Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PASAL IV. ALKITAB SEBAGAI BAHAN KESUSASTERAAN

I. ALKITAB SEBAGAI MITOS-DASAR AGAMA KRISTEN

Ada baiknya kalau dalam pasal empat ini kita membicarakan status Alkitab sebagai suatu karangan kesusasteraan. Ada dua alasan mengapa kita membahas pokok ini.

i. Pertama, ialah bahwa kebanyakan orang setuju bahwa Alkitab memang merupakan karangan kesusasteraan yang menarik, walaupun dengan catatan barangkali bahwa statusnya sebagai bahan kesusasteraan merupakan taraf-fungsinya yang paling rendah. Anggapan yang lazim ialah bahwa persoalan-persoalan yang mendesak tentang Alkitab sebagai dokumen-dasar dalam kepercayaan Kristen, barulah timbul kalau kita sudah meninggalkan soal status Alkitab sebagai kesusasteraan dan naik ke taraf yang lebih tinggi.

ii. Dan alasan kedua mengapa kita mengajukan pokok itu sekarang ialah bahwa ada hubungan antara pandangan tentang Alkitab sebagai kesusasteraan dan pandangan radikal yang kita bahas dalam pasal tiga.

Berbagai agama, dan berbagai masyarakat berbudaya telah membangunkan diri, serta memperoleh dinamikanya, dari suatu ceritera-dasar atau bahan-kesusasteraan yang merupakan mitos-landasan agama dan masyarakat tersebut. Dalam agama Kristen dan agama Yahudi, mitos-landasan itu ialah Alkitab. Maksudnya, Alkitab merupakan ceritera-dasar atau dokumen-dasar yang dibicarakan atau disinggung pada hampir tiap-tiap pertemuan masyarakat Kristen atau Yahudi. Kitab itu juga berpengaruh sekali dalam membentuk cara-berpikir anggota-anggota masyarakat tersebut, serta menyediakan bagi mereka gambar-gambar, pola-pola, dan kategori-kategori, yang membantu mereka mengklasifikasikan pengalaman-pengalaman mereka.

1. Definisi "mitos" sebagai kategori kesusasteraan

Saya kira tak usah kita berpanjang-lebar mengenai hal ini. Sudah jelas bahwa Alkitab sebagai karangan kesusasteraan telah menjadi sumber inspirasi dan perangsang imajinasi masyarakat Kristen. Alkitab telah merupakan salah satu mitos-dasar, atau bahkan merupakan mitos yang paling penting, yang melandasi perkembangan kesusasteraan kita. Mudah-mudahan telah menjadi jelas bahwa saya tidak menggunakan "mitos" di sini dalam arti sempit, yaitu "cerita yang tidak faktual" atau " dongeng yang dibuat-buat", melainkan yang saya maksudkan di sini ialah mitos sebagai suatu kategori kesusasteraan. Barangkali dapat dibedakan antara dua jenis karangan. Jenis pertama berfungsi dalam memberi keterangan; itu berarti bahwa harganya dinilai menurut ukuran: apakah laporan-laporannya tentang perkara-perkara di dunia luar memang benar dan teliti? Sedangkan jenis karangan kesusasteraan yang kedua mempunyai makna dan nilai yang lain; yaitu bahwa maknanya terletak dalam stuktur dan bentuk cerita itu, atau dalam gambar dan simbol yang digunakan di dalamnya. Maksudnya ialah bahwa jenis kedua ini dinilai sebagai bahan kesusasteraan menurut ukuran estetis, bukan sebagai sumber keterangan. Dengan perkataan lain, makna mitos yang bersifat kesusasteraan tidak terletak dalam hal bahwa oknum dan perkara yang disinggung dalam cerita itu sungguh-sungguh bereksistensi di dunia luar. Apalagi nilainya tidak bergantung kepada ketelitiannya dalam memberi keterangan Kebanyakan bahan kesusasteraan memanglah merupakan cerita-cerita buatan, tetapi kenyataan yang demikian tidak ada sangkut-paut dengan harga atau nilai bahan kesusasteraan tersebut.

2. Unsur faktualitas dan unsur kesusasteraan dalam Alkitab

Kalau begitu, apakah Alkitab pun tidak boleh ditinjau dari segi itu? Apakah kita tidak boleh memandang Alkitab sebagai suatu karangan kesusasteraan yang nilainya tinggi sekali, sehingga Alkitab itu mempengaruhi dan menentukan pola-pola hidup kita melalui cerita-cerita dan simbol-simbol yang terkandung di dalamnya? Itu semua lepas dari soal, apakah hal-hal yang diceriterakan dalam Alkitab itu sungguh-sungguh terjadi persis sesuai dengan ceriteranya, --lepas juga dari soal, apakah perkara-perkara yang disebut dalam Alkitab itu bereksistensi secara obyektip.

-Contoh-contoh:

a. Kitab Ayub

Dari dulu ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang selalu menuntut penafsiran yang demikian. Kitab Ayub misalnya nampak sekali sebagai karangan kesusasteraan. Kesan yang diciptakan dalam kitab Ayub, dan tepatnya jawaban yang dia berikan kepada persoalan-persoalan kita manusia, tidak bergantung kepada soal benar-tidaknya keterangan yang dia berikan mengenai oknum dan perkara yang seolah-olah ada pada jaman kuna itu. Sebenarnya tidaklah mempengaruhi kitab Ayub, apakah Ayub, atau Elifas, atau bahkan Setan pun, sungguh-sungguh bereksistensi. Pendek kata, kitab Ayub merupakan contoh yang gemilang tentang satu bagian Alkitab yang harus dinilai sebagai karangan kesusasteraan.

b. Perumpamaan-perumpamaan

Tetapi bukan hanya kitab Ayub yang termasuk kategori yang demikian. Ada banyak perumpamaan dalam kitab-kitab Injil; makanya dinilai dari segi keterangan faktual yang terkandung di dalamnya, suatu perumpamaan harus diakui sebagai cerita-buatan. Tokoh 'Orang Samaria yang murah hati,' atau 'Anak yang hilang,' tidak pernah bereksistensi. Tetapi hal itu tidak mempengaruhi makna perumpamaan itu bagi kita. Inti pemberitaan perumpamaan itu tidak terletak begitu saja dalam ceritanya, melainkan dalam faktor-faktor lain.

c. Kitab nabi Yunus

Memang lazimnya cerita-cerita yang demikian itu langsung disebut "perumpamaan" dalam Perjanjian Baru, sehingga sifatnya sebagai bahan non-informatoris langsung kentara. Tetapi pada jaman modern ini, para ahli sudah mulai memasukkan cerita-cerita Alkitab yang lain-lain ke dalam kategori yang sama, walaupun cerita-cerita tersebut tidak disebut perumpamaan dalam Alkitab. Misalnya, sudah agak biasa menganggap kitab Yunus sebagai perumpamaan. Ikan besar yang menelan Yunus, dianggap sebagai sarana cerita, yang tidak mempunyai eksistensi yang obyektip.

d. Riwayat penciptaan

Memang dengan demikian persoalannya belum menjadi hangat karena kitab Yunus tidak dianggap merupaLan bagian pokok Alkitab, dan mungkin juga demikian tentang kitab Ayub. Tetapi prinsip-prinsip ini dapat dikenakan juga kepada bahan yang dianggap sungguh-sungguh penting; Sebagai contoh, susunan riwayat penciptaan yang menggambarkan bahwa proses penciptaan dunia berlangsung selama enam atau tujuh hari, dapat dianggap sebagai "perumpamaan." Bapak-bapak kita pada generasi yang lampau beranggapan bahwa berlangsungnya proses enam atau tujuh hari itu betul-betul merupakan kenyataan yang terjadi demikian di dunia obyektif. Kejadian dunia dalam enam atau tujuh hari itu dianggap fakta. Orang Kristen masa kini tidak menerima pengertian yang demikian. Menurut penjelasan para ahli, cerita penciptaan itu menyatakan sesuatu tentang Tuhan, menyatakan sesuatu tentang tabiat manusia, (barangkali secara tidak langsung) menceriterakan sesuatu tentang hubungan antara dunia dengan Allah. Tetapi cerita itu tidak menyatakan caranya dunia ini terjadi. Itu berarti bahwa cerita penciptaan itu dianggap semacam cerita buatan yang bertujuan menyatakan sesuatu yang lain dari pada makna lahiriahnya.

e. Riwayat kelahiran dan kebangkitan Tuhan Yesus

Tetapi jikalau riwayat penciptaan dapat ditafsirkan demikian, apakah pendekatan yang sama itu tidak dapat digunakan juga terhadap riwayat kelahiran Tuhan Yesus, atau terhadap riwayat kebangkitanNya, atau riwayat keluaran orang Israel dari Mesir? Bukankah halnya demikian, bahwa semua cerita ini berfungsi dan mempengaruhi kita dengan cara yang sama seperti caranya bahan kesusasteraan pada umumnya? Apakah cerita-cerita itu tidak mempengaruhi kita, lepas sama sekali dari soal, apakah perkara-perkara yang diriwayatkan di dalamnya itu sungguh-sungguh terjadi di dunia obyektip atau tidak? Apakah effek cerita-cerita itu atas kita tidak mirip kepada kesan yang kita peroleh dari mitos-mitos, pola-pola, khayalan-khayalan dan simbol-simbol, yang kita temui dalam karangan-karangan kesusasteraan yang lain-lain?

Pendekatan demikian itu nyatanya menghadapkan kita kepada beberapa persoalan pokok tentang caranya Alkitab berfungsi dalam rangka iman Kristen.

3. Ditekankannya unsur kesusasteraan tidak timbul dari ketidak-percayaan

Jikalau kita mengaku bahwa pengaruh cerita-cerita dan syair-syair Alkitab mirip kepada pengaruh mitos-mitos dan simbolik yang terkandung dalam karangan-karangan kesusasteraan umum, lepas dari keterangan atau bahan-bahan informatoris yang terkandung di dalamnya, maka hal itu tidak berarti bahwa dengan demikian kita sudah terjerumus ke dalam skeptisisme atau ketidak-percayaan. Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa karena orang tidak bisa percaya lagi kepada cerita-cerita Alkitab secara harfiah itu, maka daripada menganggapnya kedustaan atau kebodohan belaka, terpaksalah mereka menafsirkannya sebagai perumpamaan-perumpamaan saja. Bukan! Kekurang-percayaan akan arti harfiah itu hanya merupakan faktor kecil dalam proses penafsiran-ulang yang sedang berlangsung. Sekalipun riwayat penciptaan itu makin lama makin dianggap sebagai semacam perumpamaan, sedangkan artinya secara harfiah makin kurang meyakinkan, maka perkembangan itu bukanlah disebabkan karena orang terkena ketidak-percayaan lebih dulu, lalu dari situ barulah mulai menafsirkan Alkitab sebagai koleksi perumpamaan. Bukan, tetapi justru karena ternyata bahwa kebanyakan orang menganggap penafsirannya sebagai perumpamaan itu lebih mendalam, dibandingkan dengan pendekatan harfiah, serta lebih berhasil mengarahkan iman kepada obyeknya yang sebenarnya (yaitu dalam hal pengertian tentang Allah dan manusia). Makanya dianggap suatu keuntungan bahwa isi-pokok Alkitab dipisahkan dari unsur-unsur kosmogoni yang kuna dan kusut.

Dengan demikian dapat terjadi, baik berkenaan dengan Kitab Kejadian maupun dengan Alkitab secara keseluruhan, bahwa unsur perumpamaan atau unsur kesusasteraan dirasakan sebagai unsur utama. Makanya dalam hal ini terjadi juga bahwa kesan dari unsur kesusasteraan itu dirasakan, sebelum timbul soal "historisitas," (= yaitu soal, apakah hal-hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh terjadi). Bukan hanya demikian. Lepas dari kenyataan bahwa kesan kesusasteraan dirasakan lebih dahulu, pengaruh cerita-cerita Alkitab itu agaknya tidak bergantung kepada sikap yang diambil terhadap soal historisitas itu. Misalnya, kalau orang berkata bahwa riwayat tentang kelahiran Tuhan Yesus itu merupakan semacam "mitos," belum tentu ini berarti bahwa dia tidak percaya kepada kemungkinan bahwa Yesus lahir dari seorang perawan. Bukan demikian; melainkan maksudnya ialah bahwa cerita itu langsung berpengaruh kepada dia sebelum pertanyaan tentang historisitas kejadian-kejadian itu terjawab. Kalau soal historisitas itu sudah terjawab, tokh jawabannya tidak menambahkan sesuatu kepada kesan cerita itu.

Jadi pada umumnya, kalau kita berbicara mengenai Alkitab sebagai semacam mitos-dasar yang melandasi kepercayaan Kristen, ini tidak berarti sama sekali bahwa kita menganut semacam skeptisisme atau ketidak-percayaan.

4. "Mitos-mitos kesusasteraan": Terjadinya dunia, Kelahiran Tuhan Yesus, Kebangkitan Tuhan Yesus

Satu faktor yang berpengaruh dalam hal ini ialah bahwa agama Kristen pada masa kini memperlihatkan suatu keanekaragaman atau fleksibilitas dalam pokok-pokok kepercayaan seperti mengenai terjadinya dunia, kelahiran dan kebangkitan Yesus. Dalam arti bagaimanakah dunia diciptakan Allah? Dalam arti bagaimanakah Allah membangkitkan Yesus dari antara orang mati? Di luar golongan-golongan umat Kristen tertentu (seperti golongan fundamentalis), jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini nampaknya samar atau beraneka-ragam. Berkenaan dengan pokok-pokok seperti ini, perikop-perikop Alkitab yang bersangkutan itu memberi kesan kepada kaum awam-gereja bahwa yang dibaca adalah seperti mitos kesusasteraan, dan bukan rumusan pengajaran tentang pokok-pokok kepercayaan yang harus diterima. Tetapi walaupun kebanyakan orang Kristen modern nampaknya mempunyai iman yang agak samar-samar tentang hal-hal semacam ini, namun jelas juga bahwa banyak dari antara mereka berkeberatan betul kalau mereka dihadapkan kepada skeptisisme atau ketidakpercayaan yang sungguh-sungguh. Reaksi "berkeberatan" itu memberi kesan bahwa perikop-perikop tersebut telah diterima seperti "mitos-mitos kesusasteraan"; sedangkan skeptisisme menghilangkan daya-tarik mitos-mitos itu, dan menyeret orang kembali ke dalam pengertian dogmatis tentang perikop-perikop tersebut, serta memaksa mereka memutuskan, apakah pengertian dogmatis itu akan dibenarkan atau ditinggalkan.

5. Pemakaian bahan Alkitab secara liturgis dan secara meditatif

Faktor lain lagi yang membawa ke arah yang sama ialah kebiasaan gerejani yang memakai Alkitab secara liturgis, atau secara meditatif. Pembacaan Alkitab sering berlangsung dalam konteks liturgis, dan liturgi itu sendiri mengandung banyak bahan yang terambil dari Alkitab. Memang hubungan antara Alkitab dan liturgi mengalami variasi dari gereja ke gereja. Ada gereja yang memakai banyak bahan Alkitab dalam rangka liturgi, tetapi ditekankannya penafsiran Alkitab dalam khotbah adalah relatif sedikit. Sedangkan di gereja lain uraian Alkitabiah itu menonjol, tetapi pemakaian Alkitab dalam liturgi digantikan oleh ditekankannya pembacaan Alkitab secara meditatif di rumah anggota masing-masing. Pembacaan yang bersifat meditatif itu agak mirip kepada pembacaan secara liturgis, dalam hal bahwa kedua-dua pendekatan itu memperlakukan nats Alkitab bukan sebagai keterangan, melainkan sebagai "mitos-suci." Baik pembacaan secara liturgis maupun secara meditatif agaknya bertolak dari keyakinan bahwa bahan Alkitab senantiasa dapat diterapkan kembali dalam situasi-situasi baru. Alkitab digunakan sebagai suatu perbendaharaan simbol-simbol yang dapat dikeluarkan dan dipakai berulang kali, semacam puisi ilahi, yang membantu gereja segala abad untuk mengerti serta mengekspresikan eksistensinya sendiri. Tetapi cara pemakaian Alkitab yang demikian itu bisa mengabaikan soal: sampai berapa jauh nilai cerita-cerita Alkitab itu bergantung kepada keterangan yang terkandung di dalamnya, atau kepada obyektivitas fakta-fakta lahiriah yang disebut-sebut di dalamnya? Misalnya, riwayat keluaran (exodus) Israel dari Mesir dipakai dalam gereja tertentu sebagai bahan dalam liturgi pembaptisan anak-anak. Makin jemaat mendengar riwayat keluaran dalam konteks pembaptisan anak-anak itu makin kurang perhatiannya terhadap segi-segi-historis riwayat tersebut. Betulkah bangsa Israel keluar dari perhambaan di Mesir? Dan kalau memang betul, bagaimana cara pembebasan mereka itu terjadi? Pemakaian cerita secara liturgis tidak merangsang pertanyaan-pertanyaan yang demikian.

6. Typologi dan alegorisasi

Pemakaian Alkitab secara liturgis-meditatif adalah cocok dengan ide bahwa Alkitab berfungsi di antara umat Kristen sebagai mitos dasar yang bercorak kesusasteraan. Atau kalau kita ingin menggunakan istilah teologis yang lebih tradisional, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang demikian banyak mengandung unsur typologi dan alegorisasi. Artinya, Alkitab menyediakan suatu rentetan type-type atau kategori-kategori yang bersifat kesusasteraan yang menggambarkan inti pengalaman Kristen dan yang menunjukkan ciri-ciri khasnya. Memang para ahli dari dulu sering ragu-ragu tentang pemakaian Alkitab secara typologis, dan lebih-lebih lagi secara alegoris. Tetapi keberatan-keberatan yang demikian tidak sampai kena kepada pemakaian Alkitab secara liturgis atau meditatif. Bahkan pemakaian typologi dan alegori dalam homeletika sering juga diperbolehkan. Kita tidak akan mengusut pokok ini lebih lanjut; cukuplah kita mencatat bahwa pemakaian Alkitab secara liturgis dan meditatif mengandung implikasi bahwa bahasa Alkitab itu dapat diterapkan kepada berbagai situasi dan kondisi manusia pada sembarangan waktu. Maka pemakaian yang demikian mengarah kepada pandangan bahwa Alkitab merupakan semacam perbendaharaan mitos dan simbol yang dapat dimanfaatkan oleh umat Kristen.

7. Pendekatan "apresiasi kesusasteraan" sebagai milik-bersama gereja dan masyarakat

Kecenderungan membaca Alkitab sebagai bahan kesusasteraan merupakan suatu titik-hubungan antara gereja dan masyarakat secara keseluruhan. Bilamana orang yang belum beriman membaca Alkitab, biasanya mereka membacanya sebagai karangan kesusasteraan. Mungkin mereka membacanya dengan merasa tidak perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat teologis berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dan oknum-oknum yang diceritakan di dalam Alkitab. Bahwa ada orang-orang yang membaca Alkitab dengan cara demikian, sepatutnyalah kita nilai secara positif.

Pada masa lampau ada kecenderungan untuk berkesimpulan bahwa pemakaian Alkitab secara teologis sebenarnya berbeda sekali dengan pemakaiannya secara kesusasteraan, atau bahwa pembacaan Alkitab sebagai bahan kesusasteraan berlangsung pada taraf yang lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan teologis terhadap Alkitab. Tetapi sebagaimana kita lihat di atas, tidak usah demikian, karena dalam tubuh gereja sendiri Alkitab sering berfungsi dengan cara-cara yang mirip apresiasi kesusasteraan itu. Maka pendekatan yang demikian dapat menjadi titik-hubungan antara gereja dengan masyarakat yang belum beriman. Kadang-kadang kedengaran ucapan bahwa Alkitab sepatutnya diselidiki dan ditafsirkan "di dalam gereja." Tetapi menurut hemat saya, penekanan yang demikian itu adalah salah. Alkitab merupakan bahan penyelidikan untuk dunia sebagai keseluruhan, dan bukan hanya untuk gereja. Alkitab merupakan bahan yang patut dipelajari di sekolah-sekolah dan di universitas-universitas. Dia menyediakan bahan bukan hanya untuk pendeta dan ahli teologia, melainkan juga untuk ahli sejarah dan sastrawan. Gereja malah menjadi untung kalau pengetahuan dan apresiasi Alkitab ditingkatkan dalam masyarakat dan kebudayaan kita. Sekalipun pendekatan yang demikian masih bersifat non-teologis, bahkan skeptis, hal itu tidak menjadi soal. Bahkan saya berani berkata bahwa gereja untung kalau agnostisisme yang ada di masyarakat mencapai nilai-intelektual yang setinggi mungkin.

Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa bukan hanya di dalam gereja, melainkan dalam masyarakat juga, ada sedikit keseganan dalam menilai Alkitab sebagai kesusasteraan melulu. Sehingga banyak orang malah segan membaca Alkitab, justru karena mereka menganggapnya "benar," yaitu sebagai sumber keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Karena tradisi Kristen sejak dulu biasanya menghargai Alkitab bukan sebagai bahan kesusasteraan, melainkan terutama sebagai sumber keterangan yang sah. Maka penekanan yang demikian sangat mempengaruhi sikap masyarakat dan kebudayaan terhadap Alkitab; sehingga orang yang tidak dapat menerima Alkitab sebagai sumber keterangan yang benar, memutuskan untuk tidak membacanya sama sekali. Oleh karena itu boleh jadi bahwa walaupun Alkitab merupakan karangan kesusasteraan yang bernilai tinggi, dan sangat berperan dalam kebudayaan pada umumnya, namun ada mahasiswa-mahasiswa fakultas sastra yang sama sekali buta-huruf tentang isi Alkitab. Kekurangan mereka itu patut disesalkan, sehingga patut kita perjuangkan supaya Alkitab dihargai sebagai bahan kesusasteraan.

8. Pendekatan teologis dan pendekatan "apresiasi kesusasteraan" saling melengkapi

Biar bagaimana pun, dapat disimpulkan dari uraian-uraian di atas, bahwa tidaklah mungkin untuk memisahkan secara mutlak antara pemakaian Alkitab secara teologis dan pengapresiasiannya secara kesusasteraan. Beberapa ciri, yang telah nampak bila Alkitab dibaca sebagai karangan kesusasteraan, nampak juga dalam beberapa cara pemakaian Alkitab oleh orang Kristen. Mungkin soalnya akan menjadi lebih jelas, kalau kita menyelidiki metode-metode pendekatan kepada Alkitab yang ada.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team