|
KEAJAIBAN DAN "ILMU SIHIR"
Ibadah menurut
Syah adalah bebas dari kemarahan dan kebaikan,
kekufuran dan ketaatan ...
(Matsnawi, IV)
Seorang penulis ternama, yakni Abdul Hadi, enam abad yang
lalu menulis bahwa pada suatu hari ayahnya bercerita,
"Engkau lahir berkat doa Bahauddin Naqsyabandi yang Agung
dari Bukhara itu, dan memiliki keajaiban luar biasa." Abdul
Hadi tidak memahami "berkat doa" itu, sehingga ia berhasrat
menemui guru Sufi tersebut. Setelah merampungkan segala
persoalan dirinya, ia bertolak dari Syria ke Asia Tengah. Ia
menemui Bahauddin (w. 1389), pemimpin Tarekat
Naqsyabandiyah, sedang duduk bersama para muridnya, kemudian
ia menuturkan bahwa maksud kedatangannya adalah karena ia
sangat ingin mengetahui perihal keajaiban-keajaibannya
(Bahauddin).
Bahauddin berkata, "Ada sebuah makanan yang tidak lazim.
Makanan ini adalah kesan-kesan (naqsh-ha) yang senantiasa
masuk ke dalam (kesadaran) manusia dari berbagai penjuru
lingkungannya. Hanya manusia pilihan yang mengetahui
(maksud) kesan-kesan tersebut dan yang dapat mengarahkannya.
Engkau paham?"
Abdul Hadi tidak memahami perumpamaan itu dan ia tetap
diam.
"Makna dari kesan tersebut merupakan salah satu rahasia
Sufi. Guru Sufi membuat makanan dengan kandungan gizi 'yang
berbeda' untuk para pengikutnya. Hal ini dilakukan untuk
membantu perkembangan dirinya dan berada di luar hukum-hukum
peristiwa yang dapat dinalar. Sekarang mengenai apa yang
engkau sebut keajaiban. Setiap orang yang hadir di sini
telah melihat keajaiban. Arti penting keajaiban itu terletak
pada fungsinya. Mungkin saja keajaiban itu diperlihatkan
sebagai makanan ekstra, mungkin saja terjadi pada pikiran
atau tubuh dengan cara tertentu. Ketika hal ini terjadi,
pengalaman (melihat) keajaiban itu menunjukkan fungsinya
secara murni dan khas pada pikiran. Apabila keajaiban itu
sepenuhnya terjadi sesuai dengan imajinasi ataupun pikiran
sederhana, maka ia akan mendorong suatu kepercayaan tanpa
kritik atau gejolak emosional, atau keinginan untuk melihat
keajaiban lagi, atau hasrat untuk memahaminya, atau suatu
rasa senang yang sebelah mata, bahkan rasa takut dari orang
yang merasa bahwa keajaiban itu sebagai tanggung
jawabnya."
Ia melanjutkan, bahwa keajaiban itu mungkin tidak dapat
dijelaskan secara memuaskan, karena banyak perbedaan cara
memahami yang mengacu perbedaan berpikir, dan setiap orang
berbeda dalam mernahami rantai sebab-akibat.
Hanya Sufi matang yang dapat mengetahui interpretasi yang
benar dari keajaiban tertentu. Keajaiban merupakan suatu
peristiwa yang tak terjelaskan. Berapa banyak interpretasi
yang sudah dilakukan atas suatu keajaiban, namun tidak
selalu gamblang. Ada banyak keajaiban yang terjadi setiap
saat, namun manusia tidak menangkap melalui panca inderanya,
karena keajaiban-keajaiban itu bukan suatu peristiwa yang
mengesankan. Sebagai contoh, apabila mengacu pada teori
kemungkinan, manusia bisa saja meningkat atau merosot
moralnya, serta bisa saja ia memperoleh atau kehilangan
harta-benda, namun semua itu hanya dianggap sebagai
kebetulan semata. Sebenarnya keajaiban pun bersifat
kebetulan, yakni serangkaian hal-ihwal yang terjadi dalam
hubungan antara satu sama lainnya.
"Semua keajaiban itu," kata Naqsyabandi, "mempunyai
fungsi dan fungsinya tetap berjalan, entah keajaiban itu
dipahami atau tidak. Jadi, setiap keajaiban mempunyai sebuah
fungsi obyektif, karena itu keajaiban menimbulkan
kebingungan bagi sementara orang, serta skeptisisme,
ketakutan, kegembiraan dan sebagainya bagi lainnya. Fungsi
keajaiban (yang obyektif) itu adalah menggugah reaksi dan
mengandung gizi, kandungan gizi dalam hal ini beragam sesuai
dengan kapasitas diri manusia. Akan tetapi, keajaiban
merupakan suatu bentuk pengaruh ataupun penilaian
manusia."
Jadi, menurut para Sufi, setiap keajaiban mempunyai
semacam aksi yang beragam terhadap manusia yang (a) tidak
mungkin terjadi kecuali diperlukan dan pada umumnya
berkembang sebagai kejadian insidentil, (b) tidak dapat
diamati atau didefinisikan karena karakternya yang
kompleks.
Sebuah pendapat tipikal tentang keajaiban yang mungkin
merupakan jawaban sementara terkandung dalam sebuah koleksi
ajaran-ajaran Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Sufi
Qadiriyah.
Syekh Umru Usman Sairifini dan Syekh Abdul-Haq Harini
menjelaskan sebagai berikut:
"Pada hari ketiga bulan Safar tahun Burung 555, kami
duduk di hadapan Guru (Sayyid Abdul Qadir) di madrasahnya.
Ia berdiri lalu mengenakan sepasang bakiak (sandal kayu) dan
mengambil wudhu. Arkian, ia mengucapkan dua doa dan
berteriak keras sambil melemparkan sebelah bakiaknya ke
udara, selanjutnya bakiak itu pun lenyap. Dengan teriakan
selanjutnya, Guru melemparkan bakiak yang satunya lagi ke
udara dan ini pun lenyap dari penglihatan kami. Tak seorang
pun yang hadir di situ berani bertanya kepadanya tentang
peristiwa itu.
Tiga puluh hari setelah kejadian tersebut, sebuah kafilah
tiba di Baghdad dari Timur. Para anggotanya mengatakan bahwa
mereka berkeinginan memberi hadiah kepada Guru. Lalu kami
berkonsultasi dengan Guru dan ia mengijinkan kami untuk
menerima hadiah itu. Adapun hadiah yang diberikan para
anggota kafilah itu berupa sutra dan pakaian lainnya serta
sepasang sandal yang serupa dengan sandal yang ia lemparkan
tempo hari. Kemudian mereka bercerita:
'Pada hari ketiga bulan Safar, bertepatan dengan hari
Senin, ketika kami sedang berjalan tiba-tiba ada serangan
dari para penyamun Arab di bawah dua pimpinannya. Para
penyamun itu membunuh beberapa anggota rombongan kami dan
merampas barang barang kami. Kemudian mereka segera masuk ke
hutan untuk membagi hasil jarahannya. Kami yang selamat
berkumpul di tepi hutan itu. Pada saat itu kami teringat
untuk memohon pertolongan Sayyid (Abdul Qadir al-Jilani)
atas bencana yang menimpa kami, karena kami kehilangan arah
dan tujuan setelah peristiwa itu untuk melanjutkan
perjalanan. Kami memutuskan akan memberikan hadiah kepadanya
sebagai tanda terima kasih, apabila setidaknya kami tiba di
Baghdad dengan selamat --suatu hal yang tidak mungkin
apabila melihat situasi yang terjadi.
Setelah kami membuat keputusan itu, tiba-tiba kami
dikejutkan oleh suatu suara, dua kali teriakan yang bergema
menembus hutan itu. Kami menduga bahwa gerombolan penyamun
itu telah diserang kelompok lainnya dan setelah itu mungkin
terjadi perkelahian. Namun tiba-tiba sebagian bandit tadi
datang kepada kami dan mengatakan bahwa sesuatu telah
menimpa mereka. Mereka memohon kami untuk menerima kembali
perbekalan kami. Lalu kami berjalan menuju tempat para
penyamun tadi mengumpulkan barang dagangan kami yang
dijarahnya dan menemukan kedua pemimpin mereka tewas
tergeletak dengan sepasang bakiak di dekat kepala
mereka.
Menurut kami, setelah merasakan bencana yang menimpa para
kafilah dan didorong hasrat untuk menolongnya, pastilah Guru
telah mencoba melemparkan sandalnya dengan cara tertentu
sehingga kedua gembong penyamun yang akhirnya para
anggotanya mengaku bersalah, terbunuh'."
"Yang kami tekankan sebagai sebuah kisah dan perlu
ditulis adalah kehadiran Tuhan Yang Mahakuasa, Yang
Membedakan dan Membalas Kebenaran serta Kesalahan."
Dengan mengacu pada peristiwa-peristiwa tersebut, tradisi
Naqsyabandi memahaminya bahwa "apabila seorang sahabat
merasa suatu kekeliruan dapat dibenarkan [walaupun
meminta pertolongan kepada Wali atas suatu musibah yang
menimpa seseorang itu keliru, namun dalam keadaan terjepit
dapat dibenarkan, karena Wali adalah perantara kepada
Allah], ia boleh mencari petunjuk baik sebagai cara dan
hal yang diijinkan maupun sebagai tata krama dalam
berkontemplasi, sementara dampak yang diharapkan bisa saja
menyusul segera dan terus-menerus atau kemudian dan tepat
waktu."
"Keajaiban," kata Afghani, "adalah keyakinanmu kepada
sesuatu. Tentu saja keajaiban apa pun yang engkau yakini
bukan merupakan akibat yang sebenarnya maupun akhir dari
akibatnya."
Sikap fungsional terhadap keajaiban menggarisbawahi,
bahkan bagi para pengamat, kemungkinan yang lebih dalam dari
kejadian-kejadian yang tak terjelaskan. Apabila kita
bertolak dari tataran paling bawah dari keajaiban, maka kita
dapat memahami bahwa suatu aksi atau kejadian yang lazim dan
dapat kita jelaskan mungkin menjadi teka-teki atau bukti
"magis" yang meyakinkan bagi seorang yang lebih rendah
tingkat pengetahuannya. Karena itu, ketika seorang yang
masih belum berperadaban melihat api dinyalakan dengan unsur
kimia tertentu, ia mungkin menganggap hal itu sebagai suatu
peristiwa yang ajaib. Pada tingkat perkembangannya ini,
peristiwa tersebut mungkin menimbulkan semacam keterpesonaan
religius yang penting, sehingga membuatnya takjub kepada
sang peraga atau mematuhi segala perintahnya. Akan tetapi,
ia akan merasakan suatu akibat mental dan fisik. Bahkan pada
saat ini, peristiwa yang tidak dapat dijelaskan melalui
ilmu-ilmu alam akan mempengaruhi pikiran modern yang sangat
canggih sekalipun. Suatu mekanisme serupa telah digunakan
oleh Naqsyabandi dalam menjelaskan keajaiban-keajaiban yang
tak terinderai itu. Serangkaian peristiwa-peristiwa
kebetulan dan menyenangkan (atau tak menyenangkan) yang
dialami seorang manusia pasti akan menimbulkan suatu akibat
mental dan fisik terhadapnya, bahkan akibat fisik itu akan
dirasakannya ketika ia makan lebih banyak dari biasanya,
sebab ia memang sedang mendapat banyak rezeki.
Teori ini jauh lebih dalam ketimbang pengertian mukjizat
yang lazim dan berbeda dari reaksi-reaksi biasa sepanjang
reaksi tersebut bersikeras bahwa sama sekali tidak ada
peristiwa-peristiwa aksidental atau asing.
Ajaran Sufi menggarisbawahi bahwa "akibat adalah jauh
lebih penting daripada sebab, karena akibat itu beragam,
sementara sebab pada dasarnya tunggal." Seorang materialis
yang paling keras kepala sekalipun akan setuju dengan teori
tersebut apabila dijelaskan menurut ungkapan-ungkapan yang
biasa digunakannya, misalnya: "Semua aksi pada dasarnya
bersifat fisik, sementara keragaman akibat sepenuhnya
ditentukan sebabnya." Para Sufi sama sekali tidak akan
memperdebatkan teori ini, namun mereka tetap berpendapat
bahwa kalangan materialis tulen hanya mampu melihat
asal-usul dan sebab-akibat itu dari sudut pandang yang
terbatas, satu atau dua dimensi, karena kekakuan cara
pandang mereka.
Keajaiban berkaitan dengan persoalan sebab-akibat, dan
menurut para Sufi, sebab-akibat berkaitan dengan persoalan
ruang dan waktu. Pada umumnya sebuah peristiwa dikatakan
ajaib karena kelihatannya bertentangan dengan
konvensi-konvensi ruang dan waktu. Suatu jalan pintas dalam
memahami peristiwa yang luar biasa akan berakibat
menghilangkan kualitas keajaiban yang tak terjelaskan itu.
Namun menurut para Sufi, karena keajaiban mempunyai akibat
fisik, maka akibat fisik inilah yang mungkin penting,
seperti sebuah bumbu masakan yang mungkin bukan termasuk
makanan.
Pendapat Sufi ini hanya merupakan suatu pandangan kasar
dalam mencoba memahami keajaiban.
Maka dari itu, dari sudut pandang Sufi, sebuah keajaiban
diuraikan secara sederhana melalui suatu mekanisme yang akan
mempermudah setiap orang dalam memahaminya. Seorang barbar
yang terlalu menggebu-gebu ingin melihat (mengetahui)
keajaiban, tidak layak untuk menjalankan suatu pengembaraan
spiritual, meskipun ia mungkin mampu melakukan improvisasi
dan mempunyai penganut seperti agama konvensional yang patuh
pada hukumnya berkat pengalaman spiritualnya.
Guru saya pernah mengomentari sebuah pertanyaan tentang
keajaiban, "Renungkanlah pertanyaan ini, Bagaimanakah bunyi
sebutir bawang?' untuk membuktikan bahwa beberapa pertanyaan
tidak mungkin dijawab orang-orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, konsekuensinya tidak
mampu memahami jawaban yang sebenarnya."
Menurut para Sufi, sebagaimana ditafsirkan agama
konvensional, keajaiban mungkin mempunyai nilai ganda,
artinya keajaiban mungkin menunjukkan kesan kepada sesorang
menurut tingkat perkembangan mentalnya dan mungkin juga
suatu bentuk makanan bagi seseorang yang lebih matang
pengalamannya.
Bahkan kita dapat mengambil contoh yang lebih spesifik,
misalnya Profesor Seligman terperanjat ketika menyaksikan
para darwis tertentu mengiris tubuhnya dan menghentikan
aliran darahnya dengan cepat tanpa dapat dijelaskan
sebabnya. Pengamat lain mencatat bahwa para darwis Tarekat
Rifa'iyah dapat menyembuhkan luka-luka tanpa bekas sedikit
pun dan dengan kecepatan yang samar. Kemudian, pada tahun
1931 Dr. Hunt memutar sebuah film tentang praktik-praktik
para darwis Tarekat Rifa'iyah dari India tersebut, namun
tanggapan yang muncul terhadap film itu biasanya mengabaikan
keutuhan peristiwa tersebut atau ada yang menganggap sebagai
hipnotisme. Para anggota Tarekat Qadiriyah dapat berjalan di
atas air; sementara para anggota Tarekat Azhimiyah terkenal,
seperti para Syekh zaman dulu, dapat menampakkan diri di
berbagai tempat sekaligus dan pada saat yang sama.
Mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, atau bisa
terjadi?
Seorang darwis mempunyai suatu sikap yang sangat berbeda
terhadap peristiwa tersebut daripada orang biasa, apakah ia
seorang pandir yang penuh keyakinan ataupun ilmuwan abad dua
puluh. Harus diingat bahwa para Sufi menandaskan:
benda-benda tidaklah sebagaimana yang tampak. Pada waktu ia
mendemonstrasikan kemampuan melakukan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan orang lain dan kelihatan bertentangan
dengan hukum alam yang dipahami setiap orang, sebenarnya ia
mengungkapkan maksudnya. Hal ini merupakan suatu metode
mengungkapkan diri yang valid seperti metode sastra mana pun
dan lebih efektif dari metode sastra pada umumnya. Walaupun
ternyata bentuk ungkapan tersebut disalahgunakan,
disalahpahami dan dipalsukan, namun tetap tidak menggunakan
dasar validitasnya.
Sementara pengamat, terutama apabila ia cenderung
bersikap obyektif atau rasional, akan mendapat kesulitan
besar dalam mendekati masalah tersebut. Sebab tujuan
utamanya adalah menjelaskan fenomena tersebut menurut
pemahamannya sendiri. Ia tidak menyadari keutamaan untuk
memperluas persepsinya sendiri terhadap fenomena yang sedang
ditelitinya. Namun dari sudut pandang Sufisme, pengamat
hanya mengambil semacam jalan pintas yang memungkinkan
dirinya untuk menghindari kesulitan dalam menjelaskan
keajaiban. Ketika seorang anak takut kepada hantu, ia harus
memperoleh suatu penjelasan atau suatu penjelasan masuk akal
menurut tingkat pemahamannya. Demikian pula, ketika orang
yang tidak awas melihat peristiwa aneh dan mengakui bahwa
pasti ada suatu penjelasan logis, maka penjelasan tersebut
bisa saja diperolehnya --entah bagaimana caranya dan dari
siapa.
Dalam Sufisme, rahasia keajaiban itu menyelubungi dirinya
sendiri. Sesuai dengan pengalaman Sufi, halusinasi, begitu
mereka menyebutnya, berjalan dengan dua cara sekaligus.
Orang mungkin mengira bahwa ia melihat hal yang tidak nyata
dalam halusinasi itu. Ia juga mungkin melihat kejadian di
luar kenyataan. Bagaimana ia melihat dan apa yang dilihatnya
akan bergantung pada kemampuan pemahamannya sendiri. Di sini
saya tidak bermaksud membahas tentang gerak-gerik tipuan
yang disengaja dan diketahui pikiran. Dengan keyakinan bahwa
segala sesuatu dapat dijelaskan secara rasional, maka ia
menganggap bahwa suatu kejadian yang tidak masuk akal hanya
dapat diuraikan melalui penjelasan yang rasional itu. Namun
hal itu sama sekali tidak benar bagi orang yang berkeyakinan
bahwa beberapa penjelasan adalah mungkin menurut tingkat
pemahaman setiap orang. Ilmu pengetahuan modern masih belum
pandai memberikan berbagai penjelasan yang khas dan halus.
Ilmu pengetahuan modern tidak memadai untuk
melakukannya.
Metode Sufi tradisional mengatasi masalah tersebut dengan
menggunakan analogi. Para Sufi juga secara tradisional
menggunakan analogi-analogi yang sudah dikenal masyarakat
dalam menjelaskan keajaiban. Sementara itu para penggemar
dongeng di Barat pada umumnya mengenal kisah-kisah Hans
Christian Andersen yang biasanya dikenal dengan dongeng Anak
Itik yang Jelek [dalam perumpamaan yang sudah dikenal di
Barat dan merupakan sebuah distorsi anak itik yang memang
jelek sosoknya, namun setelah dewasa menjadi indah,
dianalogikan dengan gadis kecil yang buruk rupa, namun
setelah dewasa menjadi molek]. Anak itik merasa dirinya
jelek apabila dibandingkan dengan itik dewasa. Namun pada
akhirnya (setelah dewasa), ia menjadi seekor angsa yang
indah perawakannya. Asal-usul kisah ini ditemukan dalam
karya Jalaluddin Rumi, Matsnawi, namun sebuah poin penting
yang ditujukan kepada sekelompok pendengar, tidak ditemukan
dalam versi Danish (orang Denmark) itu. Di dalam Matsnawi
Rumi berkata kepada para pendengarnya bahwa mereka seperti
"itik yang ketika kecil diasuh ayam betina". Namun mereka
harus menyadari bahwa hidupnya harus pandai berenang, bukan
mencoba menjadi ayam.
Selagi persoalan "ilmu sihir" dan keajaiban dipandang
dari kacamata seekor ayam oleh seekor anak itik [bahwa
berenang tidak mungkin baginya; konsekuensinya, seorang yang
tingkat pemahamannya masih rendah akan berpikir bahwa tidak
mungkin ada keajaiban yang tidak dapat dijelaskan, namun
setelah pemahamannya matang ia akan mengerti keajaiban],
maka pandangan-pandangannya, paling jauh mungkin tidak
akurat.
Para pendongeng dari Skandinavia menggunakan kisah ini
sebagai bumbu (hidup) yang menggairahkan (atau membuat hidup
lebih bergerak). Sang anak itik menjadi seekor angsa melalui
proses pertumbuhan yang tak terelakkan. Sebagai seorang
evolusionis, Rumi menjelaskan bahwa anak ayam itu harus
menyadari bahwa ia ditakdirkan menjadi seekor itik.
Sampai di sini, kita memandang bahwa cara memahami
keajaiban itu sejalan dengan perkembangan-pengalaman hidup
manusia. Cara pandang ini akan membebaskan perkara keajaiban
itu dari praduga-praduga para teolog yang berusaha
membenarkannya pada tataran yang masih dangkal, dan dari
kalangan skeptis yang berusaha menjelaskannya menurut
teori-teori ilmiah. Jadi cara pandang mereka hanya berfungsi
untuk mereka sendiri. Di dalam masyarakat-masyarakat yang
menganggap bahwa "keajaiban telah berlalu", bagaimanapun
fenomena keajaiban tetap berlaku. Orang mungkin berkata
bahwa seekor naga tidak menyemburkan api, namun
eksistensinya tetap seperti gunung berapi.
Dengan bersandar pada metafora itu, sekarang kita dapat
memahami dengan jelas suatu proses fenomena fisik, meskipun
simbolismenya mungkin berbeda-beda. Masyarakat rahasia Turki
di Cyprus, yang bertekad untuk mempersatukan dan mengarahkan
perkembangan dinamis komunitasnya, dikenal sebagai Volkan
(volcano, gunung berapi). Jadi fenomena gunung berapi,
sebagai suatu kekuatan alam independen, merupakan analogi
yang sangat tepat untuk daya batin dan kekuatan "bawah
tanah" kelompok tersebut.
Cara mendekati persoalan keajaiban tersebut membuktikan
bahwa betapapun atraktifnya sebuah pertunjukan menakjubkan
yang ditampilkan seseorang, sebagai sebuah pertunjukan, ia
tidak akan mempunyai fungsi yang sama dengan kejadian aktual
yang kita bicarakan di atas. Dalam hal ini Sufi menyatakan,
"Biarkanlah keajaiban itu terjadi!" yang kemudian
direfleksikan secara tidak utuh dalam peribahasa Spanyol,
Haga el miraglo, si hagalo Mahoma: "Biarkanlah keajaiban itu
ditunjukkan, bahkan Muhammad menunjukkannya."
Kemerosotan pengertian (ungkapan) itu berasal dari ajaran
"Tujuan menghalalkan segala cara".
Akan tetapi, para Sufi tidak mengabaikan keyakinan
tersebut, sehingga apabila keajaiban yang ditampilkan itu
mempunyai nilai penting bagi perkembangan suatu kelompok
(dalam hal ini Sufi), maka ia mungkin lebih dimaksudkan
untuk memajukan suatu kelompok, untuk mempercepat dan
memperkukuh kemajuan kelompok tersebut. Menurut Kamaluddin,
keajaiban merupakan pengalaman awal suatu kelompok yang
sedang mengembangkan kemampuannya untuk memahami keajaiban
itu. Ada dua hal yang berkembang secara serentak, yaitu
sikap yang benar terhadap keajaiban dan keserasian cara
memahami sang Pencari dengan fakta keajaiban. Kembali pada
pertanyaan di atas (mengapa keajaiban itu terjadi atau bisa
terjadi), maka kita dapat memberikan jawaban yang memadai
sesuai dengan tingkat pencerapan sementara: orang yang
terpesona pada keajaiban sebuah mobil, keajaiban sesuatu,
secara bertahap akan memahaminya setelah ia menjalankan
mobil itu sendiri atau menumpanginya.
Kesementaraan kesan yang diperoleh dari pemahaman
tertentu tentang keajaiban merupakan dasar para guru Sufi
untuk menentang kegemaran akan pengalaman ekstase yang hanya
merupakan suatu tingkat perkembangan spiritual Sufi.
Perasaan terpesona dan kagum itu merupakan perhentian
sementara seorang Sufi Pencari, karena ia seharusnya
melanjutkan realisasi diri lainnya. Maka dari itu,
pencapaian pengalaman mistik yang sementara (atau bahkan
permanen) dianggap sebagai sebuah "tabir".
Menurut Kalabadzi al-Bukhari dalam bukunya Kitab
at-Ta'aruf realitas sejati akan dicapai setelah pengalaman
ekstase itu. Junaid al-Baghdadi (w. 910, salah seorang
pengarang klasik yang utama) menyatakan bahwa orang dalam
keadaan ekstase memang mengasyikkan, namun ketika kebenaran
dicapainya, ia melampaui keadaan ekstase itu. Maksud Junaid,
bahwa melampaui tingkat pengalaman ekstase Sufi itu diikuti
oleh ketidaksadaran setelah mengalami ekstase.
Seseorang mendesak bertanya tentang kekuatan magis, cara
mengobati penyakit dan kebahagiaan menurut Jalan Sufi kepada
Guru Nourettin, sehingga Guru merasa jengkel.
Nourettin menjawab, "Sobat, engkau masih saja berjalan
mengitari api unggun kami. Buanglah sifat srigala dan
makanlah bersama-sama kami, namun jangan makan lebih banyak
dari kami! Engkau tidak mengerti tata cara memahami.
Memahami sesuatu harus memakai aturan."
Pengunjung itu berkata, "Kalau begitu, berilah aku
pengertian (tentang aturan berpikir itu) menurut Anda dan
sahabat-sahabat Anda, agar aku dapat mengikuti cara berpikir
Anda!"
Guru menjawab, 'Apabila engkau masih menilai kami menurut
dugaan-dugaanmu saat ini, maka engkau seperti melihat
matahari dari sebuah kaca yang buram. Hal ini akan
menimbulkan kesan mengenai kami menurut dugaan-dugaanmu dan
sahabat-sahabatmu atau para musuhmu. Apabila engkau
menghimpun fakta-fakta yang keliru mengenai kami, maka
pengumpulan fakta itu pasti ditentukan oleh sebuah metode
seleksi yang sesat dalam membuat serangkaian fakta mengenai
kami. Sayangnya, meskipun mungkin tampak benar, namun
rangkaian fakta itu tidak menunjukkan kebenaran yang engkau
cari."
Apabila para sarjana yang diibaratkan seperti srigala
mengitari api unggun Sufi itu tidak mau berpikir secara
jujur, maka rasa takjub yang tak terpisahkan dari upaya
untuk mempelajari keajaiban itu tidak akan hilang. Hal ini
seringkali disinggung: "Siapakah para pakar yang telah
menerima penjelasan darinya (al-Ghazali) tentang
rahasia-rahasia yang menggetarkan hati? ... Apakah
benar-benar ada penjelasan yang dapat diterima mereka? Jika
ada, penjelasan macam apa?"1
"(Lane) menyesalkan ketika mengetahui seorang Muslim yang
murtad merasa tidak perlu lagi melaksanakan ibadah-ibadah
ritual agamanya. Yang menarik untuk dicatat, sebagai seorang
darwis, orang tersebut menyatakan bahwa dirinya telah
mengembangkan kekuatan telepati yang luar biasa sehingga
mengetahui apa yang sedang terjadi di suatu tempat dari
jarak jauh, bahkan ia dapat mendengar pembicaraan yang
berlangsung di sana. Penandasannya dalam mengembangkan
kekuatan tersebut seringkali ditemukan dalam kepustakaan
Sufi. Tentu saja kisah-kisah yang diturunkan dari sejumlah
orang dengan ketelitiannya tidak mungkin diragukan
menegaskan keberadaan kekuatan yang sangat luar biasa itu,
meskipun penjelasannya mungkin
beragam."2
Pendeta yang Terhormat John Subhan memberikan sebuah
contoh tentang barakah dari salah seorang Syekh Sufi, yakni
Najmuddin Kubra (w. 1221), pendahulu Francis Assisi:
"Barakah dari pendiri (kelompok) Persaudaraan Agung ini
(Ikhwanul Kubrawiyah) tidak hanya terbatas kepada manusia,
namun terhadap burung dan hewan. Bahkan fenomena barakah
yang sangat terkenal itu masih terjadi sampai kini ...
ketika berdiri dekat pintu khanaqah (tempat semedi)-nya,
Najmuddin memandang sepintas seekor anjing yang sedang
berjalan di depannya. Tiba-tiba anjing itu bertingkah laku
seperti seseorang yang tidak sadar diri (dalam pengertian
mistik). Ke mana pun ia pergi, anjing-anjing senantiasa
mengerumuninya karena ingin menyentuhnya dengan kaki
depannya (untuk menunjukkan kesetiaannya). Setelah itu
mereka mundur dan berdiri mengambil jarak di sekitarnya
dengan rasa hormat. "3
Merujuk kepercayaan dan kepustakaan tentang ilmu sihir
sejak masa kuno sampai Abad-abad Pertengahan, dan kemudian
masa kini, yaitu mengenai praktik-praktik ilmu sihir
tertentu, adalah penting untuk memahami Sufisme. Semua ilmu
sihir dicatat orang-orang Timur dengan simbol-simbol yang
belum dipahami para peneliti. Pada umumnya, simbolisme yang
digunakan para Sufi itu sangat sulit dipahami.
Dalam hal ini alkimia merupakan kata kiasan seperti
penggunaan kata dalam sastra pada umumnya. Kepustakaan ilmu
sihir tentang alkimia mencakup sebagian besar materi-materi
ajaran Sufi. Bagaimana cara mereka menggunakannya dan apa
maksud kiasan-kiasan itu tidak dapat dijelaskan secara
memadai. Maka dari itu, menurut pengertian ilmu fiqih,
sihir, maksudnya sihr al-halal (sihir yang dihalalkan)
merupakan karya tulis Sufi yang tak dapat dipahami seperti
karya tulis lainnya, kecuali di kalangan Sufi sendiri.
Tulisan-tulisan tentang ilmu sihir itu dapat ditemukan dalam
kitab Jawahirul Khamsa (Lima Permata) dan diakui sebagai
kitab ilmu sihir keagamaan. Dalam praktiknya, ilmu sihir
sebenarnya merupakan wahana untuk menyampaikan ajaran
melalui kata-kata kiasan. Sufisme telah menggunakan
terminologi ilmu sihir yang dihalalkan itu (seperti kimia,
filsafat, ilmu pengetahuan) untuk menyampaikan
ajaran-ajarannya. Teknik penggunan istilah ini dalam
menyampaikan suatu disiplin ilmu telah diperkenalkan di
Barat cukup dini. Menurut Profesor Guillaume, seorang Sufi
aliran pencerahan, yakni Ibnu Masarra dari Cordoba,
"merupakan orang pertama yang memperkenalkan suatu pemakaian
istilah umum yang sangat ambigu dan samar ke Barat.
Kepeloporan Ibnu Masarra ini telah diikuti sebagian besar
penulis Sufi."4
Kitab Jawahirul Khamsa sendiri sebagian besar diturunkan
dari kitab-kitab ilmu sihir al-Buni, ahli sihir Barat yang
berasal dari Arab. Adapun seluruh tradisi besar ilmu sihir
di Eropa pada Abad Pertengahan sangat dipengaruhi berbagai
penyaduran yang mencakup dokumen-dokumen ilmu sihir dari
para ilmuwan Arab-Spanyol. Salah satu alasan dalam
mengangkat dokumen-dokumen ilmu sihir itu adalah karena
naskah-naskah tersebut mengandung nilai-nilai tradisi
(kehidupan) yang begitu kuat, mengandung pesan-pesan
karakteristik yang abadi. Oleh karena itu, bisa dipahami,
sebagaimana telah dibuktikan sebuah penyelidikan, bahwa
sebagian besar tradisi pengetahuan Sufi yang dianggap tidak
memadai makna oleh teologisnya itu disampaikan dalam
bentuk-bentuk magis.
Ilmu sihir adalah sebuah sistem pendidikan (training
system), tidak lebih dari itu. Mungkin ia didasarkan pada
pengalaman, ilham atau sejenisnya, maupun agama. Ilmu sihir
tidak hanya mencakup kemampuan menciptakan pengaruh-pengaruh
tertentu melalui teknik-teknik khusus, namun juga mendidik
individu menjalankan teknik-teknik tersebut. Sebagaimana
kita kenal saat ini, ilmu sihir mungkin menjadi subyek
setiap bentuk rasionalisasi. Sebagai suatu kumpulan tulisan
menyeluruh, ilmu sihir mencakup praktik-praktik minor
seperti teknik hipnotis, dan kepercayaan-kepercayaan akan
kemampuan meniru peristiwa-peristiwa alamiah. Meskipun
unsur-unsur Sufisme tidak dapat dilihat secara terpisah,
namun tradisi ilmu sihir sebagai salah satu unsur ajaran
Sufi dapat dikaji secara mandiri. Pokok perhatian kita di
sini hanyalah ilmu sihir yang meliputi upaya mengolah
persepsi-persepsi baru dan upaya mengembangkan kemampuan
organ-organ manusia.
Berdasar pada penjelasan ini, kita memahami bahwa tradisi
agung ilmu sihir yang diwariskan turun-temurun itu (biasanya
meliputi juga praktik-praktik keagamaan) ternyata berkaitan
dengan upaya-upaya tersebut. Ilmu sihir tidak sepenuhnya
berdasar pada asumsi bahwa segala sesuatu mungkin untuk
mentransendir kemampuan-kemampuan manusia ataupun hanya
berdasar pada kemampuan intuitif bahwa, jika Anda setuju,
"iman dapat menggetarkan gunung". Kegiatan-kegiatan magis
yang dirancang untuk melatih kemampuan memikirkan atau
menggagas sesuatu, kemampuan menatap masa depan, ataupun
kemampuan mengadakan hubungan dengan sebuah sumber
pengetahuan superior (maha unggul) itu, pada dasarnya
memberikan pencerahan bagi kesadaran manusia yang suram
bahwa ada suatu kemampuan manusia untuk ikut serta secara
sadar dalam evolusi kehidupannya serta suatu kemampuan
mengembangkan kepekaan organ persepsi di luar teori-teori
ilmu fisika dewasa ini.
Jadi, ilmu sihir itu sendiri harus dinilai menurut
kriteria Sufi. Apakah ia merupakan salah satu cara
mengembangkan kehidupan mental manusia? Jika ya, di mana
letak hubungannya dengan ajaran utama Sufi itu? Dari sudut
pandang Sufisme, ilmu sihir pada umumnya dipandang sebagai
suatu kemerosotan dari sistem Sufi tertentu. Metodologi dan
reputasi sistem tersebut masih lestari, namun kepedulian
untuk melestarikan hakikat sistem tersebut tidak
diperhatikan lagi. Tukang sihir yang berupaya mengembangkan
kemampuan-kemampuannya agar dapat menguasai
kekuatan-kekuatan ekstra fisik tertentu hanyalah mengikuti
sebagian sistem tersebut. Oleh karena itu,
peringatan-peringatan akan bahaya fatal dalam mencoba-coba
atau terobsesi mempraktikkan ilmu sihir kerapkali hampir
selalu dikemukakan. Orang kemudian seringkali beranggapan
bahwa alasan para praktisi ilmu sihir dalam memperingatkan
bahaya itu sebenarnya karena mereka ingin tetap
mempertahankan monopolinya. Dari sudut pandang luasnya
bidang ilmu sihir, Sebenarnya para praktisi sendiri hanya
mempunyai suatu pengalaman yang tidak sempurna tentang
keseluruhan fenomena, hanya sebagiannya saja. "Bahaya fatal"
dari aliran listrik sama sekali tidak mempengaruhi orang
yang terbiasa bekerja dengannya dan mempunyai pengetahuan
teknis yang sempurna tentangnya.
Sihir dipraktikkan melalui upaya memperkuat tegangan
emosi. Tidak ada fenomena sihir yang terjadi dalam suasana
laboratorium yang tenang. Manakala emosi itu mencapai
ketegangan tertentu, maka seolah-olah telah terjadi suatu
lompatan yang melampaui sebuah jurang dan apa yang dianggap
sebagai peristiwa supranatural sebenarnya telah dialami.
Sebuah contoh yang lazim adalah fenomena poltergeist, yaitu
fenomena yang hanya terjadi pada anak muda ketika mengalami
perasaan gelisah yang terus-menerus menguasai dirinya. Pada
titik puncak emosinya, ia melempar-lemparkan bebatuan dengan
keras sekenanya, sehingga peristiwa itu tampak bertentangan
dengan hukum gravitasi lantaran begitu kuat
lemparan-lemparannya. Pada saat itu pun ia bisa mendorong
benda-benda yang sangat berat. Akan tetapi, ketika seorang
penyihir sedang mencoba mengangkat seseorang atau sebuah
benda (berat) atau mempengaruhi jalan pikiran seseorang
dengan cara tertentu, ia harus menjalankan suatu prosedur
(yang kurang lebih kompleks, panjang) untuk membangkitkan
atau memusatkan kekuatan emosional. Lantaran kemampuan
membangkitkan emosi-emosi tertentu tidak sama pada setiap
orang, maka sihir cenderung merupakan pemusatan kekuatan
subyektif, seperti cinta dan benci. Sensasi-sensasi inilah
yang, bagi individu lemah mental, menyediakan semacam bahan
bakar paling sederhana, emosi "aliran listrik" sebagai
pendorong untuk melompati jurang yang akan membawanya dalam
suatu aliran yang lebih lestari. Ketika para pengikut sebuah
tradisi kanuragan di Eropa dewasa ini berputar-putar di
sebuah lingkaran untuk membangkitkan suatu "inti kekuatan",
mereka sebenarnya sedang menjalankan suatu tradisi
sihir.
Namun peramal, yaitu orang yang sengaja merenung pada
saat-saat tertentu untuk menembus rintangan waktu, dan
penyihir yang menjalani sejumlah latihan untuk mencapai
tujuan tertentu, tidak sama dengan Sufi. Tugas Sufi adalah
melatih diri sedemikian rupa agar dapat mengembangkan
kemampuan organ persepsi yang bermakna dan melakukan suatu
tindakan (aksi) yang menimbulkan suatu dampak yang lestari.
Peramal dan penyihir, seperti kebanyakan mistikus Kristen,
sama sekali tidak mengembangkan dan membangun diri kembali
seperti para Sufi itu. Yoga mungkin mirip dengan Sufisme,
namun tidak menghasilkan sesuatu yang sangat bermakna.
Penganut Budha yang menjalankan kontemplasinya mungkin dapat
mencapai tujuan yang dipatoknya, namun kontemplasi tersebut
sama sekali tidak menghasilkan manfaat, atau dinamisme
kegiatannya itu tidak berarti, terutama bagi masyarakat.
Untuk mengerti ragam mistisisme itu, kita sebaiknya
membaca buku Miss Underhill, Mysticism, dan hampir setiap
orang yang tertarik pada mistisisme telah membacanya. Miss
Underhill menunjukkan kemiripan cara berpikir antara agama
dan sihir, mistik dan magis (ragam sihir). Dari sudut
pandang Sufi, kemiripan tersebut terletak pada tujuan
dasarnya, yaitu konsep "mencapai kemajuan". Konsep ini
merupakan tujuan dasar dari setiap kegiatan manusia, antara
lain kemajuan peradaban, pengetahuan yang lebih mendasar.
Miss Underhill menyimpulkan bahwa tujuan mistik adalah
"menjadi", dan tujuan setiap ilmu sihir adalah "mengetahui".
Tentu saja tujuan Sufi juga "menjadi", namun berbeda dengan
tipe mistik lainnya, tujuan Sufi sekaligus "menge-. tahui".
Namun Sufi membedakan antara mengetahui fakta-fakta apa
adanya dan mengetahui realitas secara mendalam. Kegiatan
Sufi adalah mengaitkan dan menyelaraskan semua faktor
tersebut, yaitu memahami, menjadi dan mengetahui.
Disamping itu, metodologi Sufi juga mengorganisir
kekuatan emosional, yang berusaha dibangkitkan oleh penyihir
itu, sesuai dengan pemanfaatannya yang benar untuk "menjadi"
dan "mengetahui" itu.
Jadi dari sudut pandang Sufisme, baik sihir tingkat
tinggi maupun mistisisme biasa hanya menerapkan suatu
metodologi parsial yang direproduksi dari polanya sendiri.
Namun apabila kedua aliran tersebut berusaha mengembangkan
apa yang diwarisinya dan sebenarnya ada suatu ruang
pengembangan genetis serta kekuatan yang memadai untuk
melakukannya, maka hal ini akan mengurangi anakronisme. Akan
tetapi upaya-upaya tersebut mungkin suatu pelarian dari
nasib individu dan masyarakat.
Lalu, apakah ritual-ritual magis merupakan sebagian
tradisi para Sufi yang sejati? Bukan, bagi Sufi,
simbol-simbol hanya mempunyai fungsi asosiatif dan dinamis
tertentu. Sufi menggunakannya atau dipergunakannya secara
instinktif. Bagi Sufi yang telah matang (pengalamannya),
tujuan ritual itu bukan untuk kebaktian kepada gurunya,
namun untuk memusatkan pikiran serta melatih "meningkatkan"
kematangan emosi dan dapat dilakukan tanpa mengasingkan
diri. Adapun pageantry (semacam peragaan spektakuler para
penganut mistik) dan ritual yang dijalankan dalam kehidupan
non-Sufi [yaitu arak-arakan, regalia (lambang-lambang
yang dikenakan sebagai aksesori) serta ungkapan-ungkapan
simbolis] dipandang tidak ada manfaatnya oleh para Sufi,
karena hanya bertujuan untuk menarik perhatian tanpa upaya
menyebabkan faktor-faktor pengembangan spiritual itu.
Kebanyakan para penganut tradisi pageantry memang sama
sekali tidak pernah mengetahui hal itu dan kerapkali tidak
mampu memahaminya walaupun diuraikan secara sederhana kepada
mereka.
Psikologi Sufi mengacu pada suatu mekanisme batin yang
secara spontan berkemampuan menyelaraskan (menguasai)
dampak-dampak yang ditimbulkan emosi. Dampak-dampak emosi
ini misalnya terjadi ketika orang menentang sesuatu yang
tidak diyakininya, atau ketika masyarakat maupun kelompok
tertentu menentang keyakinan yang tertanam dalam pikiran
(kesadaran)nya. Di dunia Barat modern, sebuah metode sastra
yang kadangkala disebut debunking (upaya membongkar
kepalsuan-kepalsuan dalam masyarakat) sengaja dilakukan.
Namun Debunker (sang pembongkar) mungkin tidak mampu
menguasai dirinya sendiri, karena ia harus mampu menguasai
dampak-dampak pembongkaran itu terhadap dirinya.
Masyarakatnya mungkin menerima pembongkaran itu sebagai
anugerah, karena pembongkaran itu ibarat makanan bagi orang
kelaparan yang dengan lahap menyantapnya tanpa mengetahui
(mempedulikan) sopan-santun. Intelek sama sekali tidak mampu
menguasai emosi, karena emosi dalam keadaan tersebut
sebenarnya ibarat sebuah bara yang harus diberikan kepada
orang yang tepat, atau sebuah beban yang harus dipikulkan
kepada orang yang mampu, atau sebuah kekuatan yang harus
digunakan secara benar. Gejolak emosi ini sama sekali tidak
dapat ditangkal dengan pemikiran, bahkan tidak dapat
diarahkan kembali secara benar dengan memanfaatkannya atau
memulihkannya. Dalam hal ini, para psikolog Barat
menggunakan istilah katarsis untuk menunjuk orang yang mudah
meledak atau melemah emosinya, karena mereka mungkin merasa
putus asa dalam menjelaskan fenomena tersebut. Mereka
menggunakan alternatif tersebut, karena mereka tidak
mempunyai cara lain untuk menjelaskan fenomena orang lain
agar dapat dipahami masyarakat. Hal ini mungkin cukup
memadai bagi masyarakat modern. Namun tidak demikian bagi
Sufi, karena ia menganggap bahwa manusia adalah pribadi
"yang bebas pergi ke mana saja", bukan pribadi yang harus
dikekang atau dipulihkan, suatu norma sosial yang tidak
dapat dipahami oleh logika murni atau dinilai dengan
kriteria-kriteria kebijaksanaan massal. Semua ini bukan
berarti bahwa Sufi bukanlah psikolog. Sebaliknya, cara
mereka mengatasi masalah psikosomatik ini mempunyai nilai
yang bermakna bagi masyarakat luas, sehingga dalam beberapa
hal "Sufi" adalah seorang "tabib". Maka dari itu mereka
dianggap sebagai tukang sihir atau mistikus. Namun pada
dasarnya Sufi dimaksud menunjukkan sesuatu bukan hanya
mengobati orang sakit dan orang cacat.
Kemampuan-kemampuannya untuk mengobati secara psikologis
sangat berdasar pada operasi (pengobatan) menolak
(penyakit). Pengetahuannya tentang ketidaksempurnaan orang
yang dianggap waras adalah sumber kemampuannya untuk
mengobati orang yang sebenarnya tidak waras. Bahkan di dalam
"publik", masyarakat dan mistisisme tradisional, orang suci
tidak diakui sebagai orang suci karena ia sekadar menjadi
tabib, namun orang diakui sebagai tabib karena ia memang
orang suci --bahkan yang terbaik di antara mereka. Hal ini
membawa kita kembali pada persoalan pengalaman intuitif.
"Ketika singa sakit, ia makan beberapa tumbuhan liar untuk
mengobati dirinya sendiri. Ia melakukan ini karena penyakit
mempunyai suatu daya tarik-menarik dengan tumbuhan tertentu,
atau dengan dzatnya. Setiap penyakit selalu ada obatnya.
Pergunakanlah pengetahuan ini, maka engkau akan lebih
mengetahui (tentang obat-obatan) daripada dokter yang hanya
mengingat fakta-fakta dan hafalan-hafalan yang dapat
diterapkannya. Ada perbedaan antara asumsi-asumsi yang
sangat menjanjikan itu dengan pengetahuan positif (sang
dokter), karena kasus setiap penyakit hampir berbeda."
[Thibbul-Arif, karya Abdul Wali, Salik].
Ikhwanush-Shafa [Persaudaraan Seiman, di Inggris
biasanya dikenal Brethren of Sincerity (Persaudaraan
Sehati)] adalah sebuah kelompok raksasa yang terkenal
dengan kelima puluh dua risalahnya. Karya ini dipublikasikan
di Basrah sekitar 980 Masehi. Tujuan madzhab ini adalah
menyampaikan bagan pengetahuan yang utuh di zamannya. Bidang
kajian mereka meliputi filsafat, agama, ilmu pengetahuan dan
bidang kajian lainnya. Mereka seringkali dituduh sebagai
kelompok penyihir. Seperti Rosicrucian Eropa yang telah
dipengaruhi mereka, mereka pun dianggap telah menyebarkan
suatu pengetahuan batin. Langkah pertama Ikhwanush-Shafa
adalah membuat sebuah media untuk menyampaikan bidang kajian
yang lebih terorganisir. Para anggotanya tidak harus selalu
sebagai pengarang, namun hubungan mereka dengan para Sufi
tidak diragukan. Nama shafa adalah asonansi (penyesuaian
beberapa konsonan atau vokal) dari salah satu interprestasi
kata "Sufi". Sedang konsep keseimanan dan mencintai
persahabatan merupakan sebuah konsep Sufi. Selain itu, nama
mereka mungkin telah diadopsi dari sekelompok binatang dalam
kumpulan kisah-kisah alegoris kalilah, yaitu kisah
sekelompok binatang yang saling setia untuk melindungi diri
dari seorang pemburu.
Guru Sufi yang Agung, al-Ghazali menyatakan telah
berhutang budi kepada mereka dalam menyusun Ihya'-nya. Guru
Sufi lainnya, al-Ma'ari, pelopor Omar Khayyam, konon sering
menghadiri pertemuan-pertemuan mereka. Al-Majriti, ahli ilmu
falak dari Madrid atau muridnya al-Karmani dari Cordoba dan
Ibnu Rusyd telah memperkenalkan ajaran-ajaran mereka di
Barat, termasuk teori-teori musik. Mereka sangat
mempengaruhi perkembangan musik serta filsafat moral yang
berkaitan dengan filsafat pencerahan Sufi.
Sang Sufi yang Agung, Rumi menyatakan kesepakatannya
dengan ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa. Sebagai ensiklopedi
Sufi yang sangat mengesankan, Rumi menulis:
Renungkanlah (ajaran-ajaran) Ikhwanush-Shafa,
sekalipun mereka tampak bersikap kasar kepadamu. Selagi
prasangka buruk menguasai dirimu, ini akan menjauhkanmu
dari para sahabat. Bila seorang sahabat yang baik hati
mengujimu dengan perlakuan keras, "maka tak beralasan
untuk menjauhinya.5
Peringatan seperti ini merupakan sebagian metode
pengajaran Sufi yang digunakan Rumi untuk menguji ketabahan
muridnya, atau tujuan Rumi menunjukkan bahwa
perlakuan-perlakuan yang tampak keras itu bertujuan
mengembangkan dasar-dasar pengalaman spiritual Sufi.
Sebelum tahun 1066, al-Majriti (The Madridian) dari
Cordoba serta muridnya, al-Karmani, membawa Encyclopaedia
karya Ikhwanush-Shafa dari Timur Dekat itu ke Spanyol. Karya
ilmiah Majriti ini diterjemahkan seorang berkebangsaan
Inggris, Adelard of Bath, ahli Arab pertama dan ilmuwan
besar Inggris sebelum Roger Bacon.6
Sumbangan penting Adelard bagi kajian-kajian Sufi di Barat
sangat besar, karena ia telah membuka jalur awal bagi
transmisi ajaran Sufi selama masa klasik. Dalam hal ini,
Adelard pasti telah membuka hubungan dengan pusat-pusat
kajian Sufi di Spanyol dan Syria yang giat menyebarkan
buku-buku tentang ilmu pengetahuan serta ajaran-ajaran
spiritual.
Karena pandangannya itu, Adelard dianggap sebagai seorang
Platonis, meskipun dari sudut pandang Sufi, Platonisme
dianggap sebagai sebuah ragam Sufisme yang kemudian. Seorang
sejarawan kontemporer ahli Abad Pertengahan' memaparkan
bagaimana Adelard mengenalkan pandangan-pandangan Sufi,
sebagai sumbangan besar pada "pusat kajian bagian
kemanusiaan dan Platonisme" dari madzhab Chartres: "Adelard
memandang bahwa (konsep) individual sama dengan (konsep)
universal. Bagi kami, pandangan ini mengacaukan konsep
individual itu sendiri ... Adelard adalah pemikir pertama
pada masa itu yang menunjukkan hubungan langsung antara
ide-ide Ilahi dengan benda-benda. Secara garis besar,
pandangan ini merupakan hasil (perpaduan) pengetahuannya
tentang ilmu-ilmu Yunani dan Arab."
Akan tetapi, pengaruh Ikhwanush-Shafa atas bentuk-bentuk
mistisisme lainnya dan pemikiran transendental di Barat
sebenarnya lebih mengejutkan.
Sejak abad kesebelas Masehi, sistem (ajaran) yang dikenal
sebagai Cabala --konsep mistik Yahudi tentang mikrokosmos
dan makrokosmos serta cabang-cabang teoritis dan praktisnya
telah begitu menarik perhatian pikiran-pikiran besar di
Barat dan Timur. Dengan menjalankan sistem Cabala ini, orang
akan mampu memahami dirinya sendiri, memiliki
kekuatan-kekuatan yang luar biasa, mampu menampilkan hal-hal
yang menakjubkan, melakukan dan menjadi apa pun. Hasrat kuat
orang-orang Yahudi dan Kristen untuk mempelajari dan
mempraktikkan sistem Cabala timbul, karena mereka menganggap
sistem tersebut benar-benar berakar pada esensi doktrin
Ibrani Kuno, yaitu ajaran yang sejati dan Kuno tentang
kebatinan, doktrin rahasia. Tidak ada aliran okultis
(semacam kanuragan), ilmu sihir ataupun mistik sebelum
sistem tersebut menyebar luas di Barat. Sedang arti kata
Cabala sendiri adalah hasrat kuat memahami misteri, hasrat
kuat memperoleh kekuatan. Lalu apa sumber Cabala itu?
Cabala adalah suatu ilmu pengetahuan karakteristik Yahudi
yang memadukan antara kejujuran dan ketidakberpihakan dengan
suatu upaya mencari kebenaran. Yang mungkin mengejutkan
adalah Jewish Encyclopaedia ternyata telah mencatat peran
yang sangat menentukan dari Ikhwanush-Shafa dalam
pembentukan sistem Cabala: "Asal-usul ajaran persaudaraan
seiman dari Basrah itu adalah tentang delapan unsur sifat
Tuhan yang kemudian diubah oleh seorang filosuf Yahudi
menjadi sepuluh unsur."7
(Ajaran) Cabala bermula dari dua wilayah penyebaran
ajaran-ajaran Ikhwanush-Shafa, yaitu Italia dan Spanyol.
Sistem pemakaian istilahnya mungkin diturunkan dari ajaran
kuno Yahudi yang ternyata sejalan dengan ajaran
Ikhwanush-Shafa, namun tetap berdasarkan tata bahasa Arab.
Lebih dari itu ada suatu kaitan yang sangat menarik antara
ajaran Sufi dengan ajaran Yahudi itu, sehingga para Sufi
menggarisbawahi kesamaan identitas yang mendasari kedua
aliran tersebut. Beberapa fakta yang menunjukkan kaitan
antara ajaran Sufi dan mistik Yahudi-Kristiani itu adalah
sebagai berikut:
Ibnu Masarra dari Spanyol adalah seorang pendahulu
Sulaiman ibnu Gabirol (Avicebron atau Avencebrol) yang telah
menyebarkan pikiran-pikirannya. Menurut Jewish
Encyclopaedia, ajaran kedua Sufi ini mempunyai pengaruh yang
lebih besar atas perkembangan Cabala daripada sistem
filsafat mana pun. Tentu saja, Ibnu Gabirol, pengikut Sufi
berdarah Yahudi ini, diakui telah mempunyai pengaruh sangat
besar terhadap pemikiran Barat. Menurut sang guru Yahudi
Azriel dalam sistem ajarannya itu, Cabala, Tuhan disebut
ENSOF, ketakterbatasan mutlak. Hal ini adalah upaya (Azriel)
untuk menjelaskan sistem ajaran Cabala kepada para filosuf
setelah kedatangannya di Eropa. Tentu saja, kajian tata
bahasa dan makna-makna kata Arab merupakan dasar pemakaian
istilah dalam sistem ajaran Cabala untuk tujuan-tujuan
mistik. Tata bahasa Arab sendiri merupakan model (acuan)
bagi tata bahasa Ibrani. Sedang tata bahasa Ibrani pertama
kali ditulis Sa'di (orang Yahudi, w. 942) dalam bahasa Arab,
seperti karya-karya tulis awal. Judul kitab tersebut Kitab
al-Lughah, "dalam bahasa Arab dan di bawah pengaruh filologi
Arab" (Jewish Encyclopaedia, Vol. 6, hlm. 69). Tata bahasa
Ibrani baru mulai dikaji bangsa Yahudi dalam bahasa Ibrani
sendiri pada pertengahan abad kedua belas.
Ternyata para Sufi dan Ikhwanush-Shafa telah menciptakan
apa yang mereka anggap sebagai ajaran paling luhur, yaitu
tradisi pengetahuan rahasia tentang keseluruhan (realitas)
dan kekuatan. Tradisi pengetahuan ini telah diwariskan
kepada Yahudi-Arab. Cabalis Yahudi telah menyadur ajaran
tersebut dalam pemikiran Yahudi kontemporer, sehingga Cabala
Arab menjadi Cabala Yahudi, kemudian Cabala Kristen. Namun,
meskipun tidak pernah menyusun buku pengetahuan yang utuh
sebagai sumber kajian, Ikhwanush-Shafa tetap memadukan
ritus-ritus Sufi dengan pokok-pokok ajaran Cabala yang murni
itu. Sebenarnya sistem ajaran Cabala Arab ini telah banyak
berpengaruh terhadap mistisisme Yahudi, bukan Cabala Yahudi
sendiri.
Jewish Encyclopaedia menggarisbawahi pengaruh tradisi
Sufi ini: "Penyebaran Sufisme pada abad kedelapan
kemungkinan besar telah mempunyai peran dalam menghidupkan
kembali mistisisme di kalangan para pengikut Muhammad. Di
bawah pengaruh langsung para Sufi itu, kemudian lahir sebuah
sekteYahudi yang disebut Yudghani." (Vol. xi, hlm. 579).
Sedang pengaruh sistem ajaran Sufi terhadap aliran mistik
Yahudi Markabah --para pengendara, sangat kuat terhadap
beberapa fenomena dari mistik itu yang identik dengan
Sufisme (misalnya, tradisi warna yang kemudian menjadi
ketakberwarnaan). Hasidisme, aliran kesalehan mistik yang
lahir di Polandia pada abad kedelapan belas, tidak hanya
merupakan "kesinambungan nyata dari ajaran Cabala, namun
benar-benar berdasarkan kepada Sufisme atau sebagian ajaran
Cabala yang identik dengan Sufisme". Sumber yang sama
mencatat "analogi yang sangat jelas" antara praktik-praktik
dari kedua aliran mistik Yahudi dengan "pokok-pokok praktik
Sufisme" dalam aktivitas Hasidis, termasuk hubungan antara
murid dan guru. Sedangkan buku pertama tentang etika pada
periode Yahudi-Arab berdasar sebuah teladan Sufi. Maka dari
itu, "Sufisme memperoleh perhatian khusus dari para sarjana
Yahudi, karena pengaruhnya terhadap karya tulis etika dan
mistik pada masa Yahudi-Arab itu".
Kiranya perlu ditambahkan bahwa kata sifat "Arab" dan
'Yahudi" tidak begitu penting bagi Sufi. Hal ini pula yang
menjadi alasan mengapa ada semacam saling pengertian antara
orang Spanyol yang telah mengikuti tarekat Sufi dan orang
Spanyol yang sangat banyak berperan dalam menyebarkan
ajaran-ajaran Sufi ke Barat Kristen.
Tentu saja Cabala adalah sebuah formulasi, sebuah
kerangka dasar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Seperti kebanyakan sistem ajaran mistik --demikian pula
kerangka sistem Tarekat-tarekat Sufi-- seperti api di dalam
sekam, ia tetap hidup setelah masa keterputusannya dan
setelah berlangsungnya readaptasi (penyesuaian kembali
ajaran-ajarannya yang murni).
Jadi menurut Sufi, sihir dan keajaiban mempunyai fungsi
yang sama dan bersifat aktif. Keduanya terjadi sesuai dengan
ruang dan waktu serta dengan syarat-syarat tertentu.
Lantaran keduanya terikat waktu sekaligus arah suatu
perkembangan, maka sihir dan keajaiban harus dilihat sebagai
hal yang luar biasa di satu sisi dan hal yang lazim di sisi
lain. Apabila orang masih melihatnya di luar
kriteria-kriteria tersebut, maka mereka tentu akan
menganggapnya sebagai suatu hal yang ajaib dan tidak
berguna.
Catatan:
1 Gairdner, Introduction
pada the Niche for Lights, hlm. 6.
2 Seorang teolog,
Profesor A. Guillaume, Islam, London, 1954, hlm. 152.
3 Sufism, Its Seeds and
Shrines, Lucknow, 1938, hlm. 182-3.
4 Op.cit., hlin. 266.
5 Versi Whinfield,
Matsnawi, Buku V, Kisah X, London, 1887.
6 Prof P K. Hitti,
History of the Arabs, London, 1960, hlm. 573 dan seterusnya.
Gordon Leff, Medieval Thought, London, 1958, hlm. 116 dan
seterusnya.
7 Perubahan dasar
Cabalisme itu telah memberi cacat pada perkembangan sistem
ini, terutama tujuan dan arti pentingnya. Oleh karena itu,
literatur Cabala Ibrani dan Kristiani pada akhir abad kedua
belas tidaklah begitu berarti. Literatur-literatur itu
mencakup semua aspek Cabala, yaitu Sepuluh Unsur, dan
berbeda dengan "Eight Cabala."
|