|
Pengendalian Pikiran: Kasus Timur Tengah
(2/2)
Catatan dusta mengenai terorisme, yang kembali akan saya
bicarakan dalam bab-bab berikut, sedemikian luas sehingga di
sini hanya diungkapkan sekadar contohnya. Ia berpengaruh
sangat kuat atas berfungsinya propaganda Barat dan watak
kebudayaan Barat. Dalam hal ini yang relevan adalah bahwa
sejarah yang cocok dan pola Newspeak yang
menguntungkan telah disusun, yang didalamnya terorisme
merupakan bidang garapan orang Palestina, sementara Israel
melaksanakan "pembalasan" atau terkadang "aksi mendahului"
yang sah, yang adakalanya ditanggapi sebagai kekerasan yang
disesalkan, sebab negara mana pun akan melakukannya dalam
keadaan tertekan. Sistem doktrinal ini dimaksudkan untuk
menjamin bahwa kesimpulan-kesimpulan ini adalah benar per
definisi, terlepas dari fakta-fakta yang ada --yang tak
dilaporkan, atau dilaporkan dengan cara sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan keperluan-keperluan doktrinal, atau
sekali-sekali dilaporkan dengan jujur, tapi kemudian dikubur
dalam liang memori. Dengan anggapan bahwa Israel adalah
negara klien yang loyal dan sangat berguna, berdiri sebagai
"aset strategis" di Timur Tengah dan bersedia melakukan
tugas-tugas seperti mendukung pembantaian besar-besaran di
Guatemala jika Pemerintah AS tercegah oleh Kongres untuk
bertindak sepenuh yang ia inginkan dalam perbuatan yang
dibutuhkan ini, maka benarlah --terlepas dari fakta-fakta
yang ada--bahwa Israel mengabdi kepada nilai-nilai moral
termulia dan "kesucian tangan" ("purity of arms"),
sementara bangsa Palestina adalah lambang utama ekstremisme,
terorisme, dan barbarisme. Kesannya adalah bahwa terdapat
simetri tertentu, baik dalam hak maupun praktek teroris yang
dilenyapkan dengan kebiadaban di kancah terbuka, atau
katakanlah --jika ungkapan ini dapat didengar-- sebagai
penelanjangan antisemitisme terselubung. Suatu penilaian
rasional, yang memberikan analisis dan gambaran akurat
tentang skala dan tujuan-tujuan terorisme Kaisar dan
pembajak, disingkirkan secara apriori, dan bakal benar-benar
nyaris tak dapat dipahami karena sedemikian jauh dari
ortodoksi-ortodoksi yang sudah diterima.
Servis-servis Israel kepada AS sebagai "aset strategis"
di Timur Tengah dan tempat-tempat lain membantu menjelaskan
dedikasi Amerika Serikat --sejak pengambilalihan Kissinger
atas pembuatan kebijakan Timur Tengah di awal 1970-an--
untuk mempertahankan konfrontasi militer dan "pembekuan
keadaan," gaya Kissinger.14
Jika AS mengizinkan suatu pemecahan damai sesuai dengan
konsensus internasional, Israel perlahan-lahan akan
terintegrasi ke dalam wilayah ini dan AS akan kehilangan
servis-servis dari sebuah negara upahan yang bermanfaat,
yang kekuatan militernya hebat dan teknologinya maju; sebuah
negara paria yang sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat
untuk tetap hidup secara militer dan ekonomi, dan dengan
demikian dapat diandalkan dan selalu siap melayani kapan
saja diperlukan.
Unsur-unsur yang disebut "lobi Israel" juga ikut berperan
dalam melestarikan konfrontasi militer, seperti didapat oleh
Danny Rubinstein, wartawan Israel dari jurnal Partai Buruh
Davar, dalam kunjungan ke Amerika Serikat pada
1983.15 Dalam
pertemuan-pertemuan dengan para wakil organisasi-organisasi
utama Yahudi (B'nai Brith, Liga Anti-Defamasi, Kongres
Yahudi Dunia, Hadassah, para Rabbi dari semua mazhab, dan
lain-lain), Rubinstein mengetahui bahwa artikel-artikel yang
ditulisnya tentang situasi mutakhir di Israel membangkitkan
kegusaran besar, lantaran ia menekankan kenyataan bahwa
Israel tidaklah menghadapi ancaman militer sebesar
"kerusakan moral, sosial, dan politik" karena merebut
wilayah-wilayah pendudukan. "Saya tidak tertarik (pada
penilaian Anda)," kata seorang fungsionaris kepadanya; "Saya
tak dapat berbuat apa-apa dengan argumen semacam itu."
Intinya, menurut Rubinstein berdasarkan sejumlah
perbincangan semacam itu, ialah bahwa,
menurut bagian terbesar masyarakat di
lingkungan resmi Yahudi, yang penting adalah menekankan
terus-menerus ancaman-ancaman eksternal yang mengintai
Israel ... kalangan resmi Yahudi di Amerika memerlukan
Israel ... hanya sebagai korban dari kekejian serangan
Arab. Untuk sebuah Israel yang semacam ini orang bisa
memperoleh dukungan, sumbangan dan uang. Bagaimana
mungkin orang mampu mengumpulkan uang untuk memerangi
suatu ancaman demografis? Siapa yang mau memberi sepeser
pun untuk memerangi apa yang saya sebut 'bahaya
aneksasi'? ... Semua orang mengetahui jumlah resmi
sumbangan-sumbangan yang dikumpulkan oleh Majelis,
Serikat Yahudi di Amerika, yang 'menjual' nama Israel,
dan kira-kira separo jumlah ini tidak sampai ke Israel,
tetapi untuk lembaga-lembaga Yahudi di Amerika. Adakah
sinisme yang lebih hebat?
Rubinstein selanjutnya mengungkapkan bahwa Majelis,
yang dikelola sebagai perusahaan yang kuat
dan efisien, mempunyai bahasa yang sama dengan
kelompok-kelompok garang di Israel. Sebaliknya, kelompok
yang berupaya berkomunikasi dengan pihak Arab, yang
mendambakan pengakuan timbal balik dengan bangsa
Palestina, kelompok moderat, dan kelompok-kelompok
pecinta damai, semuanya giat menentang bisnis pengumpulan
sumbangan ini. Mereka bukan hanya menyunat jumlah uang
yang dikirim ke Israel. Lebih gamblang lagi, mereka
menyunat jumlah dana yang disediakan untuk membiayai
aktivitas-aktivitas masyarakat Yahudi.
Para pengamat aktivitas-aktivitas rutin kelompok
satpam-lihai lobi Israel ini, mampu dengan tajam merasakan
isyarat paling samar tentang keinginan akan rujuk dan
pemecahan politik yang bermakna, dan ingin mengungkap bid'ah
ini dengan artikel lantang dan surat-surat kepada pers-yang
gemar menyebarkan bahan fitnah buatan mengenai kaum pelaku
bid'ah ini akan tahu dengan gamblang apa yang telah didapati
oleh Rubinstein.
Komentar-komentar Rubinstein menarik perhatian kita pula
pada Orwellisme lainnya: istilah "para pendukung Israel",
yang lazim digunakan untuk menunjuk mereka yang tak risau
dengan "kerusakan moral, sosial, dan politik" Israel (dan
dalam jangka lebih jauh mungkin kerusakan fisiknya juga),
dan sesungguhnya memberikan sumbangan bagi akibat-akibat ini
karena dukungan "picik dan chauvinisme membuta" yang mereka
persembahkan kepada "sosok keras-kepala keji" Israel,
sebagaimana sering diperingatkan oleh merpati-merpati
Israel.16
Dalam kaitan serupa, kita dapat melihat cara menarik yang
didalamnya istilah "Zionisme" dewasa ini dirumuskan --tentu
saja secara diam-diam-- oleh mereka yang mengambil peran
pengawal kemurnian doktrin. Pandangan-pandangan saya
sendiri, misalnya, sering dikutuk sebagai "anti-Zionisme
militan" oleh orang-orang yang sangat waspada terhadap
pandangan-pandangan ini, yang kerap diulang dan dikemukakan
secara jelas: bahwa Israel, dalam perbatasan-perbatasan yang
diakui secara internasional, harus menghormati hak-hak
setiap negara dalam sistem internasional --tak kurang dan
tak lebih-- dan bahwa struktur-struktur institusional
diskriminatif yang dalam hukum dan dalam praktek melekatkan
status khusus pada sebuah kategori kewarganegaraan (Yahudi,
Kulit Putih, Kristen, dan lain-lain), yang menjamin hak-hak
mereka untuk mengabaikan pihak lain, harus ditanggalkan. Di
sini saya tidak akan memasuki persoalan tentang apa yang
selayaknya disebut "Zionisme", tapi sekadar mencatat apa
yang diturunkan dari sebutan pandangan-pandangan ini sebagai
"anti-Zionisme militan": Zionisme adalah doktrin bahwa
Israel harus menghormati hak-hak selain orang-orang dari
negara lain mana pun; ia harus mempertahankan penguasaan
atas wilayah-wilayah pendudukan sehingga merintangi segala
bentuk upaya penentuan nasib sendiri bagi bangsa Palestina;
dan ia harus tetap sebuah negara yang didasarkan atas
prinsip diskriminasi terhadap warga non Yahudi. Secara
khusus, adalah sangat menarik menyaksikan bahwa "para
pendukung Israel" bersikeras mengenai keabsahan resolusi PBB
yang terkenal cemarnya tentang Zionisme dan rasisme.
Hendaknya diingat bahwa persoalan-persoalan ini bukanlah
abstrak dan teoretis. Masalah diskriminasi sangat runcing di
Israel, yakni, misalnya, lebih dari 90 persen tanahnya
menurut hukum ditempatkan di bawah kontrol sebuah organisasi
yang diabdikan bagi kepentingan "orang-orang yang beragama,
berbangsa, atau berasal-usul Yahudi" sehingga warga non
Yahudi diusir secara efektif. Komitmen kepada praktek
diskriminasi sedemikian kuat sehingga masalah ini bahkan tak
dapat dikemukakan di Parlemen, di mana ketentuan-ketentuan
baru merintangi pengajuan setiap rancangan Undang-undang
yang "melenyapkan eksistensi Negara Israel sebagai negara
orang Yahudi", bukan negara warganya. Maka, legislasi ini
menyatakan ilegal setiap upaya Parlementer yang menantang
sifat-dasar diskriminatif negara, dan dengan efektif
menjegal partai-partai politik yang comitted terhadap
prinsip pokok demokrasi bahwa sebuah negara adalah negara
para warganya.17
Mengherankan bahwa pers Israel dan kebanyakan
pengulas-terdidik tampak sama sekali tak menganggap ganjil
kenyataan bahwa legislasi baru ini bergandengan dengan
sebuah rancangan peraturan "antirasisme" (keempat kelompok
oposisi, sesungguhnya, menentang aspek peraturan ini). Judul
berita utama Jerusalem Post berbunyi, "Knesset
forbids racist and anti-Zionist bills" ("Knesset menolak
rancangan peraturan-peraturan rasis dan anti-Zionis")
--tanpa ironi, istilah "Zionis" ditafsirkan sebagaimana
dalam legislasi baru ini.
Para pembaca Jerusalem Post di Amerika rupanya
juga tak mendapati hal yang perlu dicatat dalam berita
ini,sebagaimana mereka tak pernah merasakan kesulitan dalam
menyelaraskan watak-dasar antidemokrasi dalam versi Zionisme
mereka dengan penghargaan meluap pada sifat demokratis
negara tempat demokrasi diwujudkan.
Yang tak kurang mengherankan adalah pemakaian-pemakaian
licik atas konsep "anti-Semitisme". Misalnya, untuk menuding
orang-orang yang memperlihatkan "anti-imperialisme yang
dungu" (sebuah ragam anti-Semitisme) yang berkeberatan
terhadap peran Israel di Dunia Ketiga demi kepentingan
kekuatan AS --misalnya di Guatemala atau untuk menunjuk
bangsa Palestina yang tak mau memahami bahwa problem mereka
dapat diatasi dengan "pemukiman-kembali dan repatriasi";
jika sisa-sisa penduduk desa Doueimah, tempat beratus-ratus
orang dibantai oleh tentara Israel dalam operasi
pembersihan pada 1948, atau warga jalur Gaza yang mirip
Soweto itu mengeluh, itu tandanya mereka disemangati oleh
"anti-Semitisme".18
Kita cuma perlu melacak ke akar-akar riwayat Stalinisme
untuk menemukan segala sesuatu yang serupa, tetapi
contoh-contoh pembanding dalam wacana pendidikan di Amerika
berkenaan dengan Israel sama sekali langka, dan berlalu
tanpa tercatat, walaupun para pencinta-damai Israel tak alpa
untuk merekam --dan mengutuk-- gaya Stalinis ini.
Manipulasi utama dalam sistem "cuci otak di alam merdeka"
ini, yang berkembang dalam bentuk yang paling mengesankan di
Amerika Serikat, adalah untuk merangsang perdebatan tentang
masalah-masalah kebijakan, tapi dalam suatu kerangka
asumsi-asumsi yang mengandung doktrin-doktrin pokok Garis
Partai. Semakin semarak perdebatan, kian efektif
asumsi-asumsi ini tertanam, sementara para peserta dan
penonton asyik mengagumi dan menyanjung diri untuk
kelantangan mereka dan untuk kebebasan-kebebasan luar biasa
yang kukuh di masyarakat mereka.
Demikianlah, maka dalam kasus Perang Vietnam,
institusi-institusi ideologis mengizinkan perdebatan antara
para "elang" dan kaum "merpati"; malah, perdebatan itu bukan
hanya diizinkan, melainkan bahkan didorong pada 1968, ketika
sektor-sektor penting dalam bisnis Amerika berbalik
menentang perang itu karena kepentingan-kepentingan mereka.
Para elang menandaskan bahwa dengan ketegasan dan dedikasi,
Amerika Serikat dapat berhasil dalam pendiriannya "membela
Vietnam Selatan dari agresi Komunis". Kaum merpati menangkis
dengan mempersoalkan kelaikan tujuan yang mulia ini, atau
mengecam penggunaan kekuatan dan kekerasan yang berlebihan
dalam mencapainya. Atau, mereka menyesali
"kekeliruan-kekeliruan" dan "kesalahpahaman-kesalahpahaman"
yang menyesatkan kita ke dalam "ekses dari ketulusan dan
kebajikan tanpa pamrih" kita (sejarahwan Harvard, John King
Fairbank, ketua studi Asia AS dan akademikus terkemuka yang
cinta-damai), dan "usaha-usaha yang penuh kesalahan untuk
melakukan kebaikan" (Anthony Lewis, mungkin menempati tokoh
media yang paling masyhur). Atau terkadang, di luar
jangkauan sistem doktrinal, mereka bertanya apa benar
Vietnam Utara dan Viet Cong itu melakukan kesalahan agresi;
mungkin, kata mereka, dakwaan ini berlebihan.
Fakta utama dan yang paling mencolok mengenai perang itu,
secara cukup sederhana, adalah bahwa AS tidak
"mempertahankan" Vietnam Selatan, tetapi menyerangnya --yang
pasti sejak 1962. Ketika itu, Presiden Kennedy memerintahkan
Angkatan Udara AS untuk ambil bagian dalam pemboman
besar-besaran dan penggundulan hutan yang dimaksudkan untuk
membantu penggiringan jutaan manusia ke dalam kamp-kamp
konsentrasi. Inilah tempat mereka dapat "dilindungi" dari
gerilyawan Vietnam Selatan yang ingin mereka dukung (seperti
diakui sendiri oleh pemerintah AS), setelah AS menggilas
setiap kemungkinan pemecahan politik dan mencangkokkan
sebuah rezim klien ganas yang, pada waktu itu, sudah
membunuh sekitar 100.000 orang Vietnam Selatan. Sepanjang
perang itu, gempuran utama AS adalah terhadap Vietnam
Selatan dan, pada akhir 1960-an, ia berhasil menghancurkan
pertahanan masyarakat Vietnam Selatan seraya melebarkan
kancah perang ke wilayah Indocina sisanya. Tatkala Uni
Soviet menyerang Afghanistan, kita dapat menyatakannya
dengan tegas bahwa itu adalah agresi; ketika AS menyerang
Vietnam Selatan, itu adalah "pertahanan-pertahanan terhadap
"agresi internal", seperti dikemukakan Adlai Stevenson di
PBB pada 1964, pada saat pemerintahnya secara rahasia
merencanakan untuk memperluas agresi ini dalam intensitas
dan cakupannya. Bahwa AS terlibat dalam serangan terhadap
Vietnam Selatan tidaklah disangkal oleh sistem propaganda
ini; hanya saja, pikiran tak dapat diungkapkan atau bahkan
sekadar membayangkan. Orang tak akan menemukan tanda tentang
peristiwa seperti "serangan AS atas Vietnam Selatan" dalam
media atau arena akademis aliran-utama, atau bahkan dalam
kebanyakan publikasi gerakan
perdamaian.19
Tak ada contoh lebih mencolok tentang kedahsyatan
kekuatan sistem pengendalian pikiran Amerika daripada
perdebatan yang terjadi mengenai agresi Vietnam Utara, dan
tentang apakah AS punya hak menurut hukum internasional
untuk memeranginya dengan "pertahanan-diri kolektif terhadap
serangan bersenjata". Buku-buku tebal pelajaran yang ditulis
menyajikan sikap-sikap menentang dan, dengan istilah-istilah
yang kurang santun, perdebatan digelar di gelanggang publik
terbuka oleh gerakan perdamaian. Perdebatan ini merupakan
cerminan yang terang benderang dari sistem pengendalian
pikiran, juga memberi sumbangan kepadanya, karena sepanjang
perdebatan dipusatkan pada persoalan apakah orang Vietnam
bersalah karena melakukan agresi di Vietnam, tidak akan ada
diskusi mengenai apakah agresi AS atas Vietnam Selatan
memang betul-betul seperti yang diterangkan. Sebagai orang
yang ikut dalam perdebatan ini, dengan kesadaran penuh
tentang apa yang sedang terjadi, saya hanya dapat melaporkan
pengakuan bahwa para penentang kekerasan negara telah
terperangkap, terjebak dalam suatu sistem propaganda yang
keefektifannya menakjubkan. Rupanya para pengecam perang AS
di Vietnam perlu menjadi pakar dalam seluk-beluk urusan
orang Indocina; secara umum ini tak relevan sebab masalah
ini, walaupun selalu disangkal, adalah urusan Amerika,
sebagaimana kita tak perlu menjadi ahli Afghanistan untuk
menentang agresi Soviet di sana. Perlulah; bagi semua, untuk
memasuki kancah perdebatan atas dasar istilah-istilah yang
dikemas oleh negara dan opini, elite yang setia mengabdinya,
betapapun orang mungkin tahu bahwa dengan berbuat begitu
berarti ia sedang memberi kontribusi lebih jauh kepada
sistem indoktrinasi tersebut. Alternatifnya adalah
mengatakan kebenaran, yang akan serupa dengan berbicara
dalam bahasa yang agak asing.
Banyak hal yang sama dalam perdebatan mutakhir tentang
Amerika Tengah. Perang teroris AS di El Savador tidak
menjadi topik diskusi di kalangan orang-orang terpandang;
perang itu tidak ada. Upaya AS untuk "membendung" Nikaragua
merupakan subjek yang dibebaskan dalam perdebatan, tapi
dalam batas-batas ketat. Kita boleh bertanya apakah AS
berhak menggunakan kekerasan untuk "melenyapkan kanker itu"
dan mencegah kelompok Sandinista mengekspor "revolusi tanpa
batas-batas" mereka (konstruksi khayalan dalam sistem
propaganda, diketahui sebagai bikinan oleh wartawan dan para
komentator yang taat membeo tuduhan pemerintah ini).
Tetapi, kita tak boleh mendiskusikan fakta bahwa "kanker"
yang harus dilenyapkan itu merupakan "ancaman terhadap
teladan yang baik", yang akan menyebarkan "penularan" di
seluruh kawasan itu dan di luarnya. Maka, dalam tiga bulan
pertama pada 1986, ketika perdebatan marak mengenai
pemungutan suara Kongres mendatang tentang bantuan bagi
tentara-centeng*
AS. (sebagaimana para pendukung tergigihnya diam-diam
melukiskannya) yang menyerang Nikaragua dari pangkalan
Honduras dan Costa Rica, pers nasional (New York
Times dan Washington Post) memuat tak kurang dari
85 potong opini para kolumnis dan kontributor-kontributor
undangan tentang kebijakan AS terhadap Nikaragua. Seluruh 85
opini itu kritis terhadap Sandinista, dari kritik yang
sangat garang (mayoritas besar) sampai yang agak moderat.
Inilah yang disebut "perdebatan publik" ("public
debate") di Amerika Serikat. Fakta yang tak dipersoalkan
bahwa pemerintah Sandinista telah berhasil --benar-benar
sangat berhasil-- melakukan pembaruan-pembaruan sosial
selama tahun-tahun awalnya, sebelum AS menggagalkan upaya
ini, tertutup rapat; dalam 85 kolom tersebut, ada dua
kalimat yang menunjuk pada fakta bahwa sudah terjadi
pembaruan-pembaruan sosial, dan fakta --yang hampir bukan
rahasia besar-- bahwa inilah yang merupakan alasan pokok
bagi serangan AS, sama sekali tak disebut, bahkan tak
terlintas sedikit pun dalam pikiran.
Orang-orang yang dianggap "pembela" Sandinista dikecam
pedas (nama-namanya tak disebut, untuk menjamin bahwa mereka
tak akan punya kesempatan untuk menanggapi, setidaknya
sebagaimana kesempatan itu akan ada dalam persoalan lain),
tapi tak seorang pun dari para penjahat ini yang dibolehkan
untuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka. Nyaris tak
dapat dibayangkan bahwa pers nasional bakal mengizinkan
pengungkapan kesimpulan Yayasan Pembangunan Sosial Oxfam
bahwa Nikaragua merupakan "perkecualian" di antara 76 negara
tempat ia bergiat dalam hal komitmen para pemimpin politik
"untuk memperbaiki kondisi rakyat dan mendorong partisipasi
aktif mereka dalam proses pembangunan". Dan, bahwa di antara
empat negara Amerika Tengah tempat Oxfam bergiat, "hanya di
Nikaragua terdapat upaya besar yang dilakukan untuk
mengurangi ketimpangan-ketimpangan dalam pemilikan tanah dan
untuk memperluas pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
pertanian bagi keluarga-keluarga petani miskin". Meskipun,
perang Contra telah melenyapkan ancaman-ancaman ini dan
menyebabkan Oxfam mengalihkan upaya-upayanya dari
proyek-proyek pembangunan ke pemulihan akibat perang. Tak
terbayangkan bahwa pers nasional akan mengizinkan pembahasan
fakta bahwa upaya pengabdian AS untuk melenyapkan "kanker"
ini terperosok jauh di dalam kerja sejarahnya, sebagaimana
para cendekiawan terpandang tak boleh menganggap diri tahu
kebenaran-kebenaran yang tak dapat diterima semacam ini.
Perdebatan dapat dilangsungkan dengan cara yang pas untuk
memerangi biang ganas Kerajaan Setan ini, tapi tak boleh
melewati batas-batas yang diizinkan dalam sebuah forum
nasional.20
Sebagaimana dalam kasus Indocina, di sini kita melihat
dalam rentang yang diizinkan bagi opini yang dapat
dikemukakan mengalami keberhasilan luar biasa dari "cuci
otak di alam merdeka". Dan, seperti dengan mudah dipahami
oleh setiap orang yang jujur, refleksi dari suatu mentalitas
totalitarian dalam kondisi-kondisi tempat sumber-sumber daya
dari kekerasan negara tak tersedia untuk menjamin kepatuhan
bulat.21
Dalam sebuah kediktatoran atau "demokrasi" yang
dijalankan oleh militer, Garis Partai itu jelas, kelihatan,
dan eksplisit, baik diumumkan oleh Kementerian Kebenaran
maupun dibuat terang dengan cara-cara lain. Dan, ia harus
ditaati secara terbuka; harga bagi pembangkangan dapat
merentang dari penjara dan pembangkang di bawah kondisi yang
sangat buruk --sebagaimana di Uni Soviet dan satelit-satelit
Eropa Timurnya--sampai penganiayaan biadab, perkosaan,
penanggalan anggota tubuh, dan pembantaian massa, seperti di
negara-negara tipikal yang bergantung pada AS, misalnya El
Salvador. Dalam sebuah Masyarakat Bebas, cara-cara ini tak
dijumpai, dan cara-cara yang lebih canggih dipakai untuk
menjamin pengendalian pikiran. Garis Partai tak diungkapkan,
tapi hanya dianggapkan.Orang-orang yang tak menerimanya
tidak dipenjarakan atau dilenyapkan setelah disiksa dan
dipotong-potong, tapi penduduk dilindungi dari bid'ah-bid'ah
mereka.
Dalam arus-utama, nyaris tak mungkin untuk sekadar
mengerti kata-kata mereka pada kesempatan-kesempatan langka
ketika diskursus eksotis serupa dapat didengar. Di zaman
pertengahan, ketika standar-standar integritas dan kejujuran
intelektual jauh lebih tinggi, menangani bid'ah dengan
serius dianggap hal yang penting, demikian pula memahaminya
dan memeranginya dengan argumen rasional. Sekarang, cukuplah
dengan menudingnya. Seperangkat lengkap konsep-konsep
--seperti misalnya "kesepadanan moral", atau "Marxis", atau
"radikal"-- sudah dibikin untuk menandai bid'ah, dan
kemudian menyingkirkannya tanpa argumen atau komentar lebih
lanjut.
Doktrin-doktrin berbahaya ini bahkan menjadi
"ortodoksi-ortodoksi baru"22
untuk dibasmi (lebih tepat, dikenali dan disingkirkan, sejak
kesibukan intelektual dianggap tak ada gunanya) oleh
minoritas penumpas yang menguasai media ekspresi publik
sampai ke tingkat mendekati totalitas. Namun, sayangnya,
dalam pandangan mereka penguasaan ini tak terlalu besar.
Tetapi, untuk sebagian terbesar bid'ah cuma disepelekan,
sementara perdebatan tentang masalah-masalah yang kebanyakan
pinggiran dan sempit, marak di kalangan mereka yang menerima
doktrin-doktrin tentang kebenaran, lazimnya tanpa wawasan
atau keinsafan.
Hampir demikian pulalah yang terjadi kalau kita kembali
ke topik kita sekarang ini, Timur Tengah. Kita boleh
memperdebatkan apakah bangsa Palestina perlu diizinkan untuk
masuk dalam "proses perdamaian", tapi kita tak akan
dibolehkan tahu bahwa AS dan Israel itu memimpin kubu
rejeksionis dan telah dengan konsisten merintangi setiap
"proses perdamaian" yang sejati, sering dengan kekerasan
mendalam. Berkenaan dengan terorisme, batas-batas bagi
perdebatan yang dibolehkan ini terlihat jelas oleh Shaul
Bakhash, profesor Sejarah di Universitas George Mason, yang
menjelaskan bahwa kita harus menghindar dari "penyederhanaan
berlebihan" yang menghalangi setiap usaha untuk "mengkaji
akar-akar sosial dan ideologis dari radikalisme Islam dan
Timur Tengah dewasa ini", yang membangkitkan "sikap kepala
batu, tapi bagaimanapun merupakan problem-problem nyata";
kita harus berusaha untuk memahami apa yang mendorong para
teroris itu menerapkan cara-cara keji
mereka.23
Pendekatan tentang terorisme, dengan demikian, terbatasi
ketat: pada satu ujung, kita punya orang-orang yang
memandangnya sekadar sebagai sebuah persekongkolan oleh
Kerajaan Setan beserta agen-agennya; di ujung lainnya kita
mendapati mereka yang lebih imbang dan pemikir-pemikir
cemerlang yang menghindari "penyederhanaan berlebihan" ini,
juga berusaha mencari akar-akar domestik dari teror Islam
dan Arab. Gagasan bahwa boleh jadi ada sumber-sumber lain
bagi terorisme di Timur Tengah --bahwa Kaisar dan kaki
tangannya mungkin pula punya peranan dalam drama ini--
apriori disingkirkan; bukan dibantah; tapi itu tak terlintas
di benak, suatu kemenangan gemilang dari sebuah sistem
doktrinal yang jauh melampaui pencapaian negara-negara
totalitarian dalam melindungi publik terhadap
pikiran-pikiran cemar.
Perlu dicatat bahwa secara keseluruhan, sumbangan kaum
"moderat" dan para merpati liberallah yang menjamin berjalan
baiknya sistem indoktrinasi ini, dengan menandaskan
batas-batas bagi gagasan yang dapat dipikirkan.
Dalam Journal-nya, Henry David Thoreau, yang
menjelaskan di mana-mana bahwa ia tak membuang waktunya
untuk membaca koran, menulis bahwa,
Tidak perlu ada sebuah undang-undang untuk
memeriksa izin surat kabar. Ia adalah undang-undang yang
cukup, malah lebih dari cukup, untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya, masyarakat sudah berkumpul dan menyepakati
hal-hal apa yang akan diucapkan, telah bersepakat tentang
sebuah landasan dan untuk mengucilkan dia yang menyimpang
dari sana, dan tak satu dalam seribu orang yang berani
mengucapkan hal lain apa pun.
Pernyataannya tak terlalu tepat, kata John Dolan, "bukan
masyarakat kurang berani mengemukakan pikiran-pikiran di
luar rentang-batas yang diizinkan: soalnya cuma mereka tak
mempunyai kemampuan untuk memikirkan gagasan-gagasan semacam
itu".24 Inilah
hal pokoknya, motif yang mendorong para "perekayasa
persetujuan demokratis".
Dalam New York Times, Walter Reich dari Lembaga
Internasional Woodrow Wilson --menunjuk pembajakan Achille
Lauro-- menuntut supaya standar-standar ketat keadilan
diterapkan bagi orang-orang yang telah "melakukan pembunuhan
teroris", baik para agen maupun perencana aksi-aksi ini:
"Menjatuhkan hukuman ringan dengan alasan bahwa seorang
teroris meyakini dirinya sebagai pejuang kemerdekaan yang
ditindas dan dirugikan, berarti menghancurkan landasan
tempat tegaknya keadilan dengan menerima argumen para
teroris bahwa hanya konsep mereka tentang keadilan dan
hak-hak, dan penderitaan-penderitaan mereka, yang sah.
Bangsa Palestina --dan setiap dari sejumlah besar kelompok
yang menggunakan terorisme untuk mengatasi penderitaan--
harus mengenyahkan teror dan mencari cara-cara lain, yang
niscaya melibatkan kompromi-kompromi. Barat harus menolak
argumen bahwa setiap pemaafan --bahkan yang melibatkan
alasan ketertindasan-- dapat 'mengurangi' hasrat untuk
melakukan teror terhadap orang-orang tak berdosa." Ini
merupakan kalimat-kalimat mulia, yang akan dianggap serius
seandainya tekad kuat untuk menjatuhkan hukuman keras ini
diterapkan bagi diri sendiri, bagi Kaisar dan para kliennya;
jika tidak, kecaman-kecaman ini tak ada bedanya dengan
ungkapan-ungkapan luhur yang dihasilkan oleh Dewan
Perdamaian Dunia serta organisasi-organisasi front-Komunis
lainnya berkenaan dengan penganiayaan-penganiayaan terhadap
para pejuang Afghan. Mark Heller, wakil direktur Lembaga
Jaffee untuk Kajian-Kajian Strategis di Universitas Tel
Aviv, menjelaskan bahwa "Terorisme dukungan-negara merupakan
perang berintensitas rendah, dan korban-korbannya, termasuk
Amerika Serikat, karenanya berhak untuk menyerang balik
dengan segala cara sesuai kemampuan mereka." Mestinya
dilanjutkan dengan korban-korban lain demi "perang
berintensitas rendah" dan "terorisme dukungan-negara" yang
"berhak menyerang balik dengan segala cara sesuai kemampuan
mereka": rakyat El Salvador, Nikaragua, Palestina, Lebanon
dan segudang korban lain dari Kaisar dan para anak buahnya
di seluruh bagian besar dunia.25
Tetapi, konsekuensi-konsekuensi ini tak dapat dipahami
oleh Reich dan Heller maupun kebanyakan pembaca mereka;
tidak pula mereka dibolehkan muncul dalam New York
Times. Bahkan, seandainya ada orang yang menarik
konsekuensi-konsekuensi logis dari penegasan Reich dan
Heller dan mengungkapkannya dengan jelas, ia mungkin sekali
dituntut karena mendorong kekerasan teroris terhadap para
pemimpin politik Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Suara-suara yang paling skeptis di AS sepakat bahwa
"Dukungan terbuka Kolonel Qaddafi terhadap terorisme
merupakan kejahatan mencolok," dan "Tidak ada alasan untuk
membiarkan para pembunuh berlalu tanpa dihukum bila Anda
tahu otak di belakang mereka (sic). Bahwa tindakan
pembalasan akan menewaskan sebagian penduduk sipil tak
berdosa, tidak dapat dianggap sebagai faktor perintang
sehingga negara-negara korban mestinya tak perlu takut untuk
membalas."26
Prinsip ini memberi hak kepada sejumlah besar rakyat di
seluruh dunia untuk membunuh Presiden Reagan dan membom
Washington, bahkan sekalipun "tindakan pembalasan ini akan
menewaskan sebagian penduduk sipil tak berdosa". Sukar
dipercaya bahwa hanya segelintir kecil di antara masyarakat
terpelajar Amerika yang dapat memahami kebenaran-kebenaran
gamblang ini --dan mereka hampir tak mungkin diucapkan dalam
sistem doktrinal. Selama keadaannya tetap demikian --dalam
kasus-kasus yang sudah saya sebut dan banyak lagi lainnya--
kita menipu diri sendiri jika kita yakin bahwa kita
berpartisipasi dalam sebuah masyarakat demokratis, kecuali
dalam pengertian Orwellian dari diskursus akademis.
Terjadi perdebatan runcing di media mengenai apakah para
pembajak dan maling-maling itu layak diberi izin untuk
mengungkapkan tuntutan dan pandangan-pandangan mereka; NBC,
misalnya, dikecam keras karena menyiarkan sebuah wawancara
dengan orang yang dituduh merencanakan pembajakan Achille
Lauro. Dianggap bahwa dengan memberi mereka kebebasan bicara
tanpa bantahan, berarti melayani kepentingan-kepentingan
para teroris, suatu penyelewengan memalukan dari keseragaman
yang dituntut dalam sebuah masyarakat bebas yang berjalan
dengan baik.
Bolehkah media mengizinkan Ronald Reagan, George Shultz,
Menachem Begin, Shimon Peres, dan suara-suara lain sang
Kaisar dan istananya untuk berbicara tanpa bantahan, yang
mendorong "perang berintensitas rendah" dan "pembalasan"
atau "tindakan mendahului"? Apakah dengan demikian media
mengizinkan Para komandan teroris untuk bicara bebas, yang
berarti melayani kepentingan agen-agen terorisme
besar-besaran? Pertanyaan ini tak dapat diajukan, dan kalau
dilontarkan --hanya disingkirkan dengan sikap muak atau
garang. Bab-bab berikut akan memperlihatkan bahwa reaksi ini
mencerminkan keberhasilan indoktrinasi, yang membuat orang
tak memahami dunia nyata.
Penyensoran harfiah nyaris tidak ada di Amerika Serikat,
tetapi pengendalian pikiran merupakan industri yang subur;
bahkan sesuatu yang mutlak harus ada dalam sebuah masyarakat
yang didasarkan atas prinsip bahwa hanya elite yang berhak
mengambil keputusan, dan prinsip pasivitas atau kepatuhan
rakyat.[]
Catatan kaki:
* Tentara-centeng
(proxy army): Dinas tentara suatu negara yang dimanfaatkan
oleh negara lain, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk
menekan rakyatnya sendiri, terutama demi kepentingan negara
yang memerintahkannya. Alasannya sederhana: untuk
mengelakkan tuduhan invasi. --penerj.
14 Mengenai
masalah-masalah ini, termasuk asal-usul konsep "aset
strategis", perundingan-perundingan pasca-1973 yang menuju
pada Camp David, dan aksi-aksi segera AS untuk menghapus
"Rencana Reagan" September 1982 dan juga "Rencana Shultz"
untuk Lebanon beberapa bulan setelahnya, lihat FT.
Kenyataannya, yang umumnya sangat jelas pada waktu itu, amat
berbeda dari versi-versi resmi yang diulang-ulang oleh media
dan banyak pakar, sekalipun kadang sebagian diakui
bertahun-tahun kemudian; lihat, misalnya, Bab Kedua,
catatan kaki no. 47 dan
teks.
15 Rubinstein,
Davar, 5 Agustus 1983.
16 Jenderal
(Purnawirawan) Mattiyahu Peled, "American Jewry: 'More
Israeli than Israelis'," New Outlook, Mei juni 1975.
Lihat juga Kolonel (Purnawirawan) Meir Pail, yang mengecam
"penyembahan musyrik negara-benteng Yahudi" di kalangan
komunitas Yahudi Amerika, memperingatkan bahwa dengan
rejeksionisme mereka, mereka "telah mengubah Negara Israel
menjadi dewa-perang yang mirip Mars", sebuah negara yang
akan menjadi "sebuah gabungan kental struktur negara rasis
Afrika Selatan dan jalinan sosial teroristis Irlandia
Utara", "sebuah sumbangan orisinal bagi sejarah ilmu politik
abad XXI: sejenis negara Yahudi unik yang akan membuat malu
semua orang Yahudi di mana pun mereka berada, bukan hanya
untuk masa sekarang, melainkan juga masa mendatang ("Zionism
in Danger of Cancer", New Outlook, Oktober-Desember
1983, Januari 1984.
17 Lihat TNCW,
247 dst., untuk perinciannya. Tentang legislasi baru ini,
lihat Aryeh Rubinstein, Jerusalem Post, 14 November
1985. Untuk komentar mutakhir pakar Israel, yang
membandingkan hukum Israel dengan Aparteid Afrika Selatan,
lihat Ori Shohet, "No One Shall Grow Tomatoes ...",
Ha'aretz Supplement (27 September 1985, diterjemahkan
dalam News from Within (Jerusalem, 23 Juni 1986),
yang membahas manipulasi-manipulasi yang menjamin
diskriminasi terhadap warga Arab Israel dan penduduk Arab di
wilayah-wilayah pendudukan dalam hal pemilikan tanah dan
hak-hak lainnya. Judul ini ("No One Shall Grow Tomatoes...")
menunjuk pada peraturan-peraturan militer yang mewajibkan
penduduk Arab di Tepi Barat untuk mendapatkan izin guna
menanam pohon buah atau sayuran --salah satu dari sejumlah
siasat yang digunakan untuk menjamin Israel mengambil alih
tanah-tanah di sana dengan alasan yang kurang berdasar.
18 Paul Berman, 'The
Anti-Imperialism of Fools", Village Voice, 22 April
1986, mengutip "sebuah esai inspiratif" oleh Bernard Lewis
di New York Review yang memaparkan doktrin mujarab ini.
Untuk beberapa pemaparan licik lainnya atas konsep
anti-Semitisme, lihat FT, 14 dst.
19 Untuk pembahasan,
lihat TNCW dan buku saya, For Reasons of State
(Pantheon, 1973).
20 Untuk pembahasan
tentang masalah-masalah ini, lihat rujukan catatan
kaki no.13. Perlu dicatat bahwa kontributor-kontributor
ini menganut pandangan yang lebih bernuansa tidak
mengungkapkan pandangan mereka dalam kolom-kolom opini yang
muncul di pers nasional.
21 Perlu diingat bahwa
hal yang dipersoalkan adalah rentang yang diizinkan bagi
pengungkapan ekspresi di forum nasional, bukan
kontribusi-kontribusi individual, yang harus dinilai atas
dasar baik-buruknya masing-masing.
22 Lihat, umpamanya,
Timothy Garton Ash, "New Orthoxies: I," Spectator
(London), 19 Juli 1986. "Perdebatan" lucu (yang di dalamnya
hanya satu sisi yang mendapat sambutan publik di tengah
uraian terperinci pihak lawannya) mengenai "kesepadanan
moral" di AS ini patut dibahas tersendiri.
23 New York Review
of Books, 14 Agustus 1986.
24 "Non-Orwellian
Propaganda System", Thoreau Quarterly, Musim Dingin/
Semi 1984. Lihat perbincangan saya dengan sekelompok
wartawan yang dimuat di sini, dan diskusi selanjutnya untuk
membahas lebih terperinci topik-topik ini.
25 Reich, NYT,
24 Juli; Heller, NYT, 10 Juni 1986.
26 Anthony Lewis,
NYT, 21 April 1986.
(bagian
pertama)
|