|
HUKUM YANG LEBIH TINGGI
Ada tiga tanda-tanda kedermawanan
sejati: tetap tabah tanpa menolak, memuji tanpa merasa
dermawan, dan memberi sebelum diminta.
(Ma'ruf
al-Karkhi)
Salah satu hasil yang paling menarik dari kesusastraan
Sufistik Barat adalah puisi panjang the Kasidah, yang
ditulis oleh seorang pengembara Sir Richard Burton seratus
tahun yang silam. Ia sendiri adalah seorang Sufi dan
"kasidah" ini digubah pada perjalanan pulangnya
dari Mekkah. "Kidung tentang hukum yang lebih
tinggi" yang muncul dalam edisi-edisi kecil itu telah
membangkitkan minat yang besar. Bahkan Lady Burton yang
tidak terlalu simpatik terhadap keyakinan heteredoks
suaminya itu mengakui bahwa dirinya telah membacanya
berulangkali dan selalu berlinang air mata karena terhanyut
maknanya. "Bahkan jika sekarang aku membacanya, ia akan
lebih membuatku kurus. Ia biasa menjauhkannya dariku karena
ia begitu mengesankan bagiku." Tentu saja puisi
tersebut merupakan gubahan berat dan sarat dengan ajaran
Sufi.
Dalam prakata untuk kasidah tersebut, Burton menyebut
dirinya sendiri sebagai "penerjemah", dan
menisbatkan karya tersebut kepada seseorang yang bernama
Haji Abdul Yazdi. Ia merangkumnya sebagai berikut:
Prinsip-prinsip yang mengabsahkan istilah tersebut, yaitu
Hukum yang Lebih Tinggi, adalah sebagai berikut:
- "Penulisnya menegaskan bahwa kebahagiaan dan
penderitaan dibagi dan disebarkan di dunia
ini."
- "Dengan tetap menghargai orang lain, ia
menjadikan pelatihan diri sebagai tujuan tunggal yang
bisa menentramkan kehidupan manusia.
- "Ia menyatakan bahwa rasa cinta, simpatik dan
rasa welas asih sebagai pemberian Tuhan merupakan
kebahagiaan tertinggi manusia."
- "Ia berupaya untuk menunda keputusan dengan
kecurigaan yang layak terhadap 'fakta-fakta yang
ada, takhayul-takhayul yang tiada
berguna'."
- "Akhirnya, meskipun tampaknya merusak, secara
esensial ia bersifat membangun kembali."
"Hanya pengagum Omar Khayyam yang bisa menulis
Kasidah tersebut," ucap Justin Huntly McCarthy. Bahkan
menurut Lady Burton, puisi tersebut ditulis delapan tahun
sebelum Fitzgerald memperkenalkan Omar Khayyam kepada
Burton, Swinburne dan Rosetti. Tentu saja faktor yang
menyebabkan kedua penyair tersebut sama adalah karena
keduanya sama-sama Sufi.
Meskipun hanya beberapa ratus salinannya yang muncul,
Kasidah tersebut (Gemerincing Bandulan Unta) dimasukkan ke
dalam biografi Lady Burton tentang "Sarjana ahli
ketimuran terbesar yang pernah dimiliki Inggris namun
dilupakan". Akibatnya karya tersebut menjadi sangat
terkenal dan niscaya mempunyai pengaruh besar terhadap
mereka yang mempelajarinya. Dengan meringkasnya, Isabel
Burton memperlihatkan bagaimana garis-garis besar pemikiran
Sufistik bahkan bisa mempengaruhi seseorang yang taat
menganut Kristiani dan tidak simpatik terhadap komitmen
penulisnya: "Ini merupakan puisi dengan kekuatan yang
luar biasa, tentang alam dan nasib Manusia, bersifat
anti-Kristiani dan Pantheistik. Begitu banyak kekayaan
pengetahuan Ketimuran secara langka bisa dipadatkan menjadi
begitu kecil layaknya sebuah kompas."
Apa yang telah dilakukan Burton adalah mengulas
metode-metode pemikiran Barat, teori-teori dan
filsafat-filsafat modern dalam bentuk syair dari sudut
pandang Sufi. Selebihnya (seperti Omar Khayyam) ia
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya sendiri,
tetapi ia tidak memberikan jawaban secara pasti. Ini
merupakan teknik dari pengajaran Sufi yang mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menunggu, untuk melihat
apakah para pendengarnya akan mencari penjelasan atau tidak.
Pesan Sufi memiliki sebuah arti bagi para pemikir Barat dan
bahkan diakui sebagai esensi dari kehidupan Burton.
Kehidupan Burton digambarkan sedemikian rupa oleh seorang
pengagumnya: "Bagiku, raison d'etre-nya yang besar
adalah kasidah 'Gemerincing Bandulan Unta'. Adalah
sulit menilai sesuatu pada kejutan pertama dari kekaguman,
tetapi bagiku tampaknya ia layak disejajarkan dengan
puisi-puisi terbesar di Bumi dan di hadapan segalanya
"
Ia merupakan puisi panjang, sebanyak dua puluh halaman
dan merupakan suatu ulasan penulis terhadap orang yang
diduga bernama Haji yang mana terhadapnya ia
memperlakukannya sebagai seorang ayah dan (untuk itu) lebih
panjang. Burton mengikuti metode para guru Sufi dalam
catatan-catatannya, dan ini merupakan bagian dari karya
tersebut yang dengan sangat jelas memperlihatkan bahwa
Burton mencoba untuk memproyeksikan ajaran Sufi di Barat.
Sampai pada tingkatan ini ia harus dipandang sebagai bagian
dari proses yang telah berlangsung --pertukaran antara Timur
dan Barat yang dikaji dalam buku ini.
Dalam Sufisme ia menemukan suatu sistem aplikasi bagi
keyakinan-keyakinan manusia yang salah jalan, "yang
akan membuktikannya semuanya benar, dan semua salah; yang
akan menyatukan perbedaan-perbedaannya; akan mempersatukan
kepercayaan-kepercayaan masa silam; akan menyebarkan masa
kini, dan akan mengantisipasi masa depan dengan suatu
perkembangan yang berkelanjutan dan tidak terputus".
Hal ini harus melalui suatu proses "yang tidak bersifat
meniadakan dan membedakan, tetapi sebaliknya, secara kuat
bersifat positif dan membangun". Seperti semua Sufi, ia
sering menggunakan metode dalam mendekati subyeknya dari
sejumlah sudut yang berbeda dan kemudian meninggalkannya,
membiarkan pembacanya untuk menyempurnakan proses tersebut.
Alasan untuk hal ini adalah bahwa seorang Sufi hanya bisa
dicapai dengan melewati tahapan kemuridan dan amal-diri
(amal an-nafs).
Yang terpenting, Burton yang menulis pada suatu masa
ketika ilmu dan akal berada dalam luapan kegembiraannya yang
luar biasa dengan penemuan-dirinya, menegaskan bahwa
"terdapat hal-hal yang oleh akal atau instink manusia
dewasa, dalam keadaannya yang tidak berkembang, tidak bisa
dikuasainya; tetapi akal adalah hukum bagi dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, kita tidak terikat untuk meyakini atau
berupaya meyakini, sesuatu yang bertentangan dengan
akal."
Kasidah tersebut dibuka dengan gurun, kegelapan, para
peziarah dalam perjalanan mereka ke Mekkah:
Saat telah dekat, sang Ratu (malam)
bergeser
Surut 'tuk memerintah malam
berikutnya;
Bermahkotakan kilatan Bintang dan
bersinggasanakan
lingkaran cahaya kelabu.
Malam telah lewat, sementara para pengembara tersebut
mengalami berbagai emosi, dan Burton meninggalkan kafilah
para peziarah tersebut, kehidupan manusia yang belum/tidak
berkembang. Ia menyusuri jalan lain, Jalan Sufi:
Teman-teman di masa mudaku, pada
akhirnya berpisah!
Kita berharap suatu saat kita bertemu
lagi,
Namun diri-manusia yang sama tidak akan pernah
bertemu;
waktu akan menjadikan kita sebagai orang-orang
lain ...
Pergilah, lenyaplah dari kehidupanku
sebagaimana
gemerincing bandul unta menghilang.
Sekarang puisi tersebut berbicara tentang
pertanyaan-pertanyaan abadi yang selalu diajukan manusia,
ketakutan-ketakutan mengerikan yang mengepungnya. Ia
mengutip Hafizh ("Puisi Cinta dan Anggur") dan
Omar Khayyam, yang "ingin menceritakan akal mandul dan
tua dari tempat tidurnya, dan mengawini putri-Anggur di
persemayamannya". Dengan mengambil pencariannya
terhadap tahapan yang lebih lanjut dalam gaya Sufi yang
tipikal, ia memperlihatkan bahwa terdapat sesuatu yang masih
lebih dalam di balik khayalan mereka: "... alangkah
bodohnya seseorang yang mempercayai satu kata yang ia
ucapkan!" Ia mengutip Sufi yang mengatakan bahwa
seseorang yang mengetahui bahwa dirinya memiliki jiwa berhak
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang ini, dan ia
memperlihatkan bahwa pesimisme yang seolah-olah tampak pada
seorang Sufi kadang-kadang menyembunyikan sesuatu yang lain
dan mengungkap absurditas keakuan:
Dan inilah semuanya, karena kita
dilahirkan untuk
menangis dan sesaat kemudian mati!
Maka lantunkan kidung kedangkalan yang
hidupnya
masih bekerja pada huruf
"Aku".
Penegasan Sufi tersebut membawa Burton kepada Yesus. Ia
telah meratapi kesedihan dosa-dosa kita, mengapa secercah
surga tidak diberikan kepada manusia? Mengapa telinga tidak
pernah bisa mendengar dan mata tidak pernah melihat
keindahan dalam kerajaan surgawi? Manshur (al-Hallaj), sang
Sufi Syahid yang dipenggal lehernya di depan umum oleh
kekuasaan tirani, sekarang ditempatkan berdekatan dengan
Yesus dan mengatakan, "Akulah kebenaran! Akulah
kebenaran ... mikrokosmos tinggal pada-Ku!" Manshur
telah bersikap bijak, "tetapi lebih bijak mereka yang
menghantamnya dengan lemparan batu."
Makan, minum dan menikah merupakan sesuatu yang mungkin
terdengar sangat baik, tetapi ini tidak memperlihatkan suatu
pembedaan antara manusia dan babi. Sang asketik (zahid),
betapapun fanatiknya ia, jawab Burton, ketika ia mengikuti
bumi, bahwa secara utuh ia percaya pada kehidupan yang akan
datang, sekadar menyesuaikan diri dengan dunia ini. Betapa
ia lebih bijak dari Musa (yang mengabaikan pahala dan siksa
di masa datang), yang memperlihatkan keadaan masa datang
--masa depan ketika ia tidak mengetahui masa lalu dan
baginya, masa kini hanyalah impian. Sang Sufi sama sekali
tidak menyukainya:
Manusia, betapakali pahamnya engkau
tentang Kehidupan?
Namun selamanya terbungkus dalam kandungan,
kuburan.
Engkau terlalu banyak berbicara
tentang
Kehidupan yang Akan Datang.
Surga dan Neraka engkau bicarakan dengn penuh
kegembiraan.
Perasaan tentang arti pentingnya seseorang, meskipun
menurut Sufi mungkin diperlukan pada cara-cara tertentu,
harus digerakkan kepada pemikiran yang benar, jika tidak
maka manusia tidak ada gunanya --meskipun tampaknya ia tidak
demikian bagi orang-orang yang tidak berguna.
Dunia telah tua dan kau masih muda,
dunia besar dan kau kecil;
Wahai debu sesaat, berhentilah dari
keserakahan!
Bagian yang mengikuti teguran ini mengkaji pertentangan
dalam pemikiran manusia tentang kehidupan, terutama tema
kesedihan yang mewarnainya. Ilustrasi-ilustrasi diambil dari
Hindu, Budha, Mesir kuno; penciptanya dipandang sebagai
seorang manusia yang membesar, pembuat tembikar, penemuan,
yang bermain-main dengan apa yang semata-mata merupakan
sentimen manusia. Cara dunia ketuhanan bekerja atau
berencana tidak bisa dijelaskan dalam bahasa manusia:
Manusia, berhentilah menangis,
bersedih, dan meratap;
nikmatilah kecerahan mentari;
Kita menari di atas tebing curam
Kematian,
tetapi apakah tarian tersebut berkurang
keceriaannya?
Dengan menyeleksi ucapan-ucapan dari para guru kuno, Sufi
Inggris tersebut memperlihatkan bahwa semata-mata pengalaman
hidup tidak mengajarkan apa pun. Budha dan Confusius dikutip
dan Tuhan buatan manusia sekali lagi diserang. Adapun zahid
dan agamawan yang bersahaja dan semata-mata menegaskan bahwa
ia memilih memanggil Tuhan "Sang Pencipta",
diserang oleh Sufi sang Pemenang Anggur tersebut. Suatu
makhluk yang selalu berubah dan terbatas tidak bisa mengukur
kedalaman-kedalaman Kekuatan tak terhingga dengan "kaki
terikat". Gema Sufistik tengah merambah mendekati
agnostisisme yang mana kadang-kadang para Sufi dituduh
melakukannya. Hanya di sinilah, pada bidang sempit antara
keimanan dan kekafiran ini, kebenaran tersebut bisa
ditemukan.
Rasa takut kekanak-kanakan dari kemanusiaan yang hilang
mencari Tuhan yang sesungguhnya, menjadikannya dalam citra
mereka sendiri, kemudian "memohon Tuhan untuk melanggar
hukum-hukum-Nya". Dalam satu bentuk atau lainnya kita
menemukan Brahmana yang murung di India, ramalan-bintang
Chaldea, Zoroaster yang dualis, Jehovah(nya) Yahudi
--"Adon atau Elohim, Tuhan yang menghantam, sang
Manusia Perang". Ia menyapu masa lalu dewa-dewa Yunani,
kemanusiaan-kemanusiaan yang adil dan lemah, kepada Odin
dari Utara. Dengan melihat agama sebagai gerakan manusia
yang tengah berkembang, Burton menyaksikan kematian
Pan-Besar; sang Nabi Nazareth datang dan mengambil tempat
duduknya di bawah matahari: "Pengabdian terhadap tuhan
trinitas (the riddle god), satu adalah tiga dan tiga adalah
satu.1" Dan,
tentu saja, kepercayaan yang menyedihkan tentang
dosa-warisan.
Setelah Kristiani, Islam. OrangArab yang jangkung,
pemakan kadal, menyapu negeri-negeri Jamshid, dan
tradisi-tradisi kuno Persia yang agung telah pergi. Inilah j
alan jalan dari agama-agama yang terorganisir: "mereka
tumbuh, mereka berkuasa, mereka bertempur, dan (akhirnya)
jatuh, sebagaimana gemerincing bandul unta melengking tinggi
dan kemudian hilang menyeberangi dunia."
Tidak ada yang baik maupun buruk, sebagaimana ia diukur
dengan standar-standar yang biasa. Inilah yang ditegaskan
Burton, tanpa tambahan penjelasan Sufistik seperti biasanya,
bahwa apa makna sesungguhnya dari hal ini hanya bisa dialami
kesadaran batin Sufi. Begitu ia dinyatakan dalam kerangka
kata-kata yang terbatas, maka ia terkesan merusak. Tetapi ia
menulis dalam genggaman nyala semangat Sufistik dan untuk
itu ia memaksudkan dirinya sendiri kepada para Sufi semata.
Ia menyatakan, yang baik bagi manusia adalah apa yang
disukainya, yang buruk adalah apa yang membahayakan.
Gagasan-gagasan ini berubah bersama tempat, ras dan waktu.
Setiap kejahatan yang dulunya adalah sebuah kebajikan,
setiap kebaikan yang pernah disebut dosa atau kejahatan.
Baik dan buruk saling terjalin. Hanya Khizr (Khidr, sang
Sufi paripurna) yang bisa melihat di mana yang satu mulai
dan yang lain berakhir.
Kalangan literalis yang mengklaim bahwa keadaan awal
manusia adalah ideal, sekarang berada di bawah keganasan
api; Burton mengambil amunisinya dari pengetahuan modern
tentang evolusi. Sebelum manusia menjelajahi bumi,
penderitaan dan aniaya adalah sifat yang berlanjut. Binatang
primitif saling mencabik. Sebelum itu, bumi yang indah
berubah membara panas dan membeku keras; matahari merupakan
bulatan api yang berputar; bulan hanyalah bangkai batu yang
dulunya bagian dari dunia. Manusia awal hanyalah makhluk
polesan:
Jubah pilihannya adalah bulu
kasar
alat pilihannya adalah lempengan batu.
Hiasan terbaiknya adalah tato kulit
dan
lubang-lubang untuk menggantung ceceran
tulang-belulangnya.
Yang berjuang demi perempuan dan
makanan yang bisa membangkitkan nafsu.
Dan demikianlah Nafsu yang tumbuh menjadi
Cinta
kala Khayalan menyalakan api yang lebih
murni.
Manusia primitif belajar dari berang-berang dan semut
bagaimana cara membangun; dan ketika ia mampu menguasai api
maka sang penguasa binatang buas tersebut menjadi seorang
penguasa manusia. "Kesadaran lahir ketika manusia telah
merontokkan bulu, ekor dan telinga runcingnya".
Warisan kebinatangan masih ada pada manusia dan ini bisa
dilihat pada perilaku seseorang terhadap yang lain. Dalam
penyelewangan sejarahnya yang dikenal, manusia tidak bisa
menerima suatu penjelasan tentang dirinya sendiri atas dasar
kepercayaan terhadap cerita-cerita dan fabel-fabel secara
harfiah.
Kemudian, jika tradisi tidak benar, apa yang benar? Apa
yang kita pikir sebagai kebenaran sama sekali bukan
demikian. Jenis kebenaran (seperti) ini bersifat berubah
secara temperamental. Burton menjelaskan hal ini dalam
komentarnya terhadap puisi "Haji", "Persepsi,
jika bisa dipahami dengan benar, menghasilkan kebenaran
obyektif dan universal; sementara refleksi dan sentimen,
yang bekerja pada dataran moral atau bagian otak pusat dari
para phrenologis, hanya memberikan kebenaran subyektif,
bersifat pribadi dan individual."
Kebenaran obyektif merupakan tujuan Sufi, dan jelas
terlihat bahwa Burton mencoba menekankan kepada pendengarnya
akan arti penting mencari kebenaran tersebut.
Semata-mata teori, pengamatan-pengamatan yang
diulang-ulang, tidak berarti apa-apa. Untuk itulah Burton
berteriak kepada pendeta untuk membaptis yang mati,
sebagaimana yang dilakukan kalangan Marcionite, dengan
mengikuti pernyataan dari Paulus (Corrintinus I, XV, 29):
"Apa lagi yang akan mereka lakukan dengan membaptis
(orang) mati, jika yang mati sama sekali tidak bangkit?
Lantas, mengapa mereka membaptis yang mati?"
Kebenaran tidak bisa ditemukan dengan cara-cara yang
umumnya digunakan untuk mencarinya:
Ya, mungkin benar, tetapi (Kebenaran)
tidak di sini,
manusia harus mencari dan menemukannya di
sana.
Tetapi aku maupun engkau tidak bisa mengatakan
di mana,
dan ibu pertiwi pun tidak bisa
mengungkapnya.
Perjuangan menemukan kebenaran, dalam bentuknya yang
sejati, sebagian dicapai tanpa melakukan perjuangan sama
sekali. Inilah paradoks Sufi yang termuat dalam baris-baris
berikut:
Cukuplah berpikir bahwa Kebenaran itu
bisa ada;
marilah kita duduk di mana mawar-mawar
berkembang;
Sungguh ia yang tidak tahu bagaimana untuk
tahu
adalah juga ia yang tidak tahu bagaimana untuk
tidak tahu.
Bahkan makna keimanan itu sendiri oleh Sufi harus
didekati dengan cara yang oleh orang kebanyakan terlihat
sebagai cara yang aneh (eliptikal). Seperti guru-gurunya,
Burton mendekati hal ini dengan (sesuatu) yang tampaknya
paradoks. Semua keimanan katanya, mengandung kepalsuan dan
kebenaran. "Kebenaran adalah kepingan-kepingan cermin
yang ditebarkan pada pecahan-pecahan yang sangat banyak;
sementara masing-masing (orang) meyakini bahwa pecahannya
yang kecil tersebut adalah keseluruhan (kebenaran) yang
dimilikinya. "Jenis keimanan yang tidak mendorong
manusia untuk mencari keimanan sejati begitu sering mandeg
dan tetap karena ia (sebenarnya) semata-mata yang pada saat
ini bisa disebut pengondisian. Keimanan palsu ini tetap
kokoh. "Mengapa? Karena khayalan-khayalan bodoh manusia
masih tetap ada dan akan tetap ada sampai manusia yang lebih
bijak menertawakan mimpi-mimpi siangnya di masa
mudanya." Ini sama persis dengan pemikiran Rumi, ketika
ia bertanya kapan pendengarnya akan berhenti mengejar
keindahan masa kanak-kanak.
Sekarang tentang pembahasannya. Setelah Burton
meninggalkan ajaran konvensional tentang jiwa, orang yang
fanatik menyerang balik dengan kecaman keras atas
materialisme, yang ia pikir merupakan sesuatu yang
diperjuangkan oleh Sufi:
"Huh!" ucap sang zahid,
"kita tidak mampu menjangkau
ajaran dari madzhab yang menjijikkan.
Yang menjadikan manusia sebagai robot,
akal sebagai sekresi, dan jiwa sebagai
kata."
Burton membiarkannya sejenak. Keimanan adalah akibat
peristiwa kelahiran, keimanan yang biasanya dikenal manusia
adalah hasil dari lingkungannya. Burton lagi-lagi
menghadapkan satu pemeluk agama dengan lainnya; Hindu
meremehkan (bangsa) Prancis; Muslim mengecam Polytheisme;
orang Budha menyebut pemeluk Confusius sebagai anjing;
Tartar menyatakan bahwa perhatian terhadap keadaan masa
depan (akhirat) mengkhianati efisiensi dan tugas-tugas
manusia di dunia. Dan Sufi menimpali:
Anda semua benar, Anda semua
salah," kita mendengar
ucapan Sufi yang tak acuh,
"Karena masing-masing meyakini sinar
redup
lampunya sebagai cahaya cemerlang
matahari."
Dengan melihat ke depan, karena ia tidak menemukan
tanggapan dari orang-orang sezamannya, Burton mengatakan
kepada dirinya sendiri bahwa, setelah menyampaikan pesannya,
di masa-masa mendatang ketika hikmah hinggap kepada manusia,
"Gema-gema dari sebuah suara yang telah lama membisu
akan segera membangunkan jiwa yang peka."
Ketidaktahuan manusia atas kebodohan dirinya sendiri
adalah musuh sejati. Ia harus mencari kebenaran dalam jalan
yang benar, harus menyenangkan hati, "... berikrar
melepaskan Mengapa dan mencari Bagaimana."
Pergilah menempuh jalanmu dengan
terang, jangan
takut menceritakan kisahmu yang
sederhana:
"Bisikan-bisikan angin-Gurun; gemerincing
bandul unta".
Letupan Burton tentang aktivitas Sufi dalam Kasidah, yang
diterbitkan enam puluh tahun yang silam, disejajarkan dengan
terjemahan dan adaptasi Wilberforce Clarke terhadap (buku)
The Gifts (Hadiah-hadiah). Kasidah ini menjelaskan pijakan
dalam memperlihatkan bahwa filsafat darwis berbeda dari
penilaian Barat yang biasa terhadapnya pada saat itu. Karya
ini paling tidak memberikan dasar bagi kajian lebih lanjut
terhadap gagasan-gagasan Sufi, jika bukan
praktik-praktiknya. Dengan menghubungkan penilaian Sufi pada
perasaan-perasaan Barat modern, Burton telah mempersiapkan
suatu jembatan dimana dengannya orang Barat yang (beriman)
berpikir akan bisa menerima konsep-konsep Sufi esensial.
Cartwright tetap meninggalkan sebuah buku yang sama
pentingnya, sebuah buku dengan samaran roman semu-Ketimuran
(pseudo-Oriental) yang menghadirkan beberapa pengalaman
sejati menjadi seorang Sufi.
Karena sistem kerja dan pemikiran yang menyeluruh dari
Sufisme tidak banyak digunakan di Barat, dan karena
prasangka atau perbedaan pemikiran, sampai akhir-akhir ini
tampaknya sulit untuk "menaturalisasikan" dirinya
dimana ia sangat dibutuhkan, diharapkan bahwa beberapa karya
sastra asli yang bersifat Sufi bisa ditemukan pada
bahasa-bahasa Eropa Barat. Buku-buku teks di Timur umumnya
ditulis dalam bentuk puisi atau pujaan ketuhanan, dan bagian
aktif dari pengajaran diberikan oleh seorang guru yang
fungsi utamanya adalah benar-benar menjadi seorang guru,
yaitu ada di antara murid-muridnya. Cartwright melakukan hal
terbaik lainnya: ia menulis sebuah catatan tentang
pengalaman-pengalamannya pada sebuah sekolah semacam
ini.
Buku The Mystic Rose from the Garden of the King (Mawar
Mistik dari Taman Sang Raja) pertama kali muncul pada tahun
1899. Anehnya buku tersebut tampak seperti sebuah khayalan.
Penulisnya adalah Sir Fairfax L. Cartwright, seorang anggota
jajaran diplomatik. Buku tersebut dicetak ulang pada tahun
1925, dan didalamnya memuat dua sumber penting dari
pengalaman-pengalaman Sufi bagi mereka yang bisa
memahaminya. Bagian yang dicurahkan bagi cerita-cerita
dimaksudkan untuk menguak tabir antara pemikiran biasa dan
batin yang selalu bertanya tentang dirinya. Bagian lainnya
menjelaskan serangkaian pengalaman batin, yang diberi nomer
dan menggambarkan realisasi seseorang yang berbeda-beda
terhadap unsur ekstra yang mungkin dicapai manusia sebelum
ia sampai pada titik dimana ia bisa menggunakan persepsi
ini.
Seperti Burton, Sir Fairfax merasa perlu menisbatkan,
pada edisi pertama, hal-hal yang menyangkut buku tersebut
kepada orang Timur, "Syekh Haji Ibrahim dari
Karbala". Ia menggunakan khayal dan lingkungan Timur,
karena buku ini benar-benar mencurahkan diri bagi proyeksi
pemikiran Sufi melalui obyektivisasi isinya. Seperti cerita
fabel pada awal buku ini, ia memungkinkan pembacanya untuk
melepaskan dirinya dari asosiasi dan sampai tingkatan
tertentu untuk ikut serta ke dalam realitas yang ingin
disampaikan penulisnya. Pembaca tidak benar-benar berpikir
tentang dirinya sebagai seorang darwis atau "raja
Timur". Sampai tingkatan ini ia bisa dengan aman
menikmati gagasan-gagasan dalam teori itu dan lebih dari itu
ia akan menolak jika idea-idea tersebut ditampilkan dalam
pola kebudayaannya sendiri.
Buku ini bukan pengganti bagi pengalaman Sufi, tetapi ia
memuat bahan-bahan yang disesuaikan dengan pikiran Barat
yang mencoba memahami suatu cara berpikir, sementara dalam
kebudayaannya kurang mempunyai dasar-dasar yang (bisa)
disepakati. Gagasan bahwa pengalaman ekstatik (kebahagiaan
spiritual) adalah identik dengan Sufisme atau mistisisme
sejati dari jenis apa pun merupakan salah satu dari berbagai
poin yang disanggah oleh Cartwright:
"Orang yang merasa (akan) mencari pelipur lara
dengan mabuk, tetapi mabuk mungkin bisa diakibatkan oleh
anggur yang baik atau oleh anggur yang buruk; anggur yang
baik akan membawanya naik ke dalam suatu keadaan ekstase
material dan membuatnya melupakan kesedihannya; anggur yang
buruk akan menyebabkan keadaannya semakin buruk dari
sebelumnya. Begitu juga dengan anggur spiritual; jika ia
murni maka ia akan mengangkat sang murid yang meminumnya ke
dalam ranah perenungan sempurna tentang kebenaran, tetapi
jika ia palsu dan tidak murni, maka ia akan melemparkan
jiwanya lebih jauh ke belakang dari titik yang telah
dicapainya."
Tamsil alkimia, sebuah cerita Sufi tradisional dimana
didalamnya kerja besar peralihan (spiritual) dituntaskan,
diberi bentuk baru dalam buku tersebut. Buku tersebut penuh
dengan tamsil dan salah satu yang terbaik adalah adaptasi
Barat terhadap "cerita tentang butir-butir pasir",
yang tidak kehilangan apa pun dalam bentuk (lahiriah) yang
ia berikan:
Sebuah arus air yang gemercik mencapai sebuah gurun pasir
dan ternyata tidak mampu menyeberanginya. Air tersebut
lenyap ke dalam butiran-butiran pasir yang halus, semakin
lama semakin cepat. Arus air tersebut berteriak lantang:
"Aku tak mampu menyeberanginya, tetapi aku melihat
sebuah jalan!"
Ini merupakan keadaan murid yang membutuhkan seorang
guru, tetapi tidak bisa mempercayai siapa pun, suatu keadaan
manusia yang menyedihkan.
Suara Gurun menjawab, dalam lidah alam yang tersembunyi
seraya berkata: "Angin bisa menyeberangi gurun, begitu
juga engkau bisa melakukannya."
"Tetapi ketika aku mencobanya, aku terserap ke dalam
pasir; dan meskipun aku melontarkan diriku ke gurun itu, aku
hanya bisa menembus sedikit jarak."
"Angin tidak membenturkan dirinya ke gurun
pasir." "Tetapi Angin bisa terbang, sedangkan aku
tidak."
"Engkau berpikir dengan cara yang salah; mencoba
terbang dengan dirimu sendiri adalah rancu. Biarkan Angin
membawamu menyeberangi gurun."
"Tetapi bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Biarkan dirimu terserap ke dalam Angin."
Arus air tersebut menolak karena ia tidak ingin
kehilangan individualitasnya dengan cara seperti itu. Jika
melakukannya, ia mungkin tidak eksis lagi.
"Cara berpikir seperti ini," ucap sang Pasir,
"adalah suatu bentuk logika, tetapi ia tidak merujuk
pada realitas sama sekali. Ketika angin menyerap uap (air),
ia membawanya menyeberangi gurun, dan kemudian membiarkannya
jatuh kembali laksana hujan. Hujan ini kemudian menjadi
sebuah sungai kembali."
"Tetapi, tanya si Arus air, "bagaimana bisa
diketahui bahwa hal ini benar adanya?"
"Memang demikian dan engkau harus mempercayainya,
atau engkau benar-benar akan disedot oleh pasir-pasir itu,
dan setelah beberapa juta tahun akan menjadi
kubangan."
"Tetapi jika itu benar, apakah aku akan menjadi
sungai yang sama seperti keadaan hari ini?"
"Bagaimanapun, engkau tidak bisa tetap menjadi arus
air yang sama seperti sekarang ini. Pilihan tidak terbuka
untukmu; tampaknya ia harus dibuka. Angin akan membawa
esensimu, bagian terbaik dari dirimu. Ketika engkau menjadi
sungai lagi di gunung-gunung di balik gurun tersebut,
manusia mungkin akan memanggilmu dengan nama yang berbeda;
tetapi engkau sendiri, secara esensial akan tahu bahwa
engkau adalah sama. Sekarang engkau menyebut dirimu sendiri
serupa dan semacam sebuah sungai hanya karena engkau tidak
mengetahui bagian manakah dari sungai tersebut yang menjadi
esensimu."
Maka, Arus air tersebut menyeberangi gurun dengan
menyerahkan dirinya ke jari-jari Angin yang menyambutnya
dengan hangat, mengumpulkan ke atas secara perlahan dan
hati-hati, kemudian menurunkannya dengan lembut, ke
puncak-puncak gunung di sebuah negeri yang jauh.
"Sekarang," ucap si Arus air, "Aku telah
memahami jati diriku."
Tetapi ia memiliki satu pertanyaan, ketika ia semakin
deras, terlontarlah pertanyaan itu, "Mengapa aku tidak
bisa memahami hal ini melalui pikiranku sendiri; mengapa
Pasir yang harus menyatakannya kepadaku? Apa yang terjadi
jika aku tidak mendengarkan nasihat Pasir-pasir
tersebut?"
Tiba-tiba sebuah suara kecil berbicara kepada Arus air
itu. Suara ini datang dari sebutir pasir yang halus,
"Hanya Pasir yang tahu, karena mereka telah melihat hal
ini terjadi; selain itu, mereka memanjang dari sungai ke
gunung. Mereka membentuk garis penghubung dan mereka
memiliki fungsi yang harus dijalankan sebagaimana segala
sesuatu memilikinya. Jalan di mana arus kehidupan harus
melanjutkan dirinya dalam perjalanannya telah tertulis di
Pasir-pasir itu."
Catatan:
1 Kata "riddle"
merujuk pada penggunaan Sufi terhadap kata tsulatsi mujarrad
(three-letter roots). "Tiga adalah satu" berarti,
tiga huruf "AHD" secara bersama sama menghasilkan
kata "kesatuan".
|