54. 'Abdul Malik ibn A'yun
al-Kufi1
Al-Ajli memandang 'Abdul Malik sebagai orang yang tsiqat.
Menurut Abu Hatim, ia orang Syi'ah, tetapi jujur. Ibn Mu'in
memandang dia sebagai orang yang tidak diperhitungkan. Ibn
Muhdi mencatat hadits darinya, tetapi kemudian
ditinggalkannya.
Ibn Hajar berkata: "Di dalam kitab Shahih Bukhari dan
Muslim, tidak terdapat selain hadits Sufyan ibn 'Uyainah
dari Jami' ibn Abi Rasyid dan 'Abdul Malik. Keduanya (Abu
Rasyid dan 'Abdul Malik) mendengar Syaqiq berkata: Aku
mendengar Ibn Mas'ud menyebut hadits man halafa 'ala mall
imri'in muslimin. Hadits ini terdapat di Bab Tauhid dalam
kitab shahih Bukhari. Imam-imam hadits yang lain juga
meriwayatkan hadits 'Abdul Malik.
Al-Hamidi menceritakan bahwa Sufyan menerima hadits dari
'Abdul Malik ibn A'yun, seorang Syi'ah. "Bagiku," kata
al-Hamidi, "'Abdul Malik adalah seorang Rafidhah, seorang
yang suka menciptakan ajaran bid'ah." Al-Hamidi berkata dari
Sufyan bahwa 'Abdul Malik dan kedua saudaranya, yaitu
Zararah dan Hamran, semuanya merupakan penganut Syi'ah
Rafidhah. Dari tiga bersaudara ini yang paling buruk
ucapannya adalah 'Abdul Malik. Ibn Hibban menyebut 'Abdul
Malik dalam kitab ats-Tsiqat, walaupun ia orang Syi'ah.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
'Abdul Malik bukanlah orang yang tsiqat. Haditsnya tidak
dapat dijadikan hujjah, menurut kebanyakan ahli hadits.
Pendapat ulama yang memandang dia tercela harus didahulukan
daripada pendapat ulama yang menilainya adil atau tsiqat.
Sebab, jumlah ulama yang pertama lebih banyak dan
pengetahuan mereka tentang 'Abdul Malik lebih rinci.
Pendapat Sufyan harus didahulukan daripada pendapat al-Ajli,
sebab Sufyan mendengar langsung dari 'Abdul Malik. Dan dia
mendapat informasi darinya yang dapat dijadikan dalil bahwa
haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Sedangkan al-Ajli
memandangnya adil, karena ia tidak mengetahui apa yang
diketahui Sufyan.
Mengenai periwayatan 'Abdul Malik, itu hanyalah
menyangkut satu hadits saja. Itu pun disertai sanad atau
perawi lain, yaitu Abu Rasyid, seperti dikemukakan Ibn Hajar
terdahulu. Seandainya tidak disertai perawi lain, tentu
Bukhari tidak akan meriwayatkannya.
Demikian pula imam-imam hadits yang lain. Mereka
meriwayatkan hadits 'Abdul Malik dengan disertai perawi
lain. Sebagian lagi meriwayatkan untuk i'tibar sebagai
penguat dan pendukung semata, bukan sebagai hujjah. Di muka
sudah saya katakan berkali-kali bahwa ulama hadits kerapkali
mendaftar hadits seorang perawi, tetapi mereka tidak
menjadikannya sebagai hujjah.
Catatan kaki:
1 Hadi as-Sari, 2/187;
Tahdzib at-Takdzzb, 6/385; Mizan al-I'tidal, 2/651.
|