Tulisan sederhana ini memaparkan secara singkat
pandangan, pedoman dan dasar-dasar pendidikan bagi anak.
Saya sadar sepenuhnya bahwa tulisan ini sangat rendah
ke-ilmiyah-annya, jika keilmiyahan itu didasarkan pada
tumpukan rujukan berbagai ahli dalam berbagai bidang.
Alasan penulis sangat sederhana. Pertama, penulis ingin
membangun kesadaran baru bahwa dasar-dasar keilmuan yang
ditampilkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya belum dan
tak akan tertandingi oleh konsep keilmuan manapun juga.
Perhatikan beberapa ayat Al Qur'an yang menantang mereka
yang mengaku pintar untuk menciptakan suatu konsep yang
dapat menyaingi Kitab kebenaran ini. Lihat misalnya QS. Al
Baqarah: 23.
Kedua, penulis juga ingin membangun sebuah kesadaran
kiranya kaum intelektual Muslim, khususnya kaum muda,
terbiasa mengolah otak/ijtihad dalam memahami dan
menjabarkan konsep-konsep dasar keilmuan dalam berbagai
bidang yang tertuang secara jelas dalam Kitab Sucinya. Tidak
sebagaimana sering terjadi dimana kaum intelektual
terperosok ke dalam kutipan-kutipan orang lain, yang belum
tentu beri'tiqad baik terhadap agama Allah. Belajar
menegakkan independensi intelektual ummat adalah aset besar
masa depannya.
Namun hal ini tidaklah berarti bahwa ummat Islam tidak
mau atau tidak perlu mengambil pendapat orang lain.
Melainkan belajar untuk tidak selamanya bergantung pada
pendapat orang lain. Dengan demikian, ummat ini betul-netul
merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, termasuk
kemerdekaan intelektual. Bahkan harapan kita, ummat ini
harus menjadi pedoman keilmuan bagi ummat manusia
sebagaimana masa-masa lalunya yang indah.
PENDIDIKAN ANAK
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata
"pendidikan" yang dalam bahasa arabnya disebut "tarbiyah"
(mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu
dengan kata "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa
pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat
dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan
manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilah-pilahnya
bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia berarti terjadi
pula disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang
konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam
kehidupannya itu sendiri.
Menurut Al Qur'an, asal muasal komposisi manusia itu
terdiri dari tiga hal yang tidak terpisahkan: 1. Jasad. 2.
Ruh. 3. Intelektualitas. Lihat QS. As Sajadah: 7-9).
Semua manusia adalah sama dalam komposisi ini. Mereka
semua tercipta dan dilahirkan ke alam dunia ini dengan dasar
penciptaan dan kehidupan yang tidak berbeda. Kesimpulan ini
telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai
haditsnya, al:
"Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas dasar
fithrah. Hanya saja, kedua ibu bapaknya yang
menjadikannya yahudi, nasrani, atau majusi" (hadits)
"Setiap hambaKu Aku ciptakan dengan kesiapan menjadi
lurus (baik). Hanya saja, syetan-syetan menjadikan mereka
tergelincir (dalam kesesatan)" (hadits Qudsy).
Bahkan Al Qur'an itu sendiri dengan tegas menyatakan
bahwa komposisi penciptaan yang sempurna ini (ahsanu
taqwiim) dan diistilahkan dengan "fithrah Allah"
(insaniyah/kemanusiaan), tidak mungkin terganti atau
terubah. Lihat QS: Ar Ruum: 30. Hakikat ini terkadang pula
disebut "Sunnatullah" (hukum Allah). Lihat QS: Al Ahzaab:
33, QS: Faathir: 35, dan QS: Al Fath: 48.
ARTI DAN FUNGSI PENDIDIKAN
Jika dasar kemanusiaan (komposisipenciptaan/fithrah)
manusia tidak dapat berubah dan berganti, lalu apa arti dari
suatu pendidikan?
Telah kita singgung terdahulu bahwa pendidikan atau
tarbiyah berasal dari kata "rabaa-yarbuu-riban wa rabwah"
yang berarti "berkembang, tumbuh, dan subur". Dalam Al
Qur'an, kata "rabwah" berarti bukit-bukit yang tanahnya
subur untuk tanam-tanaman. Lihat QS: Al Baqarah:265.
Sedangkan kata "riba" mengandung makna yang sama. Lihat QS:
Ar Ruum:39.
Dengan pengertian ini jelas bahwa mendidik atau "rabba"
bukan berarti "mengganti" (tabdiil) dan bukan pula berarti
"merubah" (taghyiir). Melainkan menumbuhkan, mengembangkan
dan menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan"
sifat-sifat dasar (fithrah) seorang anak yang ada sejak awal
penciptaannya agar dapat tumbuh subur dan berkembang dengan
baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri seseorang
akan terkontaminasi oleh "kuman-kuman" kehidupan itu
sendiri. Kuman-kuman kehidupan inilah yang diistilahkan oleh
hadits tadi dengan "tahwiid" (mengyahudikan) "tanshiir"
(menasranikan) dan "tamjiis" (memajusikan). Pada hadits yang
lain disebutkan "ijtaalathu as Syaithaan" (digelincirkan
oleh syetan).
Kuman-kuman kehidupan atau meminjam istilah hadits lain
"duri-duri perjalanan" (syawkah) tentu semakin nyata dan
berbahaya di zaman dan di mana kita hidup saat ini.
Masalahnya, apakah kenyataan ini telah membawa kesadaran
bagi kita untuk membentengi diri dan keluarga kita? "Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kamu dan
keluarga-keluarga kamu dari api neraka" (QS: At
Tahriim:6).
AL QUR'AN DAN PENDIDIKAN ANAK
Ummat Islam saat ini nampaknya membuktikan prediksi
Rasulnya lima belas abad yang lalu. Dalam haditsnya
Rasulullah menjelaskan: "Suatu saat kamu akan menjadi
seperti buih di tengah samudra luas. Terombang-ombang oleh
ombak serta mengikut ke arah mana jalannya angin. Para
sahabat bertanya: Apakah karena kami sedikit ketika itu
wahai Rasulullah? Tidak, namun kamu ditimpa penyakit
"wahan". Para sahabat bertanya: Apakah penyakit wahan itu
wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Hubbu ad Dunya wa
karaahiyat al Maut (Cinta dunia dan benci mati)" (hadits).
Cinta dunia yang berlebihan, sebagai konsekwensi logis
dari tertanamnya faham materialisme dalam diri kita
melahirkan sikap-sikap yang seolah-olah kita akan hidup
seribu tahun lagi (abadi). Lihat QS: Al Humazah: 2-3.
Sikap yang demikian pula yang menyebabkan kita menyikapi
pendidikan anak-anak kita seolah-olah tak ada aspek lain
dalam hidupnya kecuali memburu dunia dengan segala
manifestasinya. Sehingga kita bersikap buta hati terhadap
kisah Ibrahim dan Ya'quub untuk menghayati bagaimana mereka
telah mendidik anak keturunan mereka. Al Qur'an mengisahkan,
Ibrahim dan Ya'qub senantiasa mewasiatkan anak-anaknya
tentang agama ini. "Sungguh Allah telah memilih bagimu agama
ini, maka janganlah sekali-kali kamu mati kecuali telah
berislam secara benar" (QS: Al Baqarah: 132). Bahkan Ya'qub
AS disaat-saat menjelang maut menjemputnya, menyempatkan
diri bertanya kepada anak-anaknya: "madzaa ta'buduuna min
ba'di" (Apa gerangan yang akan kamu sembah setelah
kematianku)? Lihat QS: Al Baqarah:133.
Gambaran Ibrahim dan Ya'qub AS di atas mengajarkan betapa
besar perhatian mereka terhadap kelestarian kesadaran
beragama bagi anak-anak mereka. Sebaliknya, ummat Muslim
saat ini seolah-olah telah mengganti ayat "maadza
ta'buduuna" (apa yang kamu sembah) dengan kata-kata "maadza
ta'kuluuna" (apa yang akan kamu makan setelah aku
meninggal). Kepedulian terhadap kelangsungan kesadaran
beragama anak-anak kita sangat minim sekali. Sehingga
sebagai ilustrasi, seringkali jika anak kembali dari sekolah
yang ditanyakan adalah nilai berapa yang kamu dapatkan?
Sementara shalatnya tidak terpedulikan sama sekali.
Perhatikan kebanggaan seorang orang tua bila anaknya
meraih suatu predikat kesarjanaan (Dr, MBA, dst). Namun
alangka sedikitnya yang menyadari kiranya predikat-predikat
tersebut dapat menjadi jembatan kebahagiaan anaknya
dunia-Akhirat, serta menjaganya dari jilatan api neraka.
Kesadaran kita terhadap doa sapu jagad kita (memohon
kebajikan dunia-Akhirat) masih berada di sekitar lingkaran
lisan kita. Sementara dalam fakta sikap kita menunjukkan
bahwa kita menghendaki dunia semata.
PENDIDIKAN ISLAM SIFATNYA TERPADU
Telah disebutkan terdahulu bahwa Islam memandang
pendidikan sebagai sesuatu yang identik dan tidak
terpisahkan dari asal muasal penciptaan manusia/ fithrah/
insaniyah manusia itu sendiri, yakni terdiri dari tiga hal:
Jasad, Ruh, dan Intelektualitas. Dengan demikian, pendidikan
dalam pandangan Islam meliputi tiga aspek yang tidak dapat
dipilah-pilah: 1. Pendidikan jasad (tarbiyah jasadiyah), 2.
Pendidikan Ruh (tarbiyah ruhiyah), 3. Pendidikan
intelektualitas (tarbiyah 'aqliyah).
Ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak mungkin dan tak
akan dibenarkan pemilahannya dalam ajaran Islam. Sebabnya ,
sebagaimana telah dijelaskan, pendidikan berhubungan
langsung dengan komposisi penciptaan/kehidupan manusia.
Memilah-milah pendidikan manusia, berarti memilah-milah
kehidupannya.
Hakikat inilah yang menjadi salah satu rahasia sehingga
wahyu dimulai dengan perintah "Iqra" (membaca), lalu
dikaitkan dengan "khalq" (ciptaan) dan "Asma Allah" (Bismi
Rabbik). Lihat QS: Al 'Alaq: 1-5. Maksudnya, bahwa dalam
menjalani kehidupan dunianya manusia dituntut untuk
mengembangkan daya inteletualitasnya dengan suatu catatan
bahwa ia harus mempergunakan sarana "khalq" (ciptaan)
sebagai object dan "Asma Allah" (ikatan suci dengan Nama
Allah/hukumnya) sebagai acuan. Bila ketiganya terpisah, akan
melahirkan, sebagaimana telah disinggung terdahulu, suatu
ketidak-harmonisan dalam kehidupan manusia itu sendiri.
DASAR-DASAR PENDIDIKAN ANAK DALAM AL
QUR'AN
Dasar-dasar pendidikan anak dalam Islam dapat disimpulkan
dari berbagai ayat, antara lain QS: Luqman: 12 - 19 dan QS:
As Shafaat: 102, serta berbagai hadits Rasulullah SAW.
Kisah Luqman yang oleh sebagian ulama digelari dengan "al
hakiim" atau "Luqman yang bijaksana" mengajarkan bahwa
"sifat bijak" bagi seorang pendidik termasuk para orang tua
adalah suatu keharusan. Luqman yang memang secara khusus
dikaruniakan ni'mat "hikmah" oleh Allah itu menyadari
sepenuhnya bahwa anak adalah bagian dari keni'matan Ilahi
yang menjadi cobaan (fitnah) atasnya. Oleh sebab itu ia
menanamkan pendidikan kepada anaknya sebagai manifestasi
kesyukurannya terhadap Allah Pemberi ni'mat. (ayat: 12)
Berikut ini adalah dasar-dasar pokok pendidikan anak yang
tersimpulkan dari berbagai ayat Al Qur'an dan Sunnah
Rasul:
- Mananamkan nilai "tauhidullah" dengan benar.
- Mengajarkan "ta'at al waalidaen" (mentaati kedua
orang tua), dalam batas-batas ketaatan kepada Pencipta,
sebagai manifestasi kesyukuran seseorang kepada Ilahi.
- Mengajarkan "husnul mu'asyarah" (pergaulan yang
benar) serta dibangun di atas dasar keyakinan akan hari
kebangkitan, sehingga pergaulan tersebut memiliki akar
kebenaran dan bukan kepalsuan.
- Menanamkan nilai-nilai "Takwallah".
- Menumbuhkan kepribadian yang memiliki "Shilah bi
Allah" yang kuat (dirikan shalat.
- Menumbuhkan dalam diri anak "kepedulian sosial" yang
tinggi. (amr ma'ruf-nahi munkar).
- Membentuk kejiwaan anak yang kokoh (Shabar).
- Menumbuhkan "sifat rendah hati" serta menjauhkan
"sifat arogan" .
- Mengajarkan "kesopanan" dalam sikap dan
ucapannya.
Kesembilan poin tersebut di atas disimpulkan dari QS.
Luqmaan: 12-19.
- Sedangkan QS: As Shafaat: 102, mengajarkan
"metodologi" pendidikan anak. Ayat ini mengisahkan dua
hamba Allah (Bapak-Anak), Ibrahim dan putranya Ismail AS
terlibat dalam suatu diskusi yang mengagumkan. Bukan
substansi dari diskusi mereka yang menjadi perhatian
kita. Melainkan approach/cara pendekatan yang dilakukan
oleh Ibrahim dalam meyakinkan anaknya terhadap suatu
permasalahan yang sangat agung itu.
Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa metode
"dialogis" dalam mengajarkan anak sangat didukung oleh
ajaran Islam. Kesimpulan ini pula menolak anggapan
sebagian orang kalau Islam mengajarkan ummatnya otoriter,
khususnya dalam mendidik anak.
- Pendidikan hendaknya dimulai sejak sedini mungkin,
sehingga tertanam kebiasaan dalam diri anak sejak awal.
Kebiasaan ini akan didukung oleh kesadaran penuh jika
anak telah mencapai tingkat balighnya. Dalam hadits nabi
dijelaskan: "Suruhlah anak-anak kamu shalat jika mereka
berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika telah
berumur sepuluh tahun (dan masih tidak melakukannya)"
Pukulan yang disebutkan pada hadits tersebut hendaknya
ditafsirkan sesuai dengan situasi di mana kita hidup.
Pertama, tentu pukulan tersebut bukanlah sutau pukulan
yang sifatnya "siksaan". Melainkan pukulan yang bersifat
"didikan" semata.
Kedua, pukulan ini tidak selamanya diartikan dengan
pukulan "fisik". Melainkan dapat pula diartikan dengan
pukulan "psykologis" atau kejiwaan. Sebagai misal, jika
anak kita senang piknik di hari libur, dan hal ini sudah
menjadi kebiasaan keluarga, maka jika mereka tidak
melakukan kewajiban agamanya (shalatnya) maka kebiasaan
ini dapat dihentikan sementara. Menghentikan piknik bagi
anak-anak yang sudah terbiasa dengannya dapat menjadi
pukulan bathin bagi mereka.
- Tegakkah shalat berjama'ah di rumah tangga
masing-masing. Rasulullah SAW bersabda: "Sinarilah rumah
kamu dengan shalat" Menghidupkan shalat berjama'ah di
rumah memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan
kejiwaan seorang anak.
- Tanamkan Al Qur'an dalam diri anak sejak sedini
mungkin. Al Qur'an adalah Kalam Ilahi yang bukan saja
sebagai petunjuk (hudan), melainkan juga sebaga "Syifaa
limaa fis Shuduur" (obat terhadap berbagai penyakit
jiwa), dan "Nuur" (cahaya/pelita hati). Rasulullah SAW
bersabda: "Barangsiapa yang tidak ada Al Qur'an di
hatinya maka ia seperti rumah runtuh" (hadits)
- Membiasakan praktek-praktek sunnah dalam kehidupan
keseharian. Misalnya makan dengan membaca "Bismillah" dan
doa, mengakhirinya dengan "Al Hamdulillah" dan doa,
masuk/keluar rumah dengan salam, dll. Menghapalkan
doa-doa sejak sedini mungkin memberikan pengaruh besar
dalam perkembangan kejiwaan anak.
- Yang terakhir dan yang terpenting adalah hendaknya
para orang tua menjadi "tauladan" (uswah) dalam kehidupan
anak-anak mereka. Hidupkan agama Allah dalam diri kita,
keluarga kita, insya Allah dengan izinNya anak-anak akan
tumbuh dengan kesadaran keagamaan yang tinggi. Pepatah
Arab mengatakan "Perbaiki dirimu, niscaya manusia akan
baik denganmu". Jangan seperti apa yang biasa terjadi.
Orang tua mengantarkan anaknya ke sekolah Al Qur'an, agar
anaknya belajar shalat, namun orang tuanya justeru
mengabaikan Al Qur'an serta shalat di rumah tangganya
juga seringkali terabaikan.
- Memperbanyak doa. Bagaimanapun juga usaha manusia
sifatnya terbatas. Namun dengan pertolongan Allah,
sesuatu dapat berubah di luar perkiraannya. Oleh sebab
itu, doa dalam hidup kita sangat penting untuk menunjang
usaha-usaha yang kita lakukan.
PENUTUP
Demikian sekilas tentang pendidikan anak dalam pandangan
Islam. Saya yakin bahasan ini masih jauh dari kesempurnaan,
sebab berbicara mengenai pendidikan anak berarti berbicara
pula sejak awal kandungan seorang ibu. Bahkan sejak seorang
pasangan masing-masing mencari pasangannya telah terpatri
usaha-usaha untuk membentuk suatu generasi yang baik, yaitu
generasi Islami dan Qur'ani.
Akhirnya hanya kepadaNya semata kita bergantung dan
berserah diri. Semoga Allah senantiasa menanamkan kesadaran
kepada kita semua untuk mendidik anak-anak kita menjadi
harapan masa depan ummat. Yang terpenting, demi keselamatan
mereka dan kita dari jilatan api neraka. "Wahai orang-orang
yang beriman, jagalah diri-diri kamu dan keluarga-keluarga
kamu dari api neraka".
Bersihkanlah jalanan (kehidupan) anak kita dari
kuman-kuman yang merusak. Tanamkan benteng penjaga ketakwaan
dan keimanan yang kokoh, pedang keilmuan yang tajam, sarana
ibadah yang mantap, strategi akhlaq yang mulia dalam
kehidupan anak kita.
Wassalam. NY/18 Mei 99.
* Disampaikan dalam acara Seminar Pendidikan Anak yang
diadakan bersamaan dengan acara Musyawarah Tahunan IMAAM
(Indonesian Muslim Association of America) Washington
tanggal 22 Mei 1999.
|