al-Ghazali, seorang yang
dapat menarik garis bagi suatu bingkai sintesis yang dapat
menyatukan atau menerima sekumpulan cita-cita yang sampai
suatu waktu ada di luar kepercayaan ortodoks. Bagi seorang
peninjau dari luar kadang-kadang sukar untuk memahami
mengapa ajarannya pada satu pihak dapat diterima dengan
gembira dan berpengaruh besar, sedang pada pihak lain
ajarannya tadi dilawan dengan mati-matian. Keterangannya
ialah karena beliau dengan menyatakan hak menggunakan akal
budi dalam pikiran agama, beliau telah memulihkan pengelukan
sedikit pada suatu sistem yang telah menjadi kaku dan beku,
serta memberikan kemungkinan untuk perumusan baru doktrin
dalam istilah-istilah modern bagi pengganti istilah-istilah
abad pertengahan.
Perumusan baru demikian tidak dapat dicapai dalam satu
atau dua generasi. Tidak ada alasan untuk terperanjat bahwa
hanya sedikit kemajuan keluar yang dicapai khusus, apabila
ketegangan politik menimbulkan dan melangsungkan suatu iklim
yang tidak menguntungkan bagi usaha-usaha seorang sarjana
dan seorang ahli agama yang membutuhkan ketenangan. Hasil
langsung dari usaha Muhammad Abduh mendapat pernyataan dalam
dua kecenderungan yang berlainan dan saling berlawanan.
Pada suatu pihak, tumbuh dalam kalangan keduniawian
"modernisme" yang tersebar, akan tetapi tidak dirumuskan,
yang dengan berpegangan pada doktrin asasi Islam kuat
dipengaruhi oleh cita-cita Barat. Dalam bentuknya yang
termaju, maka modernisme dibaurkan dengan pergerakan
keduniawian yang bertujuan memisahkan Gereja dari negara,
dan menggantikan syariat dengan sistem hukum Barat.
Penggunaan paling ekstrim dari patokan-patokan keduniawian
itu telah dilakukan oleh Republik Turki sejak pembatalan
Khilafah Dinasti Osman dalam tahun 1924. Meskipun pergerakan
keduniawian tadi mempunyai penyokong di lain negara-negara
Islam, jumlah terbanyak kaum modernis menunjukkan pendirian
yang lebih lunak terhadap susunan agama dan adat
kebiasaannya. Bagaimanapun pandangan mereka tentang hukum
dan politik, kedudukan mereka tentang doktrin dapat
diikhtisarkan sebagai penolakan umum kekuasaan yang paling
utama dari alim ulama abad pertengahan, dan pernyataan yang
lebih ragu-ragu tentang hak pertimbangan perseorangan.
Akibat kedua ialah pembentukan suatu partai agama yang
dinamakan al-Salafiyah, penegak-penegak sunah yang telah
dibuktikan oleh "leluhur yang agung", bapak-bapak umat
Islam. Kaum Salafi menyetujui kaum modernis dalam penolakan
kuasa mazhab-mazhab abad pertengahan serta menerima Quran
dan sunah sebagai satu-satunya sumber kebenaran agama. Dalam
hal ini, mereka berlawanan dengan alim ulama umumnya yang
merupakan kaum reformis. Tetapi terhadap kaum modernis
dengan bersemangat mereka menolak gangguan dari liberalisme
dan rasionalisme Barat.
Pemimpin pergerakan Salafiyah itu seorang Siria, murid
Muhammad Abduh, bernama Syekh Rasjid Rida (1865-1935),
penerbit sebuah tafsir Quran dan majalah haluan reformis
al-Manar, yang akhirnya penyebaran luas Maroko hingga pulau
Jawa. Dibawah pengaruhnya pergerakan mula-mula menyatakan
kembali ke program Pan Islam Jamal al-Din. Waktu
pembesar-pembesar Turki meninggalkan sunah Islam, dengan
tidak tedeng aling-aling Rasjid Rida mengutuk kebijaksanaan
mereka. Sebagaimana juga halnya dengan kaum pembaharu
sederhana yang lebih dahulu, ia terus menerus didorong
mundur ke serba asasi. Lama kelamaan, ia mengakui dan
menumbuhkan hubungan tujuan dan pikiran antara Salafiah dan
kaum Wahhabi. Dalam kedudukannya doktrin yang terakhir orang
Salafiah dengan menolak hasrat orang Wahhabi yang
mengutamakan alirannya sendiri, menyatakan dirinya golongan
"Hambali Baru" (Neo-Hambali), kaum konservatif yang menuntut
pembukaan kembali "Pintu Ijtihad" (halaman 78) dan hak untuk
mentafsirkan baru soal-soal ketuhanan dan hukum.
Mungkin pertalian kuat antara kaum Salafi dan kaum
Wahhabi ialah permusuhan mereka terhadap Sufi dalam bentuk
apapun juga, terhadap pemujaan wali-wali, bid'ah-bid'ah
berdasarkan animisme yang menyeleweng dari paham keesaan
Tuhan yang murni dari Quran. Sebagian karena pendirian
itulah "modernisme al-Manar" telah menjadi suatu kekuatan
seluruh negara Islam, dimana para pembaharu menghadapi
perlawanan kepentingan yang telah bercokol dari pemujaan
para wali dan tarekat-tarekat. Dengan meninggalkan pendirian
di tengah jalan dari alim ulama resmi, modernisme al-Manar
dengan melintangi perbatasan bangsa dan negara mendirikan
persaudaraan baru golongan-golongan yang bersemangat telah
berbulat tekad memerangi kemerosotan kedalam dan pemecahan
keluar umat Islam. Meskipun tidak terbatas pada suatu
lapisan kebudayaan golongan ekonomi atau sosial, pergerakan
tadi hanya menarik sedikit penganut diantara para cerdik
pandal, dan sebaliknya mencurigai mereka tentang kelalaian
mereka yang tidak patut dalam soal iman dan ibadat.
Sejajar dengan pergerakan Salafiah tadi, atas dasar
doktrin yang sedikit kurang nyata, perkembangan umat Islam
dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir yang paling menarik
perhatian adalah munculnya perhimpunan-perhimpunan agama
baru. Perhimpunan-perhimpunan itu seakan-akan merupakan
pernyataan baru dari pikiran Islam dan pernyataan baru dari
nurani Islam menghadapi gangguan Barat, yang disesuaikan
dengan berjenis-jenis lingkungan sosial dan pendidikan.
Misalnya, di Mesir dan di negeri-negeri Arab, Persatuan
Pemuda Islam melayani jenis golongan yang sama, dan dengan
cara-cara sama sebagai Y.M.C.A. (Persatuan Pemuda Pria
Kristen), sedang Persaudaraan Muslimin bekerja pada tingkat
yang lebih populer. Di Pakistan dan Indonesia, terdapat juga
persatuan-persatuan yang sama, tetapi bebas dan merdeka.
Pertama-tama, bertujuan untuk menghidupkan kembali dan
memberikan semangat baru pada kepercayaan agama dan ibadat
yang mungkin akan tergenang dalam pasang surutnya
penghidupan modern, himpunan-himpunan baru tersebut condong
memilih, hampir karena keharusan pendirian politik buat
mempertahankan warisan Islam. Oleh karena itu, mereka
merupakan bagian diantara penduduk kota dari negara-negara
yang teratur, penyelarasan abad kedua puluh dari
pergerakan-pergerakan abad kesembilan belas diantara
suku-suku; pada waktu yang sama menggantikan tarekat Sufi
yang lama, dan pengaruhnya dalam kota-kota berkurang dengan
pecahnya serikat pertukangan. Dengan memeluk segala tahapan
doktrin dari serba azasi hingga keortodoksan liberal, mereka
menemukan suatu titik persamaan untuk mengumpulkan tenaga
dalam penghormatan terhadap diri Nabi saw., yang boleh
dikatakan memberi dorongan gerakan hati dan akhlak dalam
Islam modern.
Tipe kedua dari reaksi terhadap pertemuan dengan Barat
telah dinyatakan khusus di India. Di belakangnya terletak
pengaruh pergerakan pembaharuan ortodoks yang telah
memelopori jalan dengan memusnahkan kekuasaan mazhab-mazhab
abad pertengahan. Pergerakan itu mulai dalam
dasawarsa-dasawarsa yang pertama dari abad kesembilan belas
dengan mengajarkan kesederhanaaan ajaran Wahhabi dan
pemberontakan menentang pemujaan wali-wali oleh
pemimpin-pemimpin sebagai Syariat Allah dan Sayid Ahmad dari
Rai Bareli (terbunuh dalam pertempuran melawan orang Sikh
tahun 1831), kemudian banyak memperoleh penganut diantara
muslimin India. Pelbagai perhimpunan dengan terang-terangan
telah memperjuangkan patokan-patokannya, khusus aliran
Fara'idi di Bengal yang amat fanatik (yang juga disebut
Salafia), dan jamaah-jamaah yang tidak ternilai banyaknya
yang menamakan dirinya Ahli-i-Hadith, "Penganut-penganut
Sunah Nabi saw" yang memeliharakan mesjid dan madrasahnya
sendiri-sendiri. Dalam masyarakat yang lebih besar,
perjuangan mereka untuk membersihkan doktrin dan amal telah
disambut dengan baik.
Dengan jalan tersebut, maka pintu telah terbuka untuk
usaha-usaha perseorangan yang lebih berpribadi untuk
merumuskan doktrin Islam dalam istilah yang modern. Usaha
pertama telah dilakukan oleh Sir Sayid Ahmad Chan
(1818-1898). Seperti Syekh Muhammad Abduh, bahwa Islam dan
ilmu pengetahuan tidak mungkin terus menerus saling
berlawanan, beliau telah maju lagi selangkah dengan
menyatakan bahwa pembenaran yang nyata dari Islam adalah
persesuaiannya dengan alam semesta dan hukum-hukum ilmu
pengetahuan, dan tidak sesuatu pun melawan dasar ini dapat
dipandang Islam asli dan sah. Untuk menggiatkan dan
mengembangkan garis pikiran ini, beliau mendirikan sebuah
perguruan tinggi di Aligarh tahun 1875, dimana pendidikan
agama harus digabungkan dengan pelajaran ilmu hukum modern.
Dengan demikian, beliau telah membina organisasi modernis
pertama. Perguruan tinggi baru tadi dan pendirinya menjadi
sasaran penyerangan hebat, tidak hanya dari pihak alim ulama
ortodoks, akan tetapi dari Jamal al-Din al-Afghani yang
menyerang dengan sengitnya filsafat necari sebagai
materialisme murni dan pengkhianatan terhadap iman. Meskipun
demikian, pergerakan Aligarh berkembang; walaupun perguruan
tingginya sendiri (dalam tahun 1920 menjadi Universitas
Islam Aligarh) lambat laun meninggalkan kedudukan itikadnya
yang asli.
Ilmu ketuhanan liberal yang menyusul usaha Sir Sayid
Ahmad Chan mendekati Islam dengan jalan rasionalisme,
mendatangkan penilaian baru tentang kesusilaan sosial yang
telah menjadi adat umat Islam. Kemungkinan yang akhir ini
merupakan salah satu daya tarik terbesar bagi golongan
cendekiawan yang bertambah besar dengan tegas melihat
keburukan sosial, yang terikat dengan keadaan sebagai
perhambaan, poligami, dan perceraian yang tidak teratur.
Dalam hal itu, pengaruh perguruan tinggi jauh melintasi
perbatasan Islam India dengan pernyataannya yang baru
tentang amal Islam dan doktrin sosial, sebagian dalam bentuk
pembelaan dan sebagian reformis.
Diantara pelbagai penulis India yang mempopulerkan ilmu
ketuhanan liberal dan peradaban baru tokoh yang terkemuka
adalah Sayid Amir Ali, seorang Syi'ah dan seorang ahli hukum
ternama, Bukunya The Spirit of Islam (Roh Islam) untuk
pertama kali diterbitkan dalam tahun 1841 telah
menyumbangkan kepada kesadaran politik --yang bangkit
diantara kaum muslimin -- dasar penghargaan diri yang masuk
akal dalam menghadapi dunia Barat. Demikian cepat gagasannya
cocok dengan keadaan hati kawan seangkatannya hingga hanya
sedikit saja diantara para terpelajar muslimin memperhatikan
bahwa Amir Ali telah merumuskan doktrin Islam dalam istilah
pikiran Barat, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh
kaum nechari. Bukanlah tempatnya di sini untuk menyelidiki
kedudukan-kedudukannya secara terperinci, tetapi tiga
diantaranya harus dibentangkan karena telah menjadi unsur
pokok pikiran Islam yang modern.
Pertama, pemusatan yang telah kita lihat dalam
pergerakan-pergerakan modern yang lain atas diri Muhammad
saw. judul asli Roh Islam (The Spirit of Islam) adalah
"Riwayat hidup dan ajaran Muhammad saw." (The Life and
Teachings of Muhammad) cukup untuk menunjukkan tempat pusat
gagasan tersebut dalam penjelasannya. Berlawanan dengan
doktrin Sufi tentang Muhammad saw. penjelasannya tidak
memuat sindiran sedikit pun tentang kekeramatan; Muhammad
saw. digambarkan sebagai penjelmaan dan contoh kebajikan
manusia dalam penjelmaannya yang paling agung. Amir Ali
sendiri membawa liberalismenya hingga titik pandang Quran
sebagai karya Muhammad saw. Dalam hal itu, ia tidak diikuti
oleh kaum modernis umumnya yang tetap mempertahankan doktrin
ortodoks bahwa Quran sekata demi sekata adalah kalam Allah
asli.
Kedua, ajaran Muhammad saw. dihidangkan dalam istilah
cita-cita sosial zaman sekarang. Empat kewajiban (salat,
puasa, zakat, haji) dianjurkan --tidak seakan-akan dibela--
atas dasar yang masuk akal berhubungan dengan faedah sosial
dan badaniah. Adanya perhambaan, poligami, talak, dan
lain-lain kelemahan moral dan sosial dalam masyarakat Islam
diakui, akan tetapi diterangkan sebagai berlawanan dengan
ajaran Quran yang benar dan tanggung jawab bagi
aturan-aturan tadi diletakkan di pundak ulama-ulama dan ahli
fiqih yang kemudian. Perhambaan adalah bertentangan dengan
ajaran Quran tentang persamaan segala Bani Adam; poligami
terlarang dengan syarat-syaratnya dalam Quran; perceraian
harus seluruhnya ditolak dengan semangat ajaran dan contoh
Muhammad saw. Dalam tahun-tahun belakangan ini, banyak
negara-negara Islam telah mengadakan perundang-undangan
sipil untuk menyempitkan hukum perkawinan dan perceraian,
sebagaimana juga dalam bidang lain dari syariat yang
dijalankan dalam mahkamah Islam, walaupun hanya negara Turki
yang menggantikan hukum agama ini dengan perundang-undangan
Barat murni. Perhambaan telah dibatalkan dengan
undang-undang di seluruh negara Islam kecuali Arabia, dalam
pertengahan kedua abad kesembilan belas.
Ketiga, tekanan yang jatuh atas Islam, sebagai kekuatan
peradaban yang progressif, kejayaan Baghdad dan Kordoba,
keuntungan pelajaran dan ilmu pengetahuan, kelelaan
keagamaan dan penerimaan filsafat Yunani, pembinaan rumah
sakit-rumah sakit, dan wakaf-wakaf perguruan, semua itu
dibandingkan dengan keadaan di Eropa waktu abad pertengahan.
Bahkan muslimin terpelajar yakin bahwa kebangkitan baru
dalam ilmu pengetahuan dan Renaissance di Eropa telah
terjadi berkat dorongan dari kebudayaan Islam, dan karena
penggunaan kepandaian kecerdasan dan teknik Islam oleh
sarjana dan para tukang Eropa.
Disamping pemakaian guna pembelaan dan perlawanan alasan
tadi menyangga pula dua kedudukan modernis. Sudah digunakan
oleh Syekh Muhammad Abduh bahwa Islam apabila diterima dan
dijalankan dengan benar, menolak tiap-tiap bentuk campuran
agama dan mengharuskan penganutnya untuk menuntut segala
bidang pelajaran dan ilmu pengetahuan dengan kegiatan
sebesar mungkin. Inilah tangkisan terhadap kemunduran
pelajaran keduniawian dalam abad pertengahan dan pemusatan
pelajaran ilmu ketuhanan dan kesusasteraan di
madrasah-madrasah. Pengesahan bagi doktrin tersebut didapati
dalam dalil-dalil Quran yang berjumlah besar terutama tujuan
dan desakan untuk mempelajari ayat Quran Allah dalam alam
semesta dan dalam beberapa ucapan-ucapan terkenal yang
berasal dari Nabi Muhammad saw., misalnya; "Carilah
pengetahuan bahkan hingga di Tiongkok!" dan "Tinta sarjana
adalah lebih suci daripada darah seorang syahid."
Kedudukan lain ialah para muslimin dalam mengambil alih
pelajaran dan ilmu pengetahuan Barat modern hanya
melanjutkan warisan peradabannya sendiri. Alasan ini paling
meyakinkan diajukan oleh Sir Muhammad Iqbal (1876-1938),
tokoh perumusan hari modern doktrin Islam. Lain dari kaum
modern yang terdahulu, maka dasar-dasar Islam ilmu ketuhanan
Iqbal diambil dari filsafat Sufi yang ditafsirkannya dalam
istilah-istilah superman Nietzhe dan teori Bergson tentang
evolusi kreatif. Filsafat aktivitasnya sendiri yang
dinyatakannya dalam serangkaian syair Persia dan Urdu
menarik perhatian besar dari angkatan muda muslimin India
dan menyumbang timbulnya Pakistan sebagai suatu negara Islam
merdeka dalam tahun 1947. Ajarannya diberi bentuk sistem
dalam serangkaian kuliah dalam bahasa Inggris dalam tahun
1928 di bawah judul Pengubahan Baru Pikiran Agama dalam
Islam (The Reconstruction of Religious Thought in Islam)
akan tetapi hingga sekarang masih diragu-ragukan sampai mana
ia menemukan penganut di luar Pakistan dan India.
Suatu kemajuan lain dalam masyarakat Islam selama abad
kesembilan belas harus dicatat. Kemajuan itu ialah
kedatangan kembali aliran kecondongan untuk membentuk
aliran-aliran sinkretis baru; dalam abad-abad terdahulu
telah menjelma dalam munculnya kaum Nusairi, kaum Druz,
Jazadi, sejumlah aliran Syi'ah, dan akhir-akhir ini
pergerakan Bektasyi dan Sikh. Oleh karena itu, tidak ada
alasan mencari-cari pengaruh Barat guna menerangkan
kemunculannya. Aliran baru yang pertama terbit dari ajaran
filsafat Syekh dalam Syiah Persia dan dipimpin oleh Sayid
Ali Muhammad dari Syiraz. Ia menamakan dirinya dengan
lambang tua. Bab pintu gerbang, tempat kebenaran Ilahi telah
disiarkan. Ia mengajarkan suatu campuran doktrin agama yang
liberal dengan unsur-unsur kebatinan, dan setelah
penganut-penganutnya memberontak, dihukum mati dalam tahun
1850.
Aliran Babi pecah menjadi dua setelah ia wafat. Sebagian
besar menganut muridnya Baha'ullah (1817-1892), yang
mengembangkan doktrin asli menjadi suatu agama universal
perdamaian dan kemanusiaan yang dinamakan aliran Baha. Agama
baru tadi yang sekarang di luar batas Islam telah mendapat
dukungan di Persia dan Amerika Serikat; markas besarnya
ialah di Haifah, Palestina.
Pergerakan sinkretis lain yang penting terbit di India
sebagai reaksi terhadap pergerakan Aligarh. Pemimpinnya
Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian (m. 1908), menuntut menjadi
pembawa wahyu untuk mentafsirkan Islam bagi keperluan zaman
baru. Selain itu ajarannya tentang perdamaian, itikadnya
hanya berbeda sedikit dari doktrin pembaharu ortodoks yang
lunak, yang menolak pemujaan wali-wali. Mirza Ghulam Ahmad
beserta organisasinya menjadi kuat dengan pesat diserang
oleh kaum ortodoks, terutama karena tuduhan mementingkan
diri sendiri dan dicap sebagai penyeleweng.
Setelah meninggalnya Khalifah atau penggantinya yang
pertama dalam tahun 1914 Ahmadijah terpecah menjadi dua.
Cabang asli atau cabang Qadiani tetap mempertahankan
tuntutan pendirinya ialah seorang nabi dan tetap mengakui
seorang khalifah; yang memisahkan diri atau partai Lahore
menolak kedua tuntutan itu dan membentuk suatu lembaga untuk
mempropagandakan Islam di bawah seorang kepala baru. Cabang
Lahore akhirnya berusaha untuk didamaikan lagi dengan ahli
sunah waljamaah, meskipun para alim ulama masih memandangnya
dengan kecurigaan.
Kedua cabang menarik perhatian dengan kegiatannya dalam
penyiaran Islam, tidak hanya di India, akan tetapi juga di
Inggris dan Amerika. Khusus partai Qadiani ialah lawan yang
giat bagi penyiaran agama Kristen di Indonesia, Afrika
Selatan, Timur, dan Barat. Jumlah penganutnya tidak dapat
ditaksir dengan kepastian, akan tetapi di India sendiri
jumlahnya sedikit tidak berarti apabila dibandingkan dengan
banyaknya umat Islam di sana.
Pembahasan tentang perkembangan Islam --meskipun pendek--
di hari belakangan ini telah dapat menunjukkan
kekuatan-kekuatan yang telah memberikan bentuk pada
pendirian agama para muslimin dalam waktu lampau tidak
kehilangan tenaga sedikit pun. Sebagaimana juga dalam
masyarakat keagamaan bersejarah yang lain-lain dua
kecondongan yang saling berlawanan, akan tetapi saling
melengkapi, senantiasa bekerja. Reaksi para kesederhanaan
merupakan usaha untuk mempertahankan warisan dan sunah
jamaah serta masyarakat Madinah, begitu pula perjuangan yang
tidak ada hentinya terhadap "bid'ah-bid'ah" yang
membahayakan kemurnian doktrin dan amal primitif.
Kecenderungan cara Katholik menerima berjenis-jenis pendapat
dan adat kebiasaan dalam soal yang kurang penting dan
terang-terangan menerima keharusan tafsiran baru untuk
menghadapi kebutuhan baru dan yang dirasakan perlu.
Beberapa kali pemimpin agama Islam, waktu dihadapkan
dengan tuntutan mendesak akan cara-cara berfikir baru, telah
berusaha memberikan keterangan baru dalam istilahnya
patokan-patokan abadi dari tafsiran Quran tentang alam
semesta. Dengan tidak dilebih-lebihkan kami boleh
menyebutkan paham Stoa Islam, paham Aristoteles Islam,
Panteisme Islam semuanya didalam empat penjuru masyarakat
ortodoks. Reaksi paham kesederhanaan dan kemurnian tidak
pernah dapat membalikkan kecenderungan ini dan memulihkan
perumusan dan penyerapan primitif. Reaksi tersebut mungkin
dan dapat merusakkan kompromi semangat Katholik, apabila
kompromi tadi dirasakan jauh hingga tidak sesuai dengan
pengalaman agama Islam yang asasi. Dari sejarahnya yang lama
dalam Islam sendiri, Islam telah memperoleh baik kemampuan
menyesuaikan diri maupun keuletan yang dibutuhkan untuk
menghadapi tantangan pikiran filsafat modern, walaupun
kata-kata jawabannya masih harus dirumuskan.
Bahaya yang mengelilingi Islam sebagai agama sekarang
barangkali lebih besar daripada bahaya yang dihadapi di masa
lampau. Paling nyata ialah bahaya yang datang dari
kekuatan-kekuatan yang telah meruntuhkan dan mengancam untuk
meruntuhkan semua agama ketuhanan. Dorongan dari luar, dari
keduniawian, dalam bentuk pembujukan nasionalisme maupun
dalam doktrin materialisme ilmiah dan tafsiran ekonomi
sejarah telah meninggalkan bekas-bekas pada beberapa bagian
masyarakat Islam. Betapa pun pengaruhnya berakal busuk,
mungkin lama kelamaan kurang berbahaya daripada berkurangnya
kewaspadaan suara hati keagamaan dan kelemahan sunah
Katholik Islam.
Kedua-duanya condong dipercepat oleh pemecahan gabungan
antara tarekat-tarekat agama, lapisan pertengahan, dan
lapisan atas masyarakat Islam. Tempat mereka tidak dapat
diisi oleh para alim ulama dan susunan resmi karena alim
ulama tidak pernah berusaha atau menunaikan pimpinan dan
bimbingan kerohanian para mukminin perseorangan yang menjadi
sebagian tugas kependetaan Kristen. Setelah suatu sela yang
agak lama, lembaga-lembaga baru telah mulai melengkapi
kebutuhan yang dahulu dicukupi oleh tarekat-tarekat Sufi,
akan tetapi dalam bidang terbatas sekali dan dengan
perbedaan tekanan. Usaha yang teratur diperlukan untuk
menghadapi kedua tantangan dari dunia luar dan kerusakan
keduniawian di dalam. Kelemahan golongan-golongan yang
teratur ialah kecenderungannya untuk menitikberatkan
persatuannya lebih dari keoknuman dan menilai persatuan
sosial lebih tinggi daripada kebaktian perseorangan. Dengan
mengadakan persatuan lahir mereka mungkin tidak hanya gagal
untuk membangkitkan kembali ketegangan kerohanian yang
melembek, akan tetapi mungkin menggantikannya dengan
persamaan emosi dengan golongan tersebut. Oleh karena itu,
lembaga-lembaga baru condong menjadi klik-klik. Sejauh
simpati mereka, "modernis" atau barang siapa yang juga
memiliki penyerapan mereka terbatas pada "fundamentalis",
"aktivis" atau "pasifis" sebagaimana halnya terjadi, mereka
makin melemahkan perasaan dan tujuan moral masyarakat dalam
dunia Islam umumnya.
Akibat-akibat keadaan tadi mengenai umat sebagai kesatuan
para alim ulama diletakkan tanggung jawab istimewa. Tugas
bersejarah mereka ialah untuk mengimbangkan antara dua
barang ekstrim, untuk mempertahankan keseimbangan dan sifat
Katholik "Gereja" Islam, mengatur dan mewakili suara hati
agama umat umumnya. Ketidaksabaran golongan yang berlagak
pembaharu dengan "obskurantisme" (perbauran) daripada alim
ulama mudah dipahami; sunah merupakan beban berat baginya,
sebagaimana juga bagi segala pembela yang yakin dari
lembaga-lembaga yang akar-akarnya telah mendalam sejak
beberapa abad dan bersembunyi di bawah permukaan kehidupan.
Sukar untuk mungkir bahwa jumlah terbanyak para alim ulama
memiliki kesempitan pandangan, suatu ketidakmampuan bahkan
keseganan untuk menginsyafi tuntutan-tuntutan penghidupan
baru di sekitar mereka dan menghadapi soal-soal penting yang
sedang menentang umat Islam.
Meskipun dengan segala kesalahan yang dituduhkan kepada
mereka dengan kurang atau lebih kebenaran, mereka sebagai
suatu badan tidak pernah gagal melayani kepentingan agama
yang utama dari umat Islam. Dengan ketekunan mereka yang
diilhami oleh keyakinan mereka dan dikuatkan oleh perasaan
persatuan mereka yang teguh, ketiadaan suatu susunan
martabat memberikan cukup gaya pegas untuk mencegah
ketekunan tadi berubah menjadi penghalang biasa. Apabila
mereka lambat mengikuti cara-cara yang berubah dalam pikiran
dan mencari kepentingan langsung dari lapisan-lapisan yang
berkuasa karena perjuangannya yang lama terhadap
gubernur-gubernur keduniawian dan filsafat keduniawian
--mereka telah banyak berusaha bagi pembelaan kebebasan
agama dan perseorangan.
Perluasan modern negara telah mengurangi, khusus dalam
bidang pendidikan lapangan kegiatan-kegiatan yang dahulu
diawasi oleh para alim ulama, hanya di Turkilah pertikaian
didorong hingga tahapan yang ekstrim. Dalam suatu hal, alim
ulama tidak mau berkompromi. Islam, sebagai suatu jalan
hidup tegak atau jatuh dengan kekuasaan syariat. Semua
percobaan untuk menurunkan syariat dari takhtanya untuk
melemahkan kuasanya, untuk mengundurkan Islam sehingga satu
badan kepercayaan swasta, tanpa hasil praktis dalam hubungan
sosial, selalu telah menimbulkan dan selalu akan menimbulkan
perlawanan terbuka dari pihak mereka.
Disitulah letaknya titik krisis. Bagi kaum pembaharu yang
bersemangat, kelambatan proses persesuaian yang diperlukan
untuk menyelamatkan persatuan masyarakat tidak dapat
dibiarkan begitu saja, dan mereka dengan tidak sabar
mengharapkan negara mempercepat proses tersebut. Akibat
usaha demikian akan melemparkan para alim ulama sebagai
suatu badan kedalam ketiadaan dan "fundamentalisme," dan
hasilnya terakhir ialah pemecahan. Kami patut menghormati
para pelopor yang telah merintis jalan-jalan baru jauh di
depan badan utama; tetapi yang menciptakan dan memelihara
peradaban adalah mereka yang kemudian menyusul untuk
membangun perdamaian, ketertiban, dan keadilan, serta yang
memperkaya semangat manusia dengan mempersatukan kegiatan
dan sumber-sumber dunia baru dengan harta yang hidup dari
dunia yang lama. Kecuali jika para alim ulama tetap setia
pada jabatannya memelihara keseimbangan dan dapat memuaskan
hati nurani akhlak kaum muslimin yang paling terpelajar.
Pada waktu yang sama --sepanjang semua perubahan-perubahan
yang perlu-- dapat menyelamatkan intisari kepercayaan dan
kesusilaan Islam, mereka tidak akan dapat menyelamatkan
warisan agama Islam daripada unggisan asam-asam yang
merusakkan zaman kita.
(sebelum,
sesudah)
|