SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen

Dr. C. Groenen OFM

Wiederkehr tidak berkeberatan menerima adanya pada Yesus Kristus diri manusiawi dan diri ilahi (kedua). Paham "diri" (persona) sehubungan dengan manusia tidaklah searti dengan "diri" (persona) sehubungan dengan Allah, sama seperti "kodrat" (natura) sehubungan dengan manusia tidak searti dengan "kodrat" kalau dikatakan tentang Allah. Diri manusiawi Yesus Kristus selaku "kodrat" tertuju kepada diri ilahi yang kedua (Allah-Anak) dan hanya ada satu "kemauan" pada Yesus Kristus. Tetapi-kemauan yang satu ada dua seginya, yaitu segi ilahi dan segi manusiawi, yang tentu saja tidak satu dan sama saja. Demikian pun "diri" manusiawi Yesus Kristus dan "diri ilahi" hanya dua segi pada realitas yang sama. "Diri" (persona) menurut Wiederkehr mesti dipahami secara modern. Sebab, sama seperti banyak teolog lain (Schoonenberg, Hulsbosch, Rahner dll.), Wiederkehr tidak merasa puas dengan paham "diri" (persona) klasik dan skolastik. Itu dinilai terlalu statis dan menghalangi orang secara tepat memahami "diri" (persona) Yesus Kristus. Paham "statis" itu mesti diganti dengan paham relasional. Manusia - dan malah Allah - menjadi diri berkat relasinya dengan yang lain. Paham "relasional" itu pun mesti diterapkan kepada Yesus Kristus. Dalam Injil Yesus tampil sebagai manusia yang mempunyai relasi khusus dengan Allah. Relasi manusia Yesus itu merupakan segi manusiawi dari relasi Anak dengan Bapa. Maka relasi (persona) yang sama bermuka dua. Dan relasi ilahi (persona) mendasarkan relasi (persona) manusia Yesus dengan Allah Bapa.

Meskipun juga Wiederkehr tidak berhasil mengatasi segala kesulitan, namun untung pendekatan itu ialah: ia berusaha mempertahankan dan mengintegrasikan semua unsur yang perlu diperhatikan setiap kristologi spekulatif: Kitab Suci, tradisi sejati dan alam pikiran, tempat Yesus Kristus mesti diwartakan. Sejauh mana usaha Wiederkehr berhasil belum berani kami pastikan.

Pikiran W. Rasper (Jesus der Christus, 1974; A. Schilson-W. Kasper, Christologie im Präsens. Kritische Sichtung neuer Entwürfe, 1974) agak sehaluan dengan pikiran Wiederkehr. Kasper pun berusaha menyusun suatu kristologi "dinamis," yang mengintegrasikan pewartaan Kitab Suci, dogma kristologis dan tradisi sejati dan tuntutan alam pikiran modern atau dianggap modern. Dan latar belakangnya juga alam pikiran Eropa Barat, khususnya Jerman. Ia pun mau mempersatukan "kristologi dari atas" dengan "kristologi dari bawah." Terlepas tiap-tiap kristologi, menurut Kasper, tidak sampai ke tujuan, yaitu memperdalam iman umat Kristen kepada Yesus Kristus.

Sebagai pangkal dan kerangka kristologi Kasper menempatkan pengakuan iman Gereja: Yesus adalah Kristus. Kurang jelas mengapa justru pengakuan itulah diambil. Mengapa tidak misalnya: Yesus adalah Anak Allah? Menurut Kasper kristologi sebenarnya tidak lain daripada menjelaskan dengan saksama dan menjernihkan pengakuan iman umat tersebut: Yesus adalah Kristus. Isi dan ukuran kristologi itu bukan "rumus" abstrak jtu, tetapi isinya: Yesus historis ialah Kristus kepercayaan. Kedua itu tidak dapat dipisahkan apalagi diperlawankan. Kalau hanya yang pertama: Yesus historis dipikirkan lebih lanjut, maka kristologi menjadi Yesuologi. Kalau hanya yang kedua: Kristus kepercayaan dipikirkan, maka kristologi menjadi mitologi. Dan itulah sebabnya mengapa kristologi dari bawah dan kristologi dari atas haruslah digabungkan, Identitas antara Yesus duniawi dan Kristus yang ditinggikan, dimuliakan menjadi kerangka kristologi. Di dalam kerangka itu dogma konsili Efese, Khalkedon dan Konstantinopolis dapat dijelaskan.

Menurut Kasper masalah yang dalam kristologi mesti dijernihkan ialah: Bagaimana dalam Yesus Kristus Allah dan manusia bersatu. Itulah masalah abadi. Boleh juga dirumuskan sebagai berikut: Mana jawaban atas pertanyaan: Siapa Yesus Kristus. Menurutnya kristologi tradisional yang statis memberi jawaban kurang tepat. Sebab kristologi itu menyangkal adanya pada Yesus "diri" (persona) manusiawi (an-hypostasia) oleh karena kemanusiaan (kodrat abstrak) dipersatukan dengan "kodrat ilahi" dalam "diri" (persona) ilahi (en-hypostasia). Dengan demikian kemanusiaan konkret Yesus Kristus dikurangi, sehingga Yesus bukan sungguh-sungguh manusia, seperti manusia lain. Itulah kekurangan "kristologi dari atas." Sebaliknya "kristologi dari bawah" memberi jawaban kurang tepat juga. Oleh sebab dalam kebanyakan kristologi dari bawah Yesus tidak lagi (dapat) disebut sungguh-sungguh Allah. Paling-paling Yesus menjadi penampakan Allah, seorang manusia yang di dalamnya Allah hadir (secara khusus, unik).

Sebaik-baiknya, menurut Kasper, kristologi mulai dengan Alkitab. Perjanjian Baru memang tidak berbicara tentang persatuan kodrat manusia dan kodrat ilahi atau tentang "diri ilahi." Sebaliknya dalam Perjanjian Baru tampillah Yesus, manusia konkret, yang menghayati persatuan relasional-personal dengan Bapa-Nya. Tetapi dalam relasi personal itu terungkaplah persatuan dengan Logos (Firman Allah). Sebab pemberian diri dari pihak Bapa kepada Yesus (= Firman) menjadi dasar persatuan relasional manusia Yesus dengan Bapa-Nya. Dengan demikian Yesus tampil sebagai Dia yang secara mendasar adalah "keberasalan" (Herkünftigkeit) dari dan "kepenyerahan diri" (Übereignetheit) kepada Bapa. Itulah "hakikat" Yesus. Maka "kristologi fungsional (relasional)" yang tampil dalam Perjanjian Baru sebenarnya juga "kristologi esensial" (hakikat). Kristologi esensial, metafisis, ontoiogis yang dirumuskan konsili Khalkedon hanya mengungkapkan dengan istilah dan pada tingkatan bahasa lain apa yang dalam Perjanjian Baru terungkap dengan istilah "ontik," konkret, personal, relasional.

Dalam Yesus Kristus, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru, secara definitif, ekskatologis menjadi nyata siapa sebenarnya Allah sendiri. Relasi, ialah pemberian diri timbal balik, antara Yesus dengan Bapa termasuk ke dalam hakikat Allah. Allah di dalam diri-Nya adalah relasional (Bapa-Anak). Dan oleh karena relasi antara Yesus dengan Bapa menurut Perjanjian Baru diperluas sehingga manusia (percaya) lain diikutsertakan di dalamnya - namanya: Roh Kudus -, maka pemberian diri timbal balik antara Allah dan manusia ternyata berdasarkan relasi rangkap tiga di dalam hakikat Allah sendiri (Allah Tritunggal). Seperti Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus menyatakan diri dalam sejarah (Tritunggal ekonomis), demikianlah Allah dalam hakikat-Nya (Tritunggal imanen). Tritunggal ekonomis merupakan jalannya kita mengenal bagaimana Allah yang sebenarnya (Tritunggal). Tetapi Allah yang Tritunggal di dalam diri-Nya menjadi praandaian Allah Tritunggal ekonomis dan pengenalan kita akan Dia.

Dalam kristologi dinamis macam itu, menurut Kasper, tidak ada keberatan sedikit pun menerima adanya "diri" {pribadi, persona) manusiawi dan historis pada Yesus. Diri (persona) oleh Kasper dipahami secara modern, dinamis, secara relasional dan tidaklah statis. Seperti dipahami skolastik, yang menuruti definisi Boethius, ± 524, sebagai berikut: Persona est naturae rationalis individua substantia (= diri ialah: kemandirian tersendiri kodrat berakal). Dan paham "diri" (persona) sehubungan dengan manusia tidaklah searti dengan paham "diri" (persona) sehubungan dengan Allah. Hanya ada analogia.

"Diri" (pribadi, persona) manusiawi pada Kristus menjadi penyataan, dimensi manusiawi dari "diri" (persona) ilahi "yang kedua, Firman, Allah-Anak." Dan Yesus adalah "diri" (persona) manusiawi justru oleh karena Ia adalah Firman Allah, dijadikan oleh-Nya. Berkat dan dalam Firman itu adalah diri manusiawi. Dan sebaliknya: "Diri" (persona) Firman Allah adalah "diri" manusiawi Yesus. Perkaranya hanya dua segi, aspek dari realitas yang sama. Jelaslah bahwa "diri" manusiawi Yesus tidaklah sama dengan "diri" manusia lain. Sebab pada diri manusia Yesus ada dimensi ilahi yang unik yang dengan cara demikian tidak terdapat pada manusia lain. Maka Yesus tidak kurang "diri manusia" daripada manusia lain. Sebaliknya Yesus tidak kurang, melainkan lebih dari itu, oleh karena secara unik ditentukan dan dipenuhi oleh Firman pra-existen Allah.

Dengan cara demikian dan agak spekulatif W. Kasper mau mempertahankan dogma Khalkedon, bahwa Yesus Kristus, yang satu dan sama, benar-benar Allah dan benar-benar manusia, tak terpisah dan tak tercampur. Dan boleh dikatakan bahwa kristologi Kasper suatu versi modern bagi kristologi klasik yang dilengkapi seperlunya dengan sumbangan dari Alkitab dan alam pikiran modern. Hanya kurang jelas bagaimana Kasper dapat mempertahankan bawah "Allah" dan "manusia" pada Yesus Kristus tidak "tercampur" dan "tidak terpisah." Kami berkesan bahwa kristologi Kasper sama seperti kristologi klasik menjurus kepada monophysitisme. Kasper dengan versi barunya itu mau mendekatkan kristologi, tegasnya Yesus Kristus, kepada "manusia modern." Hanya tetap boleh dipertanyakan sejauh mana "manusia modern" itu mau dan dapat mencernakan spekulasi W. Kasper? Pikiran Kasper disebarluaskan oleh karya B. Forte, Jesus von Nazareth, Geschichte Gottes-Gott der geschichte, 1984.

Agak berbeda pendekatan E. Schillebeeckx, seorang teolog spekulatif yang cukup orisinal dan luas dampaknya. Pikirannya tentang Yesus Kristus terutama tercantum dalam karya besar "Jezus. Het verhaal van een Levende3," 1975, yang dilengkapi dalam "Gerechtigheid en liefde, genade en bevrijding," 1977, dan didahului karya "Christus, sacrament van de Gods-ontmoeting," 1950.

Sama seperti K. Rahner, Schillebeeckx seorang neothomis, seorang teolog spekulatif-sistematis yang mau berlayar di bawah bendera Thomas Aquinas. Tetapi ia tidak hanya mau mengulang-ulang sang Guru atau mengkomentari karyanya. Sama seperti K. Rahner dll. Schillebeeckx merasa kurang puas dengan kristologi tradisional-skolastik. Alam pikiran teologi macam itu tidak memadai alam pikiran modern. Schillebeeckx prihatin tentang kemunduran kekristenan di dunia barat. Ia mencari jalan dan akal untuk mewartakan Yesus Kristus begitu rupa, sehingga dapat tetap relevan bagi manusia masa kini. Jadi keprihatinannya sama dengan yang menginspirasikan teologi liberal di abad yang lampau (yang ternyata kurang berhasil). Schillebeeckx mau setia kepada tradisi sejati yang dimengerti secara tepat, diinterpretasikan kembali, dan yang tidaklah sama dengan teologi/kristologi skolastik. Cara kristologi tradisional itu memikirkan Yesus Kristus tidak hanya kurang relevan dewasa ini, tetapi juga terlalu berat sebelah sambil memperkurus dan mempersempit kristologi yang ditemukan dalam tradisi dan khususnya dalam Perjanjian Baru.

E. Schillebeeckx menyebut karyanya (Jezus. Met verhaal van een Levende) "prolegomena" (pendahuluan, persiapan) untuk suatu kristologi yang sesungguhnya. Ia pun menyebutnya sebuah "eksperimen" dalam kristologi. Schillebeeckx mencari dasar dan pangkal mantap bagi pemikiran teologis mengenai Yesus Kristus. Untuk mencari dasar itu Schillebeeckx seolah-olah menempatkan seluruh sistem kristologik skolastik dan malah dogma-dogma kuno antara kurung, tentu hanya sebagai "metode." Lain dari K. Rahner, Wiederkehr dan Kasper, Schillebeeckx melepaskan sistem dan sistematik - sejauh itu mungkin bagi seorang teolog sistematis. Rahner agak kebal terhadap ilmu tafsir dan hasilnya dan menjabarkan pikirannya dari beberapa prinsip teologis spekulatif. Schillebeeckx bersungguh-sungguh dengan ilmu tafsir dan terutama dengan Alkitab. Dengan memakai segala metode ilmu tafsir modern, dengan menerapkan hermeneutiks dan kritik ilmu pengetahuan ia mau menembus permukaan Alkitab (pewartaan tentang Yesus Kristus yang tidak seragam, sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Baru). Ia mau sampai kepada Yesus historis melalui Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru. Sebab, menurut Schillebeeckx, Yesus itulah yang akhirnya mesti menjadi ukuran dan batu penguji setiap kristologi. Maka Yesus historis itulah yang menjadi pangkal kristologi Perjanjian Baru dan kristologi selanjutnya.

Schillebeeckx cukup optimis tentang hasil penyelidikan ilmiah mengenai Yesus historis. Meskipun pengetahuan terinci tidaklah mungkin lagi, mengingat kita hanya melalui Perjanjian Baru yang sudah mengartikan Yesus dapat mencapai-Nya, namun ilmu masih dapat menemukan cukup untuk menjadi pangkal kristologi. Menurutnya kristologi tidak boleh mengatakan apa-apa tentang Yesus Kristus yang tidak dalam salah satu bentuk (kabur dan ambivalan) terdapat pada Yesus historis.

Meskipun Schillebeeckx menyangkal bahwa karyanya suatu "apologetika," namun tendensi apologetis cukup menyolok. Sebab akhirnya karyanya hanya mau memperlihatkan bahwa iman umat Kristen tentang Yesus Kristus (asal dirumuskan kembali) dapat diterima oleh "manusia modern," yang berpikir secara kritis, ilmiah, positivis dan antroposentris. Tentu saja iman itu tidak dilandaskan oleh ilmu, tetapi diperlihatkan bahwa iman itu tidak berlawanan dengan akal kritis dan tetap relevan bagi manusia yang berpikir secara rasional modern. Schillebeeckx mau menjawab pertanyaan: Siapa Yesus Kristus bagi manusia masa kini.

Untuk mencapai tujuan tersebut Schillebeeckx secara pribadi menempuh kembali dan merekonstruksikan perkembangan iman serta perumusannya pada umat perdana, seperti tercantum dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil-injil sinoptik. Dalam Perjanjian Baru ditemukan kesaksian, suara (yang amat tidak seragam) mengenai gejala historis yaitu gerakan yang tercetus oleh tampilnya Yesus dan Nazareth. Justru gerakan itulah yang mempersatukan semua kesaksian yang boleh jadi bertolak belakang satu sama lain. Gerakan itu merupakan reaksi sejumlah orang terhadap pengalaman mereka dengan Yesus. Kristologi Perjanjian Baru pada dasarnya "kristologi dari bawah".

Dan titik pangkal semuanya, menurut Schillebeeckx, ialah pengalaman Yesus sendiri akan Allah. Itu diistitahkannya sebagai "pengalaman (akan Allah sebagai) Abba." Pengalaman Yesus itu ternyata suatu pengalaman unik dan tunggal, yang tidak berlawanan dengan pengalaman religius pada umumnya, apalagi dengan pengalaman religius sejati yang disaksikan dalam Perjanjian Lama, namun tidaklah sama saja, seolah-olah hanya lebih intensif dan mendalam. Pengalaman itulah yang menentukan seluruh kehidupan Yesus sampai dengan wafat-Nya di salib. Pewartaan dan karya Yesus hanya cetusan dari pengalaman dasar itu, sehingga melalui pengungkapan itu kita masih dapat sedikit (tetapi secukupnya) mengenai pengalaman Yesus itu. Dengan membangkitkan Yesus Allah membenarkan kepercayaan dan seluruh kehidupan Yesus. "Kebangkitan" itu merupakan salah satu kemungkinan linguistik untuk mengungkapkan apa yang dialami para pengikut Yesus (yang sudah percaya kepada-Nya), setelah Yesus wafat. Pengalaman itu memang tercetus oleh Yesus sendiri, yang dialami sebagai hadir dan hidup sebagai Juru Selamat, yang memberikan keselamatan definitif, eskatologis kepada manusia. Meskipun "kebangkitan" itu mengandaikan iman, namun bukan produk iman para pengikut Yesus.

Maka "pengalaman- Abba" Yesus sendiri dan "pengalaman- paska" (demikian diistilahkan) para murid menjadi pangkal gerakan Kristen dan "kristologi," ialah refleksi umat perdana atas Yesus Kristus yang dialami secara demikian. Maka kristologi pada dasarnya merupakan suatu usaha mengidentifikasikan apa/siapa yang dialami. Refleksi, kristologi, sebenarnya sekunder. Iman/refleksi itu oleh umat perdana diungkapkan dengan pelbagai cara, Yahudi dan Yunani, dengan tidak ada keseragaman. Umat mulai menentukan "siapa" sebenarnya Yesus yang mereka alami dan itu pun demi relevansi dan makna Yesus bagi mereka. Pemikiran umat dan pengungkapannya ditentukan oleh kebudayaan dan tradisi religiusnya sendiri. Dengan demikian misalnya Yesus diberi berbagai "gelar," yang nilainya relatif saja. Menurut Schillebeeckx, gelar yang paling primitif, pangkal semua gelar lain, ialah: "Nabi," tegasnya "Nabi eskatologis," utusan Allah yang definitif. Tetapi realitas yang terungkap di dalamnya, meskipun tidak dengan cara yang memadai, ialah: Yesus adalah keselamatan definitif/eskatologis dari Allah, menurut Schillebeeckx.

Itulah "gelar" baru ala Rahner, yang mau diberikan Schillebeeckx sendiri kepada Yesus. Dengan cara demikian, terungkaplah makna dan relevansi tetap Yesus bagi semua manusia. Dan fenomena historis, jadi partikular dan kontingen, yaitu Yesus, mempunyai makna universal. Itulah kedudukan unik dan tunggal Yesus. Siapa saja dalam iman mengakui Yesus sebagai keselamatan definitif dari Allah haruslah disebutkan sebagai orang Kristen sejati.

Boleh dikatakan bahwa kristologi yang dikemukakan Schillebeeckx merupakan semacam "kristologi pengalaman" (mirip dengan kristoiogi yang di abad lampau dikemukakan oleh Ritschl). Sebab kristologi merupakan refleksi atas pengalaman Yesus dan pengalaman murid-murid-Nya. Pengalaman murid-murid itu sebenarnya berlangsung terus pada umat beriman. Refleksi sekunder dapat bermacam-macam. Dan itulah sebabnya mengapa Schillebeeckx sendiri tidak punya masalah sedikit pun dengan dogma konsili Efese, Khalkedon dan Konstantinopolis III. Itu kan dalam lingkup kebudayaan Yunani-Latin suatu ungkapan iman yang sejati dan memadai di masa itu. Hanyalah dogma itu, kalau dilepaskan dari lingkup historisnya, dari tradisi secara menyeluruh dan dari Perjanjian Baru, menjadi berat sebelah serta mempersempit misteri Yesus Kristus. Jadi dogma itu selalu mesti dilengkapi seperlunya. Kecuali itu perumusan dogma itu tidak relevan lagi, sehingga perlu diinterpretasikan kembali. Yesus - bukan dogma - mesti ditempatkan dalam konteks, dalam alam pikiran manusia (barat) dewasa ini.

Sesuai dengan tendensi antroposentris dewasa ini Schillebeeckx menekankan kemanusiaan utuh lengkap pada Yesus Kristus. Tidak ada apa saja yang kurang. Ia berkeberatan terhadap teologi-kristologi tradisional oleh karena menggelapkan "manusia" Yesus. Kristologi mesti bertitik tolak afirmasi bahwa Yesus seorang manusia konkret. Baru sesudahnya orang dapat memikirkan dan merumuskan relasi Yesus dengan Bapa-Nya. Schillebeeckx segan menerima kristologi (bukan dogma) tradisional-skolastik yang menyangkal "diri" (persona) manusiawi pada Yesus Kristus. Menerima. adanya "diri manusiawi" tidak berlawanan dengan dogma konsili Khalkedon. Menurut dogma hanya perlu "subjek" pada Yesus satu dan tidak diperbanyak. Paham "diri" (persona) dapat dipikirkan secara lain daripada dipikirkan dalam kristologi tradisional. Dengan paham lain sedemikian Yesus yang satu dan sama boleh dikatakan "pribadi" manusiawi tanpa menghilangkan relasi unik dan tunggal Yesus dengan Allah, sehingga Allah sebagai keselamatan manusia menjadi nyata dengan manusia Yesus. Bertitik tolak pada Yesus orang mesti memahami Allah Tritunggal, Allah yang di dalam diri-Nya relasional (diri, persona). Dengan demikian Yesus dapat dipahami sebagai manusia utuh dan serentak keselamatan dari Allah, yang menurut Schillebeeckx, tidak lain kecuali Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus.

Manusia Yesus dapat dan harus dikatakan "Anak Allah." Tetapi Ia dijadikan Anak Allah dalam menjadi tercipta (in assumptione creatur) Pemberian diri Allah (= Firman) (dalam batas manusiawi) menjadikan diri manusia Yesus Anak Allah. Dan justru itulah yang menjadi dasar pengalaman unik Yesus akan Allah sebagai Abba.

Dalam soteriologinya {yang belum di perkembangkan sepenuh-penuhnya) Schillebeeckx antroposentris. Dengan tampilnya Yesus perkara manusia menjadi nyata sebagai perkara Allah sendiri. Allah sendiri melibatkan diri dalam sejarah dan hal-ihwal pembebasan manusia (pembebasan memang suatu gagasan yang dewasa ini amat digemari dnnia barat). Dengan melihat halnya demikian Schillebeeckx dapat secara positif menilai ajaran Anselmus tentang satisfactio vicaria. Sebab, menurut Schillebeeckx, teori Anselmus, asal dimengerti secara tepat, justru menekankan peran aktif manusia dalam proses penyelamatan, meskipun proses berpangkal pada Allah. Teori Anselmus memasukkan unsur baru ke dalam soteriologi Kristen (Yunani) untuk menonjolkan manusia yang dengan arti tertentu, dengan bebas menyelamatkan dirinya berkat penyelamatan Allah dalam Yesus. Manusia Yesus sebagai pola sekalian manusia berperan aktif dalam penyelamatan dari Allah. Keselamatan dari Allah memang tidak "didrop" dari atas. Pada pokoknya keselamatan itu sama dengan proses emansipasi diri manusia berkat Allah.

Terkesan oleh pendekatan yang akhir-akhir ini berkembang dalam filsafat (pragmatik) Schillebeeckx mencoba mengintegrasikan (secara kritis) pendekatan itu dalam kristologinya. Ia menekankan "praxis" Yesus dan "praxis" umat Kristen yang berpolakan praxis Yesus. Sama seperti J. Moltmann, W.D. Marsch, J.-B. Metz, Schillebeeckx terpengaruh oleh neomarxisme (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse, dan khususnya E. Bloch dan J. Habermas) dan kritiknya terhadap agama (dicap sebagai ideologi). Ia tidak menjadikan "praxis" itu kriterium kebenaran (salah satu teori, i.e. kristologi). Tetapi ia menekankan praxis umat sebagai kriterium "credibilitas" (dapat dipercayai) umat Kristen dan relevansinya untuk manusia masa kini. Memang maksud dasar Schillebeeckx ialah maksud pastoral, membuat Yesus menjadi relevan.

Pikiran Schillebeeckx tentang Yesus Kristus tentu saja mengesan di hati. Ia berani melepaskan diri dari tradisi yang membeku dan dari sistern yang berkarat. Ia berani mencari jalannya sendiri. Dan belum juga ia mengakhiri perjalanannya. Sebab baru ada "prolegomena" untuk kristologi. Namun demikian, akhirnya toh tinggal rasa ragu-ragu.

Sehubungan dengan metodik boleh dipertanyakan: Apakah eksegese pilihan Schillebeeckx tidak terlalu selektif? Bukan soal bahwa ia praktis membatasi diri pada Injil-injil sinoptik. Itu berkaitan dengan maksudnya: kembali kepada Yesus historis. Rupanya karangan Yohanes dan Paulus kurang membantu. Tetapi orang berkesan bahwa sang teolog sebelumnya sudah mempunyai suatu konsep tertentu oleh karena terutama memperhatikan manusia di dunia (barat) modern. Rupanya sudah ada konsep yang dianggap dapat menghadapi situasi itu. Konsep itu agaknya membimbing eksegese pilihan Schillebeeckx. Dengan demikian Kitab Suci disesuaikan dengan konsep yang tidak datang dari Kitab Suci.

Tentu saja setiap orang, termasuk terutama Schillebeeckx sendiri, tahu betapa pentinglah "prapaham," "prapengertian" dalam menafsirkan dan memahami Kitab Suci. Malah tidak dapat tidak dan mesti ada prapaham yang membimbing eksegese. Tetapi termasuklah dalam "lingkaran hermeneutis," bahwa prapaham itu dipertaruhkan berhadapan dengan Alkitab, dikonfrotasikan dengan Kitab Suci dan dibiarkan dikritik oleh Kitab Suci. Boleh dipertanyakan kalau-kalau Schillebeeckx sungguh-sungguh menempuh lingkaran hermeneutis sampai akhir. Boleh jadi ia kurang membiarkan Alkitab mengkritik prapahamnya tentang Yesus.

Boleh juga dipertanyakan kalau-kalau secara teologis dapat dibenar-kan bahwa Schillebeeckx membuat Yesus historis menjadi ukuran dan batu penguji seluruh kristologi, tidak terkecuaii kristologi Perjanjian Baru. Sang teolog sebenarnya langsung berhadapan dengan Kitab Suci, satu-satunya yang dapat dihadapi. Mencari di belakang Kitab Suci suatu Yesus historis dan pengalaman-Nya akan "Abba," menjadi terlalu hipotetis untuk dapat menjadi titik tolak kristologi sekarang (lain halnya dengan murid-murid Yesus). Schillebeeckx sendiri, yang rupa-rupanya kurang percaya pada ahli-ahli kitab, mencatat betapa hipotetis hasil dari ilmu tafsir dan penelitian historis. Maka Schillebeeckx hanya dapat menambah suatu hipotetis lagi. Bagaimana kristologi Schillebeeckx dapat lebih bernilai daripada kristologi siapa pun yang dapat membawa argumen ilmiah? Semuanya tidak lebih bernilai daripada argumen ilmiahnya. Dapatkah "kristologi" dibangun atas dasar yang serapuh itu?

Schillebeeckx juga terlalu meremehkan arti dan makna kebangkitan Yesus, seperti yang diwartakan Perjanjian Baru. Menurut Schillebeeckx kebangkitan Yesus (pengalaman murid), dapat dijabarkan dari kehidupan Yesus (paling tidak sebagai kemungkinan). Kebangkitan itu akhirnya menyingkapkan, membenarkan apa yang sudah ada pada Yesus historis. Kebangkitan sendiri sudah terkandung dalam kehidupan Yesus, oleh karena, menurut Schillebeeckx, Yesus sendiri mengintegrasikan kematian-Nya (kegagalan) ke dalam pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah, ialah keselamatan definitif dari Allah. Itu mengimplikasikan kebangkitan (artinya: tidak lenyapnya Yesus sebagai keselamatan, kerajaan Allah). Schillebeeckx memang mengidentikkan Yesus (yang dibangkitkan) dengan Kerajaan Allah yang Ia wartakan. Yesus dibenarkan oleh Allah dan itu menjadi nyata dalam pengalaman paska murid. Meskipun Schillebeeckx berkata tentang kebangkitan sebagai "tindakan penyelamatan Allah yang baru," rupanya tidak ada sesuatu yang sungguh-sungguh baru, yang belum ada sebelumnya. Begitulah kebangkitan dipahami Perjanjian Baru?

Akhirnya boleh dipertanyakan: Yesus, seperti digambarkan oleh Schillebeeckx, begitu sesuai dengan alam pikiran (barat) modern, atau dianggap modern, sehingga tidak jelaslah kalau-kalau Schillebeeckx masih dapat menyetujui seruan Paulus: Kami mewartakan Yesus Kristus yang tersalib, batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani.

Setelah Schillebeeckx 545 halaman lamanya bergumul dengan Yesus, ia mencatat: Bagaimana manusia Yesus bagi kita sekaligus menjadi rupa kehadiran "diri" (persona) ilahi, yakni Anak, imanensi yang menimbuni kita dan melampaui masa depan kita, itulah suatu misteri yang secara rasional, teoretis, tidak lagi terselami .... Akhirnya kita tidak tahu siapa Allah itu. Memang iman melampaui teologi, dan Yesus Kristus melampaui kristologi siapa pun.

Jalur yang ditempuh oleh Schillebeeckx dengan cara yang cukup hati-hati, yang tahu membeda-bedakan, pada saat yang sama ditempuh oleh H. Küng, tetapi dengan sikap kurang kritis dan lebih radikal. Pikirannya terutama tercantum dalam karya "Christsein" (1974), Tetapi karya itu dipersiapkan dalam "Menschwerdung Gottes. Einde Einfuhrüng in Hegels theologisches Denken als Prolegomena zu einer künftige Christologie" (1970) dan dibela serta dijernihkan dalam "Thesen zum Christsein" (1975). Karangan terakhir ini merupakan tanggapan atas heboh yang ditimbulkan karya "Christsein".

H. Küng seorang teolog spekulatif yang bergerak terutama di bidang ekumene. Seperti sekian banyak teolog Küng prihatin atas kemunduran kekristenan di Eropa. Maksudnya pastoral, ialah: mewartakan Yesus Kristus kepada mereka yang tidak tercapai oleh pewartaan resmi, yang dinilai tidak memadai lagi.

Maka karya "Christsein" sebenarnya bukanlah sebuah "kristologi" yang sesungguhnya dan lengkap. Lingkupnya jauh lebih luas sekaligus lebih terbatas. Namun demikian, di dalamnya tercantum juga pikiran Küng tentang Yesus Kristus. Tetapi pikiran itu pun mesti dinilai dalam rangka maksud karya itu: mendekatkan Yesus Kristus kepada mereka yang tidak (bekas) Kristen, acuh-acuh dan terasing dari Gereja, manusia sekular abad XX. Gaya yang dipilih sesuai dengan maksud itu. Maka tidak atau jarang dipakai istilah dan bahasa yang khusus Kristen-Katolik. Gayanya sesuai dengan manusia modern, yang disekularkan dan hidup dalam alam pikiran Eropa Barat pada masa itu.

H. Küng menyajikan suatu "kristologi dari bawah" dan mau mengikuti perkembangan iman umat perdana dari Yesus seperti hidup dan dialami di dunia sampai dengan Yesus Kristus yang diwartakan umat. Dalam menguraikan pikirannya Küng, sama seperti Schillebeeckx, terpengaruh (boleh dikatakan: terjerat) oleh filsafat Jerman, khususnya filsafat (idealis) Hegel bergandengan dengan metode kritik-historis, seperti diperkembangkan dan diterapkan khususnya di Jerman. Kecuali itu ia terpengaruh oleh pendekatan evolusionis Teillard de Chardin (± 1955). Pikiran Teillard de Chardin sebenarnya bukan pikiran teologis, tetapi terlebih "mistis" dan "gnostis" dengan menggabungkan iman Kristen dengan ilmu positifnya (paleontologi). Terbawa oleh evolusionisme ia membalikkan mitos gnostis dahulu. Gnosis dahulu mulai dengan Yang Mutlak, Yang satu (teogoni) yang berkembang menjadi manusia perdana (antropogoni) dan dunia (kosmogoni). Dalam pendekatan Teillard de Chardin dunia materi berkembang (melalui kematian) kepada tingkat lebih tinggi menjadi manusia dan manusia itu berkembang ke tingkat lebih tinggi yang sudah menjadi real pada Yesus Kristus. Akhirnya semuanya melebur menjadi Yang Satu, Allah. Allah itu sebenarnya dinamika seluruh evolusi itu. Evolusionisme "materialis" itu mirip dengan evolusionisme "rohani" Hegel. Maka tidak mengherankan bahwa Rüng yang menganut filsafat Hegel juga menyerap evolusionisme Teillard de Chardin.

H. Küng mau mendasarkan kristologi pada apa yang disebutkannya sebagai "Yesus yang sesungguhnya." Küng memang menyadari bahwa Yesus "historis" tidak tercapai secara murni dan hanya dapat didekati melalui pewartaan umat perdana. Maka ia tidak mau memisahkan apalagi memperlawankan Yesus yang sesungguhnya dengan Yesus Kristus yang diwartakan. Itulah sebabnya mengapa ia tidak berkata tentang Yesus "historis," melainkan tentang Yesus "yang sesungguhnya," Yesus di dunia. Melalui ilmu sejarah orang tidak pernah dapat menembus sampai ke inti seseorang tokoh, apa pula pribadi Yesus. Maka Küng menegaskan bahwa ilmu tidak (dapat) melandaskan iman Kristen, karena iman berlandaskan Allah melulu. Namun, kendati semua penegasan itu, Küng (rupanya kurang konsekuen) yakin bahwa Yesus yang sesungguhnya tercapai melalui metode kritik-historis. Dan Yesus itulah yang menjadi ukuran dan batu penguji iman umat Kristen dan kristologi selanjutnya, tidak terkecuali dogma kristologis. Küng tidak bermaksud menyangkal dogma itu, khususnya dogma konsili Khalkedon yang menyatakan bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Hanya dogma itu mesti dipahami dengan berpegang pada ukuran tersebut, "Yesus yang sesungguhnya." Jadi, mesti dipikirkan dan dijernihkan bagaimana Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dengan arti yang sebenarnya dan sepenuh-penuhnya bagi Küng suatu praandaian yang pasti. Maka mesti dijelaskan bagaimana manusia itu boleh dikatakan sungguh-sungguh Allah.

Yesus yang sesungguhnya tidak didekati sebagai fenomena historis belaka. Apa yang ditanyakan dan mau dijawab Kung ialah: Siapa Yesus bagi manusia dewasa ini, mana relevansi Yesus bagi manusia modern?

Kung menyajikan suatu uraian panjang mengenai kehidupan dan karya Yesus (yang sesungguhnya). Uraian itu memang mengesan. Tetapi orang juga teringat akan "gambaran Yesus," seperti suka disajikan teologi liberal abad yang lampau. Küng sendiri tidak bereksegese, seperti Schillebeeckx. Ia hanya memilih dari hasil eksegese apa yang dianggap "cocok." Dalam hal itu Küng tidak terlalu kritis dan menyajikan sebagai kepastian apa yang dalam ilmu tafsir hanya hipotesis, malah hipotesis rapuh.

Yesus yang sesungguhnya, berarti Yesus dalam seluruh eksistensi-Nya di dunia, diberi pelbagai gelar. Gelar-gelar itu mungkin begitu saja dapat dimengerti manusia modern, sebab gelar-gelar itu boleh dikatakan gelar "sekular." Seperti: pengacara publik, kuasa Allah, kuasa penuh, utusan, mandataris, representan, wali, wakil, juru bicara Allah dan sebagainya. Pokoknya Yesus ada di pihak Allah, tidak takluk kepada siapa pun kecuali kepada Dia. Yesus itu disalibkan, tetapi oleh Allah dibenarkan, diperteguh dan dinyatakan meialui pembangkitan. Begitu, bagi orang beriman, jelaslah sudah bahwa dalam manusia Yesus dari Nazareth Allah yang cinta kepada manusia (dahulu) hadir berkarya, berbicara bertindak dan secara definitif menyatakan diri.

Dengan demikian maka, menurut Küng, orang dapat mengartikan konsili Khalkedon yang berkata bahwa Yesus juga sungguh-sungguh Allah. Sudah pastilah Yesus sungguh-sungguh manusia seperti yang lain dan senasib dengan mereka. Bagi orang beriman manusia itu menjadi penyataan Allah yang real, sungguh-sungguh. Küng, seperti semua teolog, memang mesti bergumul dengan tradisi sejak Perjanjian Baru yang mengatakan bahwa Yesus Kristus pra-eksisten. Menurut Küng itu berarti bahwa Allah yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus memang Allah kekal, sehingga makna dan arti universal Yesus tidak berasal dari manusia melainkan dari Allah. Tetapi boleh dipertanyakan kalau-kalau keunikan Yesus dan nilai universal karya-Nya (keselamatan) cukup diamankan? Boleh disetujui bahwa bahasa yang dipakai sehubungan dengan pra-eksistensi itu bahasa mitologi, misalnya mitos tentang Taurat yang pra-eksisten. Mitos itu dipindahkan kepada Yesus yang dengan cara itu dapat dijadikan pencipta alam semesta. Benar pula bahwa cara bicara macam itu bukan bahasa historis, fisis atau metafisis. Bahasa "mitologis" itu sebenarnya bahasa teologis. Apa yang terungkap di dalamnya ialah: Dilihat dari segi Allah dunia semesta, juga dalam nilainya sebagai ciptaan, bergantung pada diri manusia Yesus Kristus. Dunia seadanya bergantung pada Yesus sebagai titik sambung antara dunia dan Allah transenden. Hal semacam itu tentu saja teologi murni, yang tidak ada argumen rasional atau historisnya. Küng berkata bahwa gagasan "pra-eksistensi" mesti diartikan secara "fungsional." Dan itu benar. Perkaranya memang suatu fungsi teologis tapi real Yesus di dalam dan bagi keseluruhan ciptaan dan keselamatan. Tetapi ini fungsi Yesus Kristus sendiri, padahal dalam pendekatan Küng fungsi Yesus ialah: hanya menyatakan Allah yang memang pencipta. Fungsi Yesus hanya "menyatakan," tetapi Ia sendiri tidak berfungsi dalam penciptaan seluruh realitas. Kalau diyakini, bahwa Yesus sendiri berperan demikian, maka Yesus tidak lagi setingkat dengan makhluk-makhluk yang semua dalam eksistensi bergantung para Yesus itu.

Boleh juga dipertanyakan bagaimana Küng mengerti "pasca-eksistensi" Yesus? Ia selalu berkata tentang Yesus dalam bentuk kala lampau praeteritum. Bagaimana peranan Yesus kini kurang jelas. Adakah diri Yesus Kristus tetap bermakna atau hanya pesan dan karya-Nya dahulu?

Akhirnya muncul kembali soal yang juga tercetus oleh pendekatan Schillebeeckx. Bagaimana Yesus "yang sesungguhnya" dapat menjadi ukuran dan batu penguji untuk iman dan kristologi? Menurut Küng dan Schillebeeckx Yesus sendiri amat ambivalen dan dapat diartikan dengan pelbagai cara yang semua secara ilmiah legitim. Kalau demikian mana mesti dipilih? Bukankah umat Kristen memilih salah satu kemungkinan sebagai pengartian yang mewajibkan mereka yang mau disebut "Kristen"? Jadi siapa/apa sebenarnya ukuran dan batu penguji: Yesus (historis/sesungguhnya) atau iman umat? Umat yang mana? Bukanlah umat perdana yang meneruskan diri dalam umat sepanjang sejarah?

Kristologi susunan H. Küng memang suatu kristologi pewahyuan. Mengingat bahwa karyanya tertuju kepada mereka yang tidak percaya (lagi) dan terasing dari iman Kristen, pendekatan yang secara mendasar "dari bawah" barangkali dapat dibenarkan. Tetapi Yesus yang oleh Küng diwartakan sukar diidentikkan dengan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru dan tradisi sejati.

Di Francis Ch. Duquoc (Christologie. Essay dogmatique. I L'homme Jésus, 1968; II Le Messie, 1972) berusaha menyusun sebuah kristologi yang baru. Ia menjauhkan diri dari kristologi tradisional-skolastik, seperti misalnya disajikan oleh J. Antonio Sayes, Jesu Cristo, Seryy persona, 1984 -. Dalam dialog terbuka dan positif dengan pemikiran Protestan - teologi tentang kematian Allah; R. Bultmann, K. Barth, W. Marxsen, W. Pannenberg, J. Moltmann - Duquoc mendasarkan kristologinya pada Kitab Suci, khususnya pada Injil-injil. Ia tidak mendekati Alkitab sebagai ahli kitab melainkan sebagai teolog. Ia mencoba menyingkapkan dimensi teologis yang ada pada peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sebagaimana dikisahkan Kitab Suci. Sesuai dengan tendensi umum dewasa ini Duquoc menekankan realitas kemanusiaan Yesus. Dalam tafsiran teologisnya ia menjauhkan diri dari dogmatik tradisional, sehingga tidak berusaha langsung menjabarkan dogma-dogma kristologis, apalagi pendapat para teolog, dari Alkitab. Meskipun tidak menyusun suatu "kristologi alkitabiah," namun sebagai teolog ia mau tinggal dalam rangka Kitab Suci sendiri.

Yang cukup menarik dan yang membuka suatu tendensi baru dalam teologi-kristologi ialah: Duquoc dalam tafsiran teologisnya memanfaatkan ilmu kemasyarakatan dan ilmu jiwa (psiko-analisis), sehingga condong melihat Yesus terutama sebagai seorang yang mengeritik masyarakat seadanya dan berbentrokan dengan yang berkuasa. Ia menekankan demensi sosio-politis Injil dan Yesus sendiri.

Meskipun interpretasi Duquoc barangkali kadang-kadang akan dinilai sebagai minimalis, namun kristologi yang berdasarkan Kitab Suci itu - meskipun Alkitab tidak dimanfaatkan sepenuh-penuhnya -, mesti dinilai sangat positif, oleh karena menyingkapkan dimensi teologis peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus. Dalam hal yang amat positif itu Duquoc diimbangi, bahkan dilebihi oleh A. Grilmeier - L. Schulte - Ch. Schutz - khususnya H. Urs von Balthasar (Die Mysterien des Lebens Jesu. MS III, 2,1969). Berupa komentar teologis atas Kitab Suci dan berdasarkan eksegese dan tradisi patristis mereka menyingkapkan dimensi teologis peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus sambil menjauhkan diri dari segala ekstremisme.

Suara yang barangkali paling radikal datang dari benteng skolastik dan neoskolastik (Thomisme/Suarez), yaitu Spanyol.

J.I. Gonzalez Faus (La Humanidad nueva, Ensayo de cristologia, 1974) secara radikal menjauhkan diri dari kristologi tradisional dan mengeritik dogma kristologis kuno (Khalkedon). Gagasan-gagasan yang dilontarkan di Eropa Utara (Schoonenberg, Hulsbosch, Rahner, Schillebeeckx, Küng, Bonhoefer dll.) diradikalkan oleh Gonzalez Faus yang sekaligus terpengaruh oleh neomarxisme. Dari itu datanglah minat sosio-politik yang terpancar dalam kristologi ini. Tetapi semuanya oleh Gonzalez Faus diolah melalui spekulasi tajam yang memperlihatkan si skolastikus yang berfilsafat dan berteologi.

Sesuai dengan tendensi umum Gonzalez Faus ingin menyajikan sebuah "kristologi dari bawah" tanpa mengikutsertakan "kristologi dari atas." Kristologinya menjadi kristologi dinamis dan antroposentris. Kemanusiaan (historis) Yesus sepenuh-penuhnya ditekankan dan menjadi titik tolak pemikiran. Dalam rangka itu kristologi tradisionaJ dan dogma konsili Khalkedon yang membedakan dalam Yesus dua kodrat (ilahi-manusiawi) yang dipersatukan dalam satu diri (persona) ilahi tidak dapat berperan lagi. Gagasan-gagasan statis semacam itu mesti diganti dengan konsep-konsep modern, dinamis dan relasional. Dan dalam rangka itu manusia (kodrat) mesti "diri" (pribadi), sebab dua-duanya sama saja.

Maka kristologi mesti bertitik tolak Yesus historis, yang sepenuh-penuhnya manusia dan tidak menyadari diri sebagai Allah, sebagai Mesias atau malah sebagai "nabi ekstologis." Yesus menyadari diri sebagai yang secara total berasal dari Allah dan secara total terbuka bagi Allah. Dengan arti demikian Ia "Anak-Allah," "anak" dengan arti relasional, dan ada keakraban khusus dan unik. Dengan Yesus tampillah di muka bumi ini "Manusia utopis," "Manusia mutlak." Yesus boleh disebut "Allah" oleh karena dalam eksistensi-Nya sebagai manusia menjadi nyata siapa sebenarnya Allah bagi manusia. Pada Yesus menjadi terealisasikan semua kemungkinan yang ada pada Yesus (dan secara negatif pada semua manusia), tentunya oleh Allah. Seperti manusia lain Yesus dijadikan oleh Allah, tetapi dengan kemungkinan positif khusus yang tidak ada pada manusia lain, kemungkinan ilahi, yaitu: kemungkinan menjadi Allah. Kemungkinan itu terwujud dalam dan oleh kehidupan Yesus. "Keilahian" itu berkembang. Pengrealisasian itulah yang terungkap dalam gelar-gelar yang oleh umat Kristen diberikan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru dan selanjutnya.

Dengan menciptakan manusia Yesus Allah menghampakan diri-Nya menjadi kemungkinan menjadi Allah, Allah yang menyatakan diri dalam sejarah jangan dipikirkan seperti Allah para filsuf: tidak terubah sama sekali. Sebagai ciptaan Yesus menerima diri-Nya seadanya (itulah "kodrat") dan Ia secara dinamis secara total menyerahkan diri kepada Allah. Penyerahan diri itulah "persona," diri (suatu konsep Hegel). Dengan penyerahan diri itulah kemungkinan menjadi Allah terwujud. Dengan demikian terjadilah Manusia-Allah, Manusia Mutlak. Jadi, bukan Allah yang menjadi manusia, melainkan manusia Yesus menjadi Allah dan pengungkapan Allah yang manusiawi, ialah Allah-Anak. Inti "keanakan" itu ialah relasi antara Yesus dan Allah: sebulat-bulatnya menerima diri dari Allah dan sebulat-bulatnya menyerahkan diri kepada Allah.

Gonzales Faus berpendapat bahwa Yesus historis tidak memahami kematian-Nya sebagai sesuatu yang positif, misalnya sebagai penebusan, korban, pemulihan, penyilihan, pendamaian dan sebagainya. Itu semuanya datang dari umat Kristen yang mengartikan kematian Yesus. Bagi Yesus sendiri kematian-Nya kegagalan belaka. Ia mengalami nasib seorang nabi dan orang benar.

Namun demikian, dengan Yesus (yang dibangkitkan) tampillah dari manusia lama (rusak, berdosa dan sebagainya) Manusia baru. Dengan arti demikian memang ada "pemulihan," ciptaan baru. Pemulihan itu sama dengan pembebasan dan emansipasi manusia. Janganlah tata penciptaan dipisahkan atau dibedakan dengan tata penyelamatan. Manusia lain (dapat) ikut serta dalam Manusia baru itu dengan memperjuangkan pembebasan dan emansipasinya.

Kristologi yang disajikan Gonzalez Faus tersebut tentu saja suatu kristologi baru. Tetapi juga dan dengan tepatnya diistilahkan sebagai suatu "usaha" (ensayo), jadi suatu usul saja yang tidak mau disajikan sebagai definitif dan matang. Kalau dipakai ukuran yang dipasang Schillebeeckx (dan Rahner) kristologi itu boleh disebut "Kristen" juga. Sebab Gonzalez Faus jelas bermaksud mempertahankan keunikan Yesus serta peranan-Nya yang memutuskan bagi keselamatan semua manusia. Tetapi oleh karena Gonzalez Faus menggabungkan berbagai gagasan dan pikiran yang bermacam-macam asal-usulnya, "proyeknya" tidak terlalu meyakinkan dan dapat dikritik dari pelbagai segi. Objeksi utama ialah: Mana dasar objektif, khususnya dalam Kitab Suci, bagi semua spekulasi yang cukup abstrak itu? Mengenai isi spekulasi itu boleh ditanyakan: Bukankah manusia Yesus yang akhirnya tampil bukan lagi seperti manusia lain (sehakikat dengan kita) dan bukan lagi Allah seperti Allah yang sebenarnya (sehakikat dengan Bapa)? Yesus tampil sebagai semacam dewa: setengah manusia setengah Allah, yang mengingatkan orang kepada "apotheosis" Yunani. Bertolak belakang dengan kristologi Gonzalez Faus ialah kristologi M.M. Gonzalez Gil, Cristo El Misterio de Dios. (Cristologia) (soteriologia, 1976.)

Usaha pembaruan dalam kristologi yang sampai kini dibicarakan secara geografis terbatas. Semua berlangsung di Eropa Barat. Dan itu sesuai dengan kenyataan. Baru sejak 1965 mulailah bertiup angin baru lagi dalam teologi, termasuk kristologi, dan angin baru itu bertiup kencang di luar Eropa Barat. Apa yang dimaksudkan ialah gejala majemuk yang diistilahkan sebagai "teologi pembebasan." Oleh karena relatif baru dan masih muda, memang cukup sukar menilainya sebagaimana mestinya. "Teologi pembebasan" belum mantap dan stabil dan agak simpang siur. Boleh ditanyakan kalau-kalau "teologi" itu benar-benar teologi dengan arti sempit atau terlebih "pastoral," kalau mau: teologi pastoral, ataupun suatu "spiritualitas." Tetapi jelaslah teologi pembebasan itu terutama soteriologi praktis. Pengaruhnya luas dan terasa antara lain dalam karya Gonzalez Faus tersebut.

Para penganut teologi pembebasan itu kerap kali tidak hemat dengan kritiknya terhadap teologi akademis di Eropa Barat/Amerika Utara. Kritik itu boleh dikatakan sebagian tepat juga. Sejak teologi di Eropa menjadi "ilmu" (khususnya sejak abad XIII) dan bercokol pada perguruan tinggi, teologi agak jauh dari realitas hidup umat. Sebagian besar menjadi perkara para akademisi, khususnya di Jerman. Meskipun pada prinsipnya teologi mesti "praktis," namun nyatanya menjadi teori yang kurang berdampak dalam praxis, apalagi bertumpu pada praxis. Para penganut teologi pembebasan mengatakan bahwa teologi bukan perkara para ahli di universitas, melainkan perkara seluruh umat, rakyat. Yang "berteologi" ialah seluruh umat/rakyat. Di dalam umat dan bersama dengannya serta bertitik tolak pada umat para ahli juga masih berperan. Teologi ilmiah ialah refleksi kritis atas praxis historis dalam terang iman (M. Gutierrez, Teologia de la liberation, 1971).

Kendati kritik tersebut nyatanya teologi pembebasan anak (cucu) teologi Eropa Barat, khususnya Jerman dan Francis. Teologi Jerman, teristimewanya teologi transendental, amat terpengauh oleh filsafat Jerman (Kant, Hegel, Heidegger). Filsafat/teologi itu berpangkal pada karya I. Kant "Kritik der reinen Vernunft." Tetapi muncul aliran lain dalam filsafat Jerman yang berpangkal pada karya Kant yang lain, yaitu Kritik der praktischen Vernunft. Itu pada gilirannya membawa kepada filsafat pengharapan. Aliran itu menjadi sistem pada K. Marx dan para neomarxis (khususnya E. Bloch, Das Prinzip Hoffnung). Filsafat neomarxis itu mempengaruhi sementara teolog (khususnya J. Moltmann, Reformasi, dan J.B. Metz, Katolik: Politische Theologie).

Teologi (politik) itu ingin membela iman Kristen terhadap serangan dan kritik dari pihak marxis dan neomarxis. Agama Kristen yang mewujudkan iman dituduh sebagai "ideologi" yang hanya mendukung kelas tertentu (borjuis) dan "status quo." Maka teologi itu berusaha memperlihatkan bahwa Injil tentang Kerajaan Allah dan praxis Yesus yang diinspirasikan oleh-Nya berupa kritik terhadap masyarakat seadanya dan memancing "praxis" untuk mengubah masyarakat itu menuju yang baru, terus-menerus sampai Allah mewujudkan "bumi dan langit yang baru." Kesulitan teologi macam itu terletak dalam kenyataan bahwa dari "Injil" sukar dijabarkan suatu program konkret guna membangun masyarakat "lebih baik." Orang berkesan bahwa dalam teologi ini Injil hanya negatif: yang ada tidak baik, mesti lain. Tetapi tidak memberi petunjuk bagaimana yang "lebih baik" itu. Dari "kasih" saja orang tidak dapat menjabarkan petunjuk sosio-politis dan ekonomi yang konkret. Teologi (filsafat) pengharapan itu pindah khususnya ke Amerika Latin (dan Spanyol).

Teologi itu memang cocok dengan situasi di sana, situasi sosio-politis-ekonomis. Dan di Amerika Latin teologi itu menjadi teologi pembebasan dengan mengembangkan lebih lanjut pendekatan itu. Tokoh utama ialah: G. Guitierrez, J. Comblin, H. Assmann, J. Bonino, J. Scannone, S. Galilea, J. Croatto, J. Sobrino. J. Segundo, L. Boff, Cl. Boff. Meskipun teologi itu mesti menghadapi resistensi dan kritik, namun para penganutnya merasa diri didukung oleh konsili Vatikan II, para uskup Amerika Latin (pertemuan di Medellin, 1968 dan di Puebla, 1979) dan, meskipun dengan kritik, oleh P. Yohanes-Paulus II. Teologi itu memang tercetus oleh situasi khusus di Amerika Latin. Penduduknya secara massal Kristen-Katolik dan mereka menjadi kelompok sosial yang (dapat) amat kuat; agama (Kristen-Katotik) dan masyarakat merupakan suatu kesatuan, tak terpisahkan. Meskipun dalam agama rakyat itu terdapat banyak unsur dari agama pra-Kristen dan tercampur dengan takhayul, namun rakyat Amerika Latin benar-benar beriman Kristen. Namun justru di sana merajalela ketidakadilan dan penindasan, berarti dalam rangka umat Kristen sendiri. Maka di sana (seharusnya) dimensi sosio-politik iman Kristen (Injil) menjadi terwujud.

Meskipun teologi pembebasan (feminisme boleh dianggap semacam varian teologi itu) (masih) jauh dari seragam, namun ada beberapa garis besar bersama.

Sebagai pengganti istilah tradisional "penebusan" para penganut teologi itu memilih istilah "pembebasan." Dengan demikian mereka mau menekankan bahwa keselamatan memang keselamatan menyeluruh, yang mencakup seluruh manusia dan hidupnya, tidak terkecuali malah khususnya segi sosio-politik. "Politik" mereka mengertinya sebagai suatu dimensi manusia, bukanlah hanya salah satu kegiatannya. Politik ialah segala usaha untuk melalui kekuasaan (entah apa cirinya) mengubah masyarakat sesuai dengan konsep tertentu. Semua kegiatan manusia sebenarnya mempunyai segi "politik" semacam itu. Secara politik orang tidak dapat "netral," mau tidak mau orang terlibat.

Mereka pun menekankan bahwa teologi pembebasan tidak mengenai salah satu pokok (misalnya: pembebasan), melainkan teologi itu merupakan suatu metode khusus berteologi. Karena itu teologi itu menyangkut semua tema, yang didekati secara khusus (Allah, Kristus, Gereja, sakramen, manusia dan sebagainya). Metode itu berpusatkan praxis pembebasan, yang bertitik tolak pada ketegangan antara "penindasan-pembebasan menyeluruh." Semua tema disoroti dari segi itu.

Teologi pembebasan mengutamakan "praxis" dari "teori" (= teologi ilmiah). Ilmu, termasuk ilmu teologi, mesti "pragmatik." Praxis menjadi ukuran kebenaran teori (teologi). Tidak ada ilmu "netral," objektif, bebas dari nilai-nilai (cita-cita ilmu borjuis). Ilmu adalah "benar," kapan dan sejauh mencetuskan praxis yang sesuai. Dalam pendekatan itu teologi pembebasan mengikuti suatu paham tentang "ilmu" yang ditekankan oleh marxisme dan neomarxisme. Ilmu/teori tidak bermaksud "memahami" realitas, melainkan mesti mengubah realitas. Ilmu/teologi mesti menganalisis praxis dan situasi nyata dan menemukan "model/pola" yang melatarbelakangi situasi dan praxis nyata. Lalu mesti disusun suatu "model" (pola) praxis baru dan "kebenaran" pola/model itu diuji oleh praxis lagi. Dan atas dasar praxis "model" itu terus mesti ditinjau kembali dan disesuaikan. Praxislah yang membuat pengetahuan, ilmu, teori/teologi menjadi "benar." Sebab kebenaran bukan untuk diketahui melainkan untuk dilakukan.

Karena itu teologi pembebasan mau mendasarkan diri pada praxis, yaitu pengalaman dan praxis umat beriman, khususnya mereka yang tidak berdaya, miskin secara sosio-politis dan ekonomis (opsi untuk orang miskin). Pengalaman itu menjadi "locus theologicus" khusus dan amat penting. Allah kan terus-menerus menyatakan diri dalam sejarah, pengalaman manusia, dan sejarah penyelamatan, yang bertepatan dengan sejarah pada umumnya meskipun tidak identik, berjalan terus. Sejarah memang suatu proses kreatif menuju ke kebebasan semakin besar, meskipun dalam sejarah nyata tidak pernah akan selesai. Maka maha pentinglah teologi (baik teologi rakyat maupun teologi ilmiah bersama rakyat) mendengarkan dan menanggapi firman Allah dalam sejarah dan secara aktif melibatkan diri dalam sejarah pembebasan (memang "sejarah pembebasan" suatu istilah dan gagasan yang digemari filsafat Jerman neomarxis). Allah (Roh Allah) dalam sejarah yang dibuka oleh Yesus Kristus menjadi pendorong sejarah itu.

Teologi pembebasan memang menolak segala macam dualisme. Dualisme yang menurutnya terlalu menguasai teologi dan praxis masa yang lampau. Dualisme: kodrat-rahmat, tata penciptaan - tata penyelamatan, sejarah profan - sejarah penyelamatan, Gereja-dunia, keselamatan aktual, keselamatan akhir eskatologis, kodrat-diri (persona), imanensi-transendensi. Ini pun sesuai dengan monisme filsafiah ala Hegel atau Marx.

Pengalaman dan praxis yang dijiwai iman, kasih dan pengharapan serta refleksi atas praxis itu mesti dikonfrontasikan dengan Kitab Suci dan tradisi (sejati). Mulailah berlangsung lingkaran hermeneutis (yang tak pernah selesai). Praxis pembebasan menjadi prapaham, prapengertian untuk membaca Kitab Suci (dan tradisi), sebagai kesaksian mengenai karya Allah dalam sejarah pembebasan dahulu. Allah menyatakan diri sebagai yang menghendaki kehidupan, bukan kematian; kesejahteraan, bukan kemelaratan; kecerdasan bukan kebodohan; kebebasan bukan penindasan. Teologi pembebasan gemar akan "peristiwa Eksodus" dan pewartaan para nabi. Kesaksian Alkitab boleh jadi memperteguh, mendorong ataupun membetulkan praxis, yang kembali menjadi prapaham, prapengertian. Akibatnya: oleh karena praxis terus berubah, pemahaman Alkitab pun terus berubah. Dengan demikian muncullah suatu proses timbal balik (dialektis) antara "teori" (ortodoksi) dan "ortopraxis," praxis pembebasan. Pembebasan itu sungguh menyeluruh dengan inti dasarnya ialah pembebasan dari dosa dalam segala bentuknya. (antara lain "dosa struktural"), pembebasan yang diwartakan Allah dalam Yesus Kristus.

Belum jelas sejauh mana teologi itu memberi sumbangan positif dan mantap kepada teologi pada umumnya. Boleh misalnya ditanyakan kalau-kalau cara berteologi itu dapat dipakai juga dalam konteks lain dari konteks Amerika Latin. Bukan perkara "meniru" tapi "pola" (berteologi). Tetapi sudah boleh dikatakan bahwa teologi pembebasan membuat sebagian dari umat menjadi sadar (kembali) akan implikasi sosio-politik iman dan Injil. Para teolog yang mengaku diri sebagai penganut teologi pembebasan masih bergumul guna menemukan kemantapan (Cl. Bof, Theologie und Praxis. Die erkenntnistheoretische Grundlage der Theologie der Befreiung, 1976; Teologia e practica, Teologia do politico e suas mediacoes, 1978). Para teolog pembebasan condong menciptakan suatu bahasa teologis (istilah) baru, yang dipinjam dari ilmu/filsafat sosio-politis. Pada dirinya terhadapnya tidak dapat dikemukakan keberatan, hanya mempersulit pemahaman dari pihak mereka yang tidak tahu akan "bahasa" itu, apalagi kalau bahasa itu berbau marxis. Barangkali boleh dikatakan bahwa teologi pembebasan itu kadang-kadang terlalu "Katolik" (dan klerikal) dengan arti bahwa condong menjadi "theologia gloriae" oleh karena menekankan kebangkitan, sehingga sedikit menyingkirkan penderitaan sebagai bermakna, salib dan dosa yang juga suatu dimensi realitas manusiawi sepanjang sejarah. Mereka barangkali juga terlalu menekankan peranan manusia dalam perwujudan keselamatan (Kerajaan Allah) dan harapan optimis yang menjurus ke millenarisme dan Yoakhimisme yang di Amerika Latin (akibat situasi nyata) lebih kurang teratur tampil berupa gerakan rakyat. Boleh ditanyakan kalau-kalau teologi pembebasan mengutamakan imperatif etik dari indikatif rahmat? Godaan abadi kekristenan Katolik itu barangkali mengancam juga teologi pembebasan Katolik. Dan tetap tinggal keraguan kalau-kalau (sementara) teolog pembebasan toh terlalu "akademis," bukan teolog rakyat. Para teolog itu memang tidak segan saling mengkritik.

Para penganut teologi pembebasan tidak dapat tidak menyibukkan diri dengan Yesus Kristus. Mereka memikirkan kembali Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Mengingat bahwa teologi pembebasan terutama soteriologi, maka segi soteriologis Yesus Kristus mendapat tekanan. Yesus Kristus ditempatkan dalam sejarah pembebasan, artinya: sejarah penyelamatan, sebagai puncak (dan awal) serta penyelesaian sejarah itu. Ditonjolkan kehadiran aktif Yesus Kristus (dalam Roh Kudus, kristologi pneumatis) dalam umat dan dunia. Itu seluruhnya sesuai dengan Perjanjian Baru dan merupakan koreksi amat tepat dan perlu terhadap kristologi tradisional-skolastik, yang memisahkan kristologi dari soteriologi dan lupa sedikit akan aktivitas aktual Yesus Kristus.

Justru oleh karena teologi pembebasan bertitik tolak pada pengalaman, praxis aktual, maka tidak mengherankan teologi itu menjauhkan diri dari kristologi tradisional itu. Kristologi itu (dengan tepat) dinilai terlalu abstrak, jauh dari kehidupan nyata. Sementara penganut teologi pembebasan (yang dilawan oleh yang lain) dalam refleksinya. Mengikutsertakan devosi kerakyatan di Amerika Latin yang antara lain berpusatkan pada Yesus yang menderita, simbol penderitaan mereka sendiri (dengan perkataan lain: kristologi afektif mau diberi peranan positif). Mengingat titik tolak itu teologi pembebasan condong kepada "kristologi dari bawah" dengan menekankan "praxis" Yesus, entah Yesus historis entah Yesus Kristus yang diwartakan PerjanjianBaru.

Boleh diperkenalkan dua "kristologi" dari kalangan para penganut teologi pembebasan. Hanya kedua kristologi itu tidak boleh dianggap representatif. Para teolog pembebasan belum begitu secara sistematis menguraikan pikirannya tentang Yesus Kristus. Dalam lingkup rakyat Amerika Latin yang sepenuhnya percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan tidak menjadi problem yang mendesak, sehingga juga tidak menjadi pusat perhatian teoretis para penganut teologi pembebasan. Masalah-masalah lain (pastoral, gerejani) lebih mendesak.

L. Boff (Jesùcristo o Liberatore, 1974) menyajikan sebuah kristologi dalam perspektif teologi pembebasan. Gelar yang diberi kepada Yesus "Pembebas" sudah memperlihatkan minat penulis. Karya itu mempunyai gayanya sendiri, sejauh sedikit di tengah antara kristologi teologis ilmiah dan kristologi populer, meskipun berdasarkan teologi yang matang.

Boff mau mendasarkan pikirannya pada Kitab Suci. Tentu saja Kitab Suci dibaca dengan kaca mata teologi pembebasan, hal mana tidak boleh dipersalahkan. Sehaluan dengan pikiran Rahner, Schillebeeckx dll. Yesus (historis) terutama dalam praxis-Nya dilihat sebagai nabi (eskatologis), sebagai lanjutan dan puncak nabi-nabi Perjanjian Lama, terutama mereka yang melontarkan kritik sosio-politis. Nabi Yesus Kristus itu memperjuangkan (tentu dengan cara-Nya sendiri, tanpa kekerasan) pembebasan dari semua penindasan sosio-politis dan terutama rohani. Yesus memihak kepada orang-orang miskin. Yesus sepenuh-penuhnya percaya, berarti mengandalkan Allah, Bapa-Nya. Dengan arti demikian Yesus boleh disebut "orang beriman" dan model semua orang beriman.

Boff tidak banyak menyibukkan diri dengan masalah-masalah spekulatif. Misalnya: bagaimana persis relasi antara manusia Yesus dan Allah. Rumusannya yang cukup mengesan ialah: Manusia Yesus memberi Allah wajah manusiawi dan Allah memberi Yesus wajah ilahi. Rumusan itu memang masih cukup kabur bagi teolog spekulatif, tetapi dapat menampung dogma kristologis (Khalkedon) dan pasti berupa "teologi kerakyatan." Boff menganggap penting dan perlu bahwa kristologi lama, tidak terkecuali Kitab Suci, diartikan kembali dan diungkapkan dengan cara yang sesuai dengan keadaan nyata sekarang, khususnya dengan keadaan di Amerika Latin. Tetapi tidak menjadi terlalu jelas apa yang persis dikehendaki Boff sendiri.

Kematian Yesus di salib dilihat sebagai konsekuensi kesetiaan Yesus kepada Allah (Kerajaan Allah) yang diwartakan-Nya: Allah yang memihak kepada orang tertindas. Yesus dihancurkan oleh kuasa sosio-religius-politis di masa-Nya. Tetapi oleh Allah Yesus dibangkitkan dan dengan demikian Yesus menjadi pemenang, tegasnya: Allah dalam/dengan Yesus. Boff tidak banyak memperdalam makna penyelamatan kematian dan kebangkitan Yesus. Barangkali ia kurang menekankan bahwa kematian Yesus tidak hanya konsekuensi kehidupan-Nya, tetapi jauh lebih dari itu. Tetapi jelaslah Boff mau menyodorkan Yesus terutama sebagai "model" orang beriman, yang seperti Yesus menderita karena ketidak-adilan dan terlibat dalam praxis pembebasan penuh kepercayaan pada Allah. Maka mereka, seperti Yesus dan bersama dengan-Nya, akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Kemenangan itu sebagian kini sudah diantisipasikan dengan melanjutkan praxis yang dimulai oleh Yesus, terus didukung oleh Yesus dan akhirnya diselesaikan oleh Yesus pula.

Mungkin akibat gaya sastra yang dipakainya kristologi L. Boff kurang memperlihatkan "misteri" Yesus Kristus. Segi etis menjadi ditekankan dan hilanglah Dia yang menjadi "model" orang beriman. Sedikit sukar bersembahyang kepada Yesus Kristus yang digambarkan Boff. Mungkin segi itu dalam konteks Amerika Latin tidak perlu ditekankan, tetapi perlu diimbangi oleh segi lain.

Pokoknya boleh dikatakan bahwa kristologi susunan Boof suatu usaha yang berhasil agak baik untuk memperbaharui kristologi dari tradisi Kristen sejati dengan memanfaatkan Alkitab, lalu menempatkannya dalam konteks konkret, yaitu Amerika Latin. Tetapi juga mesti dikatakan bahwa kristologi ini belum matang benar-benar. Gambaran Yesus (historis) yang disajikan Boff toh masih terlalu mengingatkan "gambaran-gambaran Yesus" yang diciptakan teolog liberal abad yang lampau dan awal abad ini. Yesus itu sedikit terlalu sesuai dengan apa yang merupakan cita-cita Boff sendiri.

J. Sobrino (Christologia desde Amérika Latina, Esbozo a partir del seguimento de Jesús histórico, 1976; Christology at the crossroads, 1978) lebih jauh berusaha memikirkan Yesus Kristus dalam rangka teologi pembebasan. Pikirannya tentu saja tertuju kepada praxis. Itu sudah tampil dalam subjudul yang berkata tentang "mengikuti Yesus historis." Hal "mengikuti Yesus" tentu saja cukup tradisional (Immitatio Christi). Tetapi Sobrino mau mengikuti bukanlah Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru, melainkan Yesus historis. Ternyata Sobrino sangat terpengaruh oleh rekan-rekannya di Eropa Barat (Metz, Schillebeeckx, Rahner Moltmann, Pannenberg, Hegel, Bloch).

Menurut Sobrino Yesus historis sebenarnya tidak membawa sesuatu yang sungguh-sungguh baru. Dalam pewartaan-Nya (tentang Kerajaan Allah) Yesus hanya meradikalisasikan tradisi (kenabian) Perjanjian Lama. Yesus adalah seorang pembaru religius, liberal dan nonkonformis. Ia mewartakan Kerajaan Allah yang amat dekat, berarti: Allah yang meraja dengan membebaskan. Para pendosa yang didekati Yesus menjadi lambang mereka yang secara sosio-politis, ekonomis tertindas. Yesus mendarmabaktikan diri-Nya sepenuhnya kepada Kerajaan Allah. Dekatnya Kerajaan itulah yang menjadi isi kesadaran diri Yesus, yang tidak menyadari diri-Nya sebagai "Anak Allah" (dengan arti: metafisik), atau sebagai Mesias. Dalam pendapat-Nya tentang dekatnya Kerajaan Allah Yesus nyatanya keliru. Sobrino agak meremehkan ceritera Injil mengenai mukjizat Yesus. Menurutnya hal semacam itu terikat pada selera masa itu.

Relasi antara Yesus dan Allah ialah relasi kepercayaan: secara mutlak Yesus mengandalkan Abba. Kepercayaan itulah yang menjadi inti hakikat Yesus. "Keilahian" (Anak Allah) Yesus berdasarkan relasi kepercayaan itu. Jangan didasarkan pada dogma konsili Khalkoden. Sobrino tidak mau menyangkal dogma itu. Tetapi dogma (yang dirumuskan dalam konteks statis Yunani) tidak lagi dipakai seadanya. Dogma itu hanya memasang batas-batas negatif. Isinya dapat dan perlu diungkapkan secara lain, sesuai dengan situasi yang berbeda. Orang boleh berkata bahwa keilahian Yesus terletak dalam relasi unik dengan Allah. Yesus boleh disebut "diri" (persona) ilahi, asal "diri" itu dipahami secara relasional. "Diri" ialah: menjadi diri dengan secara personal menyerah kepada orang lain. Maka untuk mengetahui siapa sebenarnya Yesus orang mesti menanyakan: Yesus menyerah kepada siapa? Ternyata Allah. Begitu manusia Yesus menjadi Allah. Memang "menjadi," sebab penyerahan itu merupakan suatu proses yang mewujudkan diri dalam kehidupan. Yesus mewujudkan diri (penyerahan) terutama sebagai nabi dalam praxis pembebasan (lebih kurang revolusioner) yang menentang segala macam perlembagaan di masa-Nya.

Dalam praxis itulah Yesus menyatakan diri sebagai "Anak Allah" (relasional). Yesus sebenarnya tidak menyatakan Allah (Bapa), oleh karena Allah merupakan suatu rahasia yang tak terselami, misteri mutlak. Yesus menyatakan diri sebagai Anak, tegasnya: jalan Anak, bagaimana orang menjadi Anak Allah melalui reaksi terhadap misteri Allah, ialah: kepercayaan (pengandalan) dan ketaatan mutlak.

Dengan demikian Yesus menjadi "yang sulung di antara banyak saudara." Relasi Yesus dengan Allah Bapa-Nya (keilahian-Nya) serentak persaudaraan. Sebab Yesus, yang dengan mendarmabaktikan diri kepada Kerajaan Allah sekaligus mendarmabaktikan diri kepada manusia, mengikutsertakan orang lain (beriman) dalam relasi-Nya dengan Allah. Keunggulan Yesus, kelebihan-Nya, terletak dalam kepercayaan dan ketaatan-Nya yang menjadi "model" bagi yang lain; Yesus merupakan perintis jalan yang berkat Yesus dapat dan mesti ditempuh semua orang yang percaya kepada-Nya. Kepercayaan Yesus itu serentak harapan mutlak sampai dengan wafat-Nya disalib.

Yesus mati sebagai akibat dan konsekuensi kesetiaan-Nya kepada Allah, Bapa-Nya, dan sesama manusia yang melarat. Kematian-Nya suatu pengungkapan kepercayaan dan ketaatan Yesus. Kematian itu tidak dikehendaki Allah, apalagi didekretkan. Yesus mati oleh karena Ia membuka kedok Allah gadungan. Allah ciptaan manusia, meski manusia religius sekali pun. Allah gadungan itu ialah Allah yang kuasa dan yang mendukung yang berkuasa. Yesus menyatakan Allah yang adalah kasih, yang berbentrokan dengan Allah yang berkuasa itu.

Pada salib Allah menyerahkan "Anak-Nya" kepada "dosa," tetapi juga membangkitkan-Nya. Kebangkitan itu menjadi puncak kehidupan Yesus historis. Dalam kematian Yesus terwujudlah "utopia" Kerajaan Allah yang Ia wartakan; dan transendensi Allah menjadi nyata. Hanya melalui praxis pembebasan orang dapat tahu apa itu "kebangkitan." Kebangkitan Yesus, transendensi (bukan transendensi metafisis tetapi historis) Allah, memanggil orang beriman dari ketidakadilan dunia dalam dosa. Dan itu berarti: perjuangan. Yesus historis memang "pasif," oleh karena yakin bahwa Kerajaan Allah sudah dekat. Tetapi dalam kekeliruan itu orang beriman tidak boleh mengikuti Yesus. Sebab mereka tahu bahwa parusia tertunda.

Kristologi soteriologis dan dinamis Sobrino cukup lengkap. Jelas pula bahwa soteriologi itu antroposentris. Untungnya ialah: sesuai dengan pendekatan Perjanjian Baru soteriologi diutamakan dari kristologi (dengan arti sempit), yang difungsionalkan. Jelaslah Sobrino mau secara konsekuen memakai metode teologi pembebasan: bertitik tolak pada pengalaman dan praxis dan kembali kepada praxis. Tetapi juga jelas betapa Sobrino bergantung pada buah pikiran sejumlah teolog di Eropa Barat dan kurang memanfaatkan kekayaan seluruh Perjanjian Baru. Karena itu boleh dipertanyakan sejauh mana kristologi Sobrino itu boleh dikatakan "Cristologia desde América Latina"? Pasti tidak boleh dianggap sebagai pikiran para teolog pembebasan.

Problem pokok tetap sama: Bagaimanakah, bukan Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru, melainkan "Yesus historis" dapat menjadi dasar (dan isi) kristologi dan bagaimana dapat "didekati"? Boleh disesalkan bahwa Sobrino kurang memperhatikan Kristus pneumatis, peranan aktual Yesus Kristus, bukan sebagai "model," tetapi secara pribadi. Mudah saja Yesus yang digambarkan Sobrino menjadi Yesus Kristus ideologis, suatu arkhitypos orang Kristen saja, sebagaimana Ia dilihat oleh H. Assmann. Yesus historis hanya menjadi suatu "idea" belaka.

(sebelum, sesudah)


SEJARAH DOGMA KRISTOLOGI
Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Telepon (0274) 588783, 565996, Fax (0274) 563349
E-Mail: office@kanisiusmedia.com
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Sumbangan Salib Bening [salib.bening@gmail.com]

Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2001.
Hak cipta © dicadangkan.