Alkitab di Dunia Modern

oleh Professor James Barr

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

PASAL II. BEBERAPA KONSEP YANG BERPENGARUH

I. PENGILHAMAN

1. "Pengilhaman" diartikan "bebas dari kesalahan"

Mungkin istilah yang paling lazim dikenakan pada Alkitab oleh kaum awam ialah bahwa Alkitab "diilhamkan" atau "diwahyukan." Itu berarti bahwa Alkitab "berasal dari Allah," sehingga isinya benar dan tidak mengandung unsur ketidak-benaran. Tetapi antara para teolog, istilah "pengilhaman" atau "keilhaman" tidak begitu lazim dipakai pada jaman modern ini. Kalangan-kalangan yang masih menggunakan istilah itu ialah teolog Katholik di satu pihak dan kaum fundamentalis Protestan di lain pihak. Justru oleh karena kata "keilhaman" itu dikaitkan dengan fundamentalisme, maka aliran-aliran teologia yang non-fundamentalis segan menggunakannya, sehingga jarang kita ketemu dengan istilah itu pada masa kini.

a. Ditekankannya asal-mula Alkitab

Jikalau kita menggunakan istilah keilhaman, maka kita cenderung untuk menekankan soal asal-mula Alkitab. Alkitab berasal dari Allah, maka itulah yang membedakannya dari karangan-karangan atau tulisan-tulisan lain yang semuanya merupakan karya manusia. Tetapi timbul pertanyaan: "Dalam arti bagaimanakah Alkitab itu dapat dikatakan berasal dari Allah? Apa yang kita maksudkan kalau kita katakan bahwa Allah mengilhamkan Alkitab?" Pertanyaan ini menunjukkan persoalan yang termasuk paling kusut di antara konsep-konsep yang berkenaan dengan penginspirasian Alkitab.

Usaha untuk menggariskan akar-akar dan perkembangan konsep keilhaman itu adalah tidak sulit. Dapat dikatakan bahwa konsep itu berasal dari kebiasaan Perjanjian Lama untuk menggambarkan Allah sebagai "Allah yang berfirman." Allah digambarkan memanfaatkan bahasa yang bermakna jelas dan yang mempunyai kerangkaian (struktur) tata-bahasa, sama seperti bahasa manusia. Tambahan pula, Perjanjian Lama menegaskan bahwa bukan hanya Allah sendiri yang berbicara dengan bahasa jelas; Dia juga memilih agen-agen (perantara-perantara) yang berbicara atas NamaNya sedemikian rupa, hingga menurut kepercayaan Israel, kata-kata yang mereka ucapkan sungguh-sungguh menjadi kata-kata yang diberikan Allah kepada mereka. Kelompok yang terpenting di antara agen-agen Tuhan itu ialah para nabi. Dalam beberapa tradisi ditekankan bahwa para nabi itu menerima Roh Allah, maka oleh karena dipenuhinya dengan Roh itulah agen-agen manusiawi ini mengutarakan ide-ide yang tidak berasal dari mereka sendiri, melainkan mengungkapkan apa yang hendak diutarakan Allah. Konsep-konsep semacam ini, yang memang merupakan unsur penting dalam Alkitab, mungkin diperluas dalam proses perkembangan pemikiran, sehingga dikenakan kepada seluruh isi Alkitab. Namun istilah "diilhamkan", walaupun memang terdapat dalam Alkitab sendiri, barulah nampak sebenarnya dalam suatu bagian Alkitab yang termasuk paling muda (II Timotius 3:16). Bahkan di situpun konteks dan tata-kalimat memungkinkan berbagai interpretasi. Misalnya ada yang menterjemahkan, begini: "segala skriptura diberi dengan pengilhaman dari Allah, sehingga berfaedah sebagai pelajaran"; sedangkan versi lain menterjemahkannya, begini: "Tiap-tiap karangan skriptura yang diilhamkan oleh Allah memanglah berguna sebagai sumber pelajaran." Adalah masih merupakan persoalan terbuka, kitab-kitab atau dokumen-dokumen manakah yang termasuk skriptura, menurut pengertian pengarang II Timotius itu; pun adalah merupakan pertanyaan terbuka, apakah yang dimaksudkan pengarang itu dengan istilah "diilhamkan." Apa yang implisit (termasuk) dalam konsep pengilhaman itu dan apa yang tidak termasuk?

b. Ketak-mungkinan-salah Alkitab

Sebagaimana telah saya katakan di atas, istilah "keilhaman" telah menjadi suatu istilah-pokok di kalangan fundamentalisme Protestan. Di kalangan tersebut yang ditekankan adalah asal-mulanya skriptura. Meskipun demikian, patut diragukan apakah kaum fundamentalis mempunyai gambaran yang lebih jelas, dibandingkan dengan golongan-golongan lain, tentang cara pengilhaman itu terjadi. Menurut pola pemikiran fundamentalis, konsep keilhaman itu dikaitkan secara erat dengan konsep "ketak-mungkinan-salah." Ringkasnya, karena Alkitab berasal dari Allah, maka itu berarti bahwa ia tak mungkin mengandung kesalahan, dan tak mungkin mengantar pembaca ke dalam pendapat yang salah.

-- "bebas dari kesalahan historis" dan "bebas dari kesalahan teologis."

"Kesalahan" dalam konsep demikian mempunyai dua arti, yaitu: kesalahan historis, dan kesalahan teologis. Berarti bahwa kalau Alkitab melaporkan sesuatu sebagai fakta historis, maka pastilah peristiwa yang diceriterakan itu sungguh-sungguh historis. Misalnya, kalau Alkitab menguraikan tentang seorang yang bernama Daniel yang hidup pada jaman Nebukadnesar dan pada jaman Darius, maka pastilah ada oknum Daniel yang memang hidup pada periode itu, dan yang langsung melakukan hal-hal yang termuat dalam riwayatnya itu. Pandangan kritik-historis, yang menjelaskan bahwa kitab Daniel dikarang jauh kemudian dari pada periode raja Nebukadnesar dan raja Darius, patutlah ditolak; karena konsekwensi dari pendapat itu ialah bahwa cerita-cerita tentang Daniel adalah sebagian besar merupakan legenda.

Arti kedua dari "kesalahan" itu ialah bahwa tidak ada kesalahan teologis dalam Alkitab. Apa yang diajarkan Alkitab tentang keimanan dan moral adalah mutlak benar dan wajib diterima. Ya, tentunya ada perbedaan nilai antara unsur dengan unsur di dalam Alkitab; karena ternyata bahwa kaum Kristen fundamentalis pun tidak menganggap tiap-tiap unsur dalam Alkitab itu sebagai bahan yang sama-sama mengikat. Kaum fundamentalis menghadapi persoalan-persoalan tafsir, sama seperti orang-orang Kristen yang lain-lain. Akan tetapi setelah mencatat ketidak-seimbangan yang terdapat antara bagian dengan bagian dalam Alkitab, maka kaum fundamentalis berprinsip bahwa Alkitab secara keseluruhan mengandung ketak-mungkinan-salah secara teologis. Mungkin kita belum sanggup memastikan tafsiran yang tepat untuk bagian tertentu, tetapi pada prinsipnya kita tahu bahwa kalau nanti tafsiran yang tepat itu sudah ditemukan, maka nats tersebut dengan tafsirannya yang tepat itu adalah mutlak benar. Adalah termasuk ciri-khas fundamentalisme bahwa kedua unsur itu, yaitu unsur historis dan unsur teologis dianggap saling bergantung. Orang fundamentalis menyangkal bahwa ada kesalahan historis dalam Alkitab. Hal itu dia tekankan karena dia merasa bahwa kalau diakui adanya kesalahan historis dalam Alkitab, maka pengakuan itu akan membuka jalan kepada pengakuan adanya kesalahan teologis juga. Argumentasi yang sering dia pakai ialah begini: "Di mana proses (mencari kesalahan itu) berhenti?" Kalau Alkitab dinyatakan salah tentang umur Ismail, waktu dia beserta ibunya diusir dari perkemahan Abraham, atau tentang eksistensi-historis oknum Daniel, maka mungkin Alkitab dapat dibuktikan "salah" juga tentang kasih Allah atau tentang prinsip pembenaran oleh karena "iman." Kita tidak akan mengejar argumentasi itu di sini. Maksud saya hanyalah untuk menunjukkan bahwa pemakaian kata "keilhaman" itu secara fundamentalis sudah begitu tersebar-luas, sehingga orang yang mendengar kata keilhaman, langsung menafsirkannya dalam arti "ketak-mungkinan-salah," atau "seratus persen bebas dari salah."

2. Pengilhaman kalamiah/harfiah

a. Di kalangan fundamentalis

Asosiasi kedua yang timbul bagi banyak orang, kalau mereka mendengar istilah keilhaman, ialah bahwa istilah itu mengandung ditekankannya penafsitan harfiah. Istilah "keilhaman-harfiah" sering kedengaran, walaupun maknanya tidak selalu seratus persen jelas. Namun agaknya dalam istilah itu terkandung suatu konsep bahwa Alkitab tidak hanya diilhamkan dalam garis-garis besarnya, yaitu tidak hanya dalam ide-ide atau berita yang terkandung di dalamnya, melainkan juga bahwa bentuk-harfiah Alkitab itu, baik urutan-kata maupun urutan-kalimatnya, diilhamkan oleh Allah secara teliti. Maka dengan demikian disimpulkan bahwa Alkitab seratus persen bebas dari kesalahan. Satu tanda yang menunjuk kepada pengertian demikian di antara kaum fundamentalis ialah bahwa mereka begitu mencintai pengalimatan Alkitab secara harfiah, sehingga dalam diskusinya mereka mendasarkan argumentasinya kepada urutan-kata-kata secara teliti. Dengan demikian terciptalah kesan bahwa kata-kata Alkitab dalam rumusannya yang "sah" itu dapat dikenakan secara langsung, sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam bidang iman dan etika. Memang harus diakui bahwa antara kaum fundamentalis sendiri terdapat berbagai variasi pendapat tentang batas-batas pengilhaman harfiah itu, atau tentang konsep pengilhaman yang tidak seratus persen harfiah namun yang mendekati yang harfiah itu. Nanti kita akan kembali kepada pokok ini, tetapi untuk sementara waktu cukuplah kita mencatat bahwa menurut pengertian umum, istilah keilhaman mengandung implikasi adanya konsentrasi pada bentuk-harfiah, dan pada seluk-beluk Alkitab.

b. Di kalangan Katholik

i. Alkitab dan tradisi

Sebagaimana kita catat di atas, konsep keilhaman itu banyak dipakai di kalangan Katholik, selain di kalangan konservatif Protestan. Tetapi penggunaan yang di kalangan Katholik itu adalah lebih bersifat kreatif dan lebih flexibel. Hal itu agaknya disebabkan karena dalam teologia Katholik itu Alkitab merupakan salah satu dari kedua norma-dasar yang dipakai dalam teologia. Yaitu bahwa di samping Alkitab, ada lagi tradisi gereja. Sedangkan di kalangan Protestan, Alkitab merupakan norma yang satu-satunya. Itu berarti bahwa pada prinsipnya teologia Katholik Roma lebih terbuka dalam cara menggunakan istilah keilhaman. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu demikian. Selama abad ke sembilan belas, kaum Protestan mengalami ketegangan dan pergumulan karena konflik antara metode-metode baru (yaitu pendekatan kritik-historis terhadap bahan Alkitab) dengan dogma tradisional tentang keilhaman Alkitab. Selama periode itu sebenarnya tidak ada apa-apa yang menghalangi gereja Katholik Roma untuk membuka diri buat menerima jenis-jenis pengetahuan yang baru itu. Dapat dia mengambil sikap bahwa pendekatan-pendekatan baru tersebut tidak akan merugikan tradisi-dasar teologia gereja.

ii. Kekonservatifan Katholik

Tetapi pada kenyataannya gereja Katholik Roma pada waktu itu dipengaruhi oleh aliran konservatif, sehingga dia pun merumuskan sikapnya terhadap soal keilhaman secara ketat dan konservatif sekali. Maka sampai pada masa kini, rumusan-rumusan yang konservatif itu menjadi beban dan halangan yang menghambat proses teologia Katholik. Hans Kung3 menguraikan di mana letaknya soal, begini: Dekretum Tridentium tidak menyinggung ketak-mungkinan-salah Alkitab sebagai akibat keilhaman. Hanya di kalangan Protestan saja, teori keilhaman-harfiah itu dipertahankan secara ketat-ketat dan diperkembangkan secara sistematis. Barulah pada akhir abad ke sembilan belas para Paus, sebagai reaksi terhadap exegesis yang kritis negatif, mengambil-alih teori keilhaman-harfiah yang sudah dirumuskan oleh keorthodoxan Protestan. Padahal pada waktu pengambil-alihan itu, rumusan dogmatis seperti itu tidak cocok lagi dengan suasana jaman. Sejak masa jabatan Paus Leo XIII, dan terutama selama krisis modernisme, konsep ketak-mungkinan-salah skriptura secara lengkap dan mutlak, dipertahankan secara eksklusif dan secara sistematis dalam surat-surat keputusan yang diterbitkan oleh para Paus.

3. "Pengilhaman" tidak identik dengan "Ketak-mungkinan-salah"

Itu berarti bahwa dalam prakteknya pengkaitan-erat antara keilhaman dengan ketak-mungkinan-salah, yang telah menjadi ciri-khas teologia Protestan, telah muncul juga dalam teologia Katholik Roma. Namun kemungkinannya besar bahwa kalau ada teologia yang ingin menghidupkan kembali penggunaan istilah keilhaman di gereja modern, dia akan cenderung bersandar kepada tradisi Katholik itu daripada kepada tradisi fundamentalis Protestan. Tetapi apakah sebenarnya istilah keilhaman itu masih tepat untuk dipakai teologia modern? Kalau memang akan dipakai, sedikit-dikitnyalah hubungan antara istilah keilhaman dan konsep ketak-mungkinan-salah itu harus dibuang. Dan dipandang dari segi teologis, pengkaitan itu memang dapat ditiadakan juga. Karena siapakah yang berani mengatakan bahwa tak mungkin Allah mengilhamkan suatu skriptura yang tokh mengandung kesalahan-kesalahan, atau bahwa Allah tidak sanggup berkomunikasi dengan manusia melalui skriptura yang mengandung kesalahan-kesalahan? Bandingkanlah kenyataan bahwa kitab-kitab Injil sendiri penuh dengan perumpamaan-perumpamaan, yaitu cerita-cerita buatan. Argumentasi-argumentasi seperti itu memang dapat diajukan. Tetapi ditinjau dari segi penggunaan bahasa, adalah sulit untuk membuang asosiasi yang rasanya sudah begitu erat antara konsep keilhaman dengan konsep ketak-mungkinan-salah itu.

4. Pengilhaman di bidang kesusasteraan

Masih ada arti yang lain lagi untuk kata "keilhaman" yang dapat kita manfaatkan, kalau kita berhasrat merehabilitasikan (memulihkan) penggunaan istilah itu dalam bidang teologia. Kata pengilhaman selain penggunaannya dalam teologia, juga dipakai dalam bidang puisi dan kesusasteraan. Pengilhaman dalam arti demikian tldak berarti bahwa bahan kesusasteraan tersebut adalah bebas dari kesalahan historis atau teologis, sehingga mengandung ketak-mungkinan-salah, melainkan istilah pengilhaman dalam bidang kesusasteraan itu mengandung arti keluhuran, pemikiran yang sangat mendalam, dinamika yang mengkomunikasikan perasaan dan pengertian, dan sebagainya. Ada seorang sastrawan Inggris, bernama Coleridge, yang berkata, demikian:

"Barang sesuatu yang kena pada jiwaku, membuktikan diri sebagai barang yang berasal dari salah satu roh kudus."

Kalimat itu merupakan contoh penggunaan istilah pengilhaman dalam arti yang lebih lunak. Bahkan dapat dicatat bahwa arti istilah "pengilhaman" secara kesusasteraan itu hampirlah selalu termasuk latarbelakang umum dari apa yang kita maksudkan, kalau istilah itu dipakai secara teologis. Namun dalam prakteknya, penggunaan kata keilhaman dalam bidang teologia biasanya jauh melampaui artinya dalam bidang kesusasteraan. Sehingga kebanyakan orang tidak lagi menyadari hubungan antara kedua arti keilhaman itu. Nanti kita akan kembali lagi kepada pokok ini, sewaktu kita membahas tentang Alkitab sebagai bahan kesusasteraan, dan tentang isi Alkitab sebagai keterangan. Cukuplah di sini, kalau kita mencatat bahwa ada arti kata keilhaman yang demikian.

Perlu ditekankan bahwa, lepas dari persoalan apakah kata keilhaman itu dapat dihidupkan kembali, sehingga dapat digunakan secara relevan di gereja modern, sudahlah jelas bahwa makna dibelakang istilah itu tetap perlu, kalau kita mau menguraikan tentang status Alkitab dalam iman Kristen. Karena dalam istilah itu terkandung pengertian yang diyakini oleh hampir semua orang Kristen, yaitu bahwa pastilah Alkitab berasal dari Allah, - walaupun kita mengalami kesulitan dalam menjelaskan secara persis, dalam arti yang bagaimanakah hal itu terjadi. Allah pastilah memainkan peranan dalam asal-mulanya Alkitab itu. Dan pastilah ada hubungan-erat antara cara Allah berkomunikasi dengan manusia di satu pihak dan proses pembentukan karangan-karangan yang merupakan Alkitab itu di lain pihak.

5. Keberatan-keberatan terhadap konsep pengilhaman

Jadi adalah perlu sekali bahwa kita sungguh-sungguh menggumuli persoalan ini: Dalam arti yang bagaimanakah patut dikatakan bahwa Allah mengilhamkan skriptura? Kita masih kabur tentang hal ini. Bahkan kaum fundamentalis pun mengalami keragu-raguan dalam memperinci soal ini; sedangkan kebanyakan orang Kristen modern mengaku-kalah, kalau disuruh merumuskannya. Kita sulit membayangkan caranya Allah secara langsung bisa merumuskan pemikiran-pemikiran dan kalimat-kalimat, serta mengkomunikasikannya kepada manusia. Karena kita sendiri tidak pernah mengalami hal yang demikian. Atau patutkah kita bayangkan bahwa para pengarang Alkitab itu merenungkan pemikirannya sendiri, dan bahwa barulah kemudian Allah --katakanlah melalui RohNya,-- membimbing proses perumusannya?

Orang-orang modern mengalami kesulitan dalam merumuskan konsep pengilhaman, menurut pola-pola tradisional. Yang saya maksudkan dengan pola-pola tradisional itu ialah:

a. bahwa ada cara khusus, di mana Allah langsung mengkomunikasikan kalimat-kalimat secara terumus kepada orang-orang pilihanNya, misalnya para nabi.

b. bahwa cara berkomunikasi yang khusus itu sudah berhenti sewaktu kanon Alkitab sudah tertutup.

6. Kesimpulan

Menurut keyakinan saya, kita orang modern berkeyakinan (dan bahkan tepat berkeyakinan) bahwa caranya Allah berkomunikasi dengan orang-orang pilihanNya di jaman alkitabiah itu pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan caranya Dia berkomunikasi dengan umatNya pada masa kini. Kalau demikian, istilah keilhaman berarti bahwa Allah yang kita sembah itu, mengadakan hubungan dengan umatNya pada jaman dulu seperti yang kita alami dalam ibadat kita pada masa kini: Allah hadir dalam situasi-situasi konkrit yang mereka alami, menurut pola-pola dan taraf-taraf pemikiran pada waktu itu, Dia hadir dalam proses pembentukan tradisi mereka dan dalam proses kristalisasi tradisi itu menjadi skriptura. Maka cara kehadiranNya pada jaman itu tidak berbeda secara prinsip dengan cara yang masih digunakan Tuhan dalam memperkenalkan diri kepada manusia. Agaknya belum begitu banyak ahli teologia modern yang merumuskan pendapatnya tentang hal ini secara konkrit. Tetapi menurut pendapat saya, tidak ada kesimpulan lain tentang pokok ini yang dapat memuaskan masa kini.

Kita akan kembali nanti kepada persoalan-persoalan ini. Maksud kita dalam pasal ini hanyalah untuk mensurvai (memeriksa) konsep-konsep yang pernah dipakai dalam merumuskan soal status-Alkitab. Kita telah menyelidiki beberapa konteks, di mana istilah keilhaman dipakai. Sekarang kita beralih kepada konsep berikut, yaitu konsep tentang Firman Allah.

(sebelum, sesudah)


Alkitab di Dunia Modern (The Bible in the Modern World) Prof. James Barr Terjemahan Dr. I.J. Cairns BPK/8331086/7 Penerbit BPK Gunung Mulia, 1979 Kwitang 22, Jakarta Pusat  

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team