Menjadi Muslim Tak Sengaja

Sohail Humayun Hashmi


Demikianlah telah Kami jadikan kamu umat pertengahan (pilihan) agar kamu menjadi saksi (penerangan) atas manusia, sedangkan Rasul menjadi saksi (penerangan) atas kamu. (QS 2:143)


Sohail, seorang Muslim sunni berusia 31 tahun, adalah mahasiswa doktoral di Harvard University. Ia mempelajari hubungan internasional dan Islam, di jurusan ilmu pemerintahan.

Menurut Sohail, di Harvard ada kira-bra 200 orang mengaku Muslim. Jumlah yang sebenarnya mencapai 8.000-an. The Harvard Islamic Society didirikan pada 1950-an oleh mahasiswa pascasarjana, tetapi kini dipimpin oleh para mahasiswa program sarjana. Ketika Sohail memimpin arganisasi itu, dia merancang aktivitas organisasi itu dari kamar tidur asramanya. Masyarakat Muslim di universitas terkenal itu tumbuh dengan pesat, kata Sohail, dan makin banyak di antara anggotanya yang aktif. Harvard telah menyaksikan kiprah "Muslim warisan"; kaum Muslimin yang sudah Islam sejak lahir, yang sengaja menghindar untuk berhubungan dengan kelompok-kelompok Muslim lain di kampus.

Ketika masih di India, saya bersekolah di sebuah sekolah Katolik (Anglikan), cukup jauh dari rumah. Saya biasa bangun jam lima pagi, dan ibu akan menyiapkan segala bekal saya ke sekolah. Ada seorang tua yang dengan setia mengantar jemput setiap hari. Pertama-tama kami harus naik kereta dan di tengah perjalanan kami turun dari kereta, kemudian naik bus. Sesampainya di sekolah, saya sudah lelah. Tetapi saya tetap memilih sekolah itu karena memang merupakan salah satu yang terbaik di Hyderabad, sebuah sekolah menengah dengan bahasa pengantar Inggris.

Pada jam istirahat makan siang, saya lebih sering sibuk bermain-main. Orang tua yang mengantar jemput itu, yang memang miskin, datang menghampiri saya. Sering kali ia tak makan apa-apa seharian. Lama-lama saya berikan jatah makan siang saya kepadanya, dan ini lantas menjadi kebiasaan sehari-hari. Nenek menyiapkan makan siang untuk saya dan laki-laki itu yang memakannya. Ketika kembali dari sekolah, tentu saja perut saya keroncongan menahan lapar. Suatu ketika nenek bertanya, "Kenapa kau tampak begitu lapar. Bukankah kamu sudah makan siang?" Mula-mula saya tak menceritakan apa yang terjadi, sampai suatu hari nenek menegur saya. "Pasti ada yang tak beres. Kotak ransummu kosong tiap hari tetapi kamu selalu kelaparan." Akhirnya saya ceritakan bahwa orang tua itulah yang memakan bekal itu.

Kontan saja nenek memanggil laki-laki itu dan menegurnya, "Kok tega-teganya kamu mengambil jatah makanan anak kecil seperti dia. Kalau saja kamu bilang, tentu akan saya siapkan juga makan siang untukmu. Kamu juga tak seharusnya menahan lapar. Tetapi mengambil jatah anak kecil seperti dia juga bukan tindakan yang benar, karena ia bisa kelaparan sepanjang hari." Ia benar-benar malu dibuatnya, tetapi sejak itu nenek selalu menyiapkan makan siang untuknya. Saya ingat betul pengalaman itu karena itu menunjukkan keakraban, kepedulian, sekaligus kedermawanan keluarga saya.

Ibu kembali meneruskan sekolah setelah saya lahir, untuk menyelesaikan gelar sarjananya. Ketika itu ayah saya sudah berada di Amerika Serikat. Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga besar. Nenek mengendalikan rumah tangga kami di India, yang saya pikir sering terjadi di kebanyakan masyarakat Muslim. Saya tak pernah berpikir bahwa kaum wanita merupakan bawahan atau pembantu kaum pria, dalam situasi apa pun. Agama kami tak mengajarkan hal-hal yang demikian, dan lebih dari itu saya menyaksikannya sendiri dalam kehidupan saya sehari-hari. Dalam keluarga kami, kaum wanitalah yang mengatur rumah tangga, sementara kaum pria selalu menuruti mereka.

Kakek saya tak pernah beranggapan bahwa ia dapat mengontrol penggunaan uang yang diperolehnya. Uang itu diserahkan seluruhnya kepada nenek, yang akan membelanjakannya sesuai kebutuhan. Uang yang diperoleh kakek bukan lagi miliknya. Begitulah tatacara di mana ia dibesarkan; dan begitulah cara pandangnya. Semua itu sesungguhnya merupakan pembagian kerja.

Nenek membesarkan saya dalam identitas Muslim yang amat kental. Semua paman dan bibi saya juga mengalami hal yang sama.

Nenek menjalankan Islam dengan sungguh-sungguh, tak sekadar mengkhutbahkannya. Ia menghindar dari jebakan riya seperti menunjukkan bahwa ia taat mengerjakan shalat atau memamerkan kebolehan anak cucunya dalam membaca kitab suci Al-Quran. Ia menjalankan Islam dengan caranya sendiri. Baginya untuk dapat dikatakan benar-benar beriman, kita harus berusaha berbuat baik kepada semua orang. Keimanan bukanlah hal yang perlu dipamerkan kepada orang lain, melainkan harus dipraktekkan dari dalam.

Keluarga saya berasal dari Uttar Pradesh, India bagian utara. Mereka pindah dari Iran dan tinggal di wilayah utara India sejak tiga abad yang lalu. Mereka menetap di kota Lucknow, yang diwarnai dengan budaya Urdu, terutama kaya dengan puisi-puisi dan literatur. Keluarga saya masih menyimpan beberapa benda tua bersejarah, yang merupakan perlambang sebuah kebudayaan yang sedang mendekati kepunahan. Ketika saya kembali ke sana untuk bertemu dengan sanak keluarga, rasanya seperti berada dalam budaya yang telah lama punah.

Kini saya tinggal di Statesboro, tempat ayah saya mengajar di Georgia Southern University. Ketika kami datang ke AS, saya merasa beruntung karena masuk ke sebuah kota kecil yang cukup konservatif, dan amat religius --khususnya penganut Kristen Baptisnya. Lingkungan di mana saya dibesarkan kurang lebih sama dengan lingkungan kami di India, terutama dalam hal etos budayanya. Tentu saja kami tetap menemui banyak persoalan, tetapi dalam hal beragama dan perlakuan masyarakat kepada keluarga kami, saya tak pernah mengalami tekanan, apalagi permusuhan. Malahan, teman-teman kami banyak yang tertarik untuk mengetahui Islam.

Sepanjang 1970-an sampai 1980-an, kami benar-benar mewakili wajah Islam di wilayah itu. Adik perempuan saya menikah pada 1990. Sesudah upacara pernikahan itu seorang teman dekat ayah saya berkomentar, "Ini merupakan upacara pernikahan yang bersejarah."

"Apa maksudmu?" tanya ayah.

"Sepanjang yang saya tahu, inilah pertama kali seorang Muslim melangsungkan pernikahan di sebuah gereja Baptis, dan dipimpin oleh seorang Imam berkulit hitam."

Kisah itu memang sungguh menakjubkan. Tidak saja karena pernikahan seorang Muslim yang dilakukan dalam sebuah gereja, tetapi juga karena tampilnya seorang Imam berkulit hitam sebagai pemimpin upacara. Sepuluh tahun lalu, orang berkulit hitam tak diizinkan menginjakkan kaki di gereja yang jamaahnya terdiri dari warga kulit putih. Dan kini Imam itu memimpin upacara tersebut --upacara pernikahan keluarga India!!!

Dalam banyak hal, kejadian itu ikut mewarnai pemahaman saya tentang bagaimana seharusnya beragama. Bukan apa-apa, saya telah berdiskusi dengan teman-teman yang tinggal dan dibesarkan di kota-kota besar seperti New York, atau Washington. Bagi mereka agama merupakan sesuatu yang membatasi ruang gerak. Orang-tua mereka mengirimkan mereka ke sekolah-sekolah Minggu, di mana mereka diindoktrinasi dengan dogma-dogma Islam yang diajarkan oleh guru-guru yang tak menghayati lama sekali bagaimana rasanya lahir dan besar di lingkungan semacam Amerika ini. Akibatnya, mereka memberontak. Sebagian mereka beranggapan bahwa Islam lama sekali tak memiliki sesuatu pun yang dapat diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan ini merupakan tragedi yang memprihatinkan.

Pengalaman saya sungguh berbeda, karena keluarga kami mengajarkan Islam di rumah, dan itu pun bukan dalam bentuk dogma atau upacara ritual semata. Bagi saya Islam merupakan tata cara keluarga kami menempuh kehidupan. Dan karena itu mereka selalu menjadi teladan bagi saya tentang bagaimana pernikahan secara Muslim harus dilakukan, dan bagaimana keluarga Muslim harus berperilaku.

Saya tak pernah merasakan bahwa saya mencampuradukkan yang hak dan yang batil, dan orang-tua saya pun tak pernah memiliki niat semacam itu. Saya kira mereka ingin saya menghargai budaya di mana kami tinggal, seraya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan keimanan Islam.

Ketika saya berusia sekitar sebelas tahun, di suatu siang yang panas saya sedang membersihkan garasi. Seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di Georgia, rumah-rumah dikunjungi oleh aktivis gereja. Ketika itu datang seorang pria dan wanita, menyebarkan leaflet yang mempublikasikan acara kebaktian. Pria itu bertanya pada saya, "Anda anggota gereja mana?"

Saya jawab, "Saya tak pergi ke gereja mana pun. Kami keluarga Muslim. Karena di sekitar sini tak ada masjid, maka kami shalat di rumah, Rumah kami adalah tempat ibadah kami."

"Oh, tak apa-apa. Terimalah leaflet ini. Kami jamin dengan mencampur sedikit ajaran Baptis, tak akan merugikanmu," tutur pria itu sambil tertawa.

Ketika itu saya menyadari betapa berbedanya saya.

Di kelas enam, saya berhadapan dengan kenyataan betapa bebasnya pergaulan murid laki-laki dan perempuan. Ketika itu saya berpikir betapa menariknya. Suatu ketika saya diajak pergi ke arena roller-skating di kota itu. Saya berada dalam sebuah kelompok yang terdiri dari pasangan-pasangan. Saya sendiri tak punya pasangan. Ketika waktu berlalu saya jadi makin merasa aneh, dan mulai khawatir: kenapa harus jadi aneh sendiri? Mungkin saya harus mengajak seorang gadis untuk menemani saya.

Saya merasa ada di persimpangan, tetapi tak bisa menyeberang kemana pun. Bisa saja saya bertanya kepada orang-tua saya dan meminta dicarikan pasangan, tetapi saya tak dapat membayangkan bagaimana respon mereka. Tahun 1975 kami pergi ke India, dan itu merupakan peristiwa besar. Saya bertemu dengan sepupu dan sanak saudara yang lain. Saya perhatikan perilaku mereka, dan baru saya sadari bahwa saya bukanlah bagian dari budaya Amerika. Saya ingin menandingi sepupu saya. Malahan, ketika itu saya mulai berpikir untuk minta dijodohkan. Saya pikir itulah sesuatu yang tak ada duanya di dunia sebuah pernikahan yang dirancang secara aman. Kita tak perlu khawatir tidak menemukan 'pasangan yang pas'.

Sejenak saya merenung. Saya punya beberapa teman dekat perempuan, yang saya tahu persis mereka berpacaran dengan bebas sebagaimana anak belasan tahun Amerika lainnya, tetapi saya tak pernah terbawa oleh mereka. Pada perpisahan SMA, ada sedikit tekanan untuk nyerempet soal ini. Saya aktif sekali membantu menyiapkan acara perpisahan sekolah. Teman-teman lantas bertanya, Sohail, kenapa kamu tak hadir dalam acara pesta perpisahan itu? Acara itu bukanlah sesuatu yang melanggar nilai-nilai moral. Bukankah kamu ikut menyiapkannya? Bahkan guru-guru saya pun bertanya, kenapa kamu tak pacaran? Saya katakan, itu bukan budaya saya. Bahkan saya ceritakan kepada mereka bahwa nantinya saya akan dijodohkan. Itulah kenangan akhir masa-masa SMA saya.

Suatu ketika saya mengambil pelajaran Sejarah dan Geografi. Di kelas saya diperkenalkan sebagai seorang Muslim keturunan India yang pernikahannya akan diatur oleh keluarga. Mereka mengira bahwa ini merupakan sesuatu yang aneh dan tak masuk akal. Dan para siswi dibuat bertanya-tanya. Akibatnya, hal yang tak terlupakan tentang India adalah mengenai perjodohan.

Saya jadi geli dibuatnya. Tak terelakkan, berkembanglah stereotyping, hanya saja tak ada kesan memusuhi, dan saya mencoba mendudukkan diri saya dalam konteks budaya mereka. Lantas saya jelaskan, "Ketahuilah, saya akan memiliki pasangan yang akan saya nikahi. Saya tidak suka mencari pasangan dengan cara berpacaran." Dan saya katakan pada mereka, "Kalau kalian sebenarnya tak bermaksud menikahi pasangan kalian, maka pacaran merupakan sesuatu yang salah."

Adalah tak bermoral untuk berhubungan dengan seseorang dan kemudian berpisah sesudah melakukan segala-galanya, termasuk berhubungan intim. Saya saksikan itu semua sebagai bagian dari budaya yang punya andil besar dalam memorak-porandakan kehidupan keluarga di negeri ini.

Saya tak mengatakan bahwa budaya bangsa India lebih baik dari yang lain, karena dalam masyarakat kami juga banyak pasangan yang seharusnya memang lebih baik bercerai, tetapi tetap bertahan hanya di permukaan; atau karena toleransi yang tinggi. Tentu saja ini merupakan kondisi yang ekstrem. Saya pikir Islam berada di tengah-tengah: kalau Anda menikah, maka Anda harus berusaha menyuburkan pernikahan itu dengan segala cara. Pernikahan bukanlah sekedar upacara sakramen, melainkan sebuah kontrak yang disaksikan Tuhan. Dan hanya dalam situasi yang benar-benar tak dapat dihindari, Anda dapat memikirkan perceraian. Perceraian harus dipandang sebagai escape window kalau Anda menemui masalah-masalah yang benar-benar gawat; dan tak bisa dipakai setiap saat Anda menemui persoalan.

***

Revolusi Iran telah banyak mempengaruhi saya secara pribadi, karena saat itu Islam menjadi bahan pembicaraan masyarakat di sekitar tempat tinggal kami. Yang terkesan pada masyarakat adalah peristiwa penyanderaan warga Amerika oleh orang-orang Iran. Mula-mula mereka akan berkata, "Oh, Anda seorang Muslim 'kan? Bagaimana pendapat Anda tentang penyanderaan itu, dan juga Khomeini?" Mau tak mau, saya harus menjelaskan Islam kepada mereka dengan pendekatan yang amat politis. Untungnya saya sudah pernah melakukannya dari berbagai pendekatan: historis, budaya, dan juga Islam sebagai sebuah agama. Nah, sekarang tiba saatnya untuk menjelaskan Islam dari kaca mata politik. Kejadian itu benar-benar membekas dalam hati masyarakat Amerika.

Ketika Revolusi Iran meletus, Januari 1979, saya memasuki tahun kedua di universitas. Penyanderaan itu terjadi pada November 1979, dan ini menjadi perhatian semua warga Amerika tanpa kecuali. Banyak yang bertanya-tanya, apakah semua Muslim akan menyerang pusat-pusat kegiatan orang Amerika di seluruh dunia? Dengan kata lain, mereka menduga-duga apakah semua Muslim sama dengan orang-orang Iran yang menyandera warga Amerika itu? Kenapa Sohail, yang sudah mereka kenal belasan tahun lamanya dan tampak lemah lembut, mengaku-ngaku sebagai Muslim? Apakah Sohail merupakan pengecualian?

Ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari tahu apa yang disebut dengan Islam. Saya tak tahu persis apa yang mereka katakan di belakang saya, tetapi sesampainya di Harvard saya menghadapi situasi yang jauh berbeda dari yang saya perkirakan selama ini. Semestinya lingkungan itu memberikan suasana keterbukaan dan objektif, sebagaimana lingkungan intelektual layaknya. Tetapi, lagi-lagi saya berhadapan dengan banyak stereotip yang aneh dan justru dipropagandakan oleh orang-orang yang seharusnya dapat mengikisnya.

Memang belum sampai pada tahap permusuhan, tetapi jauh lebih agresif daripada situasi di Georgia di mana Islam masih baru dan masyarakat masih ingin mengenalnya. Di Cambridge banyak orang berpikir seolah-olah mereka tahu tentang Islam. Tetapi ketika saya mencoba membetulkan kesan mereka tentang Islam, mereka sering menganggap saya merupakan perkecualian dan bahkan mengira saya menyembunyikan realitas tentang Islam yang sebenarnya. Mereka menganggap saya sebagai seorang yang beraliran liberal dalam menjalankan agama ini.

Ketika Israel menyerang Lebanon pada 1982, banyak sekali teman yang menaruh perhatian besar pada Islam. Ketika itu bulan Ramadhan, setiap hari dapat disaksikan betapa Beirut dihujani bom dan artileri berat. Setiap saat orang mendengar cerita tentang "Syi'ah Fundamentalis" atau "Syi'ah Teroris", yang dianggapnya telah meledakkan kedutaan besar Amerika di sana.

Syi'ah merupakan cabang dari Islam, sebuah aliran yang mempunyai cara penafsiran tersendiri tentang Islam. Syi'ah sesungguhnya lebih merupakan fenomena keagamaan, ketimbang fenomena politik. Toh dalam pemahaman orang-orang Amerika, keduanya tetap dikait-kaitkan -Syi'ah dan teroris politik. Ada sejumlah istilah yang mengandung konotasi tertentu. Ketika Anda menjumpai istilah "fundamentalis", istilah ini lantas diasosiasikan dengan "teroris", atau disejajarkan dengan seseorang yang secara fanatik dan membabi buta memusuhi budaya Amerika Serikat dan kepentingan Barat secara keseluruhan.

Sedikit banyak saya harus menyalahkan umat Islam sendiri, karena Muslim di negeri ini belum mengukuhkan keberadaannya secara memadai. Mereka belum menyuarakan satu bahasa dan kepentingan yang lama, dan mereka bungkam agar tidak banyak menimbulkan persoalan.

Kaum Muslimin di negeri ini terobsesi dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negeri leluhurnya. Muslim dari India terpaku pada isu-isu yang sedang terjadi di Kashmir dan India. Orang-orang yang berasal dari Pakistan lebih memikirkan kebijakan AS terhadap Pakistan. Muslim dari negeri-negeri Arab terpaku pada soal-soal Palestina. Mereka benar-benar terpaku pada soal-coal semacam itu dan segan untuk memasukkan isu-isu lainnya dalam agenda pergerakan mereka. Begitu pula keberadaan orang-orang Bosnia sungguh amat kecil dampaknya di AS. Belum ada upaya untuk mengembangkan kepentingan Muslim Amerika yang lebih mengarah pada peran mereka yang lebih luas. Mereka masih sibuk tidak saja dengan urusan politik tetapi juga dengan masalah sosial-sosialnya masalah membangun masjid.

Salah satu sahabat saya adalah seorang pemimpin masjid terkemuka di California Selatan. Ia menceritakan bahwa di AS ada banyak masjid yang disebutnya homesick mosque -masjid yang dibangun oleh para pendatang yang menginginkan sebuah tempat untuk berkumpul dan berbicara dengan bahasa ibu mereka, seraya meyakinkan bahwa anak-anak mereka berada dalam lingkungan yang aman dan masih terikat kuat dengan budaya leluhur mereka. Sementara itu sejumlah masjid lainnya menghindar untuk menyusun rencana kegiatan apa pun, lantaran terlalu khawatir akan mengarah ke gerakan-gerakan politis, dan begitu inginnya memelihara kesatuan antar jamaahnya. Mereka memutuskan untuk mengubur setiap perbedaan yang muncul, dan hasilnya adalah sebuah tempat yang semata-mata digunakan sebagai tempat shalat.

Sebuah perubahan sedang muncul pada generasi saya. Kami tak begitu terdorong untuk mengidentifikasikan diri dengan budaya homesick mosque, dan lebih tertarik untuk meningkatkan peran politik pusat-pusat kegiatan Islam, dan melakukannya dalam konteks masyarakat Muslim Amerika --bukan sebagai pendatang Mesir, Pakistan, melainkan sebagai orang Amerika.

Jihad umat Islam di Amerika adalah menegakkan sebuah identitas sebagai Muslim yang tinggal dan hidup di AS, karena hingga kini belum ada sebuah masyarakat Muslim seperti itu. Dalam setiap kesempatan khutbah, sering dibicarakan perlunya kebangkitan kembali umat Islam. Umat ini telah dibekali dengan nilai-nilai moral sesuai yang tertulis dalam Al-Quran, yang berlawanan dengan nilai-nilai moral yang berdasarkan kebangsaan, kesukuan, atau keturunan (etnik). Singkatnya di sisi Tuhan, suatu masyarakat akan dinilai berdasarkan standar dan praktek-praktek etikanya.

Muslim Amerika saat ini tidak bersedia untuk mengambil tindakan yang dapat mengeluarkan mereka dari fragmentasi khas ini. Saya kira ini merupakan masalah perbedaan kultural yang begitu lama, yang hanya dapat dipecahkan secara perlahan sejalan dengan berlalunya waktu.

Tetapi, menurut pengalaman saya, iklim di negeri ini lebih baik bagi kehidupan seorang Muslim ketimbang di tempat-tempat lain, bahkan dibandingkan dengan di negeri-negeri Muslim sendiri. Identitas Anda sebagai seorang Amerika akan menggambarkan apa-apa yang Anda lakukan, dan di negeri ini Anda lebih memperoleh kebebasan ketimbang di tempat-tempat mana pun yang pernah saya saksikan.

Dalam banyak hal saya merasakan ada perbedaan dengan teman-teman sekelas yang berkebangsaan Amerika. Tetapi, anak-anak saya boleh jadi sudah merasakan bahwa mereka benar-benar seperti orang Amerika lainnya. Sementara itu mereka juga akan menyadari bahwa ada nilai-nilai yang saya yakini dapat mereka anut. Tapi mereka harus tetap menyadari bahwa mereka tak mungin untuk secara total hidup seperti orang Amerika lainnya --malah ada aspek-aspek tertentu yang harus diubah agar sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Tugas melakukan perubahan sebenarnya bisa dilakukan melalui kerja sama dengan umat agama-agama lain. Teman-teman saya yang beragama Kristen banyak yang menilai bahwa meskipun Amerika merupakan negeri Kristen, mereka melihat banyak nilai-nilai moral yang sudah menyimpang dari ajaran Kristen. Mereka juga menganggap dirinya sedang berada di medan jihad menegakkan kembali nilai-nilai moral dan ajaran itu.

Masyarakat Kristen, Yahudi, dan umat beragama lainnya dihadapkan pada pergumulan untuk meletakkan landasan dan identitas misi keagamaan mereka di negeri ini.

Di Amerika, Islam memiliki peluang terbesar untuk benar-benar menunjukkan perannya di masa depan, karena umat Islam di negeri ini merupakan mikrokosmos Muslim dari seluruh dunia yang harus mencari jalan untuk hidup bersama. Mereka harus mencari pengertian dan pemahaman yang lama tentang Islam di negeri ini, dan lebih dari itu mereka terbebas dari tekanan budaya dan politik yang sering kali begitu besar di negeri-negeri Muslim.

Muslim di Mesir berhadapan dengan tantangan semacam ini. Mereka hidup di tengah-tengah budaya yang lebih menghargai keberhasilan materi, menggunakan simbol-simbol materi sebagai status sebagaimana orang-orang Barat; mereka dibombardir oleh acara-acara televisi yang menonjolkan konsumsi materi. Kalau Anda benar-benar miskin, ada dua kemungkinan ekstrem yang akan Anda lakukan. Pertama, bisa jadi Anda akan menjadi seorang materialis tulen; yang dengan segala cara akan berusaha mati-matian, menyogok, korupsi, bahkan rela menjual harga diri untuk memperoleh status materi. Kemungkinan kedua, Anda dapat menjadi seorang yang benar-benar militan; yang menolak segala cara-cara yang lebih beradab untuk mencapai tujuan, dan akhirnya menempuh cara kekerasan.

Sayyid Quthb, salah seorang intelektual Muslim yang sangat berpengaruh, yang juga merupakan salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin pada 1960-an, pernah tinggal di New York selama kurang lebih dua tahun. Di sana ia menyaksikan sebuah fenomena yang mengerikan. Lantas ia kembali ke Mesir dan memulai sebuah kampanye dengan menyebarkan berita bahwa invasi Barat ke negeri-negeri Muslim tidak lagi dilakukan dengan senjata dan pasukan militer. Yang mereka (Barat) lakukan kini adalah penjajahan moral dan kebudayaan; dan cara-cara semacam itu perlahan tapi pasti akan merusak negeri-negeri Muslim seperti yang dilakukan militer dengan persenjataannya.

Banyak pengikut Sayyid Quthb yang menyaksikan acara-acara TV yang ditayangkan, kasino, nite club --kesemuanya merupakan lambang dari penghancuran budaya dan masyarakat Muslim-- dan pada akhirnya mereka berkesimpulan bahwa hanya dengan cara kekerasan, infiltrasi Barat semacam itu dapat dihentikan.

***

Istilah jihad memang berkonotasi agama, tetapi terlalu sering dikaitkan dengan aspirasi politik. Memang kita tak dapat memisahkan Islam atau jihad dari politik. Karena jihad pada dasarnya adalah perjuangan untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang lebih baik masyarakat yang tidak ada anggotanya yang kelaparan, atau hidup dalam suasana yang tertekan dan tertindas. Dan sesungguhnya inilah hakikat politik: mengalokasikan sumber daya yang terbatas jumlahnya secara adil dan merata. Kadang-kadang sistem tersebut lebih berorientasi pada pemenuhan hak kelompok yang kaya dan kuat. Sementara itu di tempat lain, yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam hubungan ini Islam mencoba memerangi penyimpangan-penyimpangan itu agar sistem tidak hanya menguntungkan segelintir orang semata-mata.

Sejak munculnya sekularisasi sistem politik yang dianut oleh dunia Barat, ada anggapan kuat bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka yang akan terjadi adalah konflik, pembunuhan, kerusuhan, dan peperangan. Satu penyebab yang cukup jelas bagi berkembangnya pemikiran semacam ini adalah pengalaman bangsa-bangsa Eropa yang menyaksikan permusuhan dan perang antara kaum Katolik dan Protestan yang berlangsung cukup lama dan menyakitkan. Maka muncullah ide sekularisasi --menolak mengkaitkan agama dengan aktivitas politik dan menekankan bahwa beragama merupakan urusan pribadi setiap orang.

Masyarakat mengkhawatirkan kalau-kalau Islam juga mengarah kepada jalan pikiran semacam di atas, dan memisahkan agama dengan politik. Saya cenderung berkata tidak. Justru sebaliknya, politik sedang kembali ke Islam.

Sesudah Perang Dunia II, gerakan antikolonialisme dipimpin oleh orang-orang yang ingin agar imperialis Barat meninggalkan negeri mereka. Tetapi pikiran itu lebih dimaksudkan agar mereka juga dapat seperti orang-orang Barat itu --mencapai status orang yang menjajah mereka. Para pemimpin itu pada dasarnya ingin menggantikan peran penjajah itu, dan menindas rakyat di negeri mereka sendiri. Mereka ingin hidup enak, tinggal di vila-vila mewah.

Sayangnya, yang mereka lakukan adalah meniru-niru kaum imperialis dengan menerapkan nilai-nilai Barat; mulai memperlakukan agama (Islam) semata-mata sebagai urusan pribadi setiap orang.

Contoh yang amat popular adalah yang terjadi di Turki. Kejadiannya dimulai sekitar 1920-an, sebelum Perang Dunia II. Sampai-sampai pemerintah ikut campur tangan mengatur cara orang berpakaian; melarang rakyat berbusana tradisional, karena terkesan kampungan dan anti-nasionalis. Hasilnya, negara mulai mengarahkan kehidupan rakyatnya ke hal-hal yang keterlaluan. Mulailah pemerintah bertindak otoriter, karena mereka begitu ngotot untuk mendidik rakyatnya sesuai dengan kemauan petinggi negara yang tentu saja sering kali bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai setempat.

Ada suatu periode dalam pergerakan Islam pada permulaan abad ini, ketika ada upaya-upaya untuk menyelaraskan dunia modern dengan prinsip-prinsip Islam. Sayangnya, gerakan kaum modernis ini tak pernah menjadi sesuatu yang solid. Pemikiran-pemikiran mereka lebih sering berkisar di kalangan kaum intelektual yang biasanya amat pandai dalam berteori. Teori-teori itu tak pernah dapat diterjemahkan dalam program-program yang dapat diimplementasikan dalam gerakan-gerakan politik.

Akhirnya peluang untuk memadukan Islam dengan kehidupan modern digarap oleh kelompok-kelompok yang mereka sebut fundamentalis. Mereka katakan: kita sudah coba sistem nasionalis, ternyata gagal. Pemerintahan di negeri-negeri Muslim lebih menguntungkan kelompok kaya yang minoritas; sementara sebagian besar yang miskin harus hidup menderita karena kepapaannya. Kondisi semacam ini merupakan lahan subur untuk menumbuhkan gerakan politik yang menentang sistem yang mapan itu. Dan Islam datang untuk memberi pemecahannya.

Islam memiliki etika sosial yang sangat tinggi dan kuat, yang selalu mengacu kepada kehidupan pribadi Nabi Muhammad Saw. Semasa hidupnya, Rasulullah tidak dikelilingi oleh kelompok elite Makkah, melainkan oleh para mantan budak, masyarakat kelas bawah --merekalah yang pertama kali menjadi Muslim. Karena itu Islam senantiasa berpihak kepada orang-orang yang miskin dan papa. Dan ajaran inilah yang menjadi sumber dari gerakan-gerakan Islam semacam di atas.

Sesungguhnya mayoritas Muslim tidak sependapat dengan pikiran fundamentalisme. Karena yang dilakukan oleh kelompok itu tidak lebih dari ingin menggantikan peran dan dominasi elite pasca-kolonial dengan kelompok mereka sendiri. Dengan itu mereka dapat menegakkan sistem politik secara top-down. Dan karena itu, situasinya seperti lingkaran setan yang sulit diurai ujung pangkalnya. Dengan menggunakan kalimat-kalimat retorik bernapaskan Islam, mereka menjanjikan penerapan nilai-nilai Islam yang universal. Bahkan jika dibutuhkan mereka siap untuk berperang membela Bosnia atau Palestina.

Tapi ketika tiba ke praktek aktual, mereka sendiri menjadi seorang berideologi nasionalis. Mereka ingin memastikan bahwa mereka tidak akan kehilangan kekuasaan, bahwa mereka mampu mengubah negara menurut visi mereka sendiri, dan pada akhirnya mereka menjadi sama opresifnya dengan kaum nasionalis yang ingin mereka gulingkan.

Ini terjadi di Iran.

Kaum modernis yakin bahwa pandangan Islam tentang sanksi moral tidak ditentukan oleh negara, tetapi oleh komunitas --oleh ummah. Dengan kata lain, Anda tidak mengundang-undangkan sanksi moral; Anda yang menerapkan tekanan sosial, yang lebih lunak ketimbang kalau negara yang memberlakukannya. Negara tidak boleh mengeluarkan ketentuan apa pun untuk menerapkan kode moral terhadap setiap individu beragama.

Di Amerika, kami mulai dari titik nol. Kami membangun komunitas sendiri. Komunitas itu dapat dimulai dengan arah melanjutkan status quo --homesick-mosque versus budaya complacent-mosque. Atau dapat diorganisir secara politik dan kemudian terpecah oleh faksi-faksi berbeda yang ada di dunia Muslim dewasa ini. Atau mengubah secara perlahan pendekatan terhadap Islam, yang didasarkan pada penafsiran-penafsiran.

Dalam Islam terdapat konsep yang kuat tentang ijtihad. Istilah ini berasal dari kata jihad. Ijtihad adalah salah satu bentuk jihad yang artinya upaya untuk menafsirkan agama. Kata ini digunakan dalam pengertian yang sangat teknis oleh para fuqaha Muslim, ketika mereka berjuang dengan rasio mereka, berdasarkan semua sumber hukum-Al-Quran, Sunnah, dan praktek-praktek komunitas terdahulu. Mereka berupaya menghasilkan fatwa-fatwa hukum yang sesuai dengan situasi baru. Mereka melakukan ijtihad, itulah jihad pribadi mereka. Dan saya pikir itulah situasi yang dihadapi komunitas Muslim Amerika dewasa ini, melakukan ijtihad.

Jihad saya pada dasarnya adalah mencoba hidup sebagai seorang Muslim sesuai dengan kepercayaan saya. Jika ada orang yang menyukai cara hidup saya, saya akan dengan suka hati menjelaskannya pada mereka. Tetapi saya tidak akan menyebut-nyebut diri saya Muslim. Sebenarnya saya memiliki antipati mendalam pada mereka yang menampakkan keberagamaan mereka secara lahiriah, yang membuat keributan dan gangguan kalau mau melakukan shalat, yang menurut saya bertentangan dengan tujuan shalat itu sendiri.

Saya pikir saya tidak diwajibkan menjelaskan Islam. Saya berislam dengan cara yang telah diajarkan orang-tua saya sejak kecil. Saya menjadi Muslim dengan cara yang saya pahami sendiri. Saya sudah memikirkannya dan saya tiba pada keyakinan bahwa saya percaya akan pesan-pesan Islam. Saya telah menginternalisasinya.

Saya menyebut diri saya "Muslim tak sengaja." Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga Muslim. Di India saya mengasumsikan hal tertentu sebagai kebenaran, hanya karena semua orang di sekitar saya mempercayainya. Tetapi berada di Amerika membuat Anda harus benar-benar menguji apa yang Anda percayai dan bertindak menurut keyakinan Anda.

"Muslim sengaja" adalah kaum Muslimin di Amerika yang telah berjuang sangat keras, terkadang dari latar belakang agama Kristen dan Yahudi yang ketat, dan kemudian tiba pada kesimpulan bahwa Islam adalah jalan hidup yang mereka cari-cari. Saya pikir di sanalah masa depan Islam, khususnya di negeri ini.


Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X oleh Steven Barbosa
Judul Asli: American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993
Penterjemah: Sudirman Teba dan Fettiyah Basri
Penerbit Mizan, Jln. Yodkali No. 16, Bandung 40124
Cetakan 1, Jumada Al-Tsaniyah 1416/Oktober 1995
Telp.(022) 700931 Fax.(022) 707038

 Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2000.
Hak cipta © dicadangkan.