Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen |
|
3. Kristologi alternatifKristotogi spekulatif seperti nyatanya berkembang, khususnya di kawasan barat, amat abstrak dan jauh dari Yesus Kristus yang tampil dalam Perjanjian Baru, khususnya dalam Injil-injil sinoptik. Khususnya sejak abad XI teologi semakin menjadi "ilmu esoterik," ilmu rahasia yang dikelola di sekolah (biara, katedral, universitas) dan ditangani oleh segelintir ahli. Dan pikiran ilmiahnya terungkap dalam bahasa (latin) yang menjadi bahasa para ahli. Antara agama "rakyat" yang semakin "kerakyatan" dan teologi ilmiah ternganga suatu jurang dan kerap kali tidak ada komunikasi timbal balik. Dan dalam rangka teologi ilmiah itu kristologi/soteriologi juga semakin abstrak. Banyak unsur Yesus Kristus yang diwartakan Perjanjian Baru hilang. Yesus Kristus dari teologi spekulatif seolah-olah tidak berdarah daging lagi. Kemanusiaan, yang secara formal dipertahankan, kehilangan ciri dinamika dan historisnya. Keilahian Yesus Kristus begitu ditekankan, sehingga Yesus dilihat sebagai Allah dan relasi Yesus dengan Allah Bapa tidak tampil lagi. Kehidupan Yesus, peristiwa-peristiwa historis oleh tokoh seperti Thomas Aquinas, Bonaventura dibahas dalam rangka moral Kristen. Peristiwa-peristiwa itu menjadi "teladan". Tidak mengherankan bahwa Yesus Kristus esoterik itu tidak menjadi hidup-hidup bagi umat "biasa." Dan umat itu mencari Kristusnya sendiri. Syukurlah (sebagian) Perjanjian Baru masih terus dibacakan dalam ibadat dan sepanjang tahun peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus terus dirayakan. Maka pada umat, khususnya sejak abad XI, berkembanglah suatu kristologi lain. Kristologi itu boleh diistilahkan sebagai "kristologi afektif," yang tidak keluar dari otak berilmu melainkan dari hati yang mencintai. Kristologi afektif itu dimajukan antara lain oleh kontak yang berkat perang salib terjalin antara umat Kristen yang terkurung di kawasan barat dengan dunia, tanah tempat Yesus pernah hidup. Perhatian dibelokkan dari Kristus surgawi, yang dibahas para teolog, kepada Yesus di dunia, Yesus yang hidup di tengah-tengah manusia. Tentu saja Yesus itu bagi umat tetap Anak Allah dan Allah, tetapi sekarang mulai dilihat dalam rangka dunia dan sejarah. Kemanusiaan yang konkret memikat hati umat. Kalau kristologi ilmiah mengembangkan penetapan konsili Khalkedon bahwa Yesus Kristus "sehakikat dengan Bapa," jadi Allah, maka kristologi afektif lebih terpikat oleh penetapan bahwa Yesus Kristus "sehakikat dengan kita" manusia. Tentu saja sejak awal mula (misalnya pada Origenes) peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus diberi perhatian, khususnya dalam rangka perayaan liturgi, dan melalui khotbah-khotbah renungan tentang peristiwa itu disampaikan kepada umat. Tetapi khususnya sejak abad XI mulai berkembang apa yang secara umum dan kurang tepat boleh diistilahkan "devosi" kepada Anak Allah justru dalam kemanusiaan konkretnya. Devosi kepada Yesus yang bersengsara, Yesus yang berluka-luka, Yesus yang terletak di palungan di gua Betlehem. Peristiwa kehidupan Yesus didramatisasikan dan dipentaskan dalam sandiwara suci (misteri). Ada devosi khusus bagi salib Kristus, mahkota berduri, luka-luka-Nya, makam Yesus, nama Yesus dan sebagainya. Umat sederhana hidup dari kristologi konkret yang terbungkus dalam devosi-devosi konkret itu. Dan semuanya diberi makan oleh macam-macam legenda yang beredar tentang Yesus yang hidup di dunia. Dan tidak hanya rakyat jelata yang mengelola kristologi afektif macam itu. Para mistisi tidak kurang penting. Dalam kontemplasinya para mistisi di dalam dan di luar biara merenungkan dan menyelami peristiwa kehidupan Yesus, Anak Allah yang menjadi manusia konkret yang berdarah daging, yang bisa disentuh dan diraba-raba. Seorang tokoh yang besar dampaknya dalam "kristologi afektif" itu ialah Bernardus, Abas biara Clairvaux (± th. 1153). Tetapi di samping Bernardus boleh disebutkan pula Elisabet dari Schönau dan Eckbert dari Schönau. Ordo-ordo religius baru yang muncul selama abad XIII, seperti para pengikut Dominikus (± th. 1226) dan Fransiskus (± th. 1226) mendukung dan memperdalam devosi rakyat terhadap Yesus dari Nazareth, seperti tampil dalam Injil-injil. Mereka berkarya melalui khotbah-khotbah dalam bahasa daerah dan tulisan, baik dalam bahasa Latin maupun dalam bahasa daerah. Dari kalangan mereka berasallah berbagai "riwayat hidup Yesus" yang berciri devosional. Misalnya Yohanes de Caulibus (± th. 1270) yang menulis Meditationes vitae Christi, Rudolf dari Saksen (± th. 1337) yang mengarang "Vita Jesu Christi." "Revelationes" (wahyu-wahyu) karangan Birgitta dari Swedia (± th. 1373) juga memperkenalkan peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus dan karya itu amat laku pada umat. Konradus dari Saksen (± th. 1284) mengedarkan "Speculum Beatae Mariae Virginis," sedangkan Angela dari Foligno (± th. 1272) menyebarkan suatu mistik yang berpusatkan Sengsara Yesus. Berthold dari Regensburg (± th. 1272) melalui khotbah-khotbahnya mengobarkan devosi umat kepada Yesus dari Nazareth. Selama abad-abad berikutnya kristologi afektif devosional itu diteruskan, antara lain oleh "Devotio Moderna" (abad XIV-XV) yang dimulai oleh Geert Grotius (± th. 1384) dan yang buah hasilnya yang paling berpengaruh ialah "Imitatio Christi" yang terkenal itu, karangan Thomas dari Kempen (± th. 1471). Tidak pula boleh dilupakan devosi kepada Sakramen Mahakudus yang mulai berkembang pada abad XIII; devosi kepada Hati Kudus yang amat dimajukan oleh pengalaman mistik Maria Margaretha Alacoque (± th. 1690) disebarluaskan oleh pengikut-pengikut Ignatius dari Loyola. Kalaupun devosi-devosi rakyat disertai macam-macam gejala kurang sehat, namun Yesus Kristus melalui devosi-devosi itu menjadi konkret manusiawi bagi umat beriman. Di dalamnya terkandung suatu kristologi yang lain daripada yang dibahas di sekolah-sekolah teologi dan universitas. Kristologi afektif, khususnya yang terkandung dalam devosi rakyat, tidak jarang merupakan suatu protes terhadap kristologi spekulatif dan ilmiah. Boleh jadi kristologi afektif malah anti-intelektual. Tetapi juga ada sejumlah teolog yang sekaligus mendukung kristologi afektif dan berusaha memasang jembatan antara kristologi ilmiah dan kristologi alternatif itu. Misalnya Bonaventura tidak hanya menulis karya teologi-kristologi spekulatif, tetapi juga karya-karya devosional (misalnya: Vitis mistica; De quinque festivitatibus pueri Jesus) dan demikian pun halnya dengan Thomas Aquinas. Dan selanjutnya juga tampil mistisi yang sekaligus teolog dan berusaha membuat teologi, khususnya kristologi, berbuah bagi hidup keagamaan umat. Mereka berpengaruh baik melalui khotbah maupun melalui tulisan. Boleh disebutkan Eckhart (± th. 1327), Tauler (± th. 1361), H. Suso (± th. 1366), Joh. Ruysbroeck (± 1381). Secara khusus boleh disebutkan Nicolaus dari Cusa yang sebagai uskup Brixen meninggal pada tahun 1464. Nicolaus itu seorang ilmuwan, teolog dan mistikus. Karya utamanya, di samping sekian banyak karangan yang bermacam-macam, ialah "Docta Ignorantia." Dalam teologi dan mistiknya Nicolaus sedikit banyak bertolak belakang dengan skolastik di zamannya. Ia terlebih meneruskan tradisi Augustinus di jalur filsafat Neoplatonisme (Dionysius Ariopagita). Pikiran dan renungan Nicolaus yang hangat-hangat serta mendalam antara lain mengenai peristiwa-peristiwa kehidupan Yesus, khususnya penderitaan dan kematian-Nya. Nicolaus itu mewakili suatu tendensi yang tampil pada banyak teolog mistik yang lebih senang dengan alam pikiran Plato-Augustinus daripada dengan alam pikiran Arestoteles-skolastik yang terlalu abstrak. Kristologi afektif diteruskan dan dimajukan juga oleh Teresia dari Avilla (± th. 1582), Yohannes a Cruce (± th. 1594), Petrus dari Alcantara (± 1562), Juan de los Angeles (± 1609), Benedictus dari Canfield (± th. 1610), Fransiskus dari Sales (± th. 1622). Ignatius dari Loyola (± th. 1536) dan pengikut-pengikutnya melalui "Excercitia spiritualia" sangat memajukan kristologi afektif di kalangan umat. Demikian pun Luis dari Leon (± th. 1591) (Los Nombres di Christo), Piérre de Bérulle (± th. 1629) (Discours de l'Estat et des grandeurs de Jésus), L. Chardon (± th. 1674) (La croix de Jésus oúles plus bellesvérités de la theologie mystique et la grace sanctifiante sont établies) serta Johannes Eudes (± 1680) (La vie et le royaume de Jésus, Le cöeur admirable de la Mêre de Dieu). Hanya mesti diakui bahwa usaha mereka yang mencoba memasang jembatan antara kristologi spekulatif dan kristologi afektif tidak seluruhnya berhasil. Tetap tinggal semacam dualisme dalam kristologi. Khususnya kristologi spekulatif kurang memanfaatkan devosi rakyat dan renungan para mistisi sebagai sumber teologinya, supaya tercipta suatu kristologi spekulatif lebih seimbang dan lebih lengkap dan terutama lebih konkret, sehingga Yesus Kristus yang dipikirkan di sekolah-sekolah sungguh menjadi hidup-hidup dalam kehidupan umat. |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |