99. Yazid ibn Abi Yazid
al-Kufi1
Adz-Dzahabi berkata: "Yazid adalah salah seorang Ulama
Kufah yang dikenal buruk hafalannya." Inilah keterangan
adz-Dzahabi mengenai Yazid. Namun al-Musawi, penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah telah berbuat tidak jujur dengan memenggal
sebagian keterangan adz-Dzahabi di atas. Ia katakan begini:
"Adz-Dzahabi mengakui Yazid sebagai salah seorang ulama
Kufah yang termasyhur." ia membuang bagian kedua dari
pernyataan adz-Dzahabi di atas, yaitu
"keburukan
hafalannya." Demikianlah kebiasaan buruk orang Rafidhah. Ia
membuang dan menghapus sebagian dalil sesuai dengan kehendak
hati dan kepercayaannya. Keadaan al-Musawi, penulis, Dialog
Sunnah-Syi'ah, adalah seperti orang yang membaca ayat
fawailul-lil-mushallin, tanpa meneruskan pada ayat
berikutnya: al-ladzina hum fi shalitihim sahun.
Kemudian ia menuduh secara palsu ulama-ulama Sunni
sebagai serong, zalim, tidak jujur, fanatik dan menuruti
hawa nafsu. Ia berkata: "Mereka tidak bersimpati kepada
Yazid dan mengecamnya secara berlebih-lebihan, hanya karena
dia dalam meriwayatkan hadits, sanadnya bersambung sampai
kepada Burzah atau Abu Burdah," seakan-akan mereka mengecam
siapa saja yang mereka sukai, dan memandang adil siapa saja
yang mereka sukai, dengan mengikuti hawa nafsu tanpa mengacu
kepada metoda ilmiah sebagai dasar dan pegangan, sebagaimana
tradisi orang Rafidhah.
Kemudian al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah mengutip
dari adz-Dzahabi hadits tentang 'Amr ibn 'Ash dan Mu'awiyah
dan doa atau laknat Nabi kepada mereka lantaran keduanya
mendendangkan lagu-lagu. Ia mencukupkan diri dengan kutipan
itu saja, tanpa menunjukkan kepada kita pendapat adz-Dzahabi
mengenai hadits tersebut. Apakah ini dapat disebut sikap
amanah, orang yang mengutip dalil secara sepotong-sepotong,
yang sesuai dengan kemauan hawa nafsunya?
Adz-Dzahabi berkata mengenai hadits di atas. Menurut
beliau, hadits itu adalah hadits gharib dan munkar. Adapun
unsur keghariban hadits itu di dalam matannya sangat jelas
sekali. Sebab, bagaimana mungkin Nabi memberikan laknat
kepada sahabat-sahabatnya? Padahal, Nabi sendiri berkata:
"Janganlah kamu memaki-maki sahabatku. Demi Tuhan,
seandainya kamu menafkahkan emas sebesar gunung Uhud, maka
infaqmu itu tidak akan bisa menyamai nilai infak sahabatku
yang sebesar satu mud ataupun separuhnya." Dan beliau juga
bersabda: "Aku diutus bukan untuk memberi laknat atau
memaki-maki."
Laknat sebagaimana diketahui berarti terjauhkan dari
rahmat Allah. Bagaimana mungkin Rasulullah akan mendoakan
sahabatnya supaya terjauhkan dari rahmat Allah. Pendapat itu
jelas berlawanan dengan firman Allah kepada Nabi berikut
ini:
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka." (QS, Al-Fathr, 48:19)
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang
beriman."
Berdasarkan semua itu, maka ulama hadits memandang hadits
yang menceritakan laknat Rasulullah kepada 'Amr ibn 'Ash dan
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan sebagai hadits munkar dan gharib.
Keghariban hadits tersebut terlihat dari sudut matan atau
teks isi hadits. Kecuali itu, juga terlihat keghariban dan
kemunkaran dari segi sanad. Cobalah anda perhatikan.
Adapun orang Rafidhah, mereka tidaklah melihat unsur
perlawanan hadits itu dengan al-Qur'an dan hadits Nabi yang
lain. Sebab mereka berkeyakinan bahwa semua sahabat adalah
kafir, kecuali 10 orang dari mereka.
Sedangkan ulama Sunni mendha'ifkan Yazid ibn Ziyad bukan
karena ia Syi'ah, sebagaimana dituduhkan al-Musawi, penulis
Dialog Sunnah-Syi'ah, tetapi lantaran buruknya hafalan
Yazid. Dan mereka mengecam Yazid lantaran dia banyak
meriwayatkan hadits-hadits munkar dan gharib. Berikut ini
beberapa pernyataan ulama jarh wat ta'dil yang. menguatkan
asumsi di atas.
Adz-Dzahabi berkata: "Yazid adalah salah seorang Ulama
Kufah yang buruk hafalannya." Menurut Ahmad, hadits Yazid
diragukan. Dalam kesempatan lain, Ahmad menegaskan bahwa
Yazid bukan ulama penghafal: Menurut Ibn Mu'in, ia bukan
perawi yang tsiqat atau kuat. Ia juga menyatakan bahwa Yazid
dha'if. 'Ajli berkata: "Haditsnya ja'iz; ia perlu diingatkan
dengan ujungnya hadits (dapat menghafal jika disebutkan
sebagian kata-kata haditsnya). Menurut Abu Hatim, ia bukan
perawi yang kuat. Ibn 'Adi memandang dia sebagai Syi'ah
Kufah. Ia dha'if; namun haditsnya bisa ditulis.
Menurut Nasa'i, ia bukan perawi yang kuat. Daruquthni
berkata: "Ia dha'if, suka keliru, dan dapat menghafal hanya
dengan dituntun." Menurut Abu Zara'ah, ia lemah, haditsnya
dapat didaftar, tetapi tidak dapat dijadikan hujjah.
Al-Jauzjani berkata: "Aku mendengar para ulama mendha'ifkan
dia. Menurut Ibn Sa'ad, ia tsiqat, hanya saja dalam usianya
yang lanjut ia seringkali melakukan pencampuradukan
(tadlis). Karena itu, terdapat dalam riwayatnya hal-hal yang
aneh bin ajaib.
Kenyataan bahwa ashabus-Sunan dan Imam Muslim
meriwayatkan haditsnya tidak berarti secara otomatis hadits
itu dapat dijadikan hujjah. Itu menunjukkan bahwa Yazid itu
tetap dha'if. Dalam kedha'ifannya itu ashabus-Sunan
meriwayatkan haditsnya. Imam Muslim hanya meriwayatkan satu
hadits dari Yazid. Itupun disertai perawi lain yang tsiqat.
Dan dalam pengantar Kitab Shahihnya beliau berkata:
"Perawi-perawi yang belum jelas kejujuran dan kualitas
keilmuannya juga terdapat pada beberapa perawi hadits,
seperti 'Atha' ibn Sa'ib, Yazid ibn Abi Ziyad, Layts ibn Abi
Sulaym, dan lain-lain."
Dalam bukunya Tahdzib, Ibn Hajar berkata: "Nawawi
memandangnya gharib (tak dikenal). Dalam pengantar Syarh
Sahih Muslim, ia menyebutkan biografi Yazid ibn Abi Ziyad
setelah biografi Ibn Abi Ziyad ad-Dimasyqi. Imam Nawawi
mengira Ibn Abi Yazid ad-Dimasyqi ini yang dimaksud Imam
Muslim dengan Yazid ibn Abi Ziyad. Dalam hal ini perlu
penelitian yang lebih lanjut.
Catatan kaki:
1 Tahdzib at-Tahdzib,
11/329; Mizan al-I'tidal 4/423.
|