Mencari Asal-usul Kitab Suci

oleh Dr. Kamal Salibi

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

1. DUNIA YAHUDI KUNO (3/4)

Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai sejarah mereka di Arabia Barat dalam jangka waktu yang relatif singkat --mungkin tak lebih dari dua atau tiga abad-- disebabkan oleh adanya suatu perubahan bahasa, yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia, Suria dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai di Arabia Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan dialek-dialek bahasa Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali beberapa bagian kitab-kitab karangan nabi-nabi yang kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan bahasa Aram. Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa Kanaan telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah di Arabia dan Suria; tergeser oleh ballasa Aram yang telah menyebar sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes bahasa Aram bahasa resmi pemerintahan kerajaan Persia dan menjadi lingua franca wilayah Timur Dekat. Pergantian bahasa di kawasan ini terus berlanjut sampai pada abad-abad berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat bahasa Semit yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai kawasan di Timur Dekat.[19] Sampai pada abad-abad permulaan zaman penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya merupakan bahasa suku-suku penggembala padang pasir Syro-Arabia, telah menggantikan bahasa Aram di sebagian besar Arabia dan Suria serta Mesopotamia, dan pada abad ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa tempat saja yang masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia Barat kedua penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa nama tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym, bentuk jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'gazelle' (semacam kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota Zeboiim, seperti yang akan dibahas pada Bab 4, menandakan dua kota kembar di daerah pesisir Jizan (Gizan) di daerah pantai sebelah Asir selatan. Kedua kota ini kini masih ada dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah (zby). Sabya adalah bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran. Sedangkan Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama (sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah diberi akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat itu menghentikan segala proses sejarah.

Suatu hal yang sama pentingnya dengan kesimpulan yang telah saya tarik mengenai identitas nama-nama tempat di Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel ialah dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan maka pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu problema. Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit, ditulis dalam bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda vokal jika kita hendak memahaminya, seperti sudah saya sebutkan. Suatu kekecualian adalah bahasa Akkadia, yaitu bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan kuneiformnya ditulis menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu diingatkan bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih dahulu sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda. Oleh sebab itu, pada permulaan era Achaemenid orang-orang Yahudi Palestina dan Babilonia, karena mereka tidak mengetahui bagaimana tulisan-tulisan Ibrani itu seharusnya dibaca, tampaknya mereka mendasarkan penambahan-penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada bahasa Aram yang mereka pakai.[20] Di dalam teks-teks yang mereka akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan dengan lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka. Terlebih lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada sekitar tahun 500 S.M. telah mengalami kemunduran, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang cukup terpelajar di antara mereka untuk membenarkan sesama kaum Yahudi dari Palestina dan Babilonia dalam tafsiran geografis mereka. Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia Barat ini hanya beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok etnis ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil; dan mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam waktu yang singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa Arab. Sudah pasti orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih mempunyai kenangan mengenai kehidupan mereka yang dahulu sebagai bangsa Israil; [21] akan tetapi menjelang akhir era Achaemenid, hubungan mereka dengan kaum Yahudi lainnya di luar Arabia tidak teratur dan mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan secara efisien apa yang mereka ingat. Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani dengan mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai pada sekitar abad ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang meninggalkan pemakaian bahasa Ibrani atau dialek-dialek bahasa Kanaan lainnya, dan asal mula Yudaisme di Arabia pun telah lama dilupakan.

Faktor lain yang mungkin menyebabkan kaum Yahudi melupakan sejarah mereka di Arabia Barat bersangkutan dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan juga di Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang sudah mulai terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong munculnya perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama perkumpulan politik bangsa Minaean (Ma'in), di daerah tempat kerajaan Israil pernah berjaya. Karena tersebar di antara perkumpulan-perkumpulan politik baru ini, yang beberapa di antaranya dibentuk secara politis sebagai kerajaan-kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan sifat nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai pada tahun 330 S.M., penjajahan Alexander Agung telah menghancurkan kerajaan Persia; setelah wafatnya Alexander panglima-panglimanya mendirikan kerajaan-kerajaan baru di daerah yang dahulunya merupakan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Achaemenid. Salah satu dari kerajaan Hellenis ini adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di Mesir yang beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang terbentuk adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di daerah Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan Seleucid, dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid; akan tetapi kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam tekadnya untuk menguasai kembali atau mempengaruhi negara itu. Pada abad ke-2 S.M., orang-orang Yahudi Palestina mempergunakan kesempatan yang ada selagi adanya pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.) dan berhasil memerdekakan negara mereka dari kekuasaan pemerintahan kerajaan Seleucid pada tahun 142 atau 141 S.M. Para pemimpin pemberontakan ini, yang berasal dari perkumpulan kependetaan Hasmonia (Hasmonaean), mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah dianggap kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan yang tersuci. Dengan bergerak melalui serangkaian aksi-aksi militer yang sukses, orang-orang Hasmonia ini juga memperluas wilayah kekuasaan kaum Yahudi di Palestina, sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri itu saja yang dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di Utara dan daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut Mati.

Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka, menganggap diri mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil kuno, dan kerajaan mereka bertahan sampai pada kedatangan bangsa Rumawi pada tahun 37 S.M., yang menyusun kembali daerah kekuasaan mereka sebagai 'client-kingdomnya' kerajaan Rumawi dengan nama 'Judaea' yang artinya 'tanah kaum Yahudi', dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4 S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil Yerusalem Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa Rumawi sewaktu mereka merampok kota itu pada tahun 70 M., dan mengakibatkan tersebarnya penduduk Judaea. Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di bawah pimpinan Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama Hadrian. Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama ini adalah bentuk Semit dari nama Aelia, yang merupakan nama asli tempat ini sebelum diberi nama Yerusalem, untuk mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di Arabia Barat. Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti 'benteng' (bandingkan dengan kata 'yl dalam bahasa Ibrani, yang berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu mengenal kota ini bukan dengan nama Yerusalem, melainkan Iliya ('yly') sebelum mereka memanggilnya 'tempat suci', Bayt al-Muqqadas, Bayt al-Maqdis ataupun hanya al-Quds.

Tanpa mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem Palestina, kota ini kemudian telah dikenal sebagai kota Yerusalem Daud dan Sulaiman yang asli pada era Hasmonia dan bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sama halnya dengan Palestina yang pada waktu yang sama telah dikenal sebagai tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun sudah ada anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari cerita-cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu Mesopotamia Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat.

Ada kemungkinan sebuah kerajaan Yahudi di Arabia pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan Himyar di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115 S.M. sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir diketahui sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi kesalahan mereka sampai kini belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Tidak ada bukti-bukti bahwa mereka adalah umat Yahudi, seperti apa yang dikatakan oleh tradisi kuno Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan kita bicarakan nanti, sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di Arabia, tetapi ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini. Orang-orang Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali lokasi-lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status mereka diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar. Tentu saja ini hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan tetapi berkenaan dengan argumentasi saya, hal ini sangat mungkin terjadi.

Apakah adanya sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau tidak, bukanlah hal yang amat penting, tetapi dari kitab Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani yang dibuat pada era kerajaan Yunani Kuno dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas terbukli bahwa pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi dipandang sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat dalam bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym, nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi Kaldia (Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir. [22] Lebih lagi, kita dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dugaan ini melalui gulungan-gulungan kertas dari Laut Mati (Dead Sea scrolls). Di sini kita menemukan suatu karya orang Aram yang mendetil dari sebuah tulisan di dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama tempat di sebelah Utara daerah Timur Dekat.

(sebelum, sesudah)


  Mencari Asal-usul Kitab Suci
  (The Bible Came from Arabia)
  Kamal Salibi
  Penerbit Pustaka Litera AntarNusa
  Jln. Arzimar III, Blok B No.7, Tel.(0251) 329026
  Bogor 16152
 
Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team