|
Pendahuluan
Surat kepada orang-orang Ibrani (13:8) memuat suatu
"pengakuan iman" dari jemaah rasuli (sekitar th. 80 M).
Bunyinya sebagai berikut: "Yesus Kristus tetap sama, baik
kemarin maupun hari ini sampai selama-lamanya." Konteks
pengakuan iman ini (Ibr 13:7-9) memperlihatkan bahwa sidang
pembaca karangan ini terancam bahaya meninggalkan atau
mengubah Yesus Kristus seperti yang dahulu diwartakan kepada
mereka. Maka penulis karangan ini menekankan bahwa Yesus
Kristus tidak berubah, sehingga oleh umat tidak boleh diubah
atau diganti.
Dan apa yang dipertaruhkan memang identitas umat Kristen.
Jika Yesus Kristus diubah atau diganti, maka kepercayaan
Kristen berubah dan diganti menjadi sesuatu yang lain dan
kehilangan identitasnya. Sebab ciri khas kepercayaan Kristen
dijabarkan dari pandangan Kristen terhadap kedudukan dan
peranan Kristus bagi manusia dalam hubungannya dengan Allah.
Sudah pasti Yesus Kristus tidak mau menyingkirkan atau
mengganti Allah, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru
dengan melanjutkan kepercayaan Yahudi yang tercantum dalam
Alkitab Perjanjian Lama. Hanya satu Allah (bandingkan dengan
Mrk 10:18; 12:29; 1Kor 8:4; Rm 16:27; Gal 3:20). Tetapi
Allah yang bagaimana dipercayai dan diandalkan, Allah yang
bagaimana menyelamatkan manusia? Bagi umat Kristen hal itu
menjadi nyata dalam Yesus Kristus, yang diberi kedudukan
khusus, istimewa dan tunggal dalam hubungan penyelamatan
antara Allah dan manusia. Menurut keyakinan Kristen
"keselamatan tidak ada selain dalam Dia, sebab di bawah
kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada
manusia yang olehnya kita dapat/harus diselamatkan" (Kis
4:12). Kalau Allah itu esa menurut kepercayaan Kristen, maka
esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu manusia Yesus Kristus (bandingkan dengan 1
Tim 2:5).
Maka mengubah atau mengganti Yesus Kristus bagi umat
Kristen berarti: mengubah dan mengganti Allah sejati. Dan
oleh karena itu, apa yang akhirnya dipertaruhkan ialah
penyelamatan dan keselamatan manusia sendiri. Sebab, menurut
keyakinan Kristen, inti keselamatan itu terletak dalam
hubungan dan persatuan manusia dengan Allah seadanya, yang
menyangkut semua dimensi/manusia: material dan spiritual,
sosial dan politik, pribadi dan kolektif.
Meskipun Yesus Kristus tetap sama, kemarin, hari ini dan
untuk selama-lamanya, namun pikiran manusia, termasuk
manusia yang percaya kepada peranan dan kedudukan tunggal
itu, tidaklah sama kemarin, hari ini dan untuk
selama-lamanya. Dan sejarah membuktikannya. Umat Kristen
tidak di mana-mana dan selalu memikirkan Kristus yang sama
dengan cara yang sama. Sejak asal mula orang yang bernama
Yesus dan bergelar "orang Nazareth" diberi macam-macam gelar
lain. Yesus itu disebut: Rabi, guru, nabi, rasul, imam
(besar), Anak Daud, Mesias/Kristus, pengantara, Anak
Manusia, Penilik agung, gembala, raja, pemimpin/pelandas
kehidupan, Juru Selamat, Alfa dan Omega, Anak Domba, Anak
Domba Allah, Amin, Penganten, Kebijaksanaan, Firman, Cahaya,
Pembenaran, Pengudusan, Pengacara/Parakletos, Gambar Allah,
Tera wujud Allah, Pantulan kemuliaan Allah, Manusia surgawi,
Anak Tunggal, Anak Allah, Tuhan (Kyrios) dan malah Theos.
Tentu saja tidak boleh dikatakan bahwa semua gelar itu sama
isinya. Sebaliknya: di dalamnya tersingkap suatu pandangan
khusus dan berbeda-beda terhadap Yesus yang sama. Tidak
boleh dikatakan pula bahwa di mana-mana dan selalu umat
Kristen memakai semua gelar itu. Sebaliknya: gelar-gelar itu
dipakai pada tempat-tempat dan waktu-waktu yang berbeda-beda
dan begitu memperlihatkan pendekatan yang secara lokal dan
temporal berbeda-beda. Ada gelar yang boleh dikatakan amat
konkret dan "manusiawi," seperti: Rabi, Nabi, Imam. Tetapi
ada juga yang amat halus dan abstrak sekali, seperti Firman
Allah, Gambar Allah, Pantulan kemuliaan Allah.
Maka jelaslah sudah Yesus Kristus dalam pemikiran umat
Kristen tidak sama kemarin, hari ini dan untuk
selama-lamanya. Apa pula bila mau ditambah cara orang-orang
yang bukan Kristen memikirkan Yesus, orang Nazareth. Jadi,
dari segi orang memikirkan Yesus, Kristus berubah dan
menempuh sejarah-Nya sendiri, dan tidak hanya sebelum
dieksekusi sebagai pengacau politik dan religius di
Palestina, tetapi juga dan terutama sesudahnya.
Dan justru di sinilah muncul apa yang diistilahkan
sebagai "kristologi," sebuah cabang dari teologi, khususnya
teologi dogmatis. Kristologi ialah: logos mengenai Kristus,
pemikiran (dan ucapannya) mengenai Yesus Kristus, sasaran
iman kepercayaan Kristen. Bagaimana umat Kristen dapat,
boleh dan mesti mengkonsepsualkan dan membahasakan iman
kepercayaannya kepada Yesus Kristus, yang mesti tetap sama?
Bagaimana orang-orang Kristen memikirkan Yesus Kristus itu,
kedudukan dan peranan-Nya dalam tata penyelamatan, baik
sekarang maupun di masa yang lampau? Dan orang Kristen sudah
hampir saja 2000 tahun berusaha memikirkan Yesus Kristus,
mengkonsepsualkan dan membahasakan-Nya. Dan dari segi itu
Yesus Kristus jelas menempuh sejarah-Nya.
Dan apa yang menentukan sejarah Yesus Kristus dalam
pemikiran umat Kristen selama 2000 tahun tidak hanyalah
Yesus Kristus sendiri, sasaran tetap kepercayaan Kristen
yang tetap sama, tetapi terutama lingkup sosio-budaya,
tempat umat Kristen mengkonsepsualkan dan membahasakan Yesus
Kristus. Yesus Kristus yang satu dan sama sejak awal
diwartakan dan -menurut keyakinan Kristen harus diwartakan-
"sampai ke ujung bumi" (Kis 1:8) dan "sampai ke akhir zaman"
(Mat 28:20) kepada "segala makhluk" (Mrk 16:15). Tetapi
"dunia" itu tidak di mana-mana sama, makhluk-makhluknya
berbeda-beda dan zaman silih berganti zaman. Dan akibatnya
ialah: Yesus Kristus dan iman kepercayaan Kristen kepada-Nya
tidak dapat tidak dikonsepsualkan dan dibahasakan dengan
cara yang berbeda-beda, supaya Yesus Kristus yang sama dapat
diwartakan sedemikian rupa sehingga pewartaan itu
benar-benar sampai kepada manusia yang berbeda-beda. Hanya
ada satu syaratnya ialah; Yesus Kristus yang diwartakan itu
tetap sama, tidak diubah atau diganti. Dan tidak dapat tidak
ada ketegangan antara kesamaan mendasar serta batiniah dan
perbedaan lahiriah. Dan ketegangan itulah yang menyebabkan
gejolak dalam sejarah kristologi itu sendiri, yang
pertaruhannya ialah identitas Yesus Kristus dan identitas
iman kepercayaan Kristen dan akhirnya keselamatan manusia.
Konsep dan bahasa yang mau tak mau dipakai sudah tersedia,
tetapi mesti diisi kembali dengan Yesus Kristus yang sama.
Dan selalu mungkin bahwa isi konsep dan bahasa yang sudah
tersedia, terus dipertahankan, sehingga diam-diam Yesus
Kristus diganti dengan sesuatu yang lain.
Dan terjadi pula bahwa dalam memikirkan dan membahasakan
Yesus Kristus orang-orang Kristen menemukan segi dan aspek
yang mula-mula belum juga disadari dan belum dilihat. Yesus
Kristus memang tetap sama, tetapi pemahaman orang Kristen
terhadap-Nya dapat dan nyatanya "maju." Dan justru situasi
nyata tempat umat Kristen memikirkan Yesus Kristus dapat
menolong untuk melihat sesuatu yang baru, seperti juga dapat
membahayakan pemikiran umat Kristen itu. Tidak segala apa
sudah jelas sejak awal mula, tidak segala segi dan aspek
sejak awal tersingkap. Dan di situ pun selalu ada ketegangan
antara identitas serta kesinambungan dalam Yesus Kristus
yang harus tetap sama dan kemajuan dan ketidaksinambungan
dalam pemikiran Kristen tentang-Nya. Dan itulah sebabnya
mengapa "kristologi" selalu berupa suatu pergumulan antara
apa yang sudah-sudah -ialah identitas - dan kemajuan dan
perkembangan dalam pemikiran- ketidakidentitasnya. Dan
itulah masalah pokok dan abadi dalam kristologi, yaitu:
penggabungan antara kesinambungan (kontinuitas) dan
ketidaksinambungan (diskontinuitas).
Bila dalam kristologinya umat Kristen bergumul dengan
Yesus Kristus, maka apa yang sebenarnya digumuli ialah:
relevansi Yesus Kristus bagi manusia sepanjang sejarah, mana
makna dan arti tokoh itu bagi manusia. Seseorang, termasuk
Yesus Kristus, hanya menjadi relevan, berarti dan bermakna,
bila menentukan eksistensi, keberadaan manusia, ialah diri
manusia dalam perwujudan dirinya; bila tokoh itu memberi
arah dan tujuan kepada eksistensi itu atau menjadi pendorong
dan perangsangnya. Tetapi orang hanya dapat menjadi relevan
melalui penampilannya, melalui hal ihwal-Nya yang menyangkut
lain orang, melalui perbuatan dan perkataannya, pokoknya:
melalui keterlibatannya dalam eksistensi orang lain.
Dan itulah sebabnya mengapa diri Yesus Kristus fidak
dapat dipisahkan dari karya-Nya, dari penampilan-Nya,
keterlibatan-Nya. Maka kristologi (pemikiran tentang diri
Yesus Kristus) tidak dapat dipisahkan dari "soteriologi"
(pemikiran tentang penyelamatan, tentang relevansi Yesus
Kristus, tentang karya-Nya sehubungan dengan keselamatan
manusia). Memang -sama seperti manusia lain- Yesus Kristus
mewujudkan diri dalam karya-Nya -hal ihwal, perbuatan,
perkataan- dan karya itu membentuk diri Yesus Kristus. Yesus
Kristus menjadi nyata melalui karya-Nya dan orang hanya
mengenal diri Yesus Kristus melalui karya-Nya.
Kalaupun "soteriologi" tidak dapat dipisahkan dari
kristologi, namun kristologi lebih utama. Bila benar bahwa
karya menyatakan dan mewujudkan diri orang, namun nilai dan
harga, relevansi karya itu bergantung pada dan ditentukan
oleh diri yang mengerjakannya. Anjing dan manusia sama-sama
makan dan minum. Namun ada perbedaan mendasar, justru oleh
karena yang satu seekor anjing dan yang lain seorang
manusia. Demikian pun halnya dengan Yesus Kristus. Hal
ihwal-Nya, ajaran-Nya, perkataan dan perbuatan-Nya mendapat
nilai dan relevansinya dari orang yang mengalami, mengatakan
dan mengerjakannya. Dengan lain perkataan: Umat Kristen
tidak menganggap Yesus Kristus relevan bagi manusia, berarti
dan bermakna, berdasarkan apa yang diajarkan, dikerjakan dan
dialami oleh Yesus Kristus. Tetapi sebaliknya: ajaran,
perkataan, perbuatan, hal ihwal itu dianggap relevan dan
unggul, oleh karena merupakan ajaran, perbuatan, perkataan
dan hal ihwal Yesus Kristus. Keunggulan karya dijabarkan
dari keunggulan orangnya.
Maka karangan ini tidak memisahkan antara "kristologi"
dan "soteriologi," meskipun membeda-bedakannya. Pendekatan
karangan ini suatu pendekatan menyeluruh. Karangan ini akan
mengikuti garis-garis besar perkembangan historis dalam
kristologi/soteriotogi. Dengan jalan itu boleh menjadi jelas
bahwa perkembangan tidak pernah berhenti. Juga dewasa ini,
boleh jadi justru dewasa ini perkembangan dalam kristologi
boleh jadi dipercepat, harus dipercepat. Adapun sebabnya
ialah: Umat manusia dan umat Kristen rupanya menempuh tahap
baru, suatu kurun baru dalam sejarahnya. Situasi dan alam
pikiran secara mendasar berubah, kalaupun belum jelas mau ke
mana. Kepercayaan Kristen, Yesus Kristus sendiri, menjadi
tersebar di seluruh dunia, juga di luar lingkup yang tegas
Kristen, dan bertemu dengan alam pikiran dan kebudayaan yang
berbeda dengan yang menjadi latar belakang umat Kristen
selama ribuan tahun. Sedang berkembanglah suatu kebudayaan
mondial dan alam pikiran mondial yang mengasimilasikan tanpa
mematikan, berbagai kebudayaan tradisional serta alam
pikiran yang khas. Dalam situasi ini tidak dapat tidak umat
Kristen memikirkan sasaran kepercayaannya, Yesus Kristus,
relevansi, arti dan makna-Nya bagi umat manusia. Kembali
umat Kristen mesti mengkonsepsualkan dan membahasakan Yesus
Kristus yang toh tetap harus sama. Sebab Kristus itulah yang
mesti diwartakan oleh karena di bawah kolong langit sampai
akhir zaman tidak diberikan nama lain yang olehnya manusia
diselamatkan.
Karangan ini secara singkat mau mengupas Yesus Kristus
dalam sejarah, berarti sejarah kristologi. Sejarah itu ada
beberapa tahapnya: tahap awal, tahap yang ditempuh dalam
lingkup kebudayaan Yunani-Romawi, tahap abad-abad
pertengahan dan tahap yang dimulai dengan Reformasi dalam
Gereja Latin dan akhirnya tahap yang kini mulai ditempuh.
Perhatian khusus diberi kepada tahap awal, zaman rasuli.
Adapun pertimbangannya ialah sebagai berikut: Kristologi
yang serba majemuk itulah menjadi pangkal semua perkembangan
selanjutnya. Hanya melalui kristologi awal itu orang secara
terjamin mencapai sasaran kepercayaannya, yaitu Yesus
Kristus. Dan Yesus Kristus itulah tetap satu dan sama.
Kristologi awal itu dengan cara demikian menjadi juga
pengawas kristologi selanjutnya, supaya Yesus Kristus tidak
diganti dengan sesuatu yang lain. Tentu saja kristologi
lebih lanjut tidak boleh mengulang saja kristologi
generasi-generasi pertama. Situasi di masa itu dan lingkup
dua-tiga generasi Kristen pertama itu turut menentukan
caranya Yesus Kristus dikonsepsualkan dan dibahasakan,
kristologi diperkembangkan. Situasi dan lingkup umat Kristen
sekarang tidak sama. Maka kristologi umat Kristen menjelang
abad XXI tidak bisa sama dengan kristologi pada awal
sejarahnya, meskipun awal itu tetap menentukan juga
lanjutannya.
Di Indonesia pun semuanya itu berlaku. Tetapi Situasi
umat Kristen di Indonesia masih dipengaruhi oleh suatu unsur
khusus. Sebagian besar bangsa Indonesia mengakui Muhammad
sebagai "khatam alnabiyyin," "meterai para nabi" yang
menyampaikan "wahyu" Allah yang lengkap dan definitif. Kaum
muslimin menghormati Nabi Isa Almasih dan mempunyai
"kristologinya" sendiri yang kadang kala langsung berlawanan
dengan kristologi umat Kristen. Baiklah umat Kristen di
Indonesia dalam memikirkan, mengkonsepsualkan dan
membahasakan Yesus Kristus ingat bahwa tetangganya pun
memikirkan Nabi Isa Almasih. Ingatan itu dapat menolong
sedikit untuk memikirkan Yesus Kristus serta karya-Nya
begitu rupa, sehingga relevansi-Nya dapat menjadi lebih
jelas bagi tetangga yang menghormati Yesus yang sama sebagai
nabi. Sejak awalnya umat Islam bertemu dan berbentrokan
dengan umat Kristen. Pada abad VII umat Kristen
mengkonsepsualkan dan membahasakan Yesus Kristus pada latar
belakang kebudayaan tertentu. Konsepsualisasi dan bahasa itu
oleh Muhammad dan teman-temannya di semenanjung Arabia
dirasakan dan dinilai sebagai hujat Allah, seolah-olah
dipersekutukan. Dan dalam hal ini umat Islam melanjutkan
rasa dan penilaian umat Yahudi yang juga sejak awal
(bandingkan dengan Yoh 10:31-38) dengan gigih membela Tauhid
Allah berhadapan dengan pemikiran Kristen tentang Yesus
Kristus. Dan barangkali itulah problem utama seluruh
kristologi. Bagaimana Tauhid Allah dengan jujur dapat
dipertahankan dengan tidak sedikit pun mengurangi kedudukan
dan peranan Yesus Kristus, dan sebaliknya: Bagaimana
mempertahankan kedudukan dan peranan unggul Yesus Kristus,
sesuai dengan tradisi Kristen, dengan tidak mengurangi
Tauhid Allah?
|