Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelumkamu agar kamu bertakwa (QS 2: 183)
Makna Umum
Muhammad Ali Ash-Shobuny menerangkan bahwa berpuasa itu
diwajibkan pada bulan Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan
atas umat-umat sebelum kita agar kita bertakwa, yaitu
menjadi orang yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi apa
yang diharamkan-Nya.[1]
Tafsir Ayat
Imam Mawardi dalam kitab tafsirnya menjelaskan sebagai
berikut:[2]
I. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa) Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari
segala sesuatu yang kamu harus menahannya. Ini adalah puasa
menurut pengertian bahasa. Adapun puasa menurut pengertian
syara' adalah: menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa
pada waktu tertentu.
Nabi bersabda, "Allah berfirman: Setiap amal anak Adam
itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku...."
(Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59). Imam Mawardi
menjelaskan dua alasan mengapa puasa itu tampak khusus
dibanding ibadah lain:
- Puasa itu mencegah kepura-puraan diri
berikut nafsu yang menyertainya
- Puasa itu merupakan rahasia antara seorang hamba
dengan Tuhannya yang tidak ditampakkan kecuali untuk
Tuhannya.
Inilah yang menyebabkan puasa menjadi sangat khusus
dibandingkan dengan ibadah lainnya.
II. (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu ) Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat berkenaan
dengan siapa yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu"
:
- Asy-Syu'bi, Ar-Rabi' dan Asbat mengatakan
bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani
- Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul
Kitab
- Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia
secara umum.
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam menjelaskan apa
titik kesamaan antara puasa yang diwajibkan kepada umat
Muhammad dengan umat yang lalu. Imam Mawardi mengurai dua
pendapat dalam hal ini:
- Kesamaan itu dalam hukum puasa dan sifatnya,
bukan dalam hal bilangannya. Hal ini mengingat Yahudi
juga berpuasa hanya mereka memulainya dari malam sampai
ke malam lagi dan mereka tidak makan sesuatupun setelah
malam tiba. Dan itulah juga yang dilakukan oleh umat
islam di masa-masa awal Islam, yaitu mereka tidak makan
sesuatupun di waktu malam sampai Umar bin Khattab dan
Qais bin Sharmah melakukannya. Tindakan Umar dan Qais itu
kemudian dihalalkan oleh Allah. Inilah pendapat yang
dipegang oleh Ar-Rabi' bin Anas. Ar-Rabi' berpegang pada
hadis Nabi, "Perbedaan antara puasa kita dengan puasa
ahlul kitab adalah kita makan di waktu sahur"
- Titik kesamaan itu adalah pada bilangan puasanya.
Pendapat ini terbagi dua lagi:
- Kaum Nasrani diwajibkan berpuasa 30 hari
sebagaimana kita juga diwajibkan demikian. Dan
seringkali itu terjadi pada musim yang sangat panas,
lalu dipisah sebagian dilakukan di musim dingin dan
saat hari yang cerah. Akan tetapi puasa mereka
kemudian ditambah dua puluh hari lagi. Ini untuk
menghapus dosa mereka dan menghukum mereka karena
mengganti ketentuan Tuhan. Ini pendapat yang dipegang
oleh Asy-Syu'bi
- Kaum Yahudi berpuasa tiga hari pada setiap hari
Asyura dan tiga hari di setiap bulan. Kondisi ini
berjalan selama tujuh belas bulan sampai turun ayat
puasa Ramadhan yang menghapus ketentuan itu. Inilah
pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ketentuan
yang awal-awal dinasakh (dihapus) adalah soal qiblat
dan puasa ini.
III. (agar kamu bertakwa)
Potongan ayat ini juga mengandung dua pendapat:
- agar kamu bertakwa dari apa yang diharamkan
dalam berpuasa seperti makan, minum, berhubungan intim
dengan isteri. Pendapat ini dipegang oleh Abu Ja'far
at-Thabari.
- maknanya adalah puasa itu menjadi sebab yang
mengembalikan kita pada takwa dengan jalan menundukkan
jiwa, mengurangi nafsu dan menghilangkan kejelekan. Ini
pendapat yang dikeluarkan oleh az-Zujaj.
Refleksi
Untuk mengakhiri bahasan ini, ijinkan saya mengutip
Syaikh Mahmud Syaltout:[3]
"Dan tidaklah diragukan (dalam ayat puasa itu)
bahwa panggilan dimulai dengan kata sifat Iman (hai
orang-orang yang beriman). Dan inilah dasar kebaikan dan
keutamaan. Kemudian taqwa disebut di akhir ayat; inilah
ruh iman dan rahasia kemenangan. Ini semua menjadi
petunjuk yang kuat dan dalil yang jelas bahwasanya puasa
itu wajib, bukan hanya untuk menahan diri dari makan dan
minum, tetapi juga menahan diri dari semua hal yang dapat
menghilangkan keimanan dan tidak menguatkan keutamaan
taqwa itu.
Karenanya barang siapa yang berpuasa dengan maksud
bukan untuk Allah, maka dia tidak berpuasa (la shaum
lahu). Begitu pula halnya orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan jama'ah kaum muslimin, maka tidak ada puasa
baginya (la shaum lahu). Akan halnya orang yang ada hasad
dan dendam serta melakukan aktifitas yang dapat memecah
belah umat dan melemahkan kekuatan umat, maka mereka juga
tidak mendapati puasa. Begitu pula halnya dengan keadaan
orang-orang zhalim dan orang yang berkongsi dalam membuat
kerusakan.
Orang yang berpuasa itu tidak menyakiti tetangganya
baik dengan tangan maupun lidahnya ataupun menghancurkan
kehormatan Allah, tidak berbohong dan tidak memakan harta
orang lain dengan jalan yang batil.
Inilah makna puasa yang menggabungkan gambaran menahan
diri dari hal yang membatalkan puasa. Inilah makna puasa
yang menguatkan ruh iman."
Al-Haq min Allah
Catatan Kaki:
1. Muhammad Ali ash-Shobuny, Shafwat at-Tafasir, juz 2,
Maktabah al-Ghazali, h, 121.
2. Abul Hasan al-Mawardi, an-Nukat wa al-'Uyun: Tafsir
al-Mawardi, jilid 1, Dar al-Kitab al- Ilmiyah, Beirut, h,
235-237.
3. Mahmud Syaltout, Al-Islam: Aqidah wa Syari'ah, Dar
asy-Syuruq, 1988, h, 108-109.
|