|
|
For emergency, dial 911!Itulah kalimat singkat yang kita temukan hampir di semua tempat di negeri ini. 911 adalah nomor emergency atau nomor darurat yang dapat dikontak setiap saat jika ada hal-hal yang tidak menguntungkan. Namun sejak 11 September lalu, 911 tidak lagi selalu dikonotasikan dengan sesuatu yang "darurat". Nomor-nomor tersebut saat ini lebih diartikan tragedi 11 September yang menelan ribuan korban. Tapi adakah 911 ini lepas makna "emergency contact"? Ataukah jangan-jangan justeru 911 kali ini bukan nomor kontak dari manusa, tapi kontak langsung dari Dia Yang Maha Kuasa. Allahu A'lam! Allah Maha Pencipta dan Allah pula Yang Maha Kuasa dan Pengatur. Manusia hanyalah secuail dari alam semesta ciptaan Ilahi. Dan alam semesta beserta seisinya ini pun tunduk dan patuh pada kekuasaan dan pengaturanNya. Sebab hanya dengan ketundukan dan kepatuhan kepadaNya, terwujud keharmonisan alam dan kehidupan. Sunnah Allah dalam penciptaan, ketentuan dan aturan-aturanNya mengikat secara menyeluruh menyeluruh. Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan segenap makhluk berunsur air ataupun tidak, semuanya tunduk di bawah aturanNya. Aturan inilah yang disebut "Dien". Dan kehidupan yang mengikut kepada Dien inilah yang disebut kehidupan yang "teratur". Sayangnya, manusia yang diberi porsi kemuliaan berupa "kebebasan memilih" (hurriyat al ikhtiyar), justeru lebih banyak memilih "penentangan" terhadap keteraturan penciptaanya sendiri. Pada saat manusia semakin jauh dari kehidupannya yang teratur inilah Allah SWT sekali-sekali men-dial 911 sebagai peringatan. Allah melakukan "kontak" ini lewat tangan-tangan manusia itu sendiri. Di S. Ar Rum Allah menjelaskan: "Zhahara al fasaadu fil barri wal bahri bimaa kasabat aedinnaas liyudziiqahum ba'dhalladzi 'amiluu la'allhum yarji'uun" (Telah nampak destruksi di darat dan di laut sebagai akibat dari tangan-tangan manusia, agar Allah menjadikan mereka merasakan akibatnya, sehingga semoga dengannya, mereka kembali ke mereka yang teratur). Ayat ini menjelaskan bahwa kerusakan itu terjadi karena tangan-tangan (simbol kapabilitas) manusia sendiri. Kerusakan ini juga berakibat negatif yang pasti dirasakan oleh mereka (manusia). Tapi dalam hal ini, Allah memakai kata "liyudziqahum" (artinya, walaupun manusia sendiri yang melakukan, namun Allah-lah yang menjadikan mereka merasakan akibat kerusakan tersebut. Dengan kata lain, Allah memberikan balasan setimpal kepada manusia lewat tangan-tangan mereka sendiri. Itulah kehebatan Allah. Untuk apa? "la'allahum yarji'uun", yaitu agar mereka sadar, instropeksi, lalu segera kembali ke jalan hidup yang teratur (fitrah) tadi. Kita dan 911Mungkin ada yang berpendapat, tragedi ini ditujukan kepada bangsa Amerika atau non Muslim semata. Sementara ummat Islam harus merasakannya sebagai a "gift". Persepsi ini di satu sisi ada benarnya. Sebab seorang Muslim akan selalu melihat segala sesuatunya dalam perspektif "optimisme". Kata Rasulullah SAW: "'ajaban li amrill mu'min. Inna amrahu kullahu khaer. In ashobahu khaerun syakar, wa in ashobahu syarrun shobara" (sungguh ajaib urusan orang-orang beriman itu. Semua urusannya mengandung kebajikan. Jika ditimpa kebaikan dia bersyukur, namun jika ditimpa musibah dia bersabar). Maka dari perspektif ini, Muslim boleh saja melihat tragedi 911 sebagai a "gift". Namun sebaliknya, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, maka kejadian ini boleh jadi sebelum ditimpakan pada orang lain hendaknya dipandang sebagai sesuatu yang ditujukan pada kita sendiri. Boleh jadi, bahwa cobaan untuk umat ini didatangkan melalui tangan-tangan orang lain. Boleh jadi, bahwa datangnya "emergency call" ini ditujukan untuk kita, namun melalui saluran telefon yang dimiliki oleh tetangga kita. Untuk itulah, yang terbaik bagi ummat ini adalah melakukan "muhasabah" (introspeksi) sedalam-dalamnya, apa sih rahasia semua kejadian ini? Sampai di mana "amanah" penjagaan keteraturan (fitrah) kehidupan telah kita jaga? Sampai di mana amanah "risalah", ruh kehidupan fitri kita tegakkan? Mungkin kita telah lalai, sehingga terkantuk-kantuk di tengah terpahan angin spoi-spoi dalam sebuah taman keindahan yang fana, atau mungkin kita telah tertidur pulas dalam kesemuan duniawi. Sehingga amanah kerisalahan, amanah da'wah dan bahkan amanah diri kita sendiri telah terkhianati. "Yaa ayyuhalladziina aman Dari Sya'ban Menuju RamadhanDial 911 segera disusul dengan datangnya Sya'ban dan Ramadhan. Dua bulan yang secara khusus memiliki makna historis yang penting dalam sejarah perjalanan ummat. Bulan Sya'ban yang dikenal sebagai pintu menuju Ramadhan, memiliki makna historis, karena pada bulan inilah, tepatnya pada pertengahannya yang disebut "Nisf Sya'ban", terjadi peristiwa maha penting dalam sejarah peradaban Islam. Peristiwa penting tersebut adalah dipenuhinya hasrat kuat Rasulullah SAW untuk kembali menghadapkan wajahnya ke arah "al Ka'bah as Musyarrafah" di saat melangsungkan komunikasi langsung (mi'raj) dalam bentuk shalat dengan Sang Khaliq. "Tahwiil al Qiblah" atau perubahan kiblat itulah merupakan lambang kemenangan kembali di atas semua dominasi kiblat lainnya. Dialihkannya kembali kiblat ke arah Ka'bah merupakan simbol kembalinya kemenangan sejati ke tangan Rasulullah dan ummatnya. Simbol kemenangan al haqq di atas al bathil. Oleh karena itulah, ayat pertama yang berbicara mengenai hal ini adalah "sayaquulus sufahaa minan naas" (manusia jahil akan berkata). Mereka, karena kebodohan, mempertanyakan, apa sih yang menjadikan Muhammad SAW mengalihkan Kiblatnya? Allah dengan tegas menjawab: "barat dan timur itu adalah milik Allah". Maknanya, hakikat kiblat itu bukan timur atau barat, Mekah atau Jerusalem. Tapi kiblat itu lebih ditentukan oleh "hidayah" (yahdii man yasyaa ilaa shiraatin Mustaqiim). (2:142) Segera setelah penjelasan gamblang tersebut, disusul dengan sebuah realita pula, bahwa ummat ini adalah "ummatan wasathan". Ummat penengah, bukan karena tidak punya pendirian. Tapi justeru karena pendiriannya kepada kebenaran sehingga ummat ini menjadi "wasit". "Wakadzaalika ja'alnaakum ummatan wasathan" (demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat penengah). Bukan penengah yang tak tahu diri, bukan pula penengah yang pasif dan masa bodoh. Melainkan penengah yang bersikap "syahid" (latakuunuu syuhadaa 'alan naas). Yaitu ummat yang mempersaksikan dalam segala aspek kehidupannya idaman hidup. Ummat yang mendemonstrasikan (syahadah) kehidupan yang fitrah, yang "thayyibah", baik pada tataran fardiyah (individu) maupun tataran jama'ah (sosial), dan dalam segala aspeknya, ekonomi,politik, sosial budaya maupun hankam. Sehingga dengan kehidupan seperti ini, Allah akan mendatangkan "ghufrannya". Sebagaimana ditegaskan: "Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur" (Negeri yang baik dan Tuhan yang Penuh ampunan). Artinya, Dengan ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya perintah peralihan kiblat adalah perintah untuk kembali kepada "hudan" (petunjuk) hidup yang asli. Yaitu sistem hidup yang dibangun di atas nilai-nilai fitrah (Al Islam), yang memang kepadanya kita selalu dituntut untuk menghadapkan wajah (kehidupan) kita: "faaqim wajhaka liddiini haniifan fithratallah allati fatharan naasa 'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (maka tegakkanlah wajahmu kepada agama yang lurus. Yaitu fitrah Allah yang dengannya manusia diciptakan. Nilai penciptaan yang tiada mungkin tergantikan) (Ar Rum). Sayang, dalam realitanya, ummat berada di persimpangan jalan. Ummat Islam saat ini berdisiplin tinggi menghadapkan wajahnya ke arah kiblat di satu sisi. Namun pada sisi lain, rela membelakangi "kiblat" mereka sendiri. Pada diri ummat ini, sedang terjadi double standard dan contradicted attitude yang gamblang. Bahwa secara lahiriyah mereka menghadapkan wajah ke kiblat yang benar, namun pada tataran bathin dan kenyataan hidupnya, mereka membelakanginya dan mencari kiblat-kiblat sesuai kepentingannya masing-masing. Dan pada intinya, di sinilah letak kehancurannya dan sekaligus kegagalannya dalam mengemban amanah "wasthiyah" dalam peradaban kemanusiaan. Kiblat kapitalisme, sosialisme, komunisme dan berbagai isme-isme lainnya telah membagi-bagi umat ini pada perkiblatan yang berbeda. Sehingga sangat wajar, ummat yang pada asalnya punya satu "kiblat" tidak mampu menjadi satu umat. Dan di sinilah letak "fasyal" (kegagalan) yang paling nyata (sebagaimana dijelaskan di al Anfal). Ramadhan, bulan KemenanganTiada disangkal bahwa bulan Ramadhan adalah bulan penuh kemenangan, kemenangan individu hingga kemenangan sosial yang lebih luas. Di bulan inilah, umat diharapkan melakukan "muhasabah" merenung sejenak, siapa,apa dan bagaimana kita seharusnya. Siang dan malam dijadikan masa untuk beribadah, menajamkan senjata serta memperkuat perbekalan dalam memerangi musuh yang selama setahun yang lalu menaklukkan fitrah (kemanusiaan) kita. Untuk itulah, di ujung bulan Ramadhan, Muslim di mana saja, mengakhirinya dengan sebuah perayaan khusus yang disebut "idul fitri". Yaitu perayaan yang dilakukan karena kegembiraan atas kembalinya kita ke fitrah kehidupan yang sesungguhnya. Tapai akankah perayaan ini menjadi sebuah perayaan bohong-bohongan? Akankah perayaan ini lebih menambah justifikasi double standard dan contradicted attitude ummat ini? Tergantung indikatornya. Jika ternyata setelah Ramadhan, kehidupan ngawur ngidul, ngiblat kiri kanan sesuai hawa nafsu, berarti perayaan itu tak lebih dari sebuah sandiwara atau kebo. New York, 7 Nopember 2001 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2002. |