85. Manshur ibn Mu'tamar ibn 'Abdullah ibn
Rabi'ah as-Sulami al-Kufi1
Al-Ajiri menceritakan dari Abu Dawud bahwa Manshur tidak
pernah meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang tsiqat.
Ats-Tsawri berkata: "Di Kufah, tidak sebagai orang yang
lebih dipercaya dalam periwayatan hadits dibanding Manshur".
Yahya memandang Manshur sebagai orang yang paling dapat
dipercaya. Dalam bukunya, 'Ali al-Madani berkata demikian:
"Jika seorang tsiqat meriwayatkan hadits padamu, dan hadits
itu berasal dari Manshur, maka engkau pasti berpegang
kepadanya dan engkau tidak ingin pada yang lainnya." 'Abdan
berkata bahwa ia pernah mendengar Hamzah berkata: Ketika aku
datang ke Baghdad, aku lihat orang-orang di sana memuji
Manshur." Abu Zara'ah berkata: Orang Kufah yang paling
terpercaya (meyakinkan) adalah Manshur.
Abu Hatim berkata: "Manshur adalah orang yang tsiqat. Ia
tidak pernah melakukan pencampuradukan (tadlis)." Menurut
'Ajli, ia seorang Kufah yang tsiqat, dan haditsnya dapat
dipercaya. Ia seorang Kufah yang paling dipercaya. Haditsnya
seakan-akan tempat minuman, tak seorang pun berselisih
didalamnya. Ia ahli ibadah, dan merupakan orang yang salih.
Selama dua bulan ia menentang qadha' (pengadilan negara). Ia
Syi'ah, walaupun tidak berlebihan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa
ulama hadits sepakat mengenai adil dan tsiqatnya Manshur,
serta kehujjahan haditsnya. Mereka tidak melontarkan kritik
atas Manshur yang merusak sifat adil dan tsiqatnya. Karena
itu, ashabus sittah meriwayatkan haditsnya.
Kalau dikatakan bahwa ia Syi'ah, itu hanya dalam ukuran
sangat kecil, tidak sampai ke tingkat berlebihan.
Sebagaimana dikatakan oleh al-Ajri, ini tidak merusak sifat
adil dan tsiqat Manshur. Apalagi setelah ada kesepakatan
mengenai kejujurannya, dan jauhnya dari perbuatan dusta. Ini
menunjukkan kejujuran ulama Sunni, di mana mereka tidak
menolak riwayat Manshur, yang dipandang sebagai Syi'ah
walaupun tidak sampai ke tingkat Rafadh. Mereka berhujjah
dengan hadits riwayat Manshur, sebagaimana dikatakan oleh
al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah berikut ini: "Tidak
ada perbedaan pendapat mengenai kehujjahan hadits Manshur".
Karena itu, ashabus sittah dan ulama hadits lainnya
berhujjah dengan haditsnya, walaupun mereka tahu bahwa ia
seorang Syi'ah.
Pernyataan al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah di
atas bertolak belakang dengan tuduhan dia bahwa ulama Sunni
tidak jujur. Kepada mereka, ia pernah berkata: "Aku tidak
simpati kepada sekelompok orang yang tidak jujur!"
Bagaimana mereka dipandang tidak fair, sedangkan mereka
sepakat untuk berhujjah dengan hadits Manshur yang berpaham
Syi'ah? Ini jelas berlawanan dengan tuduhan al-Musawi,
penulis Dialog Sunnah-Syi'ah itu. Setiap orang yang berakal
sehat akan menyatakan demikian.
Adakah dia jujur dalam memberikan penilaian terhadap
ulama Sunni? Ataukah ia seorang sinting yang zalim? Setiap
orang yang membaca pernyataan-pernyataannya yang
kontroversial itu, pastilah tahu bahwa ia termasuk orang
yang hendak mematikan sunnah dan ahlinya. Sesungguhnya kita
semua adalah milik Allah dan akan dikembalikan
kepada-Nya.
Pembaca yang kritis dan jujur akan dapat menemukan
kejujuran ulama Sunni. Ia juga akan mengerti kebencian
al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, terhadap ulama
Sunni. Pembaca akan mengetahuinya, misalnya dari riwayat
Hammad ibn Zayd, salah seorang ulama Sunni. Ia berkata: "Aku
melihat Manshur di Makkah. Kukira dia dari sekte
Khasyabiyyah. Aku tidak menuduhnya sebagai seorang
pendusta." Kalau seandainya Hammad tidak jujur, tentu ia
akan menyatakan bahwa Manshur adalah pembohong. Akan tetapi,
Hammad menyatakan bahwa Manshur adalah seorang yang jujur,
walaupun ia seorang Syi'ah.
Sesungguhnya al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah, itu
sendiri yang termasuk golongan orang-orang yang tidak jujur.
Tidakkah anda melihat, bagaimana ia berbuat dusta atas ulama
Sunni ketika ia berkata: "Orang-orang Sunni adalah kelompok
orang yang suka berdusta". Tuduhan semacam itu ia buat-buat
untuk menolak orang-orang Sunni, padahal mereka sama sekali
lepas dari tuduhannya. Mereka justru berkeyakinan bahwa
dusta adalah suatu ciri yang pasti dalam paham Rafadh.
Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa dusta adalah
aqidah kaum Rafidhah. Al-Musawi, penulis Dialog
Sunnah-Syi'ah adalah salah seorang dari mereka. Orang-orang
yang jujur dari kalangan mereka sangatlah langka.
Sungguh mengherankan bagaimana ia bermain-main dengan
al-Qur'an, dengan menggunakan dalil secara serampangan tidak
pada tempatnya. Apakah menjelaskan bid'ah, dan mengungkap
para pelakunya harus dipandang sebagai perbuatan
memperolok-olok dengan gelar yang buruk? Apakah pernyataan
anda kepada orang kafir dengan sebutan "kafir" atau kepada
orang munafik dengan sebutan "munafik" harus dipandang
sebagai perbuatan memperolok-olok? Kalau memang demikian,
tentu al-Qur'an tidak akan menyebut orang yang secara
lahiriah memiliki sifat nifaq sebagai "munafiq." Demikian
pula orang yang melakukan perbuatan keji, seperti berzina
dan mencuri, tentu tidak akan disebut zani atau sariq.
Kepadanya saya ingin bertanya di mana anda menempatkan
ayat ll surah al-Hujurat ketika anda membuang predikat atau
atribut Hammad ibn Zayd yang sesungguhnya? Dan mengapa, anda
tidak mempraktekkan ayat di atas ketika anda memberikan
gelar kepada Abu Bakar, 'Umar dan 'A'isyah sebagai jibt,
Thaghut dan baqarah? Apakah ini dapat disebut sebagai suatu
kejujuran, wahai al-Musawi, penulis Dialog Sunnah-Syi'ah?
Sesungguhnya anda adalah seperti kata orang, "Kau mengecam
orang lain dengan keburukan sendiri".
Catatan kaki:
1 Tahdzib at-Tahdzib,
10/312.
|