| |
|
VI.39. ETIKA DALAM KITAB SUCI DAN RELEVANSINYA (1/2) DALAM KEHIDUPAN MODERN STUDI KASUS DI TURKI Oleh Komaruddin Hidayat Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. [1] Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua: obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam --pada batas tertentu-- ialah aliran Muitazilah. [2] Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy'ariyah. Menurut faham Asy'ariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy'ariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan 'anak kecil' yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam kitab suci? sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu'tazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy'ariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur'an sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur'an pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. [3] ETIKA DAN KEBEBASAN Menurut aliran voluntarisme rasional, suatu tindakan etis akan terwujud bilamana tindakan itu produk pilihan sadar dalam situasi bebas, bukannya terpaksa. Suatu pertanggungjawaban etis bisa diberlakukan hanya ketika seseorang berbuat dalam keadaan sadar dan bebas. Dengan demikian, etika senantiasa mengamsumsikan kebebasan. Semakin besar wilayah kebebasan, semakin besar pula pertanggungjawaban moralnya. Dalam perspektif di atas, maka faham Jabariah yang berpandangan bahwa tindakan manusia adalah bagaikan,gerak wayang, yang ditentukan oleh 'dalang' tak ada tempat bagi konsep etika voluntarisme rasional Kantianisme. Etika voluntarisme rasional melahirkan suatu pandangan terhadap manusia sebagai sosok manusia berakal yang dewasa suatu pandangan positif bahwa manusia memang pantas mendapatkan julukan ahsan-u 'l-taq wim, puncak ciptaan Tuhan meskipun keunggulan kualitas manusia itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan sendiri oleh manusia. Barangkali saja dalam perspektif yang demikian ini kita bisa memahami mengapa pewahyuan Tuhan melalui para rasulNya telah diakhiri, sementara kehidupan menusia kian hari kian berkembang sedemikian kompleknya. Sebelum kerasulan Muhammad problema kehidupan manusia tidak sekomplek pasca-Muhammad, namun justeru pada masa-masa itu Allah sering mengirimkan rasul-rasulNya. Mengapa demikian, biasanya kita mengajukan dua jawaban. Pertama, tuntutan Allah yang diturunkan kepada manusia. Kedua, manusia dengan kemampuan rasionalitasnya telah mampu mengevaluasi kehidupan kesejarahan untuk menciptakan kebaikan hidup mereka. Klaim yang menyatakan Islam sebagai agama universal dan agama paripurna tersirat pada surat al-Maidah ayat 3 dan surat al-Anbiya ayat 107. Yang pertama menyebutkan bahwa Islam adalah nikmat Tuhan yang telah disempurnakan, yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Secara dogmatis theologis kedua klaim di atas memang sudah lazim diterima oleh umat Islam, namun secara rasional dan empiris tampaknya masih perlu dirumuskan serta diuji kembali kebenarannya dalam perjalanan sejarahnya. Dari analisis bahasa dan sosio-historis, Islam hadir bukannya dalam ruang kosong, melainkan dalam wacana yang memiliki sifat lokal dan partikular. Secara eksplisit disebutkan bahwa al-Qur'an disebarluaskan dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa mau tidak mau bersifat budaya, ia terikat dengan kaidah-kaidah sosial dan konsensus budaya. Jadi, universalitas pesan al-Qur'an akan bisa terkomunikasikan kalau manusia juga memiliki dimensi universal. Dalam hal ini rasionalitas dan substansi bahasalah yang secara jelas merupakan dimensi universal yang melekat pada manusia. Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol. [4] Berbahasa pada dasarnya adalah berpikir, dan berpikir tidaklah mungkin tanpa bahasa, meskipun berbahasa tidak selalu harus berbicara ataupun menulis. Karena adanya rasionalitas dan kemampuan berbahasa maka suatu masyarakat tercipta, komunikasi antar mereka berlangsung, dan dunia di sekitarnya memperoleh makna. Barangkali fenomena inilah yang telah diisyaratkan oleh al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 31 dimana Allah telah mengajar 'nama-nama' pada Adam. Karena rasionalitas dan sistem symbol yang dimiliki manusia maka realitas masa lampau bisa direkontruksi, diceritakan dan dihadirkan kembali di hadapan kita melalui narasi sejarah. Suatu nilai, cita-cita dan gagasan masa lampau pun bisa diwariskan kepada generasi ke generasi lantaran adanya sistem simbol ini. Dan sesungguhnya hanyalah al-Qur'an yang secara eksplisit dan tegas agar umat Islam mengembangkan rasionalitas dan sistem simbol untuk membangun peradabannya. Kita bisa membuat suatu pengandaian, kalau saja al-Qur'an bertentangan dengan rasionalitas, maka bisa dipastikan bahwa Islam telah terdistorsi dalam perjalan sejarahnya. Lebih dari itu etika Islam akan teranomali dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, al-Qur'an dan pesan-pesannya kini telah menjadi bagian integral dari realitas sejarah masa lampau dan tetap hidup sampai kini, tanpa adanya revisi dan campur tangan Tuhan, baik isi maupun redaksionalnya. Di sini tersirat pandangan positif al-Qur'an tentang manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat al-Qur'an segera kelihatan bahwa etika al-Qur'an amat humanistik dan rasionalistik. Pesan al-Qur'an seperti halnya ajakan kepada keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, dan lain sebagainya, semuanya amat sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia sebagaimana tertuang dalam karya-karya para filosof. Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik. Sekedar sebagai perbandingan baiklah akan saya kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada keadilan yang bisa diratakan. [5] Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin. Dalam teori etika, tindakan moral mengamsumsikan adanya otonomi perbuatan manusia. Menurut Islam, untuk mencapai otonomi dan kebebasan sejati tidaklah harus ditempuh dengan menyatakan 'kematian Tuhan' sebagaimana diproklamasikan oleh Nietzsche atau Sartre misalnya, keduanya berpendapat bahwa manusia akan terkungkung dalam kekerdilan dan ketidakberdayaan serta dalam perbudakan selama tindakan moralnya masih membutuhkan kekuatan dan kesaksian dari Tuhan. Oleh karenanya, menusia haruslah bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, bukannya pada Tuhan. Lebih dari itu, untuk mencapai derajat kemanusiaannya secara prima manusia harus meniadakan Tuhan dan kemudian menggali dan mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya. Dasar pemikiran seperti di atas tentu saja berangkat dari konsepsi ketuhanan dalam tradisi Kristen. Dalam sejarah pemikiran Barat kita mencatat bahwa untuk mencapai derajat filsuf biasanya mereka mesti bentrok dengan doktrin gereja tentang Tuhan. Sedangkan dalam Islam justru ketika tindakan kita diorientasikan pada Tuhan Yang Maha Absolut, Yang Maha Bebas, maka kita tidak akan terjebak dalam relativisme dunia dan sebaliknya kita akan terangkat menuju pada atmosphere Yang Maha Otonom. Pengakuan bahwa kita bukan makluk sempurna yang sudah jadi, dan kemudian diikuti dengan usaha kontinyu menuju Yang Maha Sempurna, di sanalah terletak makna keimanan yang dinamis. Menurut Kant, puncak rasionalitas pada akhirnya akan mengantarkan pada pintu keimanan yang bersifat supra-rasional. Tuhan, keimanan, dan kemerdekaan bukanlah obyek ilmu pengetahuan. Semua berada di luar jangkauan rasio, namun puncak rasionalitas mengantarkan menusia untuk melakukan loncatan ke arah sana. [6] ETIKA ISLAM: PENGAMATAN DI TURKI Islam di Turki mempunyai sejarah panjang, bisa ditelusuri ke belakang sejak abad ke-19 sampai hari ini. Bangsa Turki yang sekarang berpusat di wilayah Balkan dan Anatolia itu pada mulanya pendatang dari daerah Turkestan, terletak antara Rusia dan Cina. Untuk menyederhanakan diskusi kita, saya akan membagi periodisasi Islam di Turki, yaitu Islam di masa Ottoman dan Islam semasa Republik, yang berlangsung sejak 1924 hingga hari ini. Ada tiga pertanyaan pokok yang hendak diangkat dalam uraian berikut ini. Pertama, bagaimanakah pergumulan antara nilai-nilai keislaman dan tradisi bangsa Turki di masa Ottoman? Kedua apakah dampak gerakan Kemal Ataturk terhadap kelanjutan Islam di Turki? Ketiga, bagaimana perkembangan Islam di Turki dewasa ini dalam etika Islam? ISLAM DI MASA OTTOMAN Dinasti Ottoman yang berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada awal abad-20 tentu saja merupakan lahan kajian sejarah yang amat kaya sehingga tidak mungkin makalah singkat ini bisa manyajikan potret global yang memadai. Namun begitu bisa saja kita membuat karakterisasi keislaman bangsa Turki pada masa Ottoman, meskipun bahaya simplifikasi dan reduksi tidak bisa dielakkan. Secara antropologis bangsa Turki kadangkala disebut 'war nation' ataupun 'war machine.' Hal ini terlihat dari karir mereka dalam perluasan wilayah kekuasaan Ottoman yang terbentang sejak dari Afrika, India, Persia dan bahkan sampai Eropa. Sejak mulanya ideologi Ottomanisme dan Islamisme saling kait berkait sedemikian rupa, keduanya didukung oleh ethos dan keunggulan militer yang sulit dicari tandingnya. Baik semasa Abasid maupun Seljuk bangsa Turki ini telah dikenal sebagai pasukan berkuda yang handal. Militansi kemiliteran ini ditopang oleh spirit jihad melawan orang kafir Eropa sehingga dengan begitu semangat penaklukan semakin berkobar. Abad-16 merupakan masa puncak kejayaannya, yang diikuti kemudian oleh berbagai krisis, dan berakhirlah dinasti ini setelah mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Krisis ini datang dari dua jurusan dari dalam dan dari luar. Massa rakyat di bawah kekuasaan Ottoman adalah kaum petani yang tidak mendapat pendidikan secara baik. Dengan mengandalkan kontrol secara militer dan doktrin ketaatan pada Sultan sebagai pemimpin agama, pada mulanya rakyat secara mudah bisa dikuasai. Tetapi situasi demikian tidak bertahan selamanya. Berbagai kelompok agama, suku, dan bangsa yang bernaung di bawahnya lama kelamaan berkembang sebagai ancaman, terutama setelah meletusnya Revolusi Perancis dimana semangat nasionalisme menggulir dan menggerogoti kekuasaan Ottoman. Sejak itu secara diam-diam muncul tiga ideologi, yaitu Ottomanisme, Islamisme, dan Turkisme. Karena kekuasaan cenderung berpihak pada ambisi pribadi bukannya akal sehat, Raja-raja Osmani (Ottoman) tetap mempertahankan ideologi Ottomanisme, sementara Islam cenderung diperalat sebagai ideologi pendukungnya. Dengan kata lain, keislaman semasa Ottoman adalah keislaman yang berciri ideologi untuk ambisi kekuasaan, bukannya keislaman yang melahirkan ethos keilmuan dan peradaban modern. Krisis Ottoman semakin terlihat di permukaan ketika apa yang disebut 'millet system' semakin otonom dari kontrol pusat sementara Eropa sudah bangkit dari keterbelakangannya. [7] Millet system dan capitulation adalah suatu bentuk perjanjian antara Ottoman dan kekuasaan asing untuk menjalin kerjasama ekonomi berdasarkan pengelompokan agama. Sebagai akibatnya kelompok-kelompok agama non-Muslim yang berada di bawah kekuasaan Ottoman lama-lama berubah manjadi perpanjangan tangan dari kekuatan Kristen Eropa untuk menghancurkan Ottoman dari dalam, melalui jalur penguasaan ekonomi oleh kelompok minoritas non-muslim. [8] Krisis yang melanda Libanon hari ini akar penyebabnya bisa ditelusuri pada millet system ini. -------------------------------------------- (bersambung 2/2) Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |