TAREKAT-TAREKAT DARWIS
Karena
pemikiran yang dangkal
apa yang tampak kemunafikan pada
diri orang yang tercerahkan
(mukasyafah),
sesungguhnya itu lebih baik
dibanding
apa yang dirasakan sebagai ketulusan
pada
si pemula.
(Hadhrat Bayazid al-Bisthami)
Hampir semua Sufi, pada suatu waktu atau lainnya,
merupakan anggota dari salah satu Tarekat yang oleh para
sarjana Barat disebut "Order", sebagai isyarat
dari dugaan kemiripannya dengan ordo-ordo keagamaan
Kristiani pada Abad Pertengahan. Ada beberapa perbedaan
penting antara dua jenis organisasi tersebut.
Tarekat, bagi seorang Sufi, bukanlah suatu pelestarian
entitas diri yang langsung dengan suatu hirarki dan
pernyataan yang baku serta membentuk suatu sistem pelatihan
bagi pemeluknya. Sifat Sufisme adalah evolusioner, untuk itu
suatu lembaga Sufi niscaya tidak mungkin mengambil suatu
bentuk permanen sekaku ini. Di tempat-tempat tertentu dan di
bawah guru-guru individual, sekolah-sekolah muncul dan
melaksanakan suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk
meningkatkan kebutuhan manusia terhadap penyempurnaan
pribadi. Sekolah-sekolah ini (seperti sekolah Rumi dan Data
Ganj Bakhsh, sebagai contoh) menarik minat banyak orang yang
bukan Muslim, meskipun sekolah-sekolah Sufi sejak kemunculan
Islam, selalu dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari
tradisi Muslim.
Kemudian, meskipun Tarekat-tarekat Sufi memiliki
aturan-aturan khusus dan serangkaian pakaian dan ritual, hal
ini bukan suatu keharusan, dan sejauh mana Sufi mengikuti
bentuk-bentuk ini ditentukan oleh kebutuhannya terhadap
hal-hal itu, sebagaimana yang diperintahkan oleh
gurunya.
Beberapa Tarekat besar mempunyai sejarah yang rinci,
tetapi kecenderungan untuk membagi ke dalam berbagai bentuk
spesialisasi pada waktu-waktu tertentu sama-sama mempunyai
karakteristik nominal. Hal ini karena Tarekat dikembangkan
melalui wahana untuk memenuhi suatu keperluan batin, tidak
diarahkan oleh kerangka kerja organisasinya yang tampak
jelas secara lahiriah.
Karena begitu banyak sekolah-sekolah tersebut maka salah
seorang Sufi terbesar, Hujwiri (w. 1063) menulis sebuah
kitab1 yang
membahas Sufisme dan Tarekat-tarekat pada abad kesebelas,
dengan memberikan informasi mendalam tentang mereka.
Sebagian orang justru menganggap bahwa ia telah
mengarang-ngarang sebagian dari bahan tersebut.
Bahkan perkembangan itu sendiri, berbeda dengan apa yang
diduga orang, merupakan bagian dari kebijaksanaan darwis
yang tidak bisa dihindari. Data ("darwis" dalam
Hindu) Ganj Bakhsh (dalam bahasa India berarti Orang
Dermawan) adalah gelar Ali al-Hujwiri yang dikenal di
India.
Dilahirkan di Ghazna (Afghanistan), para Sufi menyebutnya
sebagai "Yang Terpilih", orang yang dipilih untuk
memaparkan kenyataan-kenyataan tertentu tentang Sufisme dan
organisasi Sufi di daratan India. Meskipun bukan berarti
Sufi pertama ini tinggal di India (ia dimakamkan di Lahore,
Pakistan, dan makamnya diziarahi oleh orang-orang dari semua
kepercayaan), tugasnya adalah untuk menegaskan, melalui
kehidupan dan karya-karyanya, suatu klaim bahwa Sufisme
secara keseluruhan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Arti
pentingnya tidak mungkin diabaikan sebagaimana penulis
Kristiani John Subhan mengatakan:
Makam Ali al-Hujwiri mungkin masih bisa dilihat
di Lahore dekat pintu gerbang Bhati. Ia telah menjadi
tujuan ziarah dan penghormatan selama sembilan ratus
tahun. Semua macam dan kedudukan manusia, para raja dan
pengemis, telah mengunjunginya selama berabad-abad, untuk
mencari berkah spiritual dan temporal. Semua penakluk
Muslim dan para darwis yang mengembara, di saat memasuki
negeri ini, telah menjadikan makamnya sebagai titik
tujuan penghormatannya.2
Kedudukan Hujwiri di kalangan Sufi mendekati peranan
penting sebagai seorang penafsir Sufisme bagi orang-orang
Muslim itu sendiri. Bagi Sufi, kitab Kasyful Mahjub memuat
bahan-bahan yang hanya bisa dipahaminya, tersimpan dalam
bentuk sebuah kitab yang dimaksudkan untuk dibaca oleh
orang-orang Muslim yang saleh untuk memperkenalkan mereka
kepada cara berpikir Sufi melalui terminologi tradisi formal
mereka yang telah dikenal.
Kitab tersebut dikaji dengan seksama oleh anggota-anggota
dari semua Tarekat. Hujwiri sendiri belajar di bawah
bimbingan Abu al-Qasim Jurjani, seorang guru besar dari
Tarekat Naqsyabandiyah, dan karya utamanya adalah kitab
Kasyful Mahjub, yang merupakan buku pertama tentang Sufisme
dan Tarekat dalam bahasa Persia.
Kitab tersebut mencatat kehidupan para Sufi terkenal,
pada masa kuno maupun kontemporer, referensi-referensi untuk
ajaran, shadagah, doa, kepercayaan dan mistisisme. Kitab ini
ditujukan kepada mereka yang ingin mendekati Sufisme melalui
konteks Islam yang berlaku. Di balik penyajian yang jelas
ini, dengan suatu cara yang hanya bisa dipahami oleh para
Sufi, kitab Kasyful Mahjub mengandung informasi tentang
penggunaan dan makna dari bahasa rahasia yang digunakan para
Sufi untuk berkomunikasi dan menjalankan latihan khusus.
Untuk sementara semua yang diungkap tentang hal ini
termuat pada bagian yang membahas tentang jubah tambalan.
Pemakaian jubah tambalan merupakan adat Sufi, sebagai ciri
Sufi yang mempraktikkan Jalan tersebut. Ia mungkin bisa
disebut sebagai seragam darwis pengembara, dan ini terlihat
di hampir semua bagian Asia dan Eropa selama hampir empat
belas abad. Nabi Muhammad (saw.) dan beberapa sahabat
menunjukkan penerimaan mereka terhadap Jalan Sufi dengan
mengadopsi pakaian jubah ini. Banyak guru Sufi menulis
tentang cara menjahit lembaran-lembaran kain tersebut, siapa
yang boleh memakainya, siapa yang boleh menganugerahinya,
dan sebagainya. Semua fenomena ini adalah bagian dari
misteri Sufi.
Kajian tentang jubah tambalan yang ditulis Hujwiri, jika
dibaca secara dangkal, mungkin bisa memuaskan seorang teolog
yang saleh. Dengan merenungkan hubungan antara
tambalan-tambalan kain dan kemiskinan, cara menjahit
lembaran kain secara benar dan pembenaran lahiriah atas
kezuhudan yang ditunjukkan oleh tambalan-tambalan kain itu,
maka bab ini bisa dibaca sebagai suatu yang bersifat
kesalehan, suatu kumpulan gagasan dan fakta-fakta yang
sangat memuaskan dan dikarang untuk tujuan-tujuan
sentimentil. Kenyataan ini sangat khas.
Ketika membaca teks tersebut, pertama-tama seorang
pelajar harus menyadari bahwa dia tidak bisa menerjemahkan
kata "tambalan" itu dan mengabaikannya. Dia harus
mencermati konsep-konsep yang terkandung dalam istilah Arab
itu, dan merenungkannya untuk diterapkan terhadap teks
dengan cara tertentu. Kemudian dia akan bisa memahami makna
"lembaran", "berjalan" atau
"kebodohan yang parah" dan seterusnya.
Dengan demikian pengaruh kitab tersebut terhadap Sufi
sangat berbeda dengan peneijemahan yang akan dia dapatkan
dari suatu pembacaan yang dangkal. Inilah sebuah contoh
terjemahan semi harfiah yang diambil dari terjemahan
Profesor Nicholson untuk bagian itu:
"Berupaya menjahit jubah-jubah tambalan
diperbolehkan oleh para Sufi, sebab mereka telah memperoleh
reputasi yang tinggi dalam masyarakat; karena banyak orang
meniru mereka dan memakai jubah-jubah tambalan serta
bersalah karena melakukan tindakan yang tidak terpuji;
karena para Sufi tidak menyukai masyarakat selain
masyarakatnya sendiri --karena alasan-alasan inilah mereka
menciptakan suatu jubah yang tidak bisa dijahit siapa pun
kecuali mereka sendiri, dan menjadikannya sebagai tanda
untuk saling mengenal dan sebagai suatu lencana. Sedemikian
(rumitnya) sehingga ketika seorang darwis menemui salah
seorang Syekh dengan mengenakan sebuah baju, Syekh tersebut
mengusirnya."
Akar kata bahasa Arab yang merupakan asal kata
"tambalan" juga memiliki serangkaian makna yang
penting. Diantaranya kita bisa mencatat:
- Yang bukan-bukan, "nyleneh" (raqua). Cara
Sufi tampil ketika dia tengah berbicara atau bertindak
dalam hubungannya dengan suatu pengetahuan-ekstra
(inderawi) yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam.
"Ocehan-Pelawak" merupakan terjemahan yang
tepat untuk sifat ini. "Bodoh" dalam pengertian
Sufi juga berasal dari akar kata yang sama
(arqa'a).
- Mabuk karena anggur (raqaa'). Para Sufi
menggunakan analogi kemabukan untuk menyebut pengalaman
mistis tertentu.
- Sikap tidak peduli (artaqa'). Sufi tampak
sebagai orang yang tidak peduli terhadap hal-hal yang
tampak paling penting bagi orang awam, tetapi secara
obyektif mungkin memiliki arti penting lain.
- Langit Ketujuh (raqa'). Suatu isyarat bagi sifat
ketuhanan dalam Sufisme.
- Papan Catur (ruqa'at). Pergantian hitam dan
putih dari cahaya dan kegelapan, bagian lantai di
tempat-tempat pertemuan darwis tertentu dengan warna
seperti papan catur.
- Baju tambalan (muraqqa'). Satu-satunya kata dari
kelompok (kata) ini selain kata terakhir yang bisa
digunakan sebagai simbol atau alat, suatu obyek kiasan
yang menerangkan akar kata tersebut sebagai suatu
keseluruhan dan semuanya mengandung makna Sufi.
- Menambal baju, berjalan dengan cepat, menulis
(prasasti), menguasai sasaran dengan anak-panah. Semua
(makna) ini merupakan kata turunan dari akar kata yang
sama yaitu raqa'a.
- Memperbaiki (sumur) menyimbolkan perbaikan
"sumur" pengetahuan manusia, yang menurut para
Sufi memiliki akar kata yang sama.
Salah satu tugas Hujwiri adalah menuliskan kode-kode
rahasia Sufi sebagai unsur-unsur pokok yang digunakan oleh
madzhab-madzhab darwis.
Hujwiri datang ke India mengikuti teknik perjalanan yang
secara luas dipraktikkan pada Tarekat-tarekat tersebut. Ia
dianjurkan gurunya untuk pergi dan menetap di Lahore. Ini
merupakan keinginannya yang terakhir, tetapi karena ia
berada di bawah disiplin utuh yang berada di antara (status)
murid dan guru, maka ia berangkat ke India. Setiba di
Lahore, ia melihat jenazah Syekh Hasan Zanjani tengah
diusung ke kuburnya. Hujwiri adalah penerusnya, dan untuk
itulah ia menyadari bahwa ia diutus karena alasan ini.
Contoh penggantian guru-guru Sufi yang menjelang kematiannya
dengan mengirim seseorang dari tempat yang sangat jauh
seperti ini bukan sesuatu yang aneh dalam sejarah
darwis.
Hujwiri tidak mendirikan sebuah Tarekat, tetapi tetap
sebagai seorang guru secara umum. Namanya termasuk dalam
daftar guru-guru dengan barakah-nya yang memancar ke seluruh
komunitas darwis, tanpa melihat masa di mana dia hidup.
Setelah meninggal, diyakini bahwa kewibawaannya tetap hidup
di bumi, sebab kesempurnaannya telah mencapai tingkatan
sedemikian rupa sehingga kematian lahiriah tidak
memusnahkannya.
Tarekat-tarekat Sufi mungkin diorganisir dalam suatu
bentuk kependetaan. Di sisi lain, "biara" atau
madzhab Sufi mungkin terdiri dari suatu mata rantai
orang-orang dan kegiatan yang menyebar di kawasan yang luas
dan tidak terlihat oleh orang luar. Oleh karena itu ada
Tarekat-tarekat --dan khususnya cabangcabang Tarekat--
dengan beberapa anggotanya berada di India, yang lain di
Afrika, sebagian lagi di Indonesia. Secara kolektif mereka
membentuk organisasi dari madzhab tersebut. Karena para Sufi
meyakini kemungkinan berkomunikasi tanpa kehadiran secara
fisik, maka konsep dari suatu Tarekat yang tersebar seperti
ini lebih mudah diterima oleh Sufi dibandingkan orang-orang
yang terbiasa dengan pandangan-pandangan yang lebih
konvensional tentang masyarakat dan tujuan manusia.
Cabang-cabang Tarekat berupa serikat pekerja, kelompok
pelajar, kesatuan-kesatuan pasukan. Kecuali pada masa yang
lebih modern, jenis kesatuan yang ditunjukkan melalui biara
konvensional. Biara Sufi, yang secara lahiriah serupa dengan
biara Kristiani, Hindu atau Budha, dalam kenyataannya
merupakan produk dari kondisi-kondisi ekonomi dan politis,
bukan sebagai hasil dari suatu kepentingan esoteris. Menurut
para Sufi, "biara merupakan jantung manusia".
Sekali lagi, ungkapan ini sejalan dengan gagasan darwis
bahwa Sufisme merupakan suatu entitas yang berkembang, dan
tidak bisa tetap menjadi satu sistem untuk menurunkan
bentuk-bentuk, betapapun menariknya bentuk tersebut.
Di tempat-tempat di mana bentuk kehidupan feodal masih
berlangsung, karena terikat kepada hasil pertanian,
biara-biara Sufi terus berkembang. Di daerah perkotaan,
pusat-pusat Sufi lebih terkait dengan irama kehidupan kota
dan mendapatkan penghasilan dari toko-toko yang disumbangkan
kepada komunitas atau dari "pajak" pendapatan
anggota-anggota tarekat tersebut.
Jadi, Tarekat Sufi berperan sebagai lembaga masyarakat
yang secara khusus menerima, menggunakan dan menyebarkan
Sufisme. Ia tidak memiliki bentuk tradisional, dan
penampilan lahiriahnya akan tergantung kepada
kondisi-kondisi lokal dan keperluankeperluan
"amal".
Sebuah perusahaan penerbitan Arab adalah sebuah
organisasi Sufi. Di beberapa kawasan, semua pekerja industri
dan pertanian adalah para Sufi. Profesi-profesi tertentu di
beberapa negara didominasi oleh para Sufi. Kelompok-kelompok
para Sufi ini mungkin memandang dirinya sendiri sebagai
Tarekat atau biara, yang terlibat dalam tugas khusus
penerimaan, pemeliharaan dan penyebaran.
Tentu saja faktor sentral Tarekat adalah menghasilkan
sosok manusia pengajar, sebagaimana terlihat dari dakwah
tarekat atau suatu promosi mekanik dalam hubungannya dengan
tingkatan yang tidak bisa diidentifikasi. Para Sufi tidak
mempunyai kubu.
Hal ini bukan berarti bahwa hirarki dari para Sufi tidak
ditentukan dengan baik. Tetapi seorang Sufi dikenal oleh
Sufi lainnya, dan sejauh menyangkut tingkatan, melalui
cara-cara selain dari penampakan lencana. Suatu tingkatan
perkembangan tertentu dari individu, selain harus ditegaskan
oleh seorang guru, dipegang oleh para Sufi dan (hanya) bisa
dilihat oleh orang-orang lain yang telah mencapai tingkatan
serupa.
Di dalam sekolah Tarekat itulah penerimaan awal dan
perkembangan dari calon Sufi terjadi. Tidak seperti
sistem-sistem pengajaran lainnya, tidak ada satu pun bentuk
pengondisian. Calon (Sufi) harus dibiasakan kepada
prinsip-prinsip Tarekat dan sosok guru, tetapi sebelum hal
ini terjadi ia harus diuji. Pengujian tersebut dilakukan
dengan tujuan melepaskan pribadi-pribadi yang tidak sesuai.
Mereka yang mempunyai keinginan untuk menggabungkan dirinya
kepada suatu organisasi atau individu-individu (tertentu)
karena kelemahan mereka sendiri, akan tertolak. Orang-orang
yang telah tertarik kepada reputasi para Sufi dan ingin
meraih kekuatan-kekuatan ajaib akan tersisih. Tugas-tugas
awal yang diberikan kepada seorang calon anggota memiliki
dua fungsi utama --pertama adalah menentukan kesesuaiannya,
kedua adalah memperlihatkan kepadanya bahwa dia harus
menginginkan kehidupan Sufi untuk kepentingan kesufian itu
sendiri.
Seorang guru yang bertanggung jawab atas calon darwis
seringkali melakukan apa saja yang dia mampu untuk
menghalanginya --bukan dengan cara persuasi, tetapi dengan
memainkan suatu peran yang mungkin tampak memantulkan cacat
dirinya sendiri. Para Sufi yakin bahwa hanya dengan
cara-cara ini mereka bisa berkomunikasi dengan esensi yang
menunggu untuk dibangkitkan oleh dorongan hati Sufi.
Komunikasi formal dengan kepribadian lahiriah dari calon
Sufi tidaklah penting. Ketika jiwa belum mampu menangkap
Sufisme secara koheren, sang Sufi tidak akan berusaha
membujuknya. Ia harus berkomunikasi dengan kedalaman yang
lebih besar. Orang-orang yang bisa diyakinkan melalui
cara-cara konvensional tentang arti penting Sufisme ini,
tidak akan menjadi pengikut yang murni.
Banyak laporan-laporan tentang perilaku para Sufi yang
konyol dan tidak bisa diterima berasal dari pelaksanaan
rencana-rencana semacam ini.
Banyak dari Tarekat-tarekat besar telah diberi julukan.
Tarekat ar-Rifa'iyah disebut "Para Darwis yang
Meraung"; al-Qalandariyah disebut "Gundul";
al-Chisytiyah disebut "Para Musisi"; al-Mevlevi
disebut "Tari", dan Tarekat Nagsyabandiyah disebut
"Diam".
Tarekat-tarekat ini umumnya dinamakan sesuai dengan nama
pendiri dari spesialisasi yang mereka wakili. Sebagai
contoh, Rumi mengorganisir "tarian-tarian" sesuai
dengan apa yang ia pandang menjadi cara terbaik untuk
mengembangkan pengalaman-pengalaman Sufistik bagi
murid-muridnya. Sebagaimana tercantum dalam catatan-catatan
kuno, tarian-tarian itu sesuai dengan mentalitas dan
temperamen orang-orang Konia. Para peniru telah berupaya
mengekspor sistem tersebut ke luar daerah budayanya,
akibatnya tarian-tarian tersebut tidak ubahnya seperti
sebuah pantomim dan pengaruh asli dari gerakannya telah
hilang.
Gerakan-gerakan ritmis (dan tidak ritmis) yang disebut
tarian digunakan banyak Tarekat dan selalu merespon
kebutuhan-kebutuhan individual dan kelompok. Dengan demikian
gerakan-gerakan Sufi tidak bisa dilakukan, dan tidak
membentuk apa yang di mana saja disebut tarian, senam atau
semacamnya. Penggunaan gerakan-gerakan mengikuti suatu pola
yang didasarkan kepada penemuan-penemuan dan pengetahuan
tertentu yang hanya bisa diterapkan oleh seorang
mursyid/guru dari sebuah Tarekat darwis.
Tampaknya tarian-tarian keagamaan yang dikenal dalam
Kristiani, Yudaisme dan bahkan suku-suku primitif merupakan
suatu kemerosotan dari pengetahuan ini dan akhirnya ditekan
menjadi hiburan, berbentuk magis atau bentuk-bentuk yang
superfisial.
"Jika pisau cukur tidak digunakan mencukur jenggot
setiap hari," ucap penyair Sufi terkenal, Jami',
"maka dengan pertumbuhan yang lebih cepat jenggot
cenderung lebat seperti rambut di kepala." (Baharistan
--Peraduan Musim Semi).
Tarekat darwis mungkin bisa dilihat sebagai sebuah
organisasi dengan sejumlah aturan minimum. Seperti
perhimpunan lainnya yang mempunyai suatu tujuan,
aturan-aturan Tarekat akan berakhir ketika tujuan telah
tercapai.
Diagram-diagram skematis yang dipergunakan oleh
Tarekat-tarekat tersebut bisa membantu menjelaskan gagasan
ini. Lingkaran rantai dari Tarekat-tarekat itu
memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok tersebut berasal
dari madzhab-madzhab yang dikelilingi guru-guru tertentu.
Madzhab-madzhab ini mengambil inspirasi dari majelis pribadi
Muhammad (saw) dan para sahabat dekatnya. Oleh karena itu,
dalam sebuah peta geometrik semacam ini, pusat (diagram)
memperlihatkan sahabat-sahabat Abu Bakar, Ali dan Abdul Aziz
al-Makki dalam sebuah lingkaran. Di sekeliling lingkaran ini
ada tujuh lingkaran lebih kecil, masing-masing lingkaran
berisi nama dari seorang guru besar. Tujuh Jalan utama
Sufisme dan spesialisasi-spesialisasi pengajaran memancar
dari pribadi-pribadi ini.
Semua Tarekat darwis mengklaim mendapatkan barakah dari
salah satu atau beberapa guru ini. Harus diingat bahwa
karena Sufisme tidak statis, maka semua barakah para pendiri
Tarekat-tarekat tersebut diyakini merembes semua
Tarekat-tarekat tersebut.
Bentuk pusaran dan lingkaran-lingkaran yang saling
terangkai tersebut menunjukkan kesaling-ketergantungan dan
gerakan ini. Dalam puisi, para pengarang seperti Rumi telah
menekankan hal ini dengan menyatakan: "Ketika engkau
melihat dua orang Sufi bersama-sama, engkau melihat keduanya
dan dua puluh ribu lainnya."
Tujuan organisasi temporer yang disebut Tarekat dan
disetujui oleh semua guru itu adalah menyediakan lingkungan
dimana anggota bisa mencapai kemantapan batin yang bisa
dibandingkan atau identik dengan keadaan batin para guru
awal.
Dorongan untuk menciptakan suatu Tarekat dengan
menggunakan sekelompok kata-kata dan dipilih untuk
menggambarkan kegiatan-kegiatan atau karakteristik tarekat,
sangat jelas. Semua anggota tahu bahwa format tersebut bukan
bersifat mistik, tetapi berubah-ubah. Akibatnya, mereka
tidak bisa terikat secara emosional kepada lambang-lambang
Tarekat. Dengan demikian pemusatan perhatian diarahkan pada
rantai penyampaian (hubungan dengan substansi
individu-individu). Kemudian, karena diyakini bahwa
"Insan Kamil" adalah suatu individualitas sejati
dan sekaligus suatu bagian menyeluruh dari kesatuan
esensial, maka Sufi tidak mungkin melekatkan dirinya kepada
satu personalitas semata. Sejak awal ia mengetahui bahwa
kekuatan-kekuatan batinnya sedang dibimbing dari satu
tahapan ke tahapan berikutnya. Oleh karena itu, dalam
tarekat-tarekat darwis yang menjalankan kesalehan ketat, ada
serangkaian kemajuan baku melalui satu individu.
Pertama-tama murid harus melekatkan dirinya kepada guru.
Ketika ia mungkin telah mencapai perkembangan maksimal, guru
akan memindahkannya pada realitas pendiri Tarekat. Dari sini
ia memindahkan kesadarannya kepada substansi
("kaki") Muhammad, perintis ajaran (Tarekat) dalam
bentuk kontemporer. Dari sini ia dipindahkan kepada realitas
Tuhan. Ada cara-cara lain dengan penerapan yang bergantung
pada karakter sekolah dan terutama kualitas-kualitas
kepribadian yang terkait. Dalam beberapa latihan, murid
harus membenamkan dirinya sendiri dalam kesadaran para guru
lainnya, termasuk Yesus dan lain-lainnya, yang dipandang
oleh para Sufi sebagai anggota mereka.
Salah satu tujuan ziarah ke makam-makam atau bekas tempat
tinggal guru adalah untuk melakukan hubungan dengan realitas
atau substansi ini. Dalam ungkapan netral bisa dikatakan
bahwa para Sufi meyakini, aktivitas Sufistik dalam
menghasilkan seorang Insan Kamil mengakumulasi suatu
kekuatan (substansi) sehingga ia sendiri mampu melakukan
proses pengubahan individu yang lebih kecil. Hal ini tidak
perlu dirancukan dengan gagasan tentang kekuatan magis
tersebut, karena kekuatan yang ditempa sang Salik itu hanya
akan bekerja bila didasarkan pada niat yang murni dan dia
terbebas dari keakuannya. Kemudian ia akan bertindak dengan
caranya sendiri, bukan dengan cara yang bisa diantisipasi
oleh sang Salik. Lantaran telah melewati jalan tersebut
sebelumnya, hanya gurunya yang bisa menilai akibat apakah
yang akan ditimbulkan dari pengungkapan (tersingkapnya
tabir) semacam ini.
Di dalam tarekat-tarekat tersebut, ketika murid telah
diterima untuk mendapatkan pelatihan di bawah seorang
mursyid, ia harus dipersiapkan untuk menghadapi
pengalaman-pengalaman yang tidak mampu dimengerti oleh
jiwanya yang belum tercerahkan.3
Proses yang mengikuti pengondisian atau pemikiran otomatis,
disebut sebagai "pengaktifan hal-hal yang
pelik".
Tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris
untuk istilah teknis "kepelikan" itu. Kata asalnya
adalah lathifah (jamak: lathaif). Kata ini diterjemahkan
dengan "titik kesucian", "tempat
pencerahan", "pusat realitas". Dalam rangka
mengaktifkan unsur ini, maka suatu keadaan yang bersifat
fisik teoritis ditetapkan dalam tubuh --umumnya dipandang
sebagai pusat dimana kekuatan atau barakah terbukti paling
kuat. Secara teoritis lathifah dipandang sebagai "suatu
organ baru dari persepsi spiritual".
Akar kata dalam bahasa Arabnya berasal dari tiga akar
kata LThF. Dari akar kata ini, istilah-istilah yang
dipergunakan dalam bahasa Arab meliputi konsep-konsep
kepelikan, kehalusan, keramahan, karunia atau kerelaan,
kesamaran. Oleh karena itu, dalam ungkapan "seks yang
lembut," kata yang diterjemahkan dengan "yang
lembut" dalam bahasa Arabnya diambil dari akar kata
ini.
Murid harus membangkitkan lima lathaif, menerima
pencerahan melalui lima dari tujuh pusat komunikasi yang
halus. Dengan dipimpin oleh pembimbing (Syekh), metode ini
bertujuan memusatkan kesadaran pada kawasan tertentu dari
tubuh dan kepala, masing-masing kawasan dihubungkan dengan
fakultas-fakultas lathifah.
Karena setiap lathifah diaktifkan melalui
latihan-latihan, kesadaran murid berubah untuk menampung
kemampuan jiwanya yang lebih besar. Ia menembus kebutaan
yang membuat orang awam tertawan dalam kehidupan dan
seolah-olah hal itu tampak sebagai sesuatu yang wajar.
Oleh karena itu, dalam beberapa hal, pengaktifan
pusat-pusat lathifah tersebut menghasilkan suatu sosok
manusia baru. Untuk pembaca yang secara tidak sadar
mengaitkan sistem ini dengan sistem-sistem lainnya yang
mungkin menyerupainya, kita harus mencatat bahwa pengaktifan
lathaif tersebut hanyalah satu bagian dari suatu
perkembangan yang sangat komprehensif dan tidak bisa
dilaksanakan sebagai suatu kajian individual.
Lima pusat tersebut dinamakan Hati, Ruh, Rahasia,
Misterius dan Yang Sangat Tersembunyi. Tanpa membicarakan
secara ketat suatu lathifah sama sekali, hal lain adalah
Diri yang tersusun dari suatu kumpulan
"diri-diri". Inilah keseluruhan dari apa yang oleh
orang-orang dipandang sebagai kepribadian. Hal ini ditandai
dengan serangkaian rasa dan kepribadian yang berubah-ubah
dengan kecepatan gerak yang memberikan kesan kepada
seseorang bahwa kesadarannya konstan atau merupakan suatu
kesatuan. Padahal tidak demikian.
Kepelikan ketujuh hanya bisa dipahami oleh mereka yang
telah mengembangkan kepelikan-kepelikan
(kesamaran-kesamaran) lainnya dan menjadi milik seorang arif
sejati, pemegang dan penyampai ajaran.
Pencerahan atau pengaktifan salah satu atau lebih dari
pusat-pusat lathifah tersebut mungkin terjadi secara parsial
atau aksidental. Ketika hal ini teijadi, pada suatu waktu
seseorang mungkin mencapai suatu pendalaman pengetahuan
intuitif berkaitan dengan lathifah yang terlibat. Tetapi
jika hal ini bukan suatu bagian dari perkembangan
komprehensif, maka jiwa akan mencoba secara sia-sia untuk
menyeimbangkan dirinya sendiri di sekitar "piala
agung" ini, suatu tugas yang mustahil. Akibatnya bisa
sangat berbahaya, seperti semua fenomena mental satu-sisi,
dan meliputi anggapan-anggapan yang berlebihan tentang arti
penting diri (ujub), munculnya sifat-sifat tercela, atau
suatu pembusukan kesadaran karena membanggakan suatu
kemampuan.
Latihan-latihan pernafasan atau gerakan-gerakan tari yang
dilakukan dengan runtutan yang tepat juga bisa menghasilkan
dampak yang sama.
Perkembangan yang timpang akan menghasilkan orang-orang
yang mungkin mempunyai ilusi bahwa mereka adalah orang yang
tercerahkan atau arif Akibat kekuatan inheren dari lathifah,
orang semacam ini mungkin hidup di masyarakat luas dan
menjadi panutan. Dalam diagnosa Sufi, tipe kepribadian
seperti ini menyebabkan munculnya sejumlah besar guru-guru
metafisika palsu. Tentu saja mereka sendiri merasa bahwa
mereka asli. Ini karena kebiasaan menipu diri sendiri atau
memperdaya orang lain belum dihilangkan. Justru kebiasaan
tersebut didukung dan diperkuat oleh kebangkitan organ baru
yang belum terarahkan, yakni lathifah.
Kawasan-kawasan yang terlibat dalam pengaktifan lathifah
adalah: Diri (nafsu/hawa), di bawah pusar; Hati, tempatnya
hati lahiriah; Ruh, pada sisi tubuh yang berhadapan dengan
posisi hati. Rahasia lathifah tepat berada di antara Hati
dan Ruh. Misteri berada di dahi; Yang Sangat Tersembunyi
berada di otak.
Makna-makna aktual dari tempat-tempat ini berasal dari
suatu realisasi khusus Sufi ketika lathifah yang dimaksud
sedang diaktifkan. Ini hanyalah awal kajian sehingga mereka
diberi tempat-tempat ini.
Di sekolah-sekolah darwis, ada hubungan dialogis khusus
antara guru dan pelajar --sesuatu yang tidak mungkin terjadi
kecuali ada seorang guru sejati yang hadir dalam komunitas
tersebut, dan sampai pada kondisi-kondisi tertentu telah
siap untuk komunikasi tersebut. Tentu saja dalam hal ini
Sufisme berbeda dengan filsafat atau suatu praktik yang bisa
dipelajari melalui tangan kedua.
Pertukaran khusus ini meliputi teknik-teknik yang disebut
tajalli (penampakan). Tajalli mempengaruhi setiap orang
meskipun hanya sedikit orang yang bisa memahaminya. Sebagai
contoh, seseorang mungkin melihat bahwa dirinya
"beruntung" atau "melakukan hal yang
benar" atau ia "tidak salah langkah". Ini
mungkin merupakan akibat aksidental dari tajalli. Karena
tidak menyadari sumber fenomena tersebut, seseorang akan
menisbatkan penyebabnya kepada sesuatu yang lain, katakanlah
"nasib baik". Ia merasa senang karena seseorang
memujinya atau karena gajinya naik. Semua ini merupakan
alasan, rasionalisasi. Ini juga merupakan bentuk tajalli
yang sia-sia, sebab operasinya mempunyai kandungan nilai dan
bahkan manfaat yang melebihi manfaat-manfaat sekunder yang
bisa menghangatkan hati dari penerima yang tidak
menyadarinya. Akan tetapi karena tidak menyadari
mekanismenya, ia tidak bisa melangkah lebih jauh dalam
mendapatkan manfaat-manfaat tajalli.
Kondisi ekstatik (fana'), ketika manusia merasa
dirinya menyatu dengan penciptaan, atau Pencipta, terpesona,
sesuatu seperti rasa mabuk; ketika ia merasa telah memasuki
surga; ketika semua rasa saling berganti atau menjadi satu
--semua ini menyebabkan ketidakmampuan untuk menerima dan
berpartisipasi dalam tajalli. Apa yang dianggap oleh
individu sebagai suatu berkah sebenarnya merupakan meluapnya
kemampuan. Ini seperti tumpahan cahaya yang dipancarkan pada
mata seseorang sampai akhirnya ia buta. Ia mempunyai
kemuliaan dan mengalami keterpesonaan. Tetapi ini tidak
berguna, sebab ia menyilaukan.
Ada tahapan yang lebih lanjut, ketika kebutaan telah
dihilangkan, dan ketika kepribadian berada dalam
ketergantungan penuh dan cukup siap menerima tajalli.
Kemudian ada ilusi tajalli, kadang-kadang berupa kepekaan
rasa (kemampuan merasakan sesuatu sebelum terjadi),
kadang-kadang berupa suatu refleksi yang berguna untuk
kreativitas artistik atau kepuasaan diri, tetapi bagi
seorang Sufi, ia merupakan suatu keadaan khayal. Hal ini
mudah ditengarai, karena keadaan seperti ini tidak disertai
dengan suatu akses pengetahuan. Keadaan ini mengaburkan
keadaan sejati, karena semata-mata memberikan suatu sensasi
pengetahuan atau kepuasan. Dalam pandangan ini, ia
menyerupai suatu impian, dalam mana sebuah keinginan terasa
terpenuhi, dengan demikian memungkinkan pemimpi yang gelisah
tersebut melanjutkan tidurnya. Jika ia tidak memperoleh
suatu hasil yang menggembirakan dari pikirannya sendiri
dalam mengatasi masalahnya, maka ia akan terbangun dan
menunda istirahatnya.
Tajalli palsu yang dialami oleh mereka yang tidak membawa
perkembangannya kepada suatu cara yang seimbang, mungkin
menimbulkan suatu keyakinan bahwa hal itu merupakan suatu
keadaan mistis sejati, terutama jika terbukti bahwa
kemampuan-kemampuan supranatural terlihat aktif dalam
kondisi ini. Para Sufi memilah antara pengalaman ini dan
pengalaman sejati melalui dua cara. Pertama, guru akan
langsung mengenali keadaan palsu tersebut. Kedua, sebagai
suatu masalah penyelidikan diri (muhasabah), ia selalu bisa
ditengarai bahwa pencapaian-pencapaian persepsi itu tidaklah
mengandung nilai kepastian. Sebagai contoh, mungkin ada
suatu akses intuisi. Mungkin seseorang mengetahui perihal
seseorang --membaca pikiran adalah suatu contoh. Tetapi
fungsi aktualnya, nilai dari kemampuan membaca pikiran
adalah tidak ada. Orang yang menderita karena tajalli palsu
akan mampu menceritakan fakta tertentu atau seringkali fakta
tentang orang lain yang menandakan kemampuan menembus
batas-batas ruang dan waktu. Pengujian tajalli terhadap
orang yang tidak bisa mengenali secara langsung apakah
asalnya ia merupakan persepsi "supranatural"
disertai oleh suatu peningkatan pengetahuan intuitif secara
permanen --sebagai contoh, melihat segala sesuatu sebagai
satu keseluruhan, atau mengetahui jalan yang akan diambil
untuk pengembangan-dirinya, atau jalan yang sesuai bagi
orang lain, atau melakukan "keanehan-keanehan".
Abdul Qadir al-Jilani menjelaskan bahwa keajaiban-keajaiban
yang seringkali diceritakan para Sufi itu, tidak disebabkan
oleh suatu jenis kekuatan sebagaimana dipahami secara umum:
"Ketika engkau memperoleh pengetahuan Ilahiyah, maka
engkau akan menyatu dengan kehendak Tuhan (sehingga) esensi
keabadianmu tidak menerima hal-hal lainnya ... Orang-orang
akan menisbatkan keajaiban-keajaiban kepadamu.
Keajaiban-keajaiban itu seolah-olah berasal darimu, tetapi
asal-usul dan kehendak tersebut adalah milik Tuhan."
(Muqalah VI dari kitab Futuh al-Ghayb).
Seperti cabang-cabang lain dari tindakan Sufi, banyak
hal-hal lainnya yang tidak dikatakan dan ditulis tentang
kepelikan-kepelikan tajalli tersebut. Ini semua hanyalah
berperan sebagai petunjuk, dan bisa jadi sama sekali keliru
jika diterapkan tanpa memperhatikan kondisi-kondisi yang
berlaku. Bagi Sufi, setiap situasi adalah unik dan tidak ada
buku pegangan sebagaimana dipahami secara umum.
Di samping kesalahan yang bisa menghalangi sebagian besar
orang dari apa yang mereka anggap sebagai suatu penyelidikan
tentang pencerahan Sufi, praktik pengaktifan lathaif adalah
sangat mendasar jika kemajuan (spiritual) yang sesungguhnya
ingin dicapai. Guru sejati adalah guru yang mampu mendidik
murid-muridnya dengan cara sedemikian rupa, sehingga
kebangkitan dari kepelikan-kepelikan itu terjadi secara
bersamaan dan sesuai dengan kemampuan individu. Pepatah
mengatakan, "Berilah sebuah manisan kepada seorang
anak, maka ia akan bahagia. Berilah ia sekotak besar
manisan, maka ia akan sakit."
Dalam tahapan pengaktifan lathaif, murid pertama-tama
harus mengenali pengaruh-pengaruh Diri terhadap
kepribadiannya. Hal ini merupakan sesuatu yang diperkenalkan
oleh gurunya. Maka dari itu, hampir sejajar tetapi sedikit
di belakang perkembangan ini, ia mendapatkan pengaktifan
lathaif-nya yang didorong oleh upaya-upaya sang guru. Ini
merupakan sesuatu yang tidak bisa dia mulai sendiri jika
ingin berhasil.
Pengalaman Sufistik pertamanya akan terkait dengan
pencerahan salah satu lathaif-nya. Sebelum tahapan tersebut
dicapai, ia akan menemukan bahwa ia harus mengupayakannya
sendiri di wilayah kepribadian. Jika ia terlalu banyak dan
lama memusatkan perhatian pada masalah ke-Diri-an itu, maka
guru akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam
membangkitkan pencerahan lathifah. Dalam berbagai komunikasi
dimana faktor ini tidak dipahami secara tepat,
memperjuangkan diri menjadi hampir segalanya dan tujuan
akhir upayanya. Keterpikatan terhadap guru tetap kuat dan
pembebasan kepribadian tidak bisa dihasilkan.
Dalam bidang inilah dibandingkan bidang lainnya bahwa
para okultis dan sekolah-sekolah yang terpilah-pilah, maupun
orang-orang yang mencoba-coba secara mandiri, hanya akan
menuju pada sistem-sistem pembiakan-diri bagi
perjuangan-diri, tanpa memperoleh manfaat dari pengalaman
itu, yaitu tajalli yang akan menunjukkan kepadanya bahwa
mereka mampu mencapai perkembangan yang mereka cari. Dalam
menerima seorang murid, guru selalu berhati-hati untuk
meyakinkan dirinya sendiri bahwa (calon) murid tersebut
memiliki kemampuan untuk maju melalui pemusatan-diri menuju
pelepasan lathifah.
Secara umum, doktrin-doktrin Sufi dikaji dan sekaligus
diamalkan secara kolektif dalam Tarekat-tarekat darwis. Ini
berarti bahwa harus ada keseimbangan antara penyajian
intelektual dan pemahaman suatu doktrin serta penerapannya.
Selain itu harus ada keseimbangan antara serangkaian
pemikiran dan pernikiran lainnya. Konsentrasi sebagai suatu
metode melakukan latihan adalah satu hal; tetapi ia harus
disesuaikan dengan penyerapan benturan-benturan pasif
Bagaimana cara melakukannya adalah suatu bagian yang intim
dan metodologi Tarekat-tarekat darwis sangat efektif.
Beberapa Tarekat mengkhususkan variasi teknik tertentu.
Ketika seorang murid telah dibawa sejauh mungkin ke dalam
sekolah dari sebuah Tarekat, dia mungkin dikirim ke
(sekolah) lainnya untuk memberikan unsur-unsur spesifik
kepadanya dari sekolah tersebut. Hal ini juga harus
dilakukan dengan sangat hati-hati, sebab pasti akan ada
suatu perkembangan satu-sisi. Jika kemampuan-kemampuan
tertentu ingin dikembangkan, maka hal ini harus dilakukan
dengan cara sedemikian rupa untuk memberi peluang bagi
perkembangan yang benar dan sejajar pada masa berikutnya di
sekolah lainnya.
Di antara spesifikasi-spesifikasi dari sekolah-sekolah
tersebut adalah latihan qiff (berhenti/diam), yaitu ketika
seorang guru memberi aba-aba, "Berhenti!" dan
semua gerak fisik dihentikan sampai dia membolehkan para
murid untuk istirahat. Latihan tersebut diterapkan oleh para
guru Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai Latihan Rahasia
Kesembilan dari Tarekat ini, dan menjadi suatu metode yang
terbukti efektif untuk menembus jaringan pemikiran asosiatif
serta memungkinkan terjadinya penyampaian barakah.
Suasana dalam sebuah sekolah Tarekat darwis bisa
dirasakan melalui pernyataan di bawah ini sebagai wahana
lahiriah dari kuliah pendahuluan oleh Syekh al-Masyaikh,
yang ditujukan kepada sejumlah calon (murid) untuk memasuki
Tarekat Azhamiyah baru-baru ini:
"Tujuan para Sufi adalah menjernihkan diri mereka
sampai pada tingkatan tertentu sehingga mereka memperoleh
pencerahan (anwar) dari apa yang kita sebut sebagai beberapa
sifat Tuhan, atau Nama-nama Indah (Asma'ul-Husna).
Tidak ada Sufi yang bisa menjadi bagian dari 'Susunan
Tuhan' melalui pemurnian puncak semacam ini. Tetapi
hanya dengan cara menghilangkan penderitaan material itu,
dia bisa menghidupkan esensi sejatinya, apa yang bisa kita
sebut sebagai ruh."
"Perhatianmu tergugah oleh anekdot yang diceritakan
Allamah Sanai, dalam kitabnya Taman Kebenaran Berdinding.
Dalam kitab ini ia menunjukkan bahwa persepsi agama yang
dangkal tidaklah tepat, maka ketika aku berbicara tentang
Tuhan, Ruh dan lainnya, engkau harus mengingat bahwa semua
itu adalah hal-ihwal, sebagaimana ditekankan oleh Ibnu
Arabi, yang tidak mempunyai kaitan secara tepat denganmu,
dan yang harus dipahami, bukan semata-mata disebut dan
dikaitkan dengan emosionalisme."
"Al-Allamah Sanai berkata:
'Seorang arif pernah bertanya kepada seorang yang
(belum) tercerahkan, karena melihat ia mudah menerima
asumsi-asumsi yang dangkal, 'Apakah engkau pernah
melihat kunyit, atau hanya mendengarnya?'
Ia menjawab, 'Aku telah melihatnya, aku telah
memakannya lebih ratusan kali (dalam nasi kuning).'
Allamah tersebut berkata, 'Baiklah! Tetapi apakah
engkau tahu bahwa ia tumbuh dari sebuah biji? Bisakah engkau
melanjutkan untuk berbicara seperti ini? Apakah orang yang
tidak mengetahui tentang dirinya sendiri bisa mengetahui
jiwa orang lain? Ia yang (hanya) tahu tentang tangan dan
kaki, begaimana ia bisa mengetahui ketuhanan? ... Ketika
engkau mengalami (sendiri), maka engkau akan mengetahui
makna keimanan ... Keilmuan secara keseluruhan telah salah
arah'."
"Selanjutnya, karena banyak perkembangan (rasional)
telah merendahkan kilatan batin (ruh) dari sang Salik dan
dengan demikian menghalangi kemajuannya menuju kesempurnaan.
Untuk mengurangi perkembangan-perkembangan ini,
latihan-latihan tertentu harus dilakukan. Latihan-latihan
tersebut harus sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang Salik.
Bagaimana melakukan latihan ini secara tepat bergantung pada
amalan dan pengetahuan dari seorang Pembimbing Khusus
(mursyid, pir). Sebagian orang mempunyai kesan bahwa
pencerahan ini bisa dicapai oleh seorang Salik dengan
membaca kitab-kitab Tasawuf dan mempraktikkannya sendiri.
Secara teoritis hal ini tidak kuat dan juga tidak dikenal
dalam pengalaman mistik, jauh berbeda dari pengetahuan batin
kami tentang kepalsuannya. Seorang mursyid tentu saja sangat
penting."
"Istilah-istilah tertentu harus diperhatikan. Nafs
dalam terminologi Sufi bermakna ego sekaligus
'nafas'. Bagaimana cara menggunakan kata tersebut
adalah penting untuk diketahui dan dicapai dengan
memperhatikan penerapannya dalam kenyataan aktual, bukan
dengan membaca kamus semata. Sering dikatakan bahwa nafs
al-ammarah (diri yang selalu memerintah) harus ditundukkan.
Ini mungkin bermakna bahwa keinginan-keinginan serta
sikap-sikap mental dan fisik tertentu harus dilihat untuk
apa semua itu dan diperlakukan dengan selayaknya. Dalam
penggunaan ini, kata tersebut terlihat bermakna diri atau
ego. Dalam penggunaan lain, kata tersebut benar-benar
berarti nafas. Sebagai contoh, dalam latihan yang dikenal
dengan habs-i-dam, ia berarti 'penahanan
pernafasan' di bawah pengawasan ketat seorang Mursyid
yang menggunakan latihan ini untuk tujuan khusus dan
terbatas."
"Kata bai'at berarti mengambil sumpah, ikrar,
dan menandakan suatu peristiwa ketika seorang Salik
meletakkan tangannya di antara tangan dari seorang
Pembimbing Spiritual untuk melakukan ikrar ganda. Di pihak
murid, mengikat dirinya untuk mencari Jalan yang ditunjukkan
oleh pembimbing. Di pihaknya sendiri, berusaha membimbing
sang Salik di Jalan tersebut. Ini merupakan saat yang
khusus, khidmat dan penuh makna. Ada suatu interaksi ganda
yang saling terkait dalam perjanjian tersebut, suatu
hubungan berdasar perjanjian yang diresmikan melalui
bai'at ini. Dalam konjungtur inilah seorang Salik
diperbolehkan menyebut dirinya sendiri sebagai murid (orang
yang berkehendak mencari), Orang yang Terarahkan."
"Istilah muraqibah meliputi bentuk-bentuk
konsentrasi. Di dalamnya murid berusaha keras untuk
menghilangkan pikiran-pikiran tertentu dari jiwanya dan
memusatkan pada hal-hal yang akan memungkinkan pencerahannya
dan meletakkan dasar kemantapan pribadinya. Istilah tersebut
juga berkaitan dengan sikap duduk dengan kepala menunduk,
dagu di lutut, suatu sosok Sufi yang benar."
"Kata dzikir secara harfiah berarti pengulangan atau
bacaan. Kata ini menjelaskan tindakan dari seorang murid
yang mengulang-ulang bacaan sebanyak yang telah ditentukan
oleh mursyidnya. Dalam pengertian lain, ia juga disebut
wirid."
"Istilah teknis tajalli, pencerahan, maupun nur
(jamak: anwar) dihubungkan dengan proses pengaktifan menuju
realitas independen melalui kekuatan yang terkandung dalam
kekuatan Cinta. Dalam proses ini kita bekerja dengan
Nama-nama yang Indah (Asmaul Husna). Meskipun secara umum
dipandang berjumlah sembilan puluh sembilan, sesuai dengan
jumlah biji tasbih Sufi, dalam pengertian ini nama-nama
tersebut tidak terbatas. Dalam 'amalan' aktif,
nama-nama tersebut pertama-tama terbatas pada nama-nama yang
diperlukan untuk membantu mengaktifkan organ-organ persepsi
dan komunikasi yang khusus."
"Tidak ada artinya sama sekali mengaktifkan
organ-organ baru yang khusus bagi persepsi dan komunikasi
kecuali jika pada saat yang sama individu tersebut mampu
menyadari tentang apa yang dikomunikasikan, kepada siapa,
dan mengapa. Peningkatan komunikasi dalam dirinya sendiri
paling jauh terbatas pada bidang-bidang yang dimiliknya --di
kalangan para intelektual yang menganggap bahwa mereka
memiliki sesuatu untuk disampaikan. Sementara bagi kita
sendiri, metode-metode masa kini sudah memadai untuk
tujuan-tujuan biasa."
"Kata qalb (hati) mungkin bisa dipandang sebagai
suatu lokalisasi anatomis dari organ yang harus
dibangkitkan. Posisinya terletak di detak jantung fisikal
yang biasanya ditentukan di dada kiri. Dalam kepercayaan dan
amalan Sufi, organ ini dipandang sebagai tempat dari
penglihatan batin utama dan awal yang terlibat dalam
'pencarian' dan 'kerja'."
"Pencerahan total terhadap organ ini dan organ-organ
lainnya mendahului walayat al-Kubra (kewalian utama) sebagai
tujuan Sufi dan sesuai dengan pencerahan dalam sistem-sistem
lainnya. Pada tahapan ini ada kekuatan-kekuatan tertentu
yang tampaknya mengendalikan fenomena alamiah. Harus diingat
bahwa kekuatan-kekuatan ajaib tersebut berkaitan dengan
suatu bidang dimana kekuatan-kekuatan tersebut menyatu dan
bermakna dan tidak bisa diuji dari sudut pandang
'penjual-mantra'."
"Penyatuan yang dicapai Sufi itu disebut fana'
(peleburan, peniadaan). Pelumpuhan diri tidak diperbolehkan
dan pemeliharaan tubuh secara layak adalah
penting."
"Sebelum latihan-latihan berlangsung, baik
Keseimbangan yang Lebih Besar ataupun Keseimbangan yang
Lebih Kecil harus telah dicapai oleh calon Sufi.
Keseimbangan ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa manusia
biasa tidak mampu berkonsentrasi sama sekali, kecuali untuk
periode-periode yang sangat singkat. Dalam kitabnya Fihi Ma
Fahi, Rumi menekankan hal ini, suatu persoalan yang paling
penting dalam semua situasi pengajaran:
Perubahan-perubahan perasaan (dhamir) adalah
milikmu, semua itu tidak terkendali. Jika engkau
mengetahui asal-usulnya, maka engkau pasti mampu
menguasainya. Jika engkau tidak bisa membatasi
perubahan-perubahanmu sendiri, bagaimana engkau bisa
membatasi perubahan-perubahan yang membentukmu?"
"Disamping kandungan formalnya, sejumlah besar puisi
Sufi merujuk pada tingkatan-tingkatan keutuhan atau
kemampuan untuk memusatkan jiwa sehingga bisa menemukan
jalan menuju kebenaran tidak terpecah-pecah. Dalam kitabnya
Kebun Rahasia, ketika Syabistari berbicara tentang suatu
kilatan yang berputar dan hanya memberikan suatu ilusi bahwa
ini membentuk suatu lingkaran cahaya, (sebenarnya) ia tengah
membicarakan pengalaman Sufi yang dikenal oleh semua darwis,
dalam suatu tahapan 'penghimpunan'
tertentu."
Sebagaimana ditegaskan dalam praktik-praktik kerja
Tarekat-tarekat (berbeda dari tarekat-tarekat yang
mengkhususkan pada penyembahan orang suci), darwis percaya
bahwa ada suatu keadaan khusus yang harus diaktifkan. Ini
tidak bersifat emosional, dan bukan intelektual seperti
pengalaman biasa. Rujukan-rujukan pada pencerahan,
penjernihan dan pembedaan berkaitan dengan hal ini. Seorang
darwis menjernihkan kesadarannya sehingga ia bisa menyadari
keadaan-keadaan jiwa dan kondisi-kondisi realitas yang hanya
dimengerti secara lahiriah oleh pikiran awam. Mungkin bisa
dikatakan bahwa biasanya orang memahami pikiran dan emosi
hanya sebagai suatu kuantitas. Segi yang lebih rumit tetapi
sangat mendasar bagi kesempurnaan, yaitu kualitas, sulit
untuk dilatih atau dijelaskan, dan oleh karena itu diabaikan
oleh semua orang dengan memberikan perkiraan-perkiraan
sangat kasar tentang kapasitas keseluruhannya.
Tentu saja persepsi tentang kepelikan-kepelikan yang tak
terbatas ini tidak mungkin bagi orang awam. Seperti seorang
anak kecil yang harus belajar membedakan antara benda-benda
kasar dan halus, maka persepsi manusia yang masih mentah
harus dilatih dalam hubungannya dengan hal ini.
Daya gerak utuh dari Organ Evolusi tersebut hanya akan
bekerja jika sesuatu yang terkait dengan pelepasan telah
dicapai. Hal ini hanya terjadi ketika persiapan-persiapan
pendidikan tertentu telah dilakukan. Sebelum tahapan
perkembangan kesadaran itu, berbagai pengalaman yang tidak
dapat disangkal menandai tahapan-tahapan kemajuan tertentu.
Pengalaman-pengalaman ini memberikan bukti atas kemajuan dan
kekuatan individu untuk melanjutkan pada tahapan berikutnya.
Jika ia tidak menerima pencerahan-pencerahan ini dalam
rentetan yang benar, ia akan tinggal pada suatu tahapan
kesadaran parsial atau kekuatan konsentrasi yang tidak
teratur. Salah satu akibat yang tidak diinginkan dari
perkembangan lanjut seperti ini adalah ketika calon Sufi itu
tidak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap
pengajarnya.
Jika apa yang disebut sebagai Organ Evolusi tersebut
dikembangkan dan bisa bekerja, fungsi-fungsi instink, emosi
dan intelek diubah serta bekerja dalam suatu suasana baru.
Serangkaian pengalaman yang segar dan luas selalu terbuka
bagi darwis.
Berbagai kemungkinan tak terbatas dan mekanisme yang
saling terjalin terlihat dalam hal-hal yang sebelumnya
tampak lamban atau digunakan terbatas. Sebuah contoh darwis
terdapat dalam rujukan pengajaran pada pembolehan
mendengarkan musik. Syibli al-Kubra mengatakan:
"Mendengarkan musik dengan sengaja secara lahiriah
tampak sebagai sesuatu yang merusak; secara batiniah ia
merupakan suatu peringatan. Ketika 'Tanda'
diketahui, maka orang semacam ini mungkin akan menyimak,
karena dia mendengarkan sebuah peringatan. Jika dia tidak
memiliki tanda tersebut (bangkitnya Organ Evolusi), berarti
dia tengah menyerahkan dirinya kepada kemungkinan
bahaya." Sifat sensual musik di sini disebutkan, begitu
pula nilai musik yang semata-mata emosional dan secara
intelektual terbatas. Semua ini berbahaya, sebab mereka
mungkin membawa kepada sensualitas dan karena menghasilkan
suatu selera bagi kegemaran sekunder (terhadap musik; karena
seseorang bisa menikmati musik sebagai musik), maka ia akan
menyelimuti kegunaan musik yang sesungguhnya, yaitu untuk
mengembangkan kesadaran.
Ini merupakan pengertian musik yang bukan saja tidak
dikenal di Barat, tetapi dengan keras disangkal oleh banyak
orang di Timur. Karena kekhususan-kekhususan musik, sebagian
Tarekat darwis, terutama Tarekat Naqsyabandiyah yang kuat
dan sangat mampu beradaptasi, menolak untuk
menggunakannya.
Demikian pula suatu spesialisasi dari sekolah-sekolah
darwis menghargai nilai sejati puisi yang dipergunakan
sebagai suatu latihan mistis. Setiap puisi mempunyai
beberapa fungsi. Sesuai dengan "realitas"-nya, ia
juga akan bermakna bagi Sufi. Dengan landasan-landasan
teologis, semua Sufi memperbolehkan mendengar puisi, sebab
Nabi Muhammad saw memperbolehkannya. Beliau pernah bersabda,
"Sebagian puisi adalah hikmah," dan
"Hikmah itu seperti unta betina milik orang saleh
yang hilang. Kapan saja ia menemukannya, maka dialah yang
paling berhak atasnya." Beliau sebenarnya
menggunakan sebuah rima Arab untuk menegaskan tentang tema
Sufi tentang suatu realitas sempurna yang tidak lain adalah
Tuhan. "Pernyataan Arab yang paling benar terletak pada
rima (ungkapan berirama) dari Labid bahwa 'segala
sesuatu tidak penting kecuali Allah, karena
peristiwa-peristiwa berubah'."
Ketika beliau diminta untuk mengomentari tentang puisi,
Nabi saw menjawab, 'Apa yang baik darinya adalah baik,
dan apa yang buruk darinya adalah buruk. " Ini
merupakan diktum yang diikuti oleh para guru Sufi menyangkut
pembolehan mendengar, membaca atau menulis puisi.
Tetapi, menurut guru besar Hujwiri, puisi secara esensial
harus nyata dan benar. Jika ada kepalsuan dan ketidakbenaran
didalamnya, maka ia akan meracuni pendengar, pembaca, dan
penulisnya dengan kesalahan-kesalahannya itu.
Cara-cara puisi didengarkan dan kemampuan pendengar untuk
mendapatkan manfaat darinya, adalah penting bagi Sufisme.
Para guru darwis tidak akan memperbolehkan jika esensi yang
sesungguhnya dari puisi tersebut bisa diapresiasi oleh
mereka yang tidak dipersiapkan dengan benar untuk
memahaminya secara utuh, meskipun demikian banyak orang yang
mungkin meyakini bahwa dia tengah menggali keutuhan itu
dengan mendengar sebuah puisi.
Hujwiri meneruskan diktum dari sekolah-sekolah darwis itu
bahwa mereka yang terhanyut karena mendengar musik sensual
adalah mereka yang mendengarkan dalam pengertian yang tidak
sejati. Mendengarkan musik atau puisi yang sesungguhnya
adalah suatu pengembangan, karena memberikan suatu jangkauan
pengalaman-pengalaman yang jauh lebih beragam dan bernilai
dibandingkan pengalaman-pengalaman yang bersifat lahiriah
atau ekstatik. Meskipun demikian, dalam konteks kekinian hal
ini hanya bisa diungkapkan dengan suatu pernyataan tegas dan
tidak mudah diverifikasi di luar lingkungan Sufi.
Bagi Sufi, ada empat Perjalanan. Pertama adalah
pencapaian suatu kondisi yang dikenal dengan fana',
kadangkala diterjemahkan sebagai "peniadaan". Ini
merupakan tahapan penyatuan kesadaran dimana Sufi merasakan
harmoni dengan realitas obyektif. Hasil dari kondisi inilah
yang merupakan tujuan dari Tarekat-tarekat darwis. Setelah
ini masih ada tiga tahapan. Niffari, seorang guru besar pada
abad kesepuluh, menggambarkan empat perjalanan tersebut
dalam kitabnya, yaitu Muwaqif yang ditulis di Mesir hampir
seribu tahun yang lalu.
Setelah ia mencapai tahapan fana', Sufi memasuki
perjalanan kedua, di sini ia benar-benar menjadi "Insan
Kamil" dengan kemantapan pengetahuan obyektifnya. Ini
adalah tahapan baqa', permanensi. Sekarang ia bukan
"manusia yang mabuk karena Tuhan", tetapi seorang
guru dengan haknya sendiri. Dia memiliki gelar quthub, pusat
magnetik, "suatu titik dimana semua mengarah
kepadanya".
Dalam Perjalanan Ketiga, guru tersebut menjadi seorang
pembimbing spiritual bagi setiap orang sesuai dengan
individualitas pribadinya. Sementara jenis guru sebelumnya
(pada Perjalanan Kedua) hanya mampu mengajar di dalam wahana
budaya atau agama lokalnya sendiri. Jenis guru ketiga ini
mungkin hadir menjadi berbagai sosok untuk berbagai tipe
manusia. Ia bekerja dalam banyak tingkatan. Namun ia bukan
"segala sesuatu untuk segala manusia" sebagai
bagian dari suatu kebijakan yang terencana. Di sisi lain,
dia bisa memberi manfaat kepada setiap orang sesuai dengan
potensi orang tersebut. Sebaliknya guru dari perjalanan
kedua hanya mampu bekerja dengan orang-orang tertentu.
Dalam Perjalanan Keempat, perjalanan akhir, Insan Kamil
itu membimbing orang lain dalam tahap transisi dari apa yang
secara umum dipandang sebagai kematian fisik, menuju suatu
tahap pengembangan yang lebih jauh dan tidak terlihat oleh
orang awam. Oleh karena itu, bagi darwis, pemisahan yang
terjadi pada kematian fisik konvensional tidak ada. Suatu
komunikasi dan pertukaran yang terus-menerus terjadi antara
dirinya dan bentuk kehidupan berikutnya.
Dalam sebuah komunitas darwis, seperti dalam kehidupan
biasa, pencapaian-pencapaian spiritual dari seorang individu
Sufi mungkin tidak terlihat kecuali bagi mereka yang mampu
memahami pancaran-pancaran (emanasi) dari suatu tataran yang
lebih tinggi sebagai ciri darwis yang sebenarnya.
Tahapan-tahapan inilah yang dirujuk al-Ghazali dalam
karya dasarnya, al-Ihya'. Dia mendekati deskripsi
tentang tahapan-tahapan itu dari sudut pandang relevansi
antara yang satu dengan lainnya dan fungsinya bagi dunia
luar. Menurutnya, ada empat tahapan yang mungkin bisa
dikiaskan dengan buah kenari. Pilihan (biji) kacang ini
secara kebetulan, sebab dalam bahasa Persia, buah kenari
disebut "berbiji empat" yang juga bisa
diterjemahkan dengan "empat esensi" atau
"empat akal". Biji kacang memiliki sebuah
selongsong (kulit), sebuah kulit dalam, sebuah biji (inti)
dan minyak. Selongsong rasanya pahit, berfungsi sebagai
penutup selama periode tertentu. Selongsong ini dibuang
ketika biji dikeluarkan. Kulit dalam lebih bernilai dari
selongsong, tetapi tetap tidak bisa dibandingkan dengan biji
itu sendiri. Sementara biji merupakan tujuan jika seseorang
berusaha memeras minyaknya. Meskipun demikian daging dalam
ini mengandung benda yang dibuang (ampas) untuk menghasilkan
minyak.
Meskipun kitab Niffari termasyhur dan banyak dikaji oleh
para sarjana, penerapan praktis metodenya dan penggunaan
sesungguhnya dari istilah teknis waqfat yang dia gunakan,
tidak bisa dipahami dengan hanya membacanya. Meskipun
istilah waqfat terkait dengan "Jeda Ketuhanan" dan
latihan "Penghentian" yang memungkinkan seseorang
menembus ruang dan waktu, sebenarnya ia merupakan faktor
yang sangat rumit dan hanya secara kasar ditunjukkan oleh
istilah. Sebagai contoh, ia juga memiliki sifat penyinaran
yang menghilangkan kegelapan karena keanekaragaman (wujud)
ini. Keanekaragaman disebabkan oleh pemahaman fenomena
sekunder sebagai fenomena utama, atau melihat pembedaan
(diferensiasi) sebagai perbedaan itu sendiri. Pada
tahapan-tahapan paling awal dari latihan darwis, hal ini
dijelaskan melalui contoh-contoh dan latihan-latihan
sehingga ketika seseorang tengah bekerja dengan konsep
"buah", dia tidak boleh memusatkan dirinya dengan
jenis-jenis buah yang sangat beraneka ragam, tetapi dengan
konsep yang mendasar dari buah tersebut.
Sebuah sekolah darwis, baik yang ada di biara atau di
kedai minum Eropa Barat, mempunyai makna yang sangat
mendasar bagi Sufisme, karena di dalam situasi sekolah
itulah bahan-bahan seperti tulisan-tulisan Niffari dikaji
dan diamalkan sesuai dengan ciri-ciri khas murid dan
kebutuhan-kebutuhan sosial dimana dia bekerja di
dalamnya.
Karena itulah perkembangan Sufi harus mengambil akar
dalam suatu cara tertentu di berbagai masyarakat yang
berbeda-beda. Ia tidak bisa diimpor. Begitu juga
metode-metode amalan yang sesuai dengan Mesir atau Yoga
India abad kesepuluh, tidak bisa bekerja secara efektif di
Barat. Cara-cara tersebut bisa menaturalisasikan dirinya,
tetapi dengan cara mereka sendiri. Pesona misteri dan pesona
Timur yang penuh warna itu selama berabad-abad telah
mengaburkan pikiran Barat tentang kenyataan bahwa
pengembangan manusia itulah yang menjadi tujuan, bukan
tarian-tariannya.
Catatan:
1 Kasyful-Mahjub
(Mengungkap yang Terhijab).
2 John A. Subhan, Sufism,
Its Saints and Shrines, Lucknow, 1938, hlm. 130.
3 Hampir seabad yang
lalu, John P. Brown menerbitkan The Dervishes or Oriental
Spiritualism (1867), yang merupakan periode dimana sangat
sedikit sumber-sumber tentang unsur-unsur aktivitas darwis
yang tersedia di Barat.
|