|
96. Waqi' ibn Jarrah ibn Mulih ibn 'Adi
ar-Rawasi Abu Sufyan al-Kufi1
Hammad ibn Zayd berkata: " Kalau aku mau, aku akan
mengatakan bahwa Waqi' lebih unggul dibanding Sufyan." Ahmad
berkata: "Ia adalah seorang guru, Syaikh. Aku tidak pernah
melihat seorang yang lebih banyak ilmunya dan lebih hafal
dibanding Waqi". Salih ibn Ahmad berkata: "Aku bertanya
kepada ayahku, siapa yang lebih terpercaya antara Waqi' dan
Yazid?" "Keduanya terpercaya," jawab ayah. Aku bertanya
lagi, "Siapa yang lebih baik diantara keduanya?" Kata ayah,"
keduanya baik." Ibn Ahmad juga berkata: "Telah bercerita
kepadaku Waqi', seorang yang tak pernah dijumpai
bandingannya." 'Ali ibn 'Utsman an-Naqili berkata kepada
Ahmad: "Sesungguhnya Abu Qatadah memperbincangkan mengenai
Waqi'. Ahmad berkata: "Barangsiapa mendustakan orang yang
jujur, maka dia pendusta yang ulung."
Ibn Mu'in berkata: "Waqi' adalah orang yang tsiqat. Demi
Tuhan, sesungguhnya aku tidak,pernah melihat orang yang
menyampaikan, hadits secara ihlas seperti Waqi'. Dan tidak
pernah aku melihat seorang yang lebih hafal dibanding
Waqi'." Waqi' dalam hal ini sama dengan al-Awza'i pada
masanya masing-masing. Hanbal menceritakan bahwa Ibn Mu'in
berkata: "Aku melihat sebuah papan di samping Marwan ibn
Mu'awiyah. Di papan itu tertulis nama-nama guru, dan
predikatnya, seperti si A demikian, si B begini, dan si
Waqi' adalah orang Rafidhah. Yahya (Ibn Mu'in) berkata
kepada Marwan: "Waqi' jauh lebih baik dibanding kamu."
Dibanding aku?", tanya Marwan. "Ya," jawabku. Lalu ia diam
tak mengatakan sesuatu kepadaku. Seandainya ia berkata
sesuatu, tentu para ulama hadits akan mengecam dia. Berita
tersebut kemudian sampai kepada Waqi', dan dia berkata:
"Yahya adalah sahabatku!".
Ibn Sa'ad berkata: "Ia tsiqat, terpercaya, agung, dan
banyak haditsnya. Menurut al-'Ajli, ia seorang Kufah yang
tsiqat, ahli beribadah, berakhlak mulia, dan termasuk
penghafal hadits. Ia juga memberi fatwa. Abu Nu'aim
mendengar Ahmad berkata: "Berpegang teguhlah kamu pada karya
karya Waqi'. Orang kepercayaan kita di Iraq adalah Waqi'".
Ya'qub ibn Sufyan bertanya kepada Ahmad: "Jika terdapat
perselisihan dalam suatu hal antara Waqi' dan 'Abdurrahman
ibn Muhri, yang mana yang anda ambil?" Ahmad menjawab:
"'Abdurahman mesti diikuti; ia diakui orang ulama salaf, dan
ia tidak pernah minum arak."
Para ulama sepakat mengenai tsiqat dan kehujjahan hadits
Waqi'. Dan tidak seorang pun yang menentang kesepakatan ini.
Sebab mereka tidak ada yang menuduh ia berbuat bid'ah, baik
bid'ah yang mengkafirkan maupun yang tidak. Mereka juga
tidak menuduh dia seorang yang sesat atau berdusta dalam
haditsnya. Atau tidak teguh, dan jelek hafalan dalam
riwayat-riwayatnya. Ia justru salah seorang ulama Ahlus
Sunnah, pemuka ahli hadits berdasar kesepakatan ulama
hadits, sebagaimana terlihat dari berbagai riwayat yang
telah dikemukakan tadi.
Sungguh mengherankan bila kita melihat kedustaan dan
kezaliman al-Mussawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah. Ia
mengeluarkan Waqi' ibn Harraj dari ikatan Ahlus Sunnah, dan
memasukkan dia secara zalim ke dalam kalangan kaum rafadh
dan ekstrim. Tujuannya tentu saja untuk memanipulir
tokoh-tokoh Sunni dan menyesatkan mereka dari jalan Allah.
Sesungguhnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah,
mengetahui kedudukan Waqi' ibn Haraj di kalangan Ahlus
Sunnah wal-Jama'ah. Mereka dengan senang menerima Waqi'.
Apalagi dia termasuk salah seorang guru Imam Syafi'i. Jika
al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, bisa menyatakan
kepada orang Sunni bahwa Waqi' adalah orang Rafadh, tentu ia
harus mampu pula menunjukkan bukti kepada mereka yang dapat
diterima.
Untuk menguatkan klaimnya bahwa Waqi' adalah orang
Rafidhah, al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah,
mengemukakan sebuah cerita adanya papan yang dilihat Ibn
Mu'in di samping Marwan ibn Mu'awiyah. Pada dasarnya, kisah
itu benar. Ibn Hajar mengutarakan kisah tersebut dalam
bukunya Tahdzib. Akan tetapi al-Musawi, penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah, hanya mengutip tulisan Marwan di papan itu,
dan itu yang kemudian dijadikannya sebagai dalil untuk
mengklaim Waqi' ibn Haraj. Ia berpura pura tidak mengetahui
sanggahan Ibn Mu'in kepada Marwan. Ibn Mu'in menentang keras
tulisan Marwan di papan itu dengan mengatakan: "Waqi' jauh
lebih baik daripada kamu (Marwan)!". Al-Musawi, penulis
Dialog Surmah-Syi'ah, juga berpura pura tidak mengetahui
sikap Marwan yang bungkam, tidak mengelak pernyataan Ibn
Mu'in. Diamnya Marwan tak terlepas dari dua kemungkinan.
Pertama, sukut al-iqrar, diam menyetujui bahwa Waqi' memang
lebih baik dari dirinya. Kedua, sukut al-'ajiz, diam karena
tidak mampu menunjukkan bukti apa yang ia dakwakan. Jika
yang pertama, maka ia mesti mencabut pendapatnya itu. Dan
jika yang kedua, ini berarti menunjukkan lemahnya pemikiran
Marwan, dan dengan demikian apa yang ia dakwakan itu (yakni,
bahwa Waqi' adalah Syi'ah, peny.) hanyalah sikap dengki saja
terhadap sesama. Ini sudah diketahui oleh para Ulama. Allah
maha Tahu.
Al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah juga berpura-pura
tidak mengetahui akhir kisah yang menyatakan: "Kalau
seandainya Marwan membantah, tentulah semua Ulama hadits
akan mengecam dia!" Ini semua membuktikan adanya kesepakatan
ulama akan keadilan dan tsiqatnya Waqi', dan menunjukkan
pula tidak benarnya tulisan Marwan tentang Waqi' di papan
itu. Juga menunjukkan kesepekatan ulama akan kedustaan
Marwan, sebab terbukti seandainya Marwan berkilah, mereka
akan memukul dan mempecundanginya.
Mengenai perkataan Ahmad tentang Waqi' bahwa 'Abdurahman
lebih disukai dan lebih diterima Ulama salaf dibanding
Waqi', hal ini harus diartikan bahwa Ahmad menyatakan hal
itu dalam menjawab soal "Kalau ada perselisihan tentang
sesuatu antara 'Abdurahman dan Waqi', siapa yang kau ambil?"
Maka Ahmad memberi jawaban yang lebih mengunggulkan
'Abdurahman dibanding Waqi'. Sebabnya adalah karena
'Abdurahman lebih diterima ulama salaf Tidak demikian halnya
dengan Waqi'.
Akan tetapi al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah
sengaja mengelabui para pembaca dengan menegaskan bahwa
Waqi' adalah orang Rafidhah. Dikatakannya bahwa ia
meremehkan orang salaf dan memaki para sahabat, termasuk
didalamnya Abu Bakar dan 'Umar. Ia kemukakan cerita bohong
ini setelah mengemukakan riwayat Yahya ibn Mu'in bersama
Marwan ibn Mu'awiyah.
Saya tidak menolak adanya riwayat itu maupun keabsahan
buku-buku biografi yang dapat dipercaya. Akan tetapi saya
tidak dapat menerima cara pemahaman dia mengenai riwayat
itu. Ia katakan, bahwa Waqi' adalah orang yang mengecam para
sahabat, bahwa ia orang Rafidhah, dan dikatakan bahwa Imam
Ahmad mendukung pernyataan itu.
Imam Ahmad adalah salah seorang ulama dari tokoh Islam
yang memahami betul hakekat Rafidhah dan hakekat keyakinan
mereka yang sesat itu. Ia salah seorang ulama yang sepakat
untuk tidak menerima riwayat kaum Rafidhah, lantaran
buruknya keyakinan mereka. Kalau seandainya Waqi' adalah
orang Rafidhah sebagaimana diklaim oleh al-Musawi, penulis
Muraja'at, apakah mungkin Ahmad memandang Waqi' sebagai
orang yang tsiqat, menerima dan berhujjah dengan riwayatnya?
Sudah saya kemukakan di depan mengenai pernyataan Ahmad
dalam hal ini.
Kalau benar apa yang didakwakan al-Musawi, penulis
Dialog,Sunnah-Syi'ah itu, maka ini berarti berlawanan dengan
keyakinan Imam Ahmad mengenai Rafidhah. Ini berarti beliau
mendustakan dirinya sendiri. Akan tetapi apakah masuk akal
hal seperti itu terjadi pada seorang imam besar dan agung
seperti Imam Ahmad?
Ahmad sendiri dalam ucapannya tidak menggugurkan sifat
adil Waqi' dan tidak mengecamnya. Ia hanya mengutamakan
'Abdurahman jika terdapat perselisihan. Mengutamakan salah
satu diantara keduanya ketika terdapat perselisihan, berarti
bahwa pada dasarnya keduanya adalah adil dan bisa dijadikan
hujjah. Hanya saja 'Abdurahman lebih tinggi tingkatannya.
Dengan demikian riwayat Waqi' tetap positif keadilan dan
kehujjahannya. Bagaimana mungkin Ahmad akan memandang tsiqat
dan dapat dijadikan hujjah, scandainya Waqi' orang Rafidhah.
Padahal kita mengetahui, ulama Sunni sepakat untuk tidak
menerima riwayat kaum Rafidhah.
Kiranya pembaca dapat berpikir dan merenungkan, bagaimana
iltibas (pengelabuan) yang dilakukan oleh al-Musawi, penulis
Dialog Sunnah-Syi'ah. Ia mencampuraduk antara yang benar dan
yang salah. Namun, bencana hanya akan menimpa orang yang
tidak jujur.
Adapun bahwa Ibn Quthaibah menyebut Waqi' dalam Ma'arif
sebagai perawi Syi'ah, maka komentar saya dalam hal ini sama
seperti yang dahulu disebutkan jelasnya, Ibn Quthaibah
menilai seseorang sebagai Syi'ah hanyalah karena orang itu
berpihak kepada 'Ali dalam pertikaiannya dengan Mu'awiyah.
Adanya kecenderungan tasyayyu' yang sedikit itu tidaklah
merusak keadilan dan ketsiqatan Waqi'. Juga tidak
menggugurkan nilai kehujjahan riwayatnya, sebagaimana
dikatakan Ibn al-Madini dalam Tahdzibnya: "Pada diri Waqi'
terdapat sedikit tasyayyu'."
Dari keterangan di atas nyatalah kepalsuan klaim
al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, terhadap diri Waqi'
ibn Jarrah yang dipadangnya Rafadh. Berbagai bukti justru
menunjukkan kebalikannya. Akan tetapi dia menyalahgunakan
dalil-dalil itu untuk menguatkan kesesatannya. Karena bukti
dan hujjah sudah nyata akan kebenaran, dan keselamatan Waqi'
dari tuduhan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, maka
tepatlah jika ashabus-Sunan menerima riwayat Waqi'.
Catatan kaki:
1 Tahdzib at-Tahdzib,
11/123; Mizan al- I'tidal 4/335.
|