Mencari Asal-usul Kitab Suci

oleh Dr. Kamal Salibi

Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

3. TANAH ASIR

Tanah asal Bibel Ibrani, seperti yang telah saya tegaskan, ialah Asir. Sebenarnya, pemakaian nama itu berlangsung belum lama, yaitu sejak abad ke-19 untuk menandakan tanah dataran tinggi Arabia Barat yang membentang dari utara ke selatan, dari Nimas (al-Nimas, 19° Lintang Utara dan 42° Bujur Timur) sampai Najran (nagran, 17° Lintang Utara dan 44°10'' Bujur Timur) dan juga daerah perbukitan dan gurun pasir pesisir daerah yang disebut Tihamah (Tihamah) antara kota pesisir Qahmah (al-Qahmah, 18° Lintang Utara dan 41° Bujur Timur) dan perbatasan sekarang dengan Yaman (16°25" dan 42°45" Bujur Timur.[1] Kini Asir merupakan sebuah propinsi di Kerajaan Arab Saudi, yang ibukotanya merupakan sebuah kota dataran tinggi, yaitu Abha (18°15" Lintang Utara dan 42°30" Bujur Timur). Dari timur ke barat, Asir membentang dari ujung Gurun Pasir Arabia Tengah sampai ke Laut Merah (lihat Peta 3).

Ciri-ciri nyata Asir ialah bentangan dataran tinggi yang bernama Sarat (al-Sarat, bentuk jamak sari, yang berarti 'gunung' atau 'ketinggian',[2] ketinggiannya berkisar antara 1700 sampai 3200 meter, membentuk ujung barat dataran tinggi Arabia yang bernama Najd (Nagd) antara Taif dan perbatasan Yaman. Di sebelah utara Taif, dataran tinggi Arania berakhir dengan pegunungan rendah dan perbukitan Hijaz, dengan ketinggian antara 1200 sampai dengan 1500 meter. Namun, di sebelah selatan Taif, dataran tinggi ini tiba-tiba berakhir pada apa yang disebut Ngarai Arabia Barat. Ini merupakan jurang curam yang jatuh sedalam 100 meter, 80-120 kilometer dari pantai Laut Merah yang membentang sepanjang 700 kilometer dari Taif di utara, dan bergabung dengan pegunungan tinggi Yaman di selatan. Di atas tebing curam ini dataran tinggi Sarat mencapai puncak ketinggiannya dekat Abha; lebih jauh ke arah selatan, ngarai ini berakhir beberapa kilometer dari kota Dhahran (disebut Dhahran Selatan, Zahran al-Ganub, 17°40'' Lintang Utara dan 43°30" Bujur Timur). Di sebelah utara, dataran tinggi Sarat berakhir di Taif, di sebelah timur kota Mekah, bergabung pada sekitar 21° Lintang Utara dengan punggung Taif.

Maka dari itu, nama Asir itu sendiri dapat dipergunakan dalam pengertian geografi yang luas, untuk menandakan seluruh kawasan bentangan Sarat, dari Taif di utara sampai ke Dhahran dan perbatasan Yaman di selatan, mengingat bahwa bagian-bagian kawasan ini di sebelah utara wilayah Nimas biasanya dianggap sebagai bagian Hijaz. Sepanjang bentangan Sarat, wilayah Nimas membentuk sebuah pelana antara daerah-daerah yang lebih tinggi, wilayah Abha di sebelah selatan, dan wilayah-wilayah Bahah (al-Bahah) yang meliputi daerah-daerah Ghamid (Bilad Gamid) dan Zahran (Bilad Zahran) di sebelah utara. Sebuah daerah yang lebih rendah yang memisahkan ketinggian Zahran dari punggung bukit Taif, di tempat itu Sarat (dan begitupun daerah geografis Asir) dapat dikatakan berakhir.

Sepanjang pesisir Tihamah di Asir menurut geografis terdapat sejumlah kota dan pelabuhan, yang sampai sekarang paling jelas, di utara dan di selatan, ialah Lith (al-Lit), Qunfudhah (al-Qunfudhah); Birk (al-Birk); Qahmah (lihat di atas); Shuqayq (al-Suqayq) dan Jizan. Dataran itu timbul tiba-tiba di tepi padang pasir pesisir Tihamah, di sejumlah jalan bertangga di pegunungan yang terjal, hingga mencapai lereng yang curam dan saluran Sarat yang membelah di depannya. Tepi pantai Asir ini sebenarnya merupakan daratan yang sangat berbukit-bukit dan depresi-depresinya (dalam bahasa Arab wahd atau wahdah, dengan bentuk konsonannya whd atau whdh; bandingkan dengan yhwdh di dalam Bibel untuk 'Yudah'), yang tentunya adalah sebab mengapa nama 'Yudah' diberikan kepada daerah pada zaman Bibel dahulu (lihat Bab 8). Beberapa tempat di sana sampai kini benar-benar bernama Wahdah, memakai nama-nama yang berasal dari akar kata yang sama (kata whd, 'merendah, tertekan'). Sampai kini, lembah-lembah dan jurang-jurang di bagian Asir ini, telah menjadi tempat perkembangbiakan belalang-belalang, yang mungkin merupakan penyebab 'kelaparan di tanah ini' pada zaman Bibel (lihat Bab 13).

Kalau bagian-bagian Asir di sebelah barat tebing curam itu penuh dengan lembah-lembah dan jurang-jurang yang letaknya malang-melintang, sebaliknya, dari atas tebing curam, Sarat tebingnya landai dan menurun menuju ke daerah pedalaman. Di propinsi Asir, di sebelah selatan Nimas, tebing-tebing di sana menuruti zona-zona pecahan alami menuju ke arah selatan, dan tanah di sini didominasi, dari selatan sampai ke utara, oleh dua sistem pengaliran yaitu Wadi Tathlith (tatlit) dan Wadi Bishah, masing-masing dengan cabang-cabangnya tersendiri. Aliran-aliran utama kedua wadi ini akhirnya berubah haluan menuju ke timur untuk menuangkan air bah di Wadi Dawasir (al-Dawasir), yang mengalir menuju ke pedalaman padang pasir. Namun dari dataran tinggi Ghamid dan Zahran, daratannya menurun ke arah timur, didominasi oleh sistem pengaliran Wadi Ranyah. Aliran utama Wadi ini bergabung dengan aliran Wadi Bishah, sebelum aliran Wadi Bishah ini menuju ke timur untuk bergabung dengan Wadi Tathlith di dekat tepian gurun pasir.

Dari semua wilayah jaziran Arabia, Asir menerima curah hujan terbanyak. Bertempat tidak jauh di sebelah selatan garis balik sartan (utara), dataran tinggi Sarat menampung curah hujan dari dua iklim: angin barat daya pada musim hujan Monsoon dari barat daya pada musim panas. Jatuhnya hujan di wilayah itu berkisar antara 300 dan 500 mm per tahun, cukup untuk tetap memenuhi persediaan permukaan air di bawah tanah di daerah-daerah ketinggian yang lebih gersang di sekelilingnya. Di daerah ketinggian yang lebih tinggi, hujan musim dingin terkadang turun, untuk jangka waktu yang singkat sebagai salju. Tidak jarang terdapat air terjun pada bagian-bagian tertentu Sarat dan sungai-sungai kecil yang musiman maupun abadi yang berasal dari ketinggiannya mengalir di wadi-wadi ini pada bagian-bagian pedalaman dan pesisirnya. Hutan-hutan tanaman jenever yang lebat adalah ciri khas Sarat dan bagian-bagian yang lebih tinggi daerah pedalaman pantai Tihamah, sedangkan hutan-hutan pohon butun, tamarisk, akasia, saru dan pohon-pohon hutan lainnya terdapat di banyak tempat di daerah itu. Di mana tidak terdapat hutan, dataram tinggi Asir secara tradisional diteraskan untuk membudidayakan padi dan berbagai kacang-kacangan (terutama buah badam) dan juga buah-buahan, termasuk anggur. Padi dan sayuran dibudidayakan di tanah-tanah yang luas dan dapat ditanami di lembah-lembah dan dataran rendah daerah pesisir; padi dan buah kurma dibudidayakan di daerah-daerah pedalaman, terutama di daerah-daerah oase lembah sungai Wadi Bishah. Gradasi iklim di daerah ini antara daerah pesisir yang panas, dataran tinggi yang sedang dan gurun pasir di pedalaman, tercermin pada kekayaan akan banyaknya macam dan jenis flora; oleh karena itu madu dari Asir berkwalitas tinggi. Di sekitar daerah-daerah yang dibudidayakan, di mana-mana terdapat padang rumput yang luas dan di sana bangsa Badui bertahun-tahun secara tradisional menggembalakan ternak mereka berupa sapi, biri-biri, kambing, keledai, himar dan unta.[3]

Bagian pedalaman Asir sejak dahulu diketahui mempunyai sejumlah kekayaan mincral. Emas, timah hitam dan bcsi pernah ditambang pada zaman dahulu - terutama emas di daerah Wadi Ranyah - dan pencarian mineral-mineral masih tetap dilakukan di sana, begitu juga di bagian utara di Mahd al-Dhahab (yang harfiahnya berarti 'Buaian Emas'), d; sebelah timur laut Taif. Ada sebuah cabang Wadi Bishah yang kenyataannya bernama Wadi Dhahab (harfiahnya berarti 'Lembah Emas'), yang menandakan bahwa daerah itu mungkin salah satu daerah tempat emas pernah diketemukan pada zaman dahulu.[4]

Di sebelah selatan Asir, ketinggian Dhahran terbelah menjadi dua daerah yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Satu di antaranya berisi lembah-lembah subur daerah pesisir Jizan, ke arah barat dan barat daya; dan yang satu lagi merupakan daerah oase Najran, ke arah timur. Dari seluruh wilayah di Asir, daerah Wadi Najran-lah yang terbentang ke arah timur dan berakhir di Bilad Yam (Bilad Yam) di sepanjang pinggiran gurun pasir luas Al-Rub'al Hali, mungkin yang paling subur. Di sana sebuah perkampungan masyarakat Yahudi berkembang sampai kini, sebuah bangsa yang menurut keyakinan saya merupakan sisa-sisa terakhir dari agama Yahudi di tanah asalnya. Membentang sejajar dengan Wadi Najran di utara, adalah cabang-cabang lembah yang kurang subur, yaitu Wadi Habuna (Habuna) dan Wadi Idimah (Idimah)[5] dengan perkampungan oase mereka. Kedua lembah ini seperti halnya Wadi Najran, berakhir di daerah Yam.

Padang pesisir Jizan di seberang ketinggian Dhahran dari Wadi Najran juga sangat subur, karena diairi oleh air dari berbagai lembah seperti Wadi Khulab (Hulab), Wadi Jizan, Wadi Dhamad (Damad), Wadi Sabya (Sabya) dan Wadi Baysh (Bays). Akan tetapi yang menjadi ciri khas wilayah Jizan ialah lingkaran punggung bukit yang indah, yang memisahkan gurun pasir dari daerah tinggi Dhahran. Juga ada tiga kelompok kerucut-kerucut vulkanis (yaitu Umm al-Qumam, Al-Qari'ah dan 'Ukwah) yang mengelilingi padang pesisir dn bagian daratan. Letusan terakhir salah satu gunung berapi ini - yaitu al-Qariah diduga terjadi pada tahun 1820.[6] Di bagian-bagian Asir lainnya juga terdapat daerah-daerah vulkanis, terutama lebih jauh ke arah selatan di Yaman. Di antara punggung bukit yang terpencil yang mengelilingi daerah Jizan ini adalah Jabal Harub (Harub), Jabal Faifa (Fayfa) dan Jabal Bani Malik (Bani Malik).

Sejak zaman lahirnya Islam, Asir secara menyeluruh, walaupun dengan kesuburan dan kekayaan alaminya, bukan merupakan daerah yang penting dalam sejarah tanah Arabia. Akan tetapi, pada zaman kuno, seperti yang telah saya katakan pada Bab 1, mestinya tanah ini sangat penting, karena terletak pada persimpangan jalur-jalur utama perdagangan dunia kuno. Di seberang Laut Merah, kapal-kapal dapat saja pulang-pergi antara bandar-bandar Asir dan bandar-bandar Abisinia, Nubia dan Mesir. Jalan-jalan raya kafilah bertolak ke arah utara dari pesisir dan pedalaman Asir, melalui Hijaz menuju Suria, atau melalui Wilayah Tengah dan utara Arabia menuju Mesopotamia. Jalan-jalan raya kafilah lainnya membentang ke selatan menuju Yaman, dan berakhir di bandar-bandar Arabia bagian selatan; atau ke timur menuju pesisir Arabia di teluk Persi melalui Yamamah (al-Yamamah). Ini merupakan bentangan oase yang panjang, yang meneruskan arah aliran Wadi Al-Dawasir dan berjalan di sebelah utara al-Rub'al Hali, yang bermula dari pinggiran gurun pasir Asir bagian selatan.

Oleh sebab itu sejak bermulanya perdagangan antara negara-negara di Samudera Hindia dan bagian timur lembah Laut Tengah, seperti halnya perdagangan antara negara-negara di Teluk Persi dan lembah-lembah Laut Merah, Asir kuno mestinya berkembang sebagai pusat terpenting untuk perdagangan perantara, dan pelayanan-pelayanan perdagangan dan transaksi. Kota-kota pedalamannya tumbuh dengan subur menjadi stasiun-stasiun kafilah; pedagang-pedagang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjajakan barang-barang mereka. Kota-kota yang terpenting di antara kota-kota pedalaman itu terletak di sepanjang jalan raya kafilah utama yang mengikuti puncak pegunungan Sarat, antara Dhahran al-Janub dan Taif. Di antara kota-kota dan bandar-bandar ini, jalan-jalan yang tidak rata menyeberangi jalan-jalan punggung pegunungan Sarat, menghubungkan perdagangan maritim dengan perdagangan yang menuju ke daerah pedalaman (lihat Peta 5).

Pendeknya, tidak diragukan kalau Asir dahulunya merupakan daerah perdagangan yang makmur yang juga kaya akan produksi pertanian, peternakan dan hasil mineral. Walaupun kota-kota perdagangan besarnya mestinya menonjol sebagai pusat-pusat peradaban kota yang cukup canggih, namun peradaban Asir kuno berpusatkan pada kelompok- kelompok oase, yang terpisah dari oase-oase lain dan juga dari bagian-bagian lain Arabia oleh daerah hutan belantara atau gurun pasir yang sangat luas. Walaupun ada hubungan dengan negara-negara lain melalui perdagangan dara dan maritim, negara ini secara geografis terisolasi. Dalam pemerintahannya tidak terdapat kesatuan, dan bagian-bagiannya memilih jalan yang berbeda-beda, tidak saja dalam hal-hal politis, tetapi juga dalam hal-hal yang lain juga demikian. Di Asir kuno, bangsa-bangsa yang berbeda-beda tinggal di daerah-daerah yang berbeda pula, berbicara menggunakan berbagai dialek yang berlainan, bahkan kadang-kadang memakai bahasa yang berbeda pula, dan menyembah dewa-dewa yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa bangsa ini nanti akan kita kenali melalui nama-nama seperti yang tertera dalam Bibel Ibrani.

Namun perhatian utama saya tertuju pada sebuah bangsa Asir kuno yang dikenal sebagai orang-orang Israil, bangsa yang mengalami sebuah pengalaman sejarah yang kaya di dataran tinggi Sarat dan di lereng bagian baratnya - tanah Yudah - pada suatu waktu antara abad ke-10 dan ke-5 S.M. Kita beruntung mempunyai catatan di dalam Bibel Ibrani yang kaya dan tajam mengenai sejarah mereka yang penuh dengan kejadian-kejadian, sebuah teks yang menggambarkan dengan jelas harapan-harapan dan kekhawatiran mereka, kemenangan dan kesialan mereka, yang terjadi tidak hanya di Palestina tetapi juga di Arabia Barat.

(sebelum, sesudah)


  Mencari Asal-usul Kitab Suci
  (The Bible Came from Arabia)
  Kamal Salibi
  Penerbit Pustaka Litera AntarNusa
  Jln. Arzimar III, Blok B No.7, Tel.(0251) 329026
  Bogor 16152
 
Indeks Kristiani | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team