100. Abu 'Abdullah
al-Jadali1
Nama aslinya adalah 'Abdun ibn 'Abdun. Ada pula yang
mengatakan nama aslinya adalah 'Abdurahman ibn 'Abdun. Dalam
kitab Al-Mizan, adz-Dzahabi berkata: "Ia Syi'ah ekstrim.
Menurut al-Jauzjani, ia memiliki riwayat pilihan, dan Imam
Ahmad memandang dia sebagai orang tsiqat.
Ibn Hajar di dalam kitabnya at-Tahdzib berkata begini:
"Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu'in bahwa Abu
'Abdullah adalah tsiqat. Ibn Hibban menyebutnya di dalam
kitab ats-Tsiqat. 'Ajli memandang dia sebagai seorang
tabi'in kelahiran Basrah yang tsiqat. Ibn Sa'ad setelah
menyebutkan nasabnya, menyatakan dia itu dha'if.
Dikatakannya bahwa ia Syi'ah ekstrim.
Ulama hadits menganggapnya sebagai serdadu Mukhtar ibn
Abi 'Ubayd. Ia pernah dikirim Mukhtar, menemui Ibn Zubayr
dengan kekuatan pasukan sejumlah 800 orang dari penduduk
Kufah. Mereka datang untuk mencegah keinginan dan kehendak
Ibn Zubayr terhadap Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Nasa'i
berkata: "Aku mendengar Abu 'Abdullah al-Jadali adalah
serdadu Mukhtar."
Ibn Hajar berkata: "Ibn Zubayr memanggil Muhammad
al-Hanafiyyah untuk berbai'at kepadanya. Muhammad menolak
ajakan bai'at itu, lalu ia ditahan atau dikurung di suatu
tempat. Ibn Zubayr dan orang-orangnya mengintimidasi
Muhammad dengan memberikan batas waktu tertentu. Berita
penahanan ini kemudian sampai kepada Mukhtar yang berada di
Kufah. Mukhtar kemudian mengirim angkatan perang menuju
Makkah di bawah pimpinan Abu 'Abdullah al-Jadali."
Mereka berhasil membebaskan Muhammad al-Hanafiyyah dari
kurungannya. Muhammad mencegah satuan perang itu bertempur
di kota suci Makkah. Dari sinilah, demikian Ibn Hajar, ulama
hadits memvonis Abu 'Abdullah dan Abu ath-Thufay, yang ikut
serta dalam penyerbuan tadi. Padahal keduanya tidaklah
dipandang cacat lantaran perbuatannya itu.
Dari berbagai pendapat di atas jelaslah bahwa para ulama
tidak mengecam Abu 'Abdullah, kecuali paham Syi'ah yang
dianutnya. Sebagian ulama yang memberikan kritik kepadanya
menjelaskan argumen mereka, yaitu karena Abu 'Abdullah
menjadi serdadu Mukhtar. Namun kita sudah maklum bahwa
Syi'ah yang tidak sampai pada tingkat Rafadh atau ekstrim,
tidaklah merusak sifat adil seorang perawi manakala ia
dikenal jujur, amanah, dan tidak pernah berdusta.
Bila kita melihat latar-belakang kehidupan Abu 'Abdullah,
nyatalah bahwa tak seorang pun ulama hadits yang menuduhnya
sebagai pendusta. Karena itulah, Imam Ahmad memandang dia
tsiqat. Demikian pula Ibn Mu'in, Ibn Hibban dan al-'Ajli.
Sebagian ashabus-Sunan pun meriwayatkan haditsnya.
Hal di atas jelas membuktikan betapa jujur ulama Sunni
dalam menentukan keadilan dan tsiqatnya seorang perawi.
Mereka berpegang pada firman Allah:
"Dan janganlah sesekali kebencianmu terhadap
suatu kaum mendorongmu melakukan ketidakadilan. Berbuat
adillah, karena keadilan itu lebih mendekati ketakwaan."
(QS, al-Ma'idah, 5:8).
Mereka tak pernah menvonis atau mengambil kesimpulan
secara serampangan, mengikuti hawa nafsu atau fanatik buta.
Seandainya mereka demikian, tentu Abu 'Abdullah sudah
dipandang gugur sifat adil dan kehujjahan haditsnya,
lantaran ia menjadi pimpinan perang Mukhtar ibn Abi
'Ubayd.
Kejujuran ulama Sunni tidak dapat dibandingkan dengan
orang Rafidhah yang seringkali menggugurkan sifat adil
seorang perawi. Bahkan mereka mengkafirkannya dengan alasan
yang dibuat-buat; seperti termuat dalam beberapa referensi
mereka. Suatu contoh, mereka mengkafirkan orang yang lebih
utama dibanding Abu 'Abdullah, yaitu Abu Bakar dan 'Umar,
bahkan mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi, kecuali
beberapa orang saja dari mereka. Pengkafiran ini tidak lain
hanya karena keyakinan para sahabat tersebut berbeda dengan
keyakinan mereka yang sesat itu. Tidakkah ini yang dinamakan
fanatik buta dan berlaku sewenang-wenang? Renungkanlah.
Ibn Hajar adalah salah seorang ulama Sunni yang dituduh
kaum Rafidhah sebagai fanatik, menuruti hawa nafsu, zalim
dan tidak jujur. Beliau menolak semua tuduhan itu, dan
menyatakan bahwa setiap orang yang berakal akan mengetahui
kejujuran ulama Sunni, keadilan mereka dan terbebasnya
mereka dari sifat fanatik. Hal ihi terlihat dari kata-kata
Ibn Hajar: "
dari sini sebagian ulama hadits memvonis
Abu 'Abdullah dan Abu ath-Thufayl lantaran ia termasuk dalam
satuan tempur itu. Sesungguhnya perbuatan itu tidaklah
membuat keduanya tercela, insya Allah."
Pernyataan Ibn Hajar di atas betul-betul obyektif, karena
ia membela Abu 'Abdullah, dan menolak semua orang yang
mendha'ifkan dia dari kalangan Ahlus Sunnah. Beliau juga
menolak orang yang mengkultuskannya. Perhatikanlah.
Catatan kaki:
1 Tahdzib at-Tahdzib,
12/148; Mizan al-I'tidal 4/544.
|