Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PASAL VII. DASAR UNTUK MEMBANGUN

I. FAKTOR-FAKTOR SITUASI MASA KINI BERKENAAN DENGAN MASALAH STATUS ALKITAB

1. Hambatan-hambatan terhadap pemakaian: Alkitab secara lebih luas di gereja masa kini

Dapatkah kita memberi suatu penjelasan yang memuaskan tentang status Alkitab dalam iman kepercayaan Kristen, berdasarkan bahan-bahan yang diuraikan pada pasal-pasal sebelum ini? Berdasarkan prinsip-prinsip apakah dapat kita membangun suatu pandangan tentang hal ini? Dan apa faedahnya, kalau hal itu sudah jadi?

Mungkin langkah pertama yang harus kita ambil ialah menguraikan sedikit tentang suasana yang meliputi usaha kita ini. Maka di sini kita menghadapi semacam paradoks. Di satu pihak, soal yang kita bicarakan di sini, yaitu status Alkitab di gereja dan dalam iman Kristen, merupakan soal yang amat penting sekali; karena pandangan terhadap pokok ini mempengaruhi tiap-tiap aspek kehidupan gereja, dan pemberitaan Injil terhadap dunia. Saya sendiri sangat mengharapkan bahwa gereja dalam tiap-tiap aspek kehidupannya akan menggunakan Alkitab secara lebih luas dan lebih bebas. Karena saya berkeyakinan bahwa banyak kesulitan yang menimpa agama Kristen pada masa kini adalah merupakan beban yang diciptakan gereja sendiri, dan bahwa beban itu akan menjadi lebih ringan kalau berita Alkitab dinilai lebih tinggi. Saya tidak menaruh harapan apapun kepada khayalan (penglihatan) tentang agama Kristen yang makin lama makin membebaskan diri dari pengaruh Alkitab, serta maju dengan penuh keberanian sambil bersukaria karena kemodernan yang telah dia capai. Justru sebaliknya; kalau ada sumber-sumber kebebasan yang dapat membebaskan gereja-gereja modern serta pemberitaannya, maka sebagian besar dari sumber-sumber tersebut terletak dalam Alkitab sendiri. Keragu-raguan yang menimpa gereja masa kini, berkenaan dengan status Alkitab (baik pada pihak radikal maupun pada pihak konservatif), memanglah menghalang-halangi hasrat kita untuk menggunakan sumber-sumber pembebasan itu. Beberapa pokok keragu-raguan itu menyangkut kesalah-pahaman-kesalah-pahaman intelektual dan informatoris, yang sebagian dapat dijernihkan dengan analisa-analisa seperti yang kita usahakan dalam buku ini. Kesulitan-kesulitan lain adalah lebih bersifat konflik-konflik eksistensial yang tak akan hilang hanya dengan cara penjelasan-penjelasan intelektual, karena menyangkut pergumulan yang lebih mendalam, yakni pergumulan manusia-beragama dengan Allahnya. Semuanya ini amat penting sekali. Soal status Alkitab bukanlah suatu persoalan yang teoretis melulu, yang barangkali dapat membantu kita memecahkan persoalan-persoalan yang sungguh aktual; melainkan justru termasuk kepada persoalan yang berkenaan dengan eksistensi Kristen di dunia.

2. "Neurosis kewibawaan" sudah mereda

Semuanya ini termasuk kepada satu pihak; tetapi di lain pihak, saya tidak merasa gelisah atau sedih, berhadapan dengan kenyataan bahwa status Alkitab sedang dipersoalkan. Pun saya tidak merasa terdorong membela status Alkitab berhadapan dengan kaum skeptis atau kaum penyoal. Memang saya dapat menduga bahwa penggunaan Alkitab di gereja-gereja akan tetap dipersoalkan secara radikal pada masa mendatang, dan kemungkinan ini saya terima dengan hati yang tenang. Karena pusat kewibawaan dalam agama Kristen telah berpindah, atau bahkan konsep kewibawaan itu telah ditinggalkan sama sekali. Menurut pandangan kita masa kini, teologia lama itu seolah-olah menderita semacam "neurosis kewibawaan." Pendekatan tradisional ialah bahwa Gereja dalam segala pemikirannya selalu bertolak dari suatu "pusat kewibawaan" yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan yang selanjutnya menjadi ukuran dalam segala persoalan yang kabur. Tidak dapat dikerjakan apa-apa, kecuali kalau soal "kewibawaan" itu sudah jelas terlebih dulu.

3. Norma-teologis bukanlah titik-tolak proses, melainkan buah proses berteologia

Pada masa kini kita berani memakai norma-norma yang belum terumus dengan jelas. Kita berani membiarkan konsep "kewibawaan" itu muncul dengan jelas pada akhir proses berteologia; tidak dituntut supaya konsep itu dirumuskan dengan tegas sebelum proses berteologia dimulai. Atau di pihak lain, mungkin dapat disetujui bahwa ada berbagai jenis norma, yang berfungsi pada taraf dan tahap yang berbeda-beda. Pendapat saya sendiri ialah bahwa tidak ada norma yang harus ditetapkan sebagai titik-tolak proses berteologia. Malah tiap-tiap teologia harus menyediakan, sebagai bagian integral dari teologia itu sendiri, suatu uraian tentang norma-norma yang akan dipakainya, termasuk uraian tentang hubungan teologia tersebut dengan Alkitab. Akan tetapi barulah pada akhir proses, sewaktu buah-matang teologia tersebut sudah nampak, dapatlah teologia itu dinilai; penilaian itu justru berdasarkan buah-buah-matang itu, dan bukan berdasarkan hubungannya dengan norma-norma definitif yang sudah mendahului proses berteologia itu. Bukannya saya mau mengusulkan suatu teologia yang kacau, yang tidak menggunakan norma-norma sama sekali. Memang harus ada norma-norma; dan pada waktunya yang tepat, norma-norma itu harus diuraikan dan dikemukakan. Tetapi pada masa kini kita bersedia mendengarkan teologia yang bersangkutan, serta menilai sumbangan pemikirannya, sebelum kita mendengar uraian tentang sumber kewibawaan yang dipakainya.

4. Teologia-modern bersifat majemuk

Dengan perkataan lain, buku ini berasumsi bahwa ada kemajemukan teologia yang laku di gereja modern. Prinsip teologis yang lama, kalau saya tidak salah tangkap, tidak berpikir secara demikian. Caranya teologia lama ialah menetapkan terlebih dulu norma atau sumber kewibawaan yang akan menghasilkan teologia yang "benar." Misalnya, seorang Calvinis tradisional, yang menekankan Alkitab sebagai titik-awal program teologianya, pasti tidak akan membayangkan bahwa pada akhir proses teologia itu akan terbukti bahwa Sri Paus adalah kepala gereja yang sah. Karena ada garis-pengait yang ketat antara sumber kewibawaan yang satu-satunya itu, dan teologia yang benar satu-satunya itu, maka justru oleh karena pengkaitan yang ketat itu, timbullah persengketaan yang hangat antara teologia-teologia yang sebenarnya berhubungan erat satu sama lain, dan yang bersama-sama mengakui satu prinsip kewibawaan. Saya di sini ingin memperjuangkan suatu situasi teologia yang terbuka; sehingga mudah-mudahan dapatlah saya sodorkan sesuatu yang akan berguna untuk berbagai macam teologia. Jadi menurut saya, sebaiknya pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah suatu teologia tertentu berbentuk Alkitabiah atau tidak? Apakah teologia yang tepat boleh mengandung unsur teologia alamiah atau tidak? Apakah unsur filosofisnya banyak atau sedikit? --sebaiknyalah semua pertanyaan ini dibiarkan terbuka.

5. Konteks-oikumenis teologia modern

Pemikiran teologis masa kini berlatar-belakangkan pemikiran oikumenis, tetapi konsekwensi-konsekwensi kerangkaian (struktur) oikumenis ini belum disadari betul-betul. Mereka yang dengan begitu bersemangat memperjuangkan pemersatuan gereja-gereja yang terpisah, tidak selalu begitu bersemangat dalam memperjuangkan pemersatuan pemikiran teologis.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team